9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat. Semakin meningkatnya pendapatan penduduk maka permintaan produk-produk peternakan mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan meningkatnya pendapatan seseorang maka konsumsi terhadap sumber karbohidrat akan menurun dan konsumsi berbagai macam makanan yang kaya akan protein akan meningkat. Subsektor peternakan memiliki peranan penting dalam menopang perekonomian regional maupun nasional. Masalah peternakan ini sudah tidak dapat dinomorduakan karena hal tersebut akan dominan ikut menentukan kelangsungan hidup suatu negara ataupun bangsa (Saragih, 2008). Menurut Prawirokusumo (1990), berdasarkan tingkat produksi, macam teknologi yang digunakan, dan banyaknya hasil yang dipasarkan, maka usaha peternakan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu : 1. Usaha yang bersifat tradisional, yang diwakili oleh petani dengan lahan sempit, yang mempunyai 1-2 ekor ternak, baik ternak ruminansia besar, ruminansia kecil bahkan ayam kampung. 2. Usaha backyard yang diwakili peternak ayam ras dan sapi perah yang telah memakai teknologi seperti kandang, manajemen, pakan komersial, bibit unggul, dan lain-lain.
10 3. Usaha komersial adalah usaha yang benar-benar menerapkan prinsip-prinsip ekonomi antara lain untuk tujuan keuntungan maksimum. Pengembangan suatu usaha peternakan sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya pendukung lainnya. Saragih (2008) menyatakan bahwa tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontribusinya terhadap pendapatan peternak, sehingga bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut : 1. Peternakan sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dengan tingkat pendapatan dari usahaternaknya kurang dari 30 persen. 2. Peternakan sebagai cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usaha, dengan tingkat pendapatan dari usahaternaknya 30-69,9 persen (semi komersil atau usaha terpadu). 3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan, dengan tingkat pendapatan usahaternak 70-99,9 persen. 4. Peternakan sebagai usaha industri, dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usahaternak 100 persen. 2.2. Sapi Potong Menurut Sugeng (2003) sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan
11 penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Sapi pada garis besarnya dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut : a. Bos indicus Bos indicus (zebu: sapi berponok) merupakan sapi yang sedang berkembang di India, dan akhirnya menyebar ke beerbagai negara, terlebih ke negara tropis seperti Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Afrika, Amerika dan Australia. Di Indonesia terdapat sapi keturunan zebu yaitu sapi ongole dan peranakannya (PO) serta brahman. b. Bos taurus Bos taurus adalah bangsa sapi yang menurunkan bangsa-bangsa sapi potong dan perah di Eropa. Golongan ini menyebar ke berbagai penjuru dunia, terlebih Amerika, Australia dan Selandia Baru. Bos taurus telah banyak diternakkan dan dikembangkan di Indonesia misalnya Aberdeen Angus, Hereford, Shorthorn, Charolais, Simmental dan Limousin. c. Bos sondaicus Golongan ini merupakan sumber asli bangsa-bangsa sapi Indonesia. Sapi ini merupakan keturunan banteng (Bos bibos) seperti sapi bali, sapi madura, sapi jawa, sapi sumatera, dan sapi lokal lainnya. 2.2.1. Bibit Pemilihan bibit sapi potong biasanya menyangkut tentang (1) asal usul atau silsilah ternak termasuk bangsa ternak, (2) kapasitas produksi (umur, pertambahan berat badan, produksi dan lemak), (3) kapasitas reproduksi (kesuburan ternak, jumlah anak yang lahir dan hidup normal, umur pertama
12 kawin, siklus birahi, lama bunting, keadaan waktu melahirkan dan kemampuan membesarkan anak) serta (4) tingkat kesejahteraan ternak (Rahardi et al., 2001). Menurut Direktorat Perbibitan Ternak (2004) dalam pembibitan sapi potong dilaksanakan melalui pemuliaan dalam satu rumpun atau satu galur, baik penjantan maupun induk yang dikawinkan berasal dari satu rumpun atau satu galur yang sama. Adapun kriteria dasar dalam memilih sapi sebagai calon bibit menurut Sugeng (2003) antara lain : a. Bangsa dan Sifat Genetis Sifat genetis suatu bangsa sapi yang bisa diwariskan kepada keturunannya akan bangsa sapi tertentu dipilih peternak dengan tujuan dan kondisi lingkungan setempat. b. Bentuk Luar Bentuk atau ciri luar sapi berkorelasi positif terhadap faktor genetis seperti laju pertumbuhan, mutu dan hasil akhir (daging). c. Kesehatan Untuk mengetahui kesehatan sapi secara umum peternak bisa memperhatikan keadaan tubuh, sikap dan tingkah laku, denyut jantung, pencernaan, dan pandangan sapi. 2.2.2. Pakan Ternak sapi sebagai salah satu hewan ruminansia dengan alat pencernaan yang terbagi atas empat bagian yakni rumen, reticulum, omasum dan abomasum. Dengan alat ini mampu menampung jumlah bahan pakan yang lebih besar dan
13 mampu mencerna bahan pakan yang kandungan serat kasarnya tinggi sehingga pakan pokok hewan ini berupa hijauan atau rumput dan pakan penguat sebagai tambahan. Pada umumnya bahan pakan hijauan diberikan dalam jumlah 10 persen dari berat badan dan pakan penguat cukup 1 persen dari berat badan (Sugeng, 2003). 2.2.3. Sistem Pemeliharaan Sapi Sistem pemeliharaan sapi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif semua aktivitasnya dilakukan di padang penggembalaan yang sama. Sistem semi intensif adalah memelihara sapi untuk digemukkan dengan cara digembalakan dan pakan disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem ekstensif dan intensif. Sementara sistem intensif adalah pemeliharaan sapi-sapi dengan cara dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak (Susilorini, 2008). Di daerah pertanian intensif, sebagian peternak memelihara sapi dalam kandang permanen, namun ada juga yang kandang sederhana. Kapasitas kandang bervariasi sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara. Peternak pembibitan umumnya menggunakan sistem kereman sehingga sapi induk cepat menjadi gemuk (Hadi dan Ilham, 2002). 2.3. Biaya Produksi Biaya adalah suatu pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang, untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan akan memberikan keuntungan atau manfaat pada saat ini atau masa yang akan datang (Daljono,
14 2005). Menurut Mulyadi (2009) biaya produksi merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual. Selanjutnya dikatakan biaya dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung (direct cost) adalah biaya yang terjadi, yang penyebab satu-satunya adalah karena adanya sesuatu yang dibiayai. Biaya produksi langsung terdiri dari biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, sedangkan biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang dibiayai. Menurut Suhartati dan Fathorrozi (2003) biaya dapat dibagi berdasarkan sifatnya, artinya mengkaitkan antara pengeluaran yang harus dibayar dengan produk atau output yang dihasilkan yaitu: a. Biaya Tetap (Fixed Cost) merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan per satuan waktu tertentu untuk keperluan pembayaran semua input tetap dan besarnya tidak bergantung dari jumlah produk yang dihasilkan. b. Biaya Variabel (Variabel Cost) adalah kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan pada waktu tertentu untuk pembayaran semua input variabel yang digunakan dalam proses produksi. c. Biaya Total (Total Cost) merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel dalam proses produksi. TC = FC + VC
15 2.4. Penerimaan Penerimaan merupakan hasil perkalian dari produksi total dengan harga peroleh satuan. Produksi total adalah hasil utama dan sampingan, sedangkan harga adalah harga pada tingkat usaha usahatani atau harga jual petani (Soeharjo dan Patong, 1973). Menurut Soekartawi (2002) penerimaan merupakan perkalian antara jumlah produksi yang dihasilkan dengan harga jual dari produk tersebut. Adapun Nurdin (2010) menyatakan bahwa penerimaan total atau total revenue pada umumnya dapat didefinisikan sebagai penerimaan dari penjualan barang-barang yang diperoleh penjual. Penerimaan total dapat dirumuskan sebagai berikut: TR = Q x P Keterangan: TR (Total Revenue) Q (Quantity) P (Price) = penerimaan total = jumlah produk yang dihasilkan = harga tiap satuan barang 2.5. Keuntungan Keuntungan (profit) adalah tujuan utama dalam pembukaan usaha yang direncanakan (Ibrahim, 2003). Semakin besar keuntungan yang diterima maka semakin layak juga usaha yang sedang dijalankan. Keuntungan merupakan selisih positif antara penerimaan dan biaya produksi (Soekartawi, 2006). Keuntungan, atau penerimaan bersih didefinisikan sebagai perbedaan antara penerimaan kotor dan total biaya. Penerimaan kotor terdiri dari harga produk dikalikan dengan hasil produksi (output), sedangkan total cost terdiri dari jumlah
16 penggunaan faktor-faktor produksi dikalikan dengan harga faktor produksi (Humphrrey dalam Putranto, 2006). Hasil penjualan suatu barang adalah merupakan penerimaan perusahaan atau dikenal dengan istilah total revenue (TR) dan apabila dikurangi dengan total cost (TC) yang dikeluarkan oleh perusahaan, maka jumlah selisihnya merupakan keuntungan atau kerugian. Jadi keuntungan (profit) adalah total penerimaan perusahaan (total revenue) dikurangi dengan total biaya (total cost) yang dikeluarkan untuk memproduksi output (Nurdin, 2010). π = TR - TC Keterangan: π = Keuntungan (profit) TR = Penerimaan (Total Revenue) TC = Biaya Total (Total Cost) 2.6. Analisis Titik Impas Titik impas adalah titik dimana total pendapatan sama dengan total biaya, titik di mana laba sama dengan nol. Perusahaan mendapatkan pendapatan yang sama besarnya dengan biaya produksi yang dikeluarkan (Hansen dan Mowen, 2006). Analisis titik impas adalah suatu teknik analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan (Riyanto, 2001). Analisis titik impas mempunyai beberapa asumsi yang tercermin dalam anggaran perusahaan masa yang akan datang. Dasar asumsi yang mendasari analisis break even menurut Halim dan Bambang Supomo (2005) sebagai berikut:
17 a. Harga jual per unit tidak berubah-ubah pada berbagai volume penjualan. b. Perusahaan berproduksi pada jarak kapasitas yang secara relatif konstan. c. Biaya dapat dipisahkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap jumlahnya tidak berubah dalam jarak kapasitas tertentu, sedangkan biaya variabel berubah secara proporsional dengan perubahan volume kegiatan perusahaan. d. Jumlah perubahan persediaan awal dan persediaan akhir tidak berarti. e. Jika perusahaan menjual lebih dari satu macam produk, komposisi produk yang dijual dianggap tidak berubah. 2.7. Analisis Efisiensi Usaha Salah satu cara untuk menghitung nilai efisiensi usahatani adalah dengan mengunakan analisis R/C ratio (Kartasapoetra, 2001). Menurut Mubyarto (1991) efisiensi usaha adalah kemampuan untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu tanpa pemborosan waktu, tenaga, energi dan sebagainya. Revenue-Cost Ratio diperoleh dari perbandingan antara semua nilai penerimaan dengan semua nilai pengeluaran. Hasil perbandingan tersebut diperoleh suatu tetapan angka sebagai nilai dari R/C ratio yang dapat mencerminkan efisien atau tidak suatu usaha. Apabila diperoleh nilai lebih dari satu maka usaha tersebut dikatakan efisien dan mendapatkan untung atau manfaat, sedangkan apabila nilai dibawah satu maka usaha tersebut dikatakan tidak efisien dan tidak memberikan keuntungan atau manfaat, dan apabila nilai sama dengan satu maka usaha dikatakan berada dalam keadaan impas yaitu penerimaan sama dengan pengeluaran (Teken dan Asnawi, 1977).