PERLINDUNGAN HAK PETANI DEBITOR KREDIT USAHA TANI (KUT) YANG TAAT UNTUK PEROLEHAN KREDIT KETAHANAN PANGAN DAN ENERGI (KKP-E) MELALUI MEDIASI PERBANKAN

dokumen-dokumen yang mirip
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

LAPORAN KEGIATAN KINERJA PENYALURAN DAN PEMANFAATAN KREDIT PROGRAM PERTANIAN KKPE DI PROVINSI BALI

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia Tahun Pertanian ** Pertanian. Tenaga Kerja (Orang)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

PENDAHULUAN. peternak, khususnya bagi yang berminat meningkatkan skala usahanya. Salah satu

TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Kegiatan usaha ini harus diiringi oleh perhatian terhadap keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Tidak perlu di ragukan lagi

dan jumlah tanggungan keluarga berpengaruh negative terhadap tingkat pengembalian kredit TRI. Penelitian Sarianti (1998) berjudul faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia terdapat sekitar 57,9 juta pelaku UMKM dan diperkirakan akan semakin

IDENTIFIKASI PENYEBAB RENDAHNYA PENYALURAN KREDIT USAHATANI

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Bentuk Bantuan Modal pada Pertanian

VI. KERAGAAN USAHATANI KENTANG DAN TOMAT DI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA)

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jumlah (Unit) Perkembangan Skala Usaha. Tahun 2009*) 5 Usaha Besar (UB) ,43

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya didukung oleh unit-unit usaha kecil. Kemampuan masyarakat

I. PENDAHULUAN. pertanian. Perkembangan suatu usaha tani dipengaruhi ketersediaan modal. Modal

EFEKTIVITAS KREDIT KETAHANAN PANGAN (KKP) DALAM UPAYA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DI KECAMATAN KUPANG TIMUR, KABUPATEN KUPANG TUGAS AKHIR

BAB V GAMBARAN UMUM PROGRAM PMUK DI KABUPATEN PELALAWAN

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

BULETIN IKATAN VOL.3 NO. 1 TAHUN

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup adalah kebutuhan

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VI. PERKEMBANGAN PUAP DAN MEKANISME KREDIT GAPOKTAN

I PENDAHULUAN. (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan

III KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dapat dipandang sebagai tulang punggung

1. JUMLAH RTUP MENURUT GOL. LUAS LAHAN

PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG

Lampiran 1. Kuesioner penelitian bagi petani/kelompok tani

I. PENDAHULUAN. yang memiliki peran penting dalam menopang perekonomian nasional. Hal ini

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PETUNJUK TEKNIS KKP-E

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

No. 5/30/BKr Jakarta, 18 November 2003 S U R A T E D A R A N. kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA DAN PT. PERMODALAN NASIONAL MADANI (PERSERO)

BAB I PENDAHULUAN. dan perdagangan sehingga mengakibatkan beragamnya jenis perjanjian

PAPER TUTORIAL PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN. Kebijakan Produksi (Intesifikasi melalui BIMAS)

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

KERANGKA PEMIKIRAN III.

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari bahasa latin credere atau credo yang berarti kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 19 /PBI/2003 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 301/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KREDIT PERUMAHAN BANK TABUNGAN NEGARA

Kartu Tani Bawang. 05 Oktober PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kantor Wilayah Padang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Upaya membangun suatu unit usaha bank mikro yang melayani. masyarakat golongan kecil memerlukan suatu cara metode berbeda dengan

VI. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT

MENGENAL USAHA CALON NASABAH KREDIT USAHA RAKYAT (KUR)

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sektor agribisnis. Hal ini terlihat dari peran sektor agribisnis

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2002 TENTANG RESTRUKTURISASI KREDIT USAHA KECIL, DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV ANALISIS STRATEGI PENCEGAHAN DAN IMPLIKASI PEMBIAYAAN MURA>BAH}AH MULTIGUNA BERMASALAH

SYARAT DAN KETENTUAN DANA BANTUAN SAHABAT

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan sektor pertanian dilaksanakan melalui 2 (dua) program. Program peningkatan ketahanan pangan dan (2) Program

