BAB III METODE STUDI SEKURITI SISTEM KETERSEDIAAN DAYA DKI JAKARTA & TANGERANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PERHITUNGAN DAN ANALISIS

PERBANDINGAN BIAYA PEMBANGKITAN PEMBANGKIT LISTRIK DI INDONESIA

Perbandingan Biaya Pembangkitan Pembangkit Listrik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

SISTEM KELISTRIKAN DI JAMALI TAHUN 2003 S.D. TAHUN 2020

ANALISIS KEANDALAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGKIT LISTRIK PLN REGION 3 TAHUN

STUDI PERENCANAAN SISTEM KELISTRIKAN SUMATERA BAGIAN UTARA DENGAN OPSI NUKLIR

1. PENDAHULUAN PROSPEK PEMBANGKIT LISTRIK DAUR KOMBINASI GAS UNTUK MENDUKUNG DIVERSIFIKASI ENERGI

BAB I PENDAHULUAN. apabila terjadi gangguan di salah satu subsistem, maka daya bisa dipasok dari

SENSITIVITAS ANALISIS POTENSI PRODUKSI PEMBANGKIT LISTRIK RENEWABLE UNTUK PENYEDIAAN LISTRIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penambahan unit pembangkit. (Zein dkk, 2008), (Subekti dkk, 2008) meneliti

OPTIMASI SUPLAI ENERGI DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN TENAGA LISTRIK JANGKA PANJANG DI INDONESIA

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK MENTAH DAN BATUBARA TERHADAP SISTEM PEMBANGKIT DI INDONESIA

SISTEM TENAGA LISTRIK

BAB I PENDAHULUAN. berbagai peralatan listrik. Berbagai peralatan listrik tersebut dihubungkan satu

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

ANALISIS KEANDALAN SISTEM 150 KV DI WILAYAH JAWA TIMUR

BAB 4 ANALISA KONSEP ADAPTIF RELE JARAK PADA JARINGAN SALURAN TRANSMISI GANDA MUARA TAWAR - CIBATU

BAB IV STUDI KETERJAMINAN ALIRAN DAYA DAN BIAYA PRODUKSI PLN SUB REGION BALI TAHUN

MANFAAT DEMAND SIDE MANAGEMENT DI SISTEM KELISTRIKAN JAWA-BALI

BAB IV ANALISIS PENGEMBANGAN PEMBANGKIT DI KALIMANTAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Suatu sistem tenaga listrik memiliki unit-unit pembangkit yang bertugas menyediakan daya dalam sistem tenaga listrik agar beban dapat terlayani.

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 7, No. 1 (2018), ( X Print) B 1

Studi Keandalan Ketersediaan Daya Pembangkit Listrik pada Jaringan Daerah X

BAB II KERANGKA TEORI

METODE KOEFISIEN ENERGI UNTUK PERAMALAN BEBAN JANGKA PENDEK PADA JARINGAN JAWA MADURA BALI

Sistem Tenaga Listrik. 4 sks

Kajian Potensi Kerugian Akibat Penggunaan BBM pada PLTG dan PLTGU di Sistem Jawa Bali

ANALISA KEANDALAN SISTEM TENAGA LISTRIK JAKARTA DAN BANTEN PERIODE TAHUN

ANALISIS SISTEM PEMBANGKIT LISTRIK DI JAWA TERHADAP PENYEDIAAN BATUBARA YANG TIDAK TERBATAS ( )

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat modern saat ini tidak bisa dilepaskan dari energi listrik.

Bidang Studi Teknik Sistem Tenaga Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN PEMBANGKIT WILAYAH BANGKA BELITUNG DENGAN OPSI NUKLIR

SEMINAR ELEKTRIFIKASI MASA DEPAN DI INDONESIA. Dr. Setiyono Depok, 26 Januari 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Optimasi Operasi Pembangkit Termis Dengan Metode Pemrograman Dinamik di Sub-Regional Bali

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kv, yang membentang sepanjang Pulau Jawa-Bali. Sistem ini merupakan

ANALISIS PENGARUH KONSERVASI LISTRIK DI SEKTOR RUMAH TANGGA TERHADAP TOTAL KEBUTUHAN LISTRIK DI INDONESIA

INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN

LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN

BAB IV STUDI ALIRAN DAYA

ANALISIS PEMBANGUNAN PLTU MADURA KAPASITAS 2 X 200 MW SEBAGAI PROGRAM MW PT. PLN BAGI PEMENUHAN KEBUTUHAN LISTRIK DI PULAU MADURA

BAB IV ANALISIS FUNGSI KARAKTERISTIK KONFIGURASI SISTEM GARVER EKSISTING 5 BUS

Permasalahan. - Kapasitas terpasang 7,10 MW - Daya mampu 4,92 MW - Beban puncak 31,75 MW - Defisit daya listrik 26,83 MW - BPP sebesar Rp. 1.

