BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah proses komunikasi interprofesional dan pembuatan keputusan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah nyata terjadi maupun berpotensi untuk terjadi yang mengancam

BAB 1 PENDAHULUAN. Kolaborasi perawat-dokter adalah ide yang berulang kali dibahas

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling

Komunikasi dengan tenaga kesehatan lain. Lilik s

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pelayanan kesehatan dihadapkan pada paradigma baru dalam

STANDAR PRAKTIK KEPERAWATAN INDONESIA. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan tugas memberi asuhan keperawatan (Arwani, 2006). perawat merasa puas dalam bekerja (Aditama,2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. informasi baik verbal atau non verbal (Chitty, 2001, dalam Marquis,

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. cepat, sehingga masyarakat dengan mudah memperoleh informasi yang diinginkan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Pendekatan Interprofessional Collaborative Practice dalam Perawatan Pasien Katastropik

BAB I. padat pakar dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan di. Rumah sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pengelola, pendidik, dan peneliti (Asmadi, 2008). Perawat sebagai pelaksana layanan keperawatan (care provider) harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Kesiapan (readiness) terhadapinteprofesional Education (IPE)

BAB I PENDAHULUAN. diberikan kepada klien oleh suatu tim multi disiplin. Tim pelayanan kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan, dari, dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi

BAB 1 PENDAHULUAN. karakteristik tersendiri dan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan di

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan tatanan pemberi jasa layanan kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN Gambaran Model Konseptual Keperawatan Menurut Imogene M. King

Manajemen Asuhan Keperawatan. RAHMAD GURUSINGA, Ns., M.Kep.-

MANAJEMEN KONFLIK ENI WIDIASTUTI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan menurut Kamus Bahasa Indonesia (2005) adalah puas ; merasa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI INTRINSIK DENGAN KINERJA PERAWAT PELAKSANA DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu.

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari sejarah kehidupan bangsa. Setelah Indonesia merdeka pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan administrasi. Rumah sakit dengan peralatan yang canggih dan

STRATEGI COPING PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ( Fenomena pada Perawat di RSJD Surakarta )

Standar Audit SA 300. Perencanaan Suatu Audit atas Laporan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KOMUNIKASI MANAJEMEN. Oleh : Elisabeth Herwanti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan melibatkan sekelompok mahasiswa atau profesi kesehatan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia (Sumijatun, 2009).Tantangan ini memaksa rumah sakit untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN TEORITIS. peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat

PEDOMAN PELAKSANAAN MENAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN METODE TIM

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Rumah sakit sebagai institusi penyedia jasa pelayanan kesehatan

PEDOMAN MANAJER PELAYANAN PASIEN RUMAH SAKIT (CASE MANAGER)

Disampaikan Oleh: R. Siti Maryam, MKep, Ns.Sp.Kep.Kom 17 Feb 2014

HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI DENGAN KINERJA PERAWAT MENURUT PERSEPSI KEPALA RUANG DI RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. lainnya baik pemerintah maupun swasta. Puskesmas merupakan upaya pelayanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi perusahaan dituntut untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelayanan keperawatan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 1 PENDAHULUAN. Mathis (2001) faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu: kemampuan, motivasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan yang menuntut peran perawat yang lebih sejajar untuk

UA P E P MB M E B LA L J A A J R A A R N A KH K USUS

BAB 1 PENDAHULUAN. dimana salah satu upaya yang dilakukan oleh rumah sakit adalah mendukung rujukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diharapkan) dengan rentang 3,2 16,6 %. Negara Indonesia data tentang KTD

BAB I PENDAHULUAN. segala sesuatu yang terjadi di rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam pasal. 46 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

BAB I PENDAHULUAN. kemantapan, kemapanan, kesejahteraan, dan kepuasan. Bekerja bukan hanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Saat ini dunia keperawatan semakin berkembang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaian

BAB 1 PENDAHULUAN. (Permenkes RI, 2011). Institusi yang kompleks memiliki arti bahwa rumah sakit