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH GUBERNUR BANK INDONESIA,

AKSESIBILITAS PETANI PADI SAWAH TERHADAP SUMBER PERMODALAN DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI PROVINSI BANTEN. Tian Mulyaqin dan Dewi Haryani

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

: MARINA RUMONDANG P. TAMPUBOLON NPM :

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TEVJAUAN PUSTAKA

KELEMBAGAAN AGRIBISNIS PADA BERBAGAI TIPE DESA

III KERANGKA PEMIKIRAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sisvaberti Afriyatna Dosen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi,

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2010

2 berkeinginan untuk membeli Properti maupun kendaraan bermotor. Langkah tersebut dilakukan bersamaan dengan pelonggaran Rasio Loan to Value atau Rasi

BAB I PENDAHULUAN. Sebenarnya masalah dan kendala yang dihadapi masih bersifat klasik yang selama

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik UMKM

GUBERNUR BANK INDONESIA,

BUPATI PAKPAK BHARAT

VII. ANALISIS REALISASI KUR DI BRI UNIT TONGKOL

PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di Indonesia merupakan salah satu sarana untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. dibanding usaha besar yang hanya mencapai 3,64 %. Kontribusi sektor

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi suatu negara menjadi lebih maju dan usaha-usaha berkembang

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, salah satunya adalah dalam bidang

Transkripsi:

PERLINDUNGAN HAK PETANI DEBITOR KREDIT USAHA TANI (KUT) YANG TAAT UNTUK PEROLEHAN KREDIT KETAHANAN PANGAN DAN ENERGI (KKP-E) MELALUI MEDIASI PERBANKAN Juri Juswadi Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Wiralodra Indramayu ABSTRAK Pelaksanaan alternatif kebijakan penyaluran Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) pada akhir tahun 2007 lebiih menjamin: 1) penyaluran KKP-E yang tepat sasaran, 2) pengurangan tunggakan, 3) pengurangan potensi sengketa yang mungkin terjadi antara petani debitor dan bank pelaksana melalui mediasi perbankan, dan 4) perlindungan petani debitor yang taat untk mendapat priorotas KKP-E melalui mediasi perbankan. Melalui program KKP-E, para petani akan leluasa menyiapkan sarana produksi pertanian yang berkualitas untuk meningkatkan produksi pertaniannya baik pangan maupun energi nabati. Pada akhirnya kondisi ini akan bermuara pada peningkatan pendapatan petani sebagai ujung tombak peningkatan kesejahterannya. PENDAHULUAN Dalam pembangunan pertanian, penyediaan sarana produksi pertanian melalui pinjaman (kredit) merupakan unsur penting bagi sebagian besar petani. Kondisi sosial ekonomi petani yang umumnya rendah selalu menggantungkan kebutuhan modal usahataninya dari pinjaman Sumber pinjaman sangat beragam mulai dari bank umum, koperasi, pegadaian, kios pupuk dan pestisida, pengusaha penggilingan padi, rentenir dan berbagai sumber keuangan informal lainnya. Dalam upaya memenuhi kebutuhan petani, pemerintah telah menggulirkan program kredit bagi petani, yang telah mengalami beberapa kali perubahan mulai dari kredit Bimas/Inmas pada awal tahun 1970, menjadi Kredit Usaha Tani (KUT) pada periode 1985-1997/1998, Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang berlaku efektif pada musim tanam 2000/2001, dan yang terbaru Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) pada akhir tahun 2007 Prgram KKP-E digulirkan melalui Peraturan Menkeu Nomor 79/PMK.05/2007, yang mulai disosialisasikan pada tanggal 22 November 2007. Dua puluh bank berkomitmen menyalurkan dana Rp 10,8 triliun untuk sektor pertanian. Penyaluran dana tersebut merupakan bagian dari kerjasama bank dengan pemerintah dalam program KKP-E 2007. KKP-E merupakan program pemerintah pengganti skema KKP yang telah berlangsung sejak tahun 2001. Dalam skema KKP-E dana kredit sepenuhnya berasal dari bank umum. Pemerintah hanya memberikan subsidi bunga sebesar selisih antara tingkat bunga komersial 34 dan tingkat bunga yang diberikan kepada petani. Jadi dengan tingkat bunga sekarang 13,25 sampai 14,25 persen, petani hanya akan membayar bunga 7 hingga 8 persen, selisih bunga itu akan dibayar pemerintah. Sampai akhir tahun 2006 total plafon kredit yang diberikan tidak pernah dapat dipenuhi penyalurannya karena bebagai hal. Dari total kredit yang disediakan sebesar Rp 585 milyar, yang terserap hanya Rp 56, 023 milyar atau sebesar 9,57%. Resiko usahatani yang dianggap sangat tinggi, terutama kondisi gagal panen (puso) karena kekeringan atau banjir, serta serangan hama dan penyakit tanaman menjadi kehawatiran bank pelaksana kredit. Kehawatiran juga didasarkan pada pengalaman penyaluran KUT melalui koperasi (KUD), yang telah mendorong terjadinya penyelewengan oleh pengurus koperasi dalam menyetorkan cicilan anggotanya kepada bank pelaksana, padahal sebagian besar petani anggota adalah debitor yang taat dan telah melunasi semua kewajibannya. Akibatnya terjadi tunggakan KUT yang sangat besar mencapai 6,8 trliun, yaitu 72% dari total kredit yang disalurkan. Sampai dengan akhir tahun 2000, dari 9 ribuan Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada, hanya 2 ribuan saja yang sehat. Hanya KUD yang sehat inilah yang boleh menyalurkan kembali berbagaikredit. Sisanya masuk daftar hitam di Bank (tidak sehat). Artinya koperasi yang tidak sehat maka tidak dapat lagi menyalurkan kredit, walaupun petani anggotanya adalah debitur yang taat dalam melunasi pokok pinjaman dan