BAB III SISTEM TENAGA LISTRIK INTERKONEKSI JAWA-BALI

Studi Pembangunan PLTGU Senoro (2 x 120 MW) Dan Pengaruhnya Terhadap Tarif Listrik Regional di Sulawesi Tengah

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Flow Chart Flow chart diagram alir digunakan untuk menggambarkan alur proses atau langkah-langkah secara berurutan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan

STUDI PEMBANGUNAN PLTA KOLAKA 2 X 1000 KW UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN LISTRIK DI KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA

BAB III METODE PENELITIAN

STUDI KEANDALAN KETERSEDIAAN DAYA PERENCANAAN PEMBANGKIT LISTRIK PT PLN SISTEM SULSELBAR TAHUN

BAB II TEORI DASAR 2.1 Keandalan dan Gangguan Sistem Tenaga Listrik

BAB III METODE PENELITIAN

KEBIJAKAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI LISTRIK DI BALI

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI KEANDALAN PLTP YANG MEMASOK SUBSISTEM 150 KV JAWA BARAT PADA TAHUN 2019

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan

Politeknik Negeri Sriwijaya BAB I PENDAHULUAN

Data yang disajikan merupakan gabungan antara data PLN Holding dan Anak Perusahaan,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keadaan Demografis Provinsi DKI Jakarta

MENTERI EMERGI DAN SUMBER DAYA MlNEFaAL REPUBblK INDONESIA

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH

SISTEM KELISTRIKAN LUAR JAMALI TAHUN 2003 S.D. TAHUN 2020

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi standar. Sistem distribusi yang dikelola oleh PT. PLN (Persero)

COURSE CR302 POWER AND STEAM GENERATION. Tangerang, September 2008 DSS HO

BAB 1 PENDAHULUAN. serta dalam pengembangan berbagai sektor ekonomi. Dalam kenyataan ekonomi

Vol.13 No.2. Agustus 2012 Jurnal Momentum ISSN : X

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara

PEMBANGUNAN PLTU SKALA KECIL TERSEBAR 14 MW PROGRAM PT.PLN UNTUK MENGATASI KRISIS

STIKOM SURABAYA BAB II. PROFIL PT PLN (Persero) DISTRIBUSI JAWA TIMUR. 2.1 Sejarah dan perkembangan Sejarah PLN

DUKUNGAN PEMERINTAH TERHADAP PT. PLN (PERSERO)

OPTIMASI ECONOMIC DISPATCH PEMBANGKIT SISTEM 150 KV JAWA TIMUR MENGGUNAKAN METODE MERIT ORDER

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KONDISI KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. tertentu, pada periode tertentu, dan pada tingkat harga tertentu. Demand adalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua, yaitu energi terbarukan (renewable energy) dan energi tidak

BAB III LANDASAN TEORI

PERENCANAAN SISTEM TENAGA LISTRIK. Oleh : Bambang Trisno, MSIE

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

I. PENDAHULUAN. dalam melakukan kehidupan sehari-hari. Besar kecilnya beban serta perubahannya

PENGOPERASIAN OPTIMUM SISTEM TENAGA LISTRIK

KETERSEDIAAN SUMBER DAYA ENERGI UNTUK PENGEMBANGAN KELISTRIKAN DI SUMATERA SELATAN

Evaluasi Operasi Pembangkitan Tenaga Listrik Pada PT. Cikarang Listrindo Menggunakan Metode Lagrange Multipliers

ISSN : NO

ANALISIS SUSUT ENERGI PADA SISTEM KELISTRIKAN BALI SESUAI RENCANA OPERASI SUTET 500 kv

1 BAB I PENDAHULUAN. Selama ini sumber energi utama yang dikonversi menjadi energi listrik

ANALISIS PEMANFAATAN ENERGI PADA PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari pulau

