BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi pribadi 2011)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

: biomassa, jumlah berat individu-individu dalam suatu stok ikan : biomassa pada periode t

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERLUNYA STATISTIK/MATEMATIKA, PADA DINAPOPKAN

Pendugaan Stok Ikan dengan Metode Surplus Production

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

3. METODE PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

3. METODE PENELITIAN

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

3. METODE PENELITIAN

DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikanan menjadi sektor penting yang berkontribusi dalam pertumbuhan

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

C E =... 8 FPI =... 9 P

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2)

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

3 METODOLOGI PENELITIAN

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. adalah sekitar 220 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah selatan yang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology

ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573

BAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

FAKTOR-FAKTOR INPUT BAGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis, Cantor 1849) DI TELUK PALABUHANRATU, SUKABUMI RIZKA SARI

PENDUGAAN BEBERAPA PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN LAYANG (Decapterus macrosoma, BLEEKER 1841) DI PERAIRAN TELUK BONE, SULAWESI SELATAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAA 2.1 Ikan Peperek 2.1.1 lasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: Filum : Chordata elas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Subordo : Percoidea Divisi : Perciformes Famili : Leiognathidae Nama Indonesia : Peperek, pepetek, atau petek Menurut Peristiwady (2006) ikan dari famili Leiognathidae memiliki ciriciri badan agak pipih sampai sangat pipih, pada kepala bagian atas tengkuk kepala berduri. Ikan ini memiliki sirip punggung dengan 8 jari-jari keras (jarang 7 atau 9) dan 16-17 jari-jari lemah, sirip dubur dengan 3 jari-jari keras dan 14 jari-jari lemah. Jari-jari keras ke-2 selalu paling panjang. Badan tertutup sisik dan lingkaran kecil yang halus. Ikan peperek umumnya digolongkan ke dalam tiga genus, yakni Gazza, Leiognathus, dan Secutor. Genus Gazza memiliki ciri-ciri mulut yang dapat disembulkan ke arah depan dan memiliki gigi-gigi seperti taring. Genus Leiognathus memiliki mulut datar dan dapat disembulkan ke arah depan atau ke bawah. Pada mulut tidak terdapat gigi seperti taring. Sementara pada genus Secutor mulut miring, mulut dapat disembulkan ke arah atas. Pada mulut tidak terdapat gigi seperti taring (Peristiwady 2006). Lamatta (2012) menyatakan bahwa ada dua jenis ikan petek yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yakni petek 6

7 regang atau torongtong (Eubleekeria rapsoni) (Gambar 1) dan petek calingcing (Leiognathus leuciscus) (Gambar 2). Menurut www.marinespecies.org spesies Eubleekeria rapsoni memiliki nama lain Leiognathus rapsoni dan spesies Leiognathus leuciscus memiliki nama lain Equulites leuciscus, sehingga keduaduanya bisa dianggap dari genus Leiognathus. Adapun nama resmi yang diterima untuk kedua spesies tersebut berturut-turut adalah Eubleekeria rapsoni dan Equulites leuciscus. Gambar 1. Bentuk morfologi petek regang (Eubleekeria rapsoni) Gambar 2. Bentuk morfologi petek calingcing (Equulites leuciscus) 2.1.2 Habitat dan Penyebaran Ikan dari famili Leiognathidae terutama hidup di laut tetapi beberapa spesies hidup di air tawar. Ikan ini biasa hidup di perairan pesisir dangkal dan teluk pasang surut. Ikan ini memakan invertebrata bentik (www.fishbase.org). Menurut Lamatta (2012) habitat petek regang adalah pada perairan pantai dengan kedalaman berkisar 3-10 meter dengan bergerombol membentuk kawanan. Sementara itu, petek calingcing mendiami perairan dangkal sampai kedalaman sekitar 40 meter terutama di bagian dasar.