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kualitas, dengan memperbaiki sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat melakukan hal tersebut banyak hal yang perlu dilakukan, salah satu diantaranya

SEJ S A EJ R A AH A PROS PR E OS S E KEPER

BAB I PENDAHULUAN. akan selalu membutuhkan komunikasi. Pace & Faules dalam bukunya

BAB I DEFINISI BAB II A. DEFINISI

BAB I PENDAHULUAN. Perawat sebagai profesi dalam bidang kesehatan dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dokumentasi Keperawatan merupakan bagian dari pelaksanaan Asuhan Keperawatan

BAB I PENDAHULUAN. terus menerus selama 24 jam kepada pasien (Simamora, 2013). Pelayanan

1. Membangun kemitraan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. dalam memberikan asuhan keperawatan antara lain mengkaji kebutuhan

BAB V KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN DAN KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini telah menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat (Permenkes No. 147 tahun 2010).

II. KAJIAN PUSTAKA. Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak

BAB I PENDAHULUAN. seseorang menyampaikan dan mendapatkan respon. Terdapat lima kompenen

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peranan komunikasi menjadi lebih penting dalam pemberian asuhan

BAB II TINJAUAN TEORETIS

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. setiap kecamatan, adanya balai-balai pengobatan dan kegiatan-kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. adalah profesi kesehatan yang berfokus pada individu,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia kesehatan semakin meningkat tajam, seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan sasaran penting dalam. yang memiliki lebih sedikit jumlah pegawai yang puas.

HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI RUANGAN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2016

Kerangka Kompetensi Kepemimpinan Klinik

TELAAH KOMPETENSI DIII KEPERAWATAN

BAB II. Tinjauan Teori

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dunia (Potter & Perry, 2009). American Nurses Association

SUPERVISORY DEVELOPMENT PROGRAM EFFECTIVE TEAM LEADERSHIP PPM MANAJEMEN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI 12/22/2016 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman masa lalu, pendidikan, situasi psikis waktu itu, pengaruh

KUISIONER SELF-EFFICACY

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kolaborasi 2.1.1 Defenisi Kolaborasi Kolaborasi adalah hubungan timbal balik dimana pemberi pelayanan memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka kerja bidang respektif mereka. Praktik keperawatan kolaboratif menekankan tanggung jawab bersama dalam manajemen perawatan pasien, dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi (Siegler & Whitney, 2000). Baily & Synder, (1995) menyatakan kolaborasi sebagai hubungan kemitraan yang bergantung satu sama lain dan memerlukan perawat, dokter dengan profesi lain untuk melengkapi satu sama lain ahli-ahli berperan secara hirarki (Kemenkes RI, 2012). Kolaborasi adalah suatu hubungan yang kolegial dengan pemberi perawatan kesehatan lain dalam pemberian perawatan pasien. Praktik kolaboratif membutuhkan atau dapat mencakup diskusi diagnosis pasien dan kerjasama dalam penatalaksanaan dan pemberian perawatan (Blais, 2006). Kolaborasi menurut Asosiasi Perawat Amerika (ANA, 1992), adalah hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada klien. Kegiatan yang dilakukan meliputi diskusi tentang diagnosa, kerjasama

dalam asuhan kesehatan saling berkonsultasi atau komunikasi serta masingmasing bertanggung jawab pada kepercayaannya (Sumijatun, 2010). Defenisi kolaborasi dapat disimpulkan yaitu hubungan kerja sama antara perawat dan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien yang didasarkan pada pendidikan dan kemampuan praktisi yang memiliki tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan. 2.1.2 Manfaat Kolaborasi Kolaborasi dilakukan dengan beberapa alasan sebagai manfaat dari kolaborasi yaitu antara lain: 1. Sebagai pendekatan dalam pemberian asuhan keperawatan klien, dengan tujuan memberikan kualitas pelayanan yang terbaik bagi klien. 2. Sebagai penyelesaian konflik untuk menemukan penyelesaian masalah atau isu. 3. Memberikan model yang baik riset kesehatan. Penelitian yang dilakukan pada kolaborasi interprofessional pada perawat di Yunani, menunjukkan hasil bahwa pentingnya dilakukan kolaborasi. Fenomena yang dipaparkan pada penelitian ini dimana perawat mengalami ketegangan antara dokter dan perawat yang merupakan faktor yang signifikan stress perawat ditempat kerja. Lingkungan yang tegang dan perilaku yang kasar secara verbal menjadikan status kerja dan kondisi kerja yang buruk ditempat kerja. Selain itu, tujuan dari kolaborasi pada pelayanan kesehatan ini, untuk perawatan pasien yang lebih baik akan berisiko tinggi