III. METODE PENELITIAN. hardware Prosesor intel dual core 1,5 GHz, Memory Ram 1 GB DDR3, Hard

KONTRIBUSI PLTN DALAM MENGURANGI EMISI GAS CO2 PADA STUDI OPTIMASI PENGEMBANGAN SISTEM PEMBANGKITAN LISTRIK SUMATERA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISA PENAMBAHAN IBT (INTER BUS TRANSFORMER) 500/150 KV GITET UNGARAN TERHADAP KEANDALAN SISTEM TENAGA LISTRIK DI REGION JAWA TENGAH-DIY

MODUL V-C PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS UAP (PLTGU)

Transkripsi:

BAB III METODE STUDI SEKURITI SISTEM KETERSEDIAAN DAYA DKI JAKARTA & TANGERANG 2007-2016 Dari keterangan pada bab sebelumnya, dapat dilihat keterkaitan antara kapasitas terpasang sistem pembangkit dengan beban yang dilayani, sehingga perhitungan keandalan sistem pembangkit dapat dilakukan pada suatu tingkat beban tertentu yang dilayani oleh kapasitas yang ada. LOLP sistem pembangkit akan berubah dengan berubahnya tingkat beban yang dilayani. Beban sebagai parameter yang berkembang memaksa perubahan LOLP sistem pembangkit pada suatu waktu. Jika kapasitas terpasang sistem pembangkit selalu konstan, suatu saat kapasitas tersedia sistem tidak mampu melayani beban. Keadaan ini tidak boleh terjadi, karena menyebabkan kondisi di mana sebagian beban tidak dilayani. Pada perencanaan sistem pembangkit, sebaiknya pertumbuhan beban diperkirakan dengan cermat dan diantisipasi dengan perencanaan penambahan kapasitas terpasang sistem pembangkit. Masalah yang dihadapi adalah perencanaan penambahan kapasitas terpasang sistem pembangkit sehingga mampu melayani pertumbuhan beban dengan mempertahankan LOLP. Dalam penentuan LOLP sistem pembangkit, tidak terlepas dari masalah besarnya kapasitas cadangan yang dibutuhkan untuk menanggulangi kapasitas gangguan sistem pembangkit dan kapasitas pembangkit untuk melayani beban. Untuk menghadapi pertumbuhan beban perlu diperhitungkan besarnya penambahan kapasitas cadangan yang dibutuhkan sistem pembangkit guna mempertahankan LOLP. Sebelumnya perlu diprediksi sejauh mana penambahan kapasitas cadangan mampu membantu melayani pertumbuhan beban. 3.1 Konfigurasi Sistem DKI Jakarta & Tangerang Seperti yang telah dijelaskan pada pendahuluan, usaha untuk meningkatkan jaminan ketersediaan daya pada suatu sistem dapat dilakukan dengan menambah 41

kapasitas suplai ke dalam sistem tersebut, baik dengan menambah pembangkit di internal sistem maupun dengan membangun interkoneksi ke sistem lain. Dalam studi ini, usaha yang dilakukan untuk menjamin ketersediaan daya DKI Jakarta dan Tangerang hanya dibatasi pada penambahan unit pembangkit di internal sistem saja. Perlu atau tidaknya penambahan unit pembangkit di dalam sistem sendiri ditentukan berdasarkan indeks keandalan LOLP, yaitu besarnya kemungkinan kehilangan beban. Nilai LOLP yang digunakan disini adalah 1 hari/tahun sesuai dengan standar yang digunakan PLN. Dalam proses perhitungan LOLP seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, variabel variabel utama yang digunakan dalam perhitungan adalah besar beban, kapasitas pembangkit dan besar FORnya. Terkait dengan kapasitas tersedia di dalam sistem DKI Jakarta dan Tangerang, sistem ketenagalistrikan di PT. PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya & Tangerang sendiri terdiri atas 2 sub sistem interkoneksi yang disebut Island Operation melalui jaringan transmisi 500 dan 150 kv, terdiri dari pulau priok meliputi kota wilayah Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan sebagian Jakarta Timur (Pulau Priok pada kondisi normal terhubung ke sub sistem Bekasi) serta Pulau Muara Karang yang meliputi Tangerang dan Jakarta Selatan yang terhubung ke sub sistem Gandul pada kondisi normal. Selain kedua pulau operasi tersebut, untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik DKI Jaya dan Tangerang, sistem ketenagalistrikan region ini terhubung dengan sub sistem 500 KV Jawa Bali, yaitu melalui GITET Kembangan, Gandul, Cibinong, Cawang, Bekasi dan Depok. Suplai daya dari interkoneksi sistem 500 kv Jawa Bali dalam studi ini dianggap selalu memberikan daya yang konstan tiap waktunya, yaitu sebesar kapasitas trafo terpasang pada GITET (2 x 500 MVA) dengan asumsi memiliki power factor 0.85 dan λ trafo sebesar 0.02. Atas dasar-dasar yang disebutkan di atas maka dalam perhitungan LOLP, GITET- GITET tersebut dapat diasumsikan sebagai pembangkit dengan besar kapasitas masing-masing GITET sebesar 2x500MVAx0.85 dan FOR pembangkit sebesar 0.02. Maka dari itu, konfigurasi sistem ketenagalistrikan DKI Jakarta dan Tangerang dapat dibuat konfigurasi ekivalennya seperti pada gambar 3.1 di bawah ini. 42

Gambar 3.1 Konfigurasi ekivalen sistem tenaga DKI Jakarta & Tangerang Pada perhitungan keadaan eksisting pembangkit, besar capacity factor pembangkit digunakann dalam proses perhitungan LOLP. Capacity factor pembangkit adalah besarnya rasio antara keluaran aktual pembangkit dalam suatu periode waktu dibanding dengan keluaran pembangkit sesuai dengann kapasitas maksimumnya. Ada dua alasan utama mengapa pembangkit memiliki capacity factor lebih rendah dari satu. Alasan pertama adalah kemungkinan pembangkit dalam keadaan out of service padaa suatu waktu akibat kegagalan peralatan atau pemeliharaan rutin, yang akibatnya keluaran aktual akan lebih rendah dibandingkan kemampuan kepasitas maksimum pembangkit tersebut. Alasan kedua mengapa pembangkit memiliki capacity factor lebih rendah dari satu adalah dikarenakan keluaran pembangkit dibatasi/dikurangi karena tidak dibutuhkannya tenaga listrik pada saat itu atau karena harga dari listrik terlalu rendah untuk memproduksi listrik secara ekonomi, seperti contohnya adalah pembangkit pembangkit berbahan bakar minyak yang hanya beroperasi pada beberapa jam saja pada saat beban puncak. Atas dasar pertimbangan adanya jadwal pemeliharaan pembangkit dan juga pembatasan keluaran daya yang memungkinkan terjadinya pengurangan daya

dalam sistem, capacity factor pembangkit termasuk variabel yang diperhitungkan dalam perhitungan kapasitas pembangkit untuk menghitung nilai LOLP. 3.2 Metode Penambahan Kapasitas Pembangkit Sistem DKI Jakarta & Tangerang Setelah mendapatkan nilai LOLP untuk setiap tahunnya, maka dapat diputuskan perlu atau tidaknya dilakukan penambahan pembangkit pada tahun tersebut. Penambahan pembangkit akan dilakukan apabila nilai LOLP melebihi satu hari/tahun. Dalam perencanaaan pembangunan unit pembangkit, untuk mendapatkan kriteria keandalan yang diinginkan maka kita perlu tahu berapa besar kapasitas pembangkit yang perlu dipasang. Metode yang digunakan dalam studi ini dalam menentukan besarnya kapasitas pembangkit yang perlu ditambahkan adalah dengan menyesuaikan kapasitas efektif penambahan unit dengan ramalan beban puncak agar didapatkan kriteria keandalan yang diinginkan. Ada beberapa skenario dalam penggunaan metode penambahan unit pembangkit yang diimplementasikan dalam studi ini, yaitu : a. Menambah satu unit setiap tahun menyesuaikan kapasitas efektif terhadap beban puncak. b. Menambah satu unit setiap dua tahun. c. Menambah tiga unit dengan ukuran yang sama setiap tiga atau empat tahunnya. Dalam menentukan jenis pembangkit ada beberapa faktor yang harus pertimbangan seperti besarnya kebutuhan energi, efisiensi, potensi sumber daya (jenis bahan bakar), lamanya operasi, dampak lingkungan, jenis teknologi yang berpengaruh terhadap harga pembangkit listrik (biaya investasi), biaya operasi dan perawatan, serta biaya pengeluaran bahan bakar yang selanjutnya akan mempengaruhi terhadap besarnya biaya pembangkitan. Dalam studi ini penentuan jenis pembangkit yang direkomendasikan untuk dibangun pada sistem DKI Jakarta dan Tangerang, faktor faktor yang menjadi pertimbangan hanya berdasarkan kebutuhan energi, potensi sumber daya, (jenis bahan bakar) lahan dan dampak lingkungan. Sementara untuk biaya pada studi ini tidak dilakukan 44

studi ekonomi, pendekatan pertimbangan biaya hanya dilakukan berdasarkan perbandingan biaya pembangkitan listrik di Jawa. Prosedur / langkah dalam studi sekuriti sistem ketersediaan daya DKI Jakarta dan Tangerang 2007 2016 digambarkan pada diagram alir di bawah ini. Gambar 3.2 Diagram alir studi sekuriti sistem ketersediaan daya DKI Jakarta & Tangerang 45

3.4 Proses Perhitungan Indeks Keandalan LOLP dan Unserved Energy TK = n Pi i= 1 46

Jumlahsegmen. n Pi i= = 1 PK o E( x ) = f ( x) x 1 E( x ) = x. f ( x) x m = 1i( baru) m0i( lama ) m ( kapasitas. pergeseran ) 0i 47

Jumlahsegmen. n Pi i= = 1 PK o E( x ) = f ( x) x 1 E( x ) = x. f ( x) x m = 1i( baru) m0i( lama ) m ( kapasitas. pergeseran ) 0i 48

Jumlahsegmen. n Pi i= = 1 PK o E( x ) = f ( x) x 1 E( x ) = x. f ( x) x m = 1i( baru) m0i( lama ) m ( kapasitas. pergeseran ) 0i 3.4 Proses Perhitungan Besar Kapasitas Unit Pembangkit Hitung penambahan kapasitas pembangkit apabila nilai LOLP melewati 1 hari/tahun, yaitu : i. Hitung nilai karakteristik m dengan persamaan : 49

ii. Kenaikan dari pertumbuhan beban per n tahun dikonversikan kedalam load carrying capability yang diperlukan, c*/m. Lalu cari nilai rasio c/m dengan pendekatan grafis. iii. Rating kapasitas unit yang perlu dipasang didapatkan dengan mengalikan rasio c/m dengan nilai m. Setiap penambahan kapasitas akan merubah nilai m sistem berikutnya, besarnya perubahan nilai m sebesar perkalian kapasitas baru dengan FORnya. iv. Besarnya FOR pembangkit baru yang ditambahkan ke dalam sistem diperlihatkan pada tabel Tabel 3.1 Unit rating dan FOR Range Unit Rating FOR 0 299 0.02 300 399 0.03 400 499 0.04 500-700 0.05 3.5 Penentuan Jenis Pembangkit [9] Pada umumnya pembangkit listrik berbahan fosil di pulau Jawa seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU-B), PLTU Minyak, PLTU-Gas, Gas Combined Cycle, dan PLTG, memiliki kapasitas besar yaitu antara 50 600 MW, namun ada beberapa pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang berkapasitas lebih rendah dari 50 MW, seperti PLTD dan lain-lain. Sedangkan pembangkit listrik berbahan non fosil, kecuali PLTA dan PLTP, memiliki kapasitas rendah. PLTU-Batubara dan PLTP dioperasikan pada beban dasar, pembebanannya rata sepanjang hari, mempunyai waktu start dan stop yang lama dengan variabel cost yang rendah, sedangkan PLTGU (Combined Cycle) dapat dioperasikan pada beban dasar dan beban menengah, pembebanannya rata sepanjang hari atau sedikit bervariasi mengikuti permintaan, mempunyai waktu start dan stop yang lama dengan variabel cost yang rendah, PLTG dioperasikan pada beberapa jam dalam 50

satu hari, mempunyai waktu start dan stop yang cepat dengan variabel cost tinggi, sedangkan PLTA dioperasikan pada beban dasar, beban menengah, dan beban puncak tergantung storage dan kondisi air, serta mempunyai waktu start dan stop yang cepat dengan variable cost yang sangat rendah. Dalam melaksanakan perencanaan energi, khususnya perencanaan kelistrikan, dipergunakan model Markal (Market Allocation), yaitu suatu model yang mengatur penyediaan energi untuk memenuhi kebutuhan energi. Dalam perencanan energi atau kelistrikan akan diperlukan bermacam-macam data masukan, termasuk kebutuhan energi, potensi sumberdaya energi, ekspor maupun impor energi, teknologi serta parameter-parameter lainnya. Prinsip dasar model adalah membandingkan dan memilih teknologi dan sumber energi yang memenuhi fungsi objektif biaya energi minimum. Untuk menghitung biaya pembangkitan pada model Markal diberikan masukan atau input data berupa potensi sumber energi, biaya investasi, biaya operasi dan perawatan tetap, biaya operasi dan perawatan variabel, biaya bahan bakar, biaya transmisi dan distribusi, faktor kapasitas umur teknis (life time), suku bunga diskonto (discount rate), dan lamanya pembangunan. Lama konstruksi, jadwal pembiayaan dan besar suku bunga selama konstruksi akan memberikan penambahan biaya pada biaya investasi yang disebut bunga selama konstruksi. Besarnya biaya investasi, IDC, biaya tetap operasi dan perawatan, biaya tak tetap operasi dan perawatan, biaya bahan bakar, biaya pengangkutan bahan bakar dan umur teknis (life time) untuk berbagai jenis pembangkit listrik yang ada di Jawa ditunjukkan pada Tabel 3.7. Tabel 3.2 Biaya investasi, biaya tetap dan tak tetap operasi dan perawatan (tahun 2000) 51

Pada umumnya biaya pembangkitan listrik pada suatu pembangkit berbanding terbalik terhadap faktor kapasitas. Faktor kapasitas yang tinggi akan menyebabkan biaya pembangkitan yang rendah, demikian juga sebaliknya. Karena faktor kapasitas menggambarkan tingkat produksi listrik, meningkatnya produksi listrik akan mengurangi biaya pembangkitan listrik per satuan energi, semakin tinggi faktor kapasitas menyebabkan biaya pembangkitan akan rendah. Faktor kapasitas mendekati satu menunjukkan bahwa pembangkit listrik memproduksi listrik secara maksimal pada seluruh waktu produksi (8760 jam/tahun). Gambar 3.9 Perbandingan besarnya biaya pembangkitan listrik di Jawa Oleh karena itu pembangkit yang beroperasi pada beban puncak dan mempunyai faktor beban rendah akan memproduksi listrik dengan biaya tinggi. Dari Gambar 3.9 dapat diketahui bahwa pada faktor beban yang diatas 0.4, maka biaya pembangkitan PLTU lebih murah daripada PLTGU (Combined Cycle), PLTG dan PLTP. Biaya pembangkitan PLTG akan lebih rendah dari PLTGU pada faktor beban lebih kecil daripada 0.4, sedangkan pada faktor beban lebih dari 0.4 biaya pembangkitan PLTGU akan lebih rendah. Kondisi diatas menunjukkan bahwa PLTG dan PLTA akan lebih ekonomis apabila dioperasikan pada beban puncak saja, padahal saat ini sebagian besar PLTA dioperasikan sebagai pembangkit beban dasar. Sedangkan PLTU Batubara 52

karena kurang flexible dalam pengaturan daya akan lebih menguntungkan apabila dioperasikan sebagai pembangkit beban dasar. Pada faktor beban yang rendah biaya pembangkitan PLTU akan sangat tinggi, tetapi faktor pembebanan diatas 0.7 biaya pembangkitannya akan lebih rendah dibandingkan PLTGU. PLTD dianggap tepat untuk dioperasikan sebagai pembangkit listrik beban puncak, walaupun biaya pembangkitan diesel dengan kapasitas beban rendah lebih mahal dibandingkan PLTG maupun PLTGU, tetapi PLTD lebih fleksibel didalam pembebanan, mudah didalam perawatan dan mempunyai kapasitas dari kecil hingga kapasitas besar. Fleksibelitas pada pembebanan ini disebabkan pada diesel ada dua hal yang dapat dilaksanakan yaitu memasang beberapa diesel pada suatu daerah, dan mesin diesel mudah diatur pembebanannya. Sebagai contoh pada wilayah yang mempunyai beban dasar 250 KW dan beban puncak 1 MW, maka akan dapat memasang 5 unit PLTD dengan kapasitas masing-masing 250 KW. Dimana pada beban dasar dioperasikan 1 unit dan pada beban puncak 4 unit sedangkan 1 unit disiapkan dalam cadangan. Sementara itu baik pada faktor beban rendah maupun tinggi PLTN masih belum dapat bersaing dengan pembangkit lain. Hal ini terutama disebabkan biaya investasi PLTN adalah sangat besar, sedangkan biaya bahan bakarnya rendah, tetapi karena biaya bahan bakar pembamgkit lain, seperti PLTG,PTLGU, PLTU batubara di Indonesia masih rendah, padahal biaya investasi pembangkit tersebut jauh lebih rendah dari PLTN. 53