8 Menurut Pauly (1977) spesies dari famili Leiognathidae tersebar di wilayah Indo-Pasifik, mulai dari Afrika di sebelah barat hingga Tahiti di sebelah timur, dan Australia di sebelah selatan hingga Jepang dan Laut Merah di sebelah utara. Di Indonesia ikan petek tersebar hampir di semua wilayah perairan Indonesia meliputi Nias, Sumatera, Jawa, Bali, Flores, alimantan, Sulawesi, Buton, Ambon, Ternate, Halmahera, selat Tiworo dan Arafuru. Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi ikan peperek di Indonesia tersebar di pesisir Barat Daya Sumatera sampai ke Laut Timor, serta perairan India berada pada kedalaman kurang lebih antara 20-40 m dan hidup berkelompok pada kedalaman 40-60 m (Pauly 1977). Peta sebaran ikan peperek dapat dilihat pada Gambar 2 (yang diberi warna merah menunjukkan daerah penyebaran ikan peperek). Gambar 3. Daerah penyebaran ikan peperek (Sumber: www.fishbase.org) 2.2 Alat Tangkap Berdasarkan laporan tahunan statistik perikanan tangkap PPN Palabuhanratu tahun 2002-2012 dan DP abupaten Sukabumi 2013, ikan peperek di perairan Teluk Palabuhanratu ditangkap menggunakan payang dan bagan apung (Gambar 4 dan Gambar 5). Namun kadang-kadang ikan ini juga ditangkap dengan purse seine.

9 Gambar 4. Alat tangkap payang (Sumber: auxis.tripod.com) Gambar 5. Alat tangkap bagan apung 2.3 Pengkajian Stok Maksud dari pengkajian stok ikan adalah memberikan saran tentang pemanfaatan yang optimum sumber daya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumber daya hayati bersifat terbatas tapi dapat memperbaharui dirinya, dan pengkajian stok ikan dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tangkapan maksimum perikanan dalam bentuk bobot (Sparre & Venema 1999). Widodo et al. (1998) dalam Sulistiyawati (2011) menyatakan baik jumlah maupun berat (biomassa) suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu, dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance). Densitas atau kelimpahan, umumnya diartikan sebagai jumlah atau berat individu

10 per satuan area atau per satuan upaya penangkapan. Satuan yang sering digunakan ialah hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit of effort/cpue) dari suatu alat tangkap atau alat sampling tertentu. Pengkajian stok perikanan dapat dilakukan dengan beberapa metode (Widodo 2002): 1. Metode langsung a. Model dinamika biomassa (Model Schaefer dan berbagai derivatnya) atau disebut juga model surplus produksi b. Model dinamika kolam (dynamic pool model), atau disebut juga model analitik atau model yield-per-recruit atau Model Beverton dan Holt c. VPA (Virtual Population Analysis), yang didasarkan pada struktur panjang (yang diperoleh dari sampling) dan dikombinasikan dengan hasil tangkapan total sehingga dapat diketahui total yield dan biomassa d. Model Thomson & Bell (termasuk analisis ekonomi), yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai biomassa, nilai yield, dan nilai ekonomi total termasuk nilai MEY pada kisaran tingkat eksploitasi tertentu dari berbagai jenis alat tangkap e. Swept area method, untuk menduga kepadatan stok ikan-ikan demersal yang selanjutnya dapat digunakan untuk menduga biomassa total f. Survei hidroakustik perikanan yang disertai percobaan penangkapan, yang dapat digunakan untuk menduga biomassa total g. Survei telur dan larva (survei ikhtioplankton), untuk menduga kelimpahan telur dan larva pada daerah dan waktu tertentu yang dapat digunakan untuk menduga biomassa total h. Transek visual, untuk mengestimasi densitas jenis ikan yang relatif kecil pergerakannya dan tergantung pada habitat tertentu sehingga dapat digunakan untuk menduga biomassa total

11 2. Metode tidak langsung a. Pendekatan ekologi, yakni pengkajian sumberdaya yang secara eksplisit memperhitungkan interaksi ekologi, terutama antar tingkatan trofik (trophic level) yang biasanya tidak tergambarkan pada pendekatan model spesies tunggal (single species) b. omparasi data dan informasi perikanan dengan daerah lain yang telah diketahui Pengkajian stok ikan memiliki peranan sebagai fine tunning sistem penangkapan guna hasil tangkapan yang lebih besar. Selanjutnya dapat berperan untuk menyusun perencanaan guna rehabilitasi ketika terjadi laju tangkap lebih dan mengembangkan strategi pengelolaan selama berlangsung transisi teknologi ke arah penggunaan berbagai metode penangkapan yang lebih efisien (Widodo 2002). 2.4 Model Produksi Surplus Surplus Production Model (dalam Bahasa Indonesia disebut Model Produksi Surplus) adalah model paling sederhana dalam dinamika populasi ikan yang memperlakukan populasi ikan sebagai sebuah biomassa tunggal tak terbagi yang mengikuti aturan-aturan peningkatan dan penurunan (Widodo 1986a). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa laju pertumbuhan suatu stok terkait dengan biomassa. Pertumbuhan biomassa adalah nol ketika biomassa mencapai carrying capacity lingkungan dan produksi surplus maksimum pada nilai biomassa yang lebih rendah. Jika penangkapan dari stok kurang dari produksi surplus, biomassa stok akan meningkat, tapi jika penangkapan lebih besar daripada produksi surplus, biomassa akan menurun (ing 1997). Model Produksi Surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang bisa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari. Model Produksi Surplus bisa diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik

12 tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies), hasil tangkapan per unit upaya per spesies atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999). Model Produksi Surplus relatif sederhana dan hanya membutuhkan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan time series yang relatif lebih mungkin tersedia di kebanyakan pusat penangkapan ikan (Tinungki et al. 2004). Model Produksi Surplus tidak memperhitungkan kelas umur. Dalam beberapa literatur model ini disebut juga Model Produksi, Model Produksi Stok, Model Yield Surplus, atau Model Dinamika Biomassa (Jennings 2005). Menurut Sparre & Venema (1999), persyaratan untuk analisis Model Produksi Surplus adalah sebagai berikut: 1) etersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif; 2) Distribusi ikan menyebar merata; 3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam. Asumsi yang digunakan dalam Model Produksi Surplus adalah sebagai berikut (Sriati 2012): Hasil tangkap per unit upaya (CPUE) menurun dengan meningkatnya upaya penangkapan; Penangkapan dilakukan secara rasional (yang ditangkap adalah kelebihannya saja), karenanya disebut Model Produksi Surplus. Pada awalnya istilah Model Produksi Surplus merujuk hanya pada Model Schaefer karena Model Schaefer adalah Model Produksi Surplus paling awal. Model Produksi Surplus ini didasarkan pada pertumbuhan biomassa ikan yang bersifat logistik yakni: dan pada konsep bahwa laju penangkapan bergantung pada koefisien ketertangkapan alat (q), upaya penangkapan (f), dan besarnya biomassa (B). (1)

13 Y t = q B t Dalam stok yang dieksploitasi pertumbuhan biomassa ikan menjadi: (2) Y t Dalam perkembangan selanjutnya muncul Model Produksi Surplus lain dimana sebagian tidak didasarkan pada asumsi pertumbuhan biomassa logistik. Model Fox menggunakan asumsi pertumbuhan Model Gompertz dan Model Pella dan Tomlinson menggunakan asumsi pertumbuhan bentuk umum. (3) 2.4.1 Model Schaefer Model paling sederhana dalam populasi perikanan adalah Model Produksi Surplus, Model Schaefer, atau Model Produksi Logistik. Sebenarnya Model Schaefer diawali dari pekerjaan Graham (1935), sehingga beberapa pengarang menamai model ini Model Graham-Schaefer (Widodo 1986b). Menurut Tinungki (2005) Model Schaefer dapat dirumuskan sebagai berkut: Dimisalkan B t menyatakan biomassa dari stok (ukuran berat dari populasi ikan dalam ton), r menyatakan laju pertumbuhan intrinsik dari populasi, dan adalah daya dukung lingkungan atau keseimbangan (equilibrium) alamiah dari ukuran stok atau populasi. Ini didefinisikan sebagai tingkat stok maksimum dari perairan dan lingkungan yang dapat didukung. Asumsi-asumsi yang digunakan pada Model Schaefer adalah sebagai berikut (Tinungki 2005): 1. Terdapat batas tertinggi dari biomassa, 2. Laju petumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linier dari biomassa 3. Stok dalam keadaan seimbang (equilibrium condition) 4. ematian akibat penangkapan sebanding dengan upaya ( ) dan koefisien penangkapan (q) 5. Meramalkan MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum

14 Menurut Boer dan Aziz (1995) dalam Sulistiyawati (2011) Model Schaefer memiliki bentuk awal yang sama dengan model pertumbuhan logistik, dimana setelah memperhitungkan penangkapan menjadi seperti Persamaan (3): Dalam kesetimbangan dbt dt Y t qb t = 0 sehingga: (4) Y t = rb t 1 B t = qb t Menurut Tinungki (2005) masalah yng dihadapi oleh pengelola perikanan adalah adanya variabel biomassa (B t ) yang tidak teramati, dimana hanya ada produksi (Y t ) dan jumlah input ( ) yang digunakan seperti jumlah kapal, jumlah trip atau hari melaut, dll. Sehingga persamaan (5) dapat dipecahkan menjadi: (5) B t = 1 q r (6) Dengan mensubstitusi persamaan (6) ke dalam persamaan (2) diperoleh: Y t = q 1 q r (7) Persamaan (7) berbentuk kuadratik yang disebut sebagai Yield Effort Curve. Menurut Pasisingi (2011) persamaan (7) dapat diturunkan untuk menyatakan hubungan antara tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan upaya penangkapan (f). Y t = q 1 q r Y t = q q2 r (8) (9) Persamaan (9) dapat disederhanakan kembali menjadi: Y t = a b (10) yang berbentuk linier dengan a = q dan b = q2 r. Hubungan antara upaya penangkapan ( ) dan hasil tangkapan (Y t ) menjadi: Y t = a b 2 (11)

15 Hasil tangkapan (Y) akan maksimum apabila dy t d = 0 sehingga diperoleh dugaan upaya penangkapan optimum (f opt ) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) masing-masing (Pasisingi 2011): f opt = a 2b (12) MSY = a2 4b Nilai a dan b dapat diperoleh dengan menggunakan regresi metode kuadrat terkecil pada data runtun waktu (time series) CPUE (Y/f) dan upaya penangkapan (f) (Tinungki 2005). Menurut Tinungki (2005) kelemahan dari Model Schaefer adalah mengandung dua parameter sehingga tidak dapat menduga tiga parameter biologi lain yang menyebabkan munculnya beberapa model-model produksi surplus lain yang dapat menduga ketiga parameter tersebut. (13) 2.4.2 Model Gulland Gulland (1961) memberikan suatu metode untuk meneliti hubungan antara kondisi-kondisi stok pada saat ini dan peristiwa-peristiwa masa lalu (Tinungki 2005 dan Sulistiyawati 2011). Menurut Widodo (1987) metode Gulland mengasumsikan bahwa ada hubungan antara kelimpahan dan upaya penangkapan masa lalu, jika rekruitmen dan mortalitas alami tetap. Dalam rekruitmen yang steady state penangkapan pada satu tahun bisa mempengaruhi stok hanya sepanjang ikan-ikan yang terekspos pada penangkapan pada tahun tersebut tersisa dalam populasi yang dieksploitasi. Periode ini yakni rentang hidup potensial dalam perikanan memberikan batas atas yang perlu dipertimbangkan. Umumnya, ikan dalam populasi yang dieksploitasi akan hidup dalam periode yang jauh lebih pendek daripada rentang hidup potensialnya. Gulland (1983) menyarankan bahwa rentang hidup rata-rata setengah hingga sepertiga dari rentang hidup potensialnya adalah perkiraan yang masuk akal dan rata-rata upaya penangkapan masa lalu menentukan selama periode tersebut. Hubungan yang diturunkan di antara CPUE dan rata-rata bergerak upaya penangkapan ( ) kadang-kadang lurus, kadang-

16 kadang melengkung. Apapun hubungannya, dalam perikanan yang steady state, garisnya akan sangat dekat pada hubungan antara CPUE sebagai indeks kelimpahan relatif dan upaya penangkapan. Model Gulland dikembangkan berdasarkan asumsi yang sama dengan Model Schaefer. Model Gulland memiliki bentuk awal model pertumbuhan logistik seperti halnya Model Schaefer, sebagaimana Persamaan (1) dan (3) (Sulistiyawati 2011): Y t Namun pada model ini terdapat tambahan asumsi bahwa upaya penangkapan masa lalu mempengaruhi kelimpahan stok saat ini sehingga dalam regresinya upaya penangkapan diganti dengan rata-rata upaya penangkapan saat ini dan tahun-tahun sebelumnya. Hubungan linear metode Gulland dapat dinyatakan sebagai berikut (Widodo 1987): U t = a b (14) Dimana adalah upaya penangkapan rata-rata selama i tahun sebelum dan meliputi tahun t; i adalah rentang hidup rata-rata individu ikan dalam stok yang dieksploitasi; a adalah estimasi q; dan b adalah estimasi q2 r. Upaya penangkapan optimum (f opt ) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diestimasi dengan persamaan sebagai berikut (Widodo 1987): f opt = a 2b MSY = a2 4b (15) (16) 2.4.3 Model Pella dan Tomlimson Model Pella dan Tomlimson (1969) dapat digunakan secara luas dan praktis dan dapat saja ditambahkan program-program komputer dalam menduga

17 parameter-parameternya, karena terdapat empat parameter yang harus diduga (r,, q, dan m) dan berbagai pengulangan pun diperlukan (Tinungki 2005). 2005): Model Pella dan Tomlimson dapat dituliskan sebagai berikut (Tinungki db dt = rb t r m 1 B t m Y t dimana m>1 adalah ukuran parameter tambahan. Jika m = 2 maka model ini sama dengan Model Schaefer. Introduksi parameter m tidak hanya mengubah kecekungan dari fungsi produksi tetapi juga hubungan produksi tiap kemiringan sebelah kanan (bila m>2) atau kiri (bila m<2). Hal inilah yang membedakan dengan Model Schaefer dimana kurva produksi surplusnya simetris sempurna dalam hubungannya dengan ukuran stok, dari 0 sampai. Bentuk asli Model Pella dan Tomlimson (1969) dinyatakan sebagai berikut (Widodo 1986c): (17) C = P H Pm (18) dimana C = Y t, P = B t, H = m-1, = -r Pada kondisi equilibrium persamaan Pella dan Tomlimson dapat ditulis sebagai berikut (Tinungki 2005): Y t = q qm r m 1 m 1 Untuk m = 2 merupakan Model Schaefer (Persamaan (9)) Untuk m = 3 Untuk m = 4 Y t = q q3 r 2 2 Y t = q q4 r 3 3 dan seterusnya untuk berbagai nilai m. (19) (20) (21)

18 2.4.4 Model Fox Menurut Widodo (1986c) Model Fox (1970) menggunakan fungsi pertumbuhan Gompertz untuk menganalisis Model Produksi Surplus, yang berakibat hubungan eksponensial antara upaya penangkapan dan ukuran populasi, dan kurva produksi yang asimetris. Penurunan CPUE terhadap upaya penangkapan yang mengikuti pola eksponensial negatif lebih masuk akal dibandingkan dengan pola regresi linier (Widodo 1986c dan Tinungki 2005). Menurut Tinungki (2005) fungsi pertumbuhan Gompertz adalah: dt = rb tln B t dan setelah memperhitungkan penangkapan maka menjadi: (22) dt = rb tln B t Y t Model Fox dalam bentuk hubungan antara hasil tangkapan dan upaya penangkapan diperoleh dengan mengubah Persamaan (23) dengan asumsi db dt = 0 sehingga menjadi: Y t = e ln (q ) q r atau secara sederhana ditulis: Y t = e a b (23) (24) (25) Model eksponensial Fox berasumsi bahwa populasi tidak akan punah dan populasi sebagai jumlah dari individu ikan (FAO 1984 dalam Tinungki 2005). Menurut Tinungki (2005) model ini menghasilkan garis lengkung bila Y t secara langsung diplotkan terhadap upaya ( ), akan tetapi bila Y t logaritma terhadap upaya maka akan menghasilkan garis lurus. diplotkan dalam bentuk ln Y t = a b (26) Model Schaefer dan Model Fox mengikuti asumsi bahwa Y t menurun dengan meningkatnya upaya, namun perbedaannya model Schaefer menyatakan satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai Y t sama dengan nol, yaitu bila = a b,

19 sedangkan pada model Fox, Y t. selalu lebih besar daripada nol untuk seluruh nilai Menurut Fox (1970) dalam FAO (1984) dalam Tinungki (2005) hubungan antara hasil tangkapan (Y t ) dan upaya penangkapan ( ) adalah berbentuk eksponensial dengan kurva hasil yang tidak simetris (Persamaan (25)). Hasil tangkapan (Y t ) akan mencapai maksimum apabila dy t d diperoleh dugaan f opt dan MSY masing-masing: = 0 sehingga f opt = 1 b MSY = 1 b ea 1 (27) (28) Besarnya parameter a dan b secara matematis dapat dicari dengan mempergunakan persamaan regresi. Rumus-rumus untuk Model Produksi Surplus ini hanya berlaku bila parameter slope bertanda negatif, artinya penambahan jumlah upaya akan menyebabkan penurunan CPUE. Bila dalam perhitungan diperoleh nilai b positif maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maksimum maupun besarnya upaya optimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah upaya penangkapan masih menambah hasil tangkapan (Tinungki 2005). 2.4.5 Model Walters dan Hilborn Model Walters dan Hilborn (1976) dikembangkan berdasarkan asumsi pertumbuhan logistik yang sama dengan Model Schaefer (Persamaan (1) dan (3)): Y t Namun ada perbedaan antara Model Walters dan Hilborn dengan Model Schaefer. Perbedaannya adalah bahwa Model Walters dan Hilborn dapat memberikan dugaan masing-masing untuk parameter fungsi produksi surplus r, q,

20 dan dari tiga koefisien regresi (Walters dan Hilborn 1992 dalam Tinungki 2005). Berikut adalah persamaan Walters dan Hilborn (Tinungki 2005): dimana: B t+1 = B t + rb t 1 B t Y t = q B t, dan jika B t = U t q maka: Y t (29) U t = Y t 2005): yang menyatakan CPUE. Persamaan (29) dapat diformulasikan kembali sebagai berikut (Tinungki U t+1 q = U t q + ru t q 1 U t q yang disederhanakan menjadi: U t+1 U t 1 = r r q U t q U t Persamaan diatas adalah suatu regresi linier dalam variabel dependen yang merupakan laju perubahan biomassa dan variabel independen merupakan U t dan upaya penangkapan (Hilborn dan Walters 1992 dalam Tinungki 2005). Secara umum persamaan regresi di atas dapat dituliskan sebagai berikut (Tinungki 2005): Y t = α + β 1 X 1t + β 2 X 2t + t dimana Y t = U t+1 U t adalah error dari persamaan regresi. 1, X 1t = U t, X 2t =, α = r, β 1 = r (30) (31) (32) q, β 2 = q, dan t 2.4.6 Model Schnute Menurut Widodo (1987) pandangan paling sederhana dari Model Produksi Surplus adalah bahwa hasil tangkapan merupakan fungsi upaya penangkapan dari tahun yang sama tanpa memiliki hubungan dengan upaya penangkapan masa lalu.

21 Namun, kenyataannya bisa saja penangkapan besar-besaran tahun sebelumnya memiliki dampak pada hasil tangkapan pada tahun ini. emungkinan inilah yang menjadi dasar bagi Model Schnute. Menurut Roff (1983) dalam Tinungki (2005) metode Schnute adalah modifikasi Model Schaefer dalam bentuk diskrit. Dasar dari Model Schnute adalah transformasi Persamaan (3): db db sehingga diperoleh: Y t qb t db B = r rb t q dt Jika persamaan (33) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh: (33) ln(b t+1 ) ln B t = r r B t qf (34) dimana: B t = t+1 B t t dt dan f = t+1 f dt t Persamaan (34) selanjutnya disederhanakan, dimana U t dan ft adalah rata-rata CPUE dan rata-rata upaya penangkapan pertahun. Ini memberikan persamaan: ln U t+1 U t = r r q U qf (35) Jika rata-rata CPUE t tiap tahun mendekati rata-rata geometrik dari nilai yang dimulai dan akhir tahun yaitu U t = U t U t+1, maka penjumlahan pada persamaan (35) untuk tahun ke-t+1 dibagi 2, sehingga persamaan (35) dimodifikasi menjadi: ln U t+1 U t = r r q U t + U t+1 2 q + +1 2 (36) Persamaan ini disederhanakan menjadi bentuk linier berganda sebagai berikut (Schnute 1977 dalam Masters 2007 dalam Pasisingi 2011): Y t = α + β 1 X 1t + β 2 X 2t + (37)

22 dimana Y t = ln U t+1, X U 1t = U t +U t+1, X t 2 2t = ++1 2 β 2 = q. dan α = r, β 1 = r q, dan Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter biologi dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Tinungki 2005). euntungan dari Model Schnute, disamping secara teori lebih masuk akal, model ini juga mempunyai beberapa keuntungan praktis. Salah satu keuntungan adalah bahwa untuk data hasil tangkapan dan upaya yang nilainya dimulai dari suatu periode (tahun) dapat digunakan untuk memprediksi hasil tangkapan dan upaya tahun yang akan datang dari data yang lalu (Tinungki 2005). 2.4.7 Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) Dalam mengestimasi parameter biologi dari Model Produksi Surplus bisa melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto, dan Pooley (1992) atau lebih dikenal dengan Model CYP. Parameter-parameter yang diestimasi meliputi r (laju pertumbuhan alami/intrinsik), q (koefisien kemampuan penangkapan) dan (daya dukung lingkungan) (Tinungki 2005). Menurut Breen dan Stocker (1993) Model CYP merupakan Model Fox dinamis yang didasarkan pada pertumbuhan Gompertz (Persamaan 22). dt = rb tln B t Persamaan Model CYP adalah sebagai berikut (Breen dan Stocker 1993): ln U t+1 = 2r 2 + r Persamaan ini biasa disederhanakan menjadi: dimana: Y = α + β 1 X 1t β 2 X 2t ln q + 2 r 2 + r ln U t q 2 + r ( + +1 ) α = α ln q, α = 2r 2+r, β 1 = 2 r 2+r, β 2 = q 2+r, Y = ln U t+1, X 1t = ln U t, dan X 2t = ( + +1 ). Dengan regresi linear berganda diperoleh nilai r, q, dan. Untuk keperluan ini digunakan algoritma (Fauzi 2002 dalam Tinungki et al. 2004). (38) (39)