untuk kesalahan dalam penyediaan pelayanan. Fenomena tersebut menarik minat peneliti sehingga penelitian ini dilakukan yang menunjukkan hasil bahwa kolaborasi di rumah sakit di Yunani sebagai tempat penelitian sangat tidak efektif dimana dokter melihat kolaborasi sebagai kegiatan yang melibatkan antar profesi bukan interprofesional. 2.1.3 Elemen-elemen kolaborasi dalam praktik keperawatan Praktik kolaborasi memerlukan waktu dan energi. Profesi kesehatan tidak selalu bergerak cepat dalam satu tim yang baik. Untuk mengerti praktik kolaborasi, berikut elemen kolaborasi: 1. Multi ple provider : kerja sama yang meliputi satu atau lebih pemberi pelayanan kesehatan dan dapat lebih dari satu jenis grup profesi. 2. Servi ce Koordinasi: pendekatan umum yang digunakan untuk menjamin asuhan dan pelayanan dalam disiplin ilmu yang sama dan beberapa disiplin ilmu dalam bidang kesehatan. 3. Communication: berkomitmen untuk saling memberikan informasi pada grup pemberi pelayanan kesehatan. Kolaborasi keperawatan merupakan bekerja sama dalam tim kesehatan dalam upaya perawat mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang dibutuhkan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam menentukan bentuk pelayanan keperawatan yang memimiliki prinsip-prinsip kolaborasi yaitu: menguasai/memahami masalah pasien, mampu melakukan komunikasi efektif,

memiliki penegtahuan yang berkaitan dengan masalah pasien, mampu berpikir kristis, dan mampu mengambil keputusan. 2.1.4 Komponen Kompetensi Sebagai Dasar Kolaborasi Gambaran penting untuk kolaborasi mencakup, keterampilan komunikasi yang efektif, saling menghargai, rasa percaya, memberi dan menerima umpan balik, pengambilan keputusan, dan manajemen konflik (Blais, 2006). 2.1.4.1 Keterampilan Komunikasi Yang Efektif Komunikasi sangat penting dalam meningkatkan kolaborasi karena memfasilitasi berbagai pengertian individu (Kemenkes, 2012). Chittiy, 2001 dalam Marquis (2010) mendefenisikan komunikasi adalah sebagai pertukaran kompleks antara pikiran, gagasan, atau informasi, pada dua level verbal dan nonverbal. Komunikasi yang efektif adalah kemampuan dalam menyampaikan pesan dan informasi dengan baik, menjadi pendengar yang baik dan keterampilan menggunakan berbagai media. Thomas Leech, menyatakan bahwa untuk membangun komunikasi yang efektif, harus menguasai empat keterampilan dasar dalam komunikasi, yaitu: membaca, menulis, mendengar dan berbicara (Nurhasanah, 2010). Komunikasi yang efektif dalam kolaborasi penting untuk memecahkan masalah komlpeks. Komuniksai efektif dapat terjadi hanya apabila kelompok yang terlibat berkomitmen untuk saling memahami peran professionalnya dan saling menghargai sebagai individu. Selain itu, mereka harus sensitif terhadap perbedaan antara gaya komunikasi.