bung KUT. Kondisi ini sangat merugikan petani yang seharusnya tetap mendapat kucuran kredit, tetapi menjadi terhalang karena koperasinya masuk dalam daftar hitam bank pelaksana. Masalah ini perlu dicarikan jalan keluarnya agar para petani tersebut tetap dapat memperoleh kucuran kredit tanpa memandang keadaan koperasinya,. Dalam kondisi ini apakah diperlukan mediasi perbankan untuk memenuhi tuntutan para petani agar tetap dapat memperoleh kucuran kredit? Walaupun para petani yang taat tgersebut belum mengajukan tuntutan finansial atas kerugiannya dalam hal menurunnya produktivitas pertanian karena tidak mampu membeli sarana produksi pertanian yang berkulitas. Makalah ini mencoba membahas perlunya mediasi perbankan atas tuntutan petani sebagai debitor yang taat, kepada bank pelaksana program KKP-E, agar tetap terlaksananya kucuran kredit. Juga membahas alternatif mekanisme penyaluran kredit tanpa melibatkan KUD yang tidak sehat, serta alternatif mediator independen yang dapat menjembatani tuntutan para petani dengan bank pelaksana program KKP-E. Fakta Empiris Penyaluran KKP Penyaluran KKP pada periode 2000-2006 bervariasi antar wilayah Kabupaten, yaitu dapat melibatkan koperasi (KUD), kelompok tani, gabungan kelompok tani (gapoktan), dan atau tidak melalui KUD. Hasil penelitian Smeru (2002) mengungkapkan bahwa pendekatan bank pelaksana dalam menyalurkan KKP kepada petani bervariasi antar wilayah. Di Kabupaten Kediri, KKP disalurkan melalui koperasi. Di Kabupaten Sidrap disalurkan melalui koperasi dan kelompok tani, sedangkan di Kabupaten Subang melalui gabungan kelompok tani (gapoktan), seperti ditunjukkan oleh Gambar 1. Koperasi Bank Pelaksana Kelompok Tani RD Gapoktan Kolek BRI Koperasi Tunai Tunai dan KK Citra Tif Cabang Petani Raharja Pamanukan Tunai dan natura Kelompok Tani PPL, Kades Tunai dan natura Re-chek Pencairan Petani A B Sumber: Laporan Penelitian SMERU (2002) Pendanaan Usahatani Pasca KUT, Kredit Ketahanan Pangan (KKP) (b) Gambar 1. Skema Pengajuan dan Penyaluran KKP di Kabupaten Sidrap (A) dan didesa Citra Jaya, Pamanukan, Kanupaten Subang (B) Keharusan adanya KUD dalam penyaluran KKP dapat merugikan petani karena KUD yang tidak sehat jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan koperasi yang sehat. Kondisi ini akan sangat merugikan para petani sebagai debitor yang taat, tetapi menjadi anggota KUD yang masuk daftar tidak sehat. Akibat ulah pengurus koperasi yang menyeleweng, mereka tidak dapat memperoleh kembali KKP. Jika KUD 35

masuk dalam daftar yang sehat (tidak masuk daftar hitam) maka, tentu tidak akan menjadi masalah karena tetap dapat menyalurkan KKP. Hasil penelitian Smeru (2002) juga mengungkapkan bahwa berdirinya gapoktan di desa Citra Jaya adalah menifestasi dari ketidakpercayaan kelompok-kelompok tani terhadap sebuah KUD. KUD tersebut berhenti melayani kebutuhan kredit petani, khususnya KUT akibat ulah oknum pengurus KUD yang menyebabkan banyaknya tunggakan ke bank meskipun petaninya sudah membayar. Jika petani desa Citra Jaya masih bergabung dengan KUD, kemungkinan tidak akan memperoleh KKP karena tidak dapat memenuhi syarat lunasnya KUT. Oleh karena itu kelompok-kelompok tani di desa ini membentuk Gapoktan Citra Raharja pada awal September 1998. Sesungguhnya petani memiliki kejujuran yang relatif tinggi untuk memenuhi kewajibannya, tetapi perlu difahami bahwa usahatani tidak saja terletak pada aspek kualitas input pertanian (off farm) dan aspek produksi di lapangan (on farm), tetapi juga pada aspek pemasaran (off farm) yang seringkali merugikan petani. Besarnya impor pangan, permainan tengkulak, panjangnya rantai pemasaran, dan ketidakkonsistenan pelaksanaan harga dasar dan harga atap dapat menyebabkan menurunnya keuntungan usahatani. Demikian pula kondisi puso karena bencana alam (kekeringan/kebanjiran) serta serangan hama dan penyakit tanaman berpotensi menimbulkan kerugian dalam usahatani. Kondisi ini menyebabkan ketidakmampuan petani untuk membayar cicilan KUT/KKP dalam musim tanam yang telah ditentukan. Mereka akan terlebih dahulu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang mendesak, sehinga porsi keuntungan bagi pembayaran cicilannya akan berkurang. Potensi Sengketa Debitor dengan Bank Pelaksana dan Alternatif Penyaluran KKP- E Pasal 2 Peraturan BI No: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan menyatakan bahwa: sengketa antara Nasabah dengan Bank yang disebabkan oleh tidak dipenuhinya tuntutan finansial Nasabah oleh Bank dalam penyelesaian pengaduan Nasabah dapat diupayakan penyelesaiannya melalui Mediasi perbankan. Dalam Penjelasannya pada pasal 2 dinyatakan: yang dimaksud dengan tuntutan finansial adalah potensi kerugian finansial Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank sebagaimana dimaksud pada peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Banyak petani debitor yang taat dan lancar membayar kewajiban KUT dapat mengalami kehilangan haknya untuk memperoleh KKP/KKP-E, jika kebetulan menjadi anggota KUD yang tidak sehat. Potensi sengketa yang timbul tersebut mungkin tidak dalam bentuk tuntutan finansial dari para petani tersebut kepada bank pelaksana, tetapi tuntutan untuk tetap memperoleh hak mendapatkan KKP-E. Selama ini memang belum ada tuntutan dalam bentuk finansial, tetapi keadilan dalam pemberian KKP-E perlu ditegakan untuk tetap menjamin peningkatan produktivitas pertanian. Pengamaatna Susidarto (2001) mengungkapkan bahwa adanya kebijakan pemutihan tunggakan KUT pada awal tahun 2001 dapat menimbulkan preseden buruk perkembangan kredit pertanian lain, yaitu: 1) kebijakan ini dapat meringankan petani dan memberi peluang untuk mendapat kredit baru, sementara tidak mendidik dan menimbulkan perasaan kecewa pada petani yang telah melunasi KUT, bukan tidak mungkin petani yang selama ini sudah melunasi KUT-nya akan kembali meminta bunga yang sudah dibayarnya; 2) petani merasa percuma lancar membayar cicilan dan bunga KKP, tetapi tidak mendapat insentif apapun, dan perlakuan yang diterima sama dengan debitur yang macet; 3) adanya pemikiran pada petani untuk tidak melunasi KKP, karena kemungkinan nantinya akan diberi pengempunan utang dalam bentuk pemutihan. Bentuk sengketa lain yang potensial timbul antara petani debitor dengan bank pelaksana kredit dapat terjadi pada saat ketidakmampuan petani membayar cicilan tepat pada waktunya, akibat kondisi puso. Kejujuran petani menyatakan kodisi tersebut perlu didukung oleh data akurat yang telah dinilai oleh lembaga independen. Sehingga bank pelaksana mempunyai keyakinan yang kuat untuk melakukan penjadwalan kembali pembayaran pokok pinjaman dan bunganya oleh petani debitor pada musim tanam yang akan datang. Potensi sengketa ini membutuhkan berbagai kebijakan perbaikan dalam 36

penyaluran KKP-E agar berkeadilan dan mampu mencapai seluruh petani yang membutuhkannya. Hal ini juga didorong oleh rencana penyediaan kredit program KKP-E sebesar 10,7 triliun dari 20 bank umum, yang merupakan peningkatan hampir 20 kali dari penyaluran KKP tahun 2006 sebesar Rp 585 milyar yang hanya dapat diserap oleh petani Rp 56, 023 milyar atau sebesar 9,57% saja. Tetapi hal ini perlu disikapi optimis, karena dana yang sangat besar tersebut dapat meningkatkan produksi pertanian pangan dan energi nabati. Pengalaman kredit macet sebesar 6.8 triliun pada program KUT periode 1985 sampai digulirkannya kebijakan pemutihan (2001), perlu dijadikan bahan pertimbangan berkaitan dengan perbaikan dalam mekanisme penyaluran KKP-E, pengawasan dalam penyaluran, kelembagaan pertanian, serta peningkatan pemahaman secara proporsional keaadaan usahatani yang mengandung resiko lebih tinggi. Alternatif kebijakan yang mungkin dilakukan antara lain: 1. Penyaluran KKP-E kepada petani dapat tetap melibatkan koperasi (KUD), jika koperasi tersebut dikategorikan sehat dan atau tidak termasuk dalam daftar hitam bank pelaksana; 2. Penyaluran KKP-E kepada petani yang taat melunasi KUT tetapi kebetulan menjadi anggota KUD yang tidak sehat, maka perlu disusun mekanisme penyaluran yang melibatkan kelompok tani dan Gapoktan (lihat kasus Gapoktan Citra Raharja di desa Citra Jaya Subang), serta perlu adanya mediasi perbankan untuk melindungi hak petani tersebut agar tetap diprioritaskan mendapatkan KKP-E; 3. Penyaluran KKP-E perlu didukung dengan pemantauan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan atau lembaga pendidikan tinggi disekitarnya melalui kegiatan Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM), agar tidak terjadi adanya RDKK fiktif. Biaya operasional PPL dan LPPM merupakan biaya transaksi (transaction cost) dari bank pelaksana; 4. Menghadapi potensi timbulnya sengketa antara petani debitor dengan bank pelaksana KKP-E, maka dibutuhkan lembaga independen sebagai mediator dalam melakukan mediasi perbankan. Lembaga tersebut dapat dibentuk dari unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan atau LPPM. Biaya operasional LSM dan Mediator merupakan biaya transaksi (transaction cost) dari Bank Indonesia dan sumber lain; dan 5. Menghadapi potensi puso akibat bencana alam serta serangan hama dan penyakit tanaman, dibutuhkan tim pemantau perkembangan produksi pertanian di lapangan dari unsur Dinas Pertanian (PPL) dan atau LPPM, untuk menjamin keakuratan data yang diperoleh, sebagai referensi bank pelaksana KKP-E,. Biaya operasional PPL dan LPPM merupakan biaya transaksi (transaction cost) dari bank pelaksana; 6. Mekanisme penyaluran KKP-E hipotetis yang mungkin dilakukan sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Pentingnya mediator antara petani debitor dengan bank pelaksana dalam proses mediasi perbankan akan terasa jika terjadi sengketa dalam penyaluran program KKP-E. Hal ini ada hubungannya dengan pengalaman petani debitor dalam pengembalian KUT, dengan perilaku ada yang taat tetapi juga ada yang tidak taat dalam melunasi pokok pinjaman dan bunganya. Petani yang taat perlu medapat prioritas utama mendapatkan KKP-E sebagai penghargaan atas prestasinya semasa program KUT, sehingga merasa diperlakukan adil. Data petani ebagai debitor yang taat dapat dijadikan referensi bagi bank pelaksana dalam menetapkan petani sasaran KKP-E yang resiko tunggakannya rendah. Perolehan data para petani tersebut menjadi sangat penting. 37

PPL/ LPPM Langsung Petani RDKK Pencairan KKP Kelompok. Tani Gapoktan / Koperasi Sehat Kolektif Bank Pelaksana KKP Pemantau Puso PPL/LPPM Pencairan KKP Mediasi Perbankan Pencairan KKP Mediator Independen LSM/LPPM Gambar 2. Skema Hipotesis Pengajuan dan Penyaluran KKP-E tanpa Melibatkan KUD yang Tidak Sehat Adanya puluhan juta petani dengan skala usahatani yang ragam, mulai dari sangat sempit (lahan kurang dari 0,25 hektar) sampai luas (lahan lebih dari 2,0 hektar) membutuhkan penilaian akurat untuk menentukan besarnya plafon kredit dslsm program KKP-E. Penyebaran petani di berbagai pelosok di Nusantara juga memberikan pengaruh yang besar dalam kompilasi data mengingat diutuhkan waktu dan biaya yang besar untuk melakukan pemantauan. Kesalahahan dalam penilaian, karena penggeneralisasasian berbagai jenis usahatani akan berpotensi macetnya pengembalian kredit. Adanya upaya pemaksaaan target penyaluran KKP-E oleh bank pelaksana tanpa melihat kebutuhan petani secara akurat, juga akan berpotensi menimbulkan sengketa antara petani dengan bank pelaksana. Penutup Uraian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan alternatif kebijakan di atas lebiih menjamin: 1) penyaluran KKP-E yang tepat sasaran, 2) pengurangan tunggakan, 3) pengurangan potensi sengketa yang mungkin terjadi antara petani debitor dan bank pelaksana melalui mediasi perbankan, dan 4) perlindungan petani debitor yang taat untk mendapat priorotas KKP-E melalui mediasi perbankan. Melalui program KKP-E, para petani akan leluasa menyiapkan sarana produksi pertanian yang berkualitas untuk meningkatkan produksi pertaniannya baik pangan maupun energi nabati. Pada akhirnya kondisi ini akan bermuara pada peningkatan pendapatan petani sebagai ujung tombak peningkatan kesejahterannya. Semoga. DAFTAR PUSTAKA KKP-E Capai Rp 10,8 triliun (Kompas 23 November 2007) Susidarto (2001), Menyoal Pemutihan KUT, dikutip dari http://members.members.tripod.com/ forumtani/kut SMERU (2002) Pendanaan Usahatani Pasca KUT, Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Laporan Penelitian 38