Teori Norton mengenai gaya komunikator mendefinisikan gaya sebagai cara seseorang berkomuniksai dan mencakup cara seseorang berinteraksi. Tiga dari gaya komunikator ini (dominan, suka berdebat, dan penuh perhatian) telah digunakan dalam studi keperawatan mengenai gaya kolaborasi kerena gaya komunikator berhubungan dengan tingkat kolaborasi dan peningkatan kualitas keperawatan. Menggunakan gaya komunikasi penuh perhatian dan menghindari gaya suka berdebat dan gaya dominan membuat perbedaan yang signifikan dalam kolaborasi perawat-dokter, hasil akhir pasien positif dan kepuasan perawat (Blais, 2006). 2.1.4.2 Saling Menghargai dan Rasa Percaya Saling menghargai terjadi saat dua orang atau lebih menunjukkan atau merasa terhormat atau berharga terhadap satu sama lain. Dan rasa percaya terjadi saat seseorang percaya terhadap tindakan orang lain. Saling menghargai maupun rasa percaya menyiratkan suatu proses dan hasil yang dilakukan bersama. Sistem perawatan kesehatan itu sendiri tidak selalu menciptakan lingkungan yang meningkatkan rasa hormat atau rasa percaya dari pemberi perawatan kesehatan yang bervariasi (Blais, 2006). Tanpa adanya saling menghargai maka kerja sama tidak akan terjadi. Yang dimaksud dengan pentingnya menghargai satu sama lain yaitu: 1. Dapat mengurangi perbedaan status professional. 2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja. 3. Meningkatkan pembagian informasi diantara profesi. 4. Menerima konstribusi profesi lain.

5. Sebagai advokasi evaluasi kritis kritis penampilan kerja diantara anggota tim. 6. Mempermudah pengambilan keputusan bersama. 7. Meningkatkan tanggung jawab dan tanggung gugat dalam bekerja. 2.1.4.3 Memberi dan Menerima Umpan Balik Salah satu yang dihadapi para professional adalah memberi dan menerima umpan balik pada saat yang tepat, relevan, dan membantu untuk dan dari satu sama lain, dan klien mereka. Umpan balik dapat dipengaruhi oleh persepsi, ruang personal, peran, hubungan, harga diri, percaya diri, keyakinan, emosi, lingkungan, dan waktu dari masing-masing orang. Umpan balik yang positif dicirikan dengan gaya komunikasi yang hangat, perhatian, dan penuh penghargaan. Tinjauan mengenai keterampilan komunikasi dasar, dan kesempatan untuk praktik mendengarkan serta memberi dan menerima umpan balik dapat meningkatkan kemampuan professional, agar dapat melakukan komunikasi dengan efektif. Memberi dan menerima umpan balik, membantu individu mendapatkan kesadaran sendiri, membantu tim kolaboratif untuk membangun pemahaman dan hubungan kerja yang efektif. 2.1.4.4 Pengambilan Keputusan Proses pengambilan keputusan ditingkat tim mencakup pembagian tanggung jawab untuk hasil. Jelasnya, untuk menciptakan suatu solusi, tim tersebut harus mengikuti tiap langkah proses pengambilan keputusan yang dimulai dengan defenisi masalah yang jelas.

Aspek penting dalam pengambilan keputusan adalah tim, antardisiplin yang berfokus pada kebutuhan prioritas klien yang mengorganisasi intervensi berdasarkan kebutuhan tersebut. Disiplin yang paling baik memenuhi kebutuhan klien diberikan prioritas dalam perencanaan dan bertanggung jawab memberikan intervensinya pada waktu yang tepat. 2.1.4.5 Manajemen Konflik Konflik peran dapat terjadi, dalam situasi apapun di tempat individu bekerjasama. Konflik peran muncul saat seseorang diharapkan melaksanakan peran yang bertentangan atau tidak sesuai dengan harapan. Dalam konflik interpersonal, orang yang berbeda memiliki harapan yang berbeda terhadap peran tertentu. Konflik antarperan muncul saat harapan seseorang atau kelompok berbeda dari harapan orang atau kelompok lain. Tipe manapun dari konflik ini dapat mempengaruhi kolaborasi antardisiplin. Untuk mengurangi konflik peran, anggota tim dapat juga melaksanakan konferensi antardisiplin, mengambil bagian dalam pendidikan antardisiplin pada program dasar, dan yang paling penting menerima tanggung jawab personal untuk kerja tim. Kegagalan professional untuk berkolaborasi bukanlah disengaja, tetapi lebih pada kurangnya keterampilan yang diperlukan. Penelitian yang dilakukan Zuraidah, (2005) menunjukkan hasil penelitian didapatkan faktor-faktor yang sangat berhubungan dengan kolaborasi perawatdokter. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain persepsi tentang kolaborasi (B=0,351), komunikasi (B=0,247), saling pengertian antar profesi (B=0,236) dan pendekatan professional (B=0,121). Hasil penelitian ini, disarankan agar perawat

diberi kesempatan untuk menambah pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan komunikasi, melaksanakan hubungan saling pengertian antar profesi serta mengembangkan pemahaman persepsi kolaborasi. 2.1.5 Proses Kolaboratif Proses kolaboratif dengan sifat interaksi antara perawat dengan dokter menentukan kualitas praktik kolaborasi. ANA, 1998 dalam Siegler & Whitney (2000) menjabarkan kolaborasi sebagai hubungan rekan yang sejati, dimana masing-masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain dengan mengenal dan menerima lingkup kegiatan dan tanggung jawab masing-masing dan adanya tujuan bersama. Sifat kolaborasi tersebut terdapat beberapa indikator yaitu kontrol kekuasaan, lingkup praktik, kepentingan bersama dan tujuan bersama. 1. Kontrol Kekuasaan Kontrol kekuasaan dapat terbina apabila dokter dan perawat mendapat kesempatan yang sama mendiskusikan pasien tertentu. Kemitraan terbentuk apabila interaksi yang diawali sama banyaknya dengan yang diterima dimana terdapat beberapa kategori antara lain: menanyakan informasi, memberikan informasi, menanyakan dan memberi pendapat, memberi pengarahan atau perintah, pengambilan keputusan, memberi pendidikan, memberi dukungan/persetujuan, menyatakan tidak setuju, orientasi dan humor. 2. Lingkungan Praktik Menunjukkan kegiatan dan tanggung jawab masing-masing pihak. Perawat dan dokter memiliki bidang praktik yang berbeda dengan peraturan masingmasing tetapi tugas-tugas tertentu dibina yang sama.

3. Kepentingan Bersama Kepentingan bersama merupakan tingkat ketegasan masing-masing (usaha untuk memuaskan kepentingan sendiri) dan faktor kerjasama (usaha untuk memuaskan pihak lain). 4. Tujuan Bersama Tujuan bersama pada proses ini bersifat lebih terorientasi pada pasien dan dapat membantu menentukan bidang tanggung jawab yang berkaitan dengan prognosis pasien. 2.2 Kepuasan Perawat 2.2.1 Defenisi Kepuasan Kepuasan kerja adalah sikap, yang dikaitkan dengan perasaan pribadi terhadap pekerjaan yang baik yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Mullins, 2005). Howell dan Dipboye (1986) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya (Munandar, 2008). Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan pandangan seseorang kepada pekerjaannya. Keperawatan merupakan salah satu

bentuk profesi dengan pemberian pelayanan keperawatan serta menjadi tolok ukur dalam kinerja seseorang perawat (Nursalam, 2007). Kepuasan perawat memang sangat penting, tetapi kepuasan itu sering terabaikan atau dilupakan. Perawat yang frustasi dan kecewa atau tidak puas akan menjadi kurang produktif dan kurang efisien. Kepuasan perawat memberi arah terhadap harapan, sedang audit akan mengarah kepada petunjuk pelaksana kerja. Dengan demikian, pengukuran kepuasan perawat selalu harus dilihat dalam hubungannya dengan harapanharapan. 2.2.2 Faktor Kepuasan Perawat 1.Organisasi dan Manajemen Semua profesi layanan kesehatan harus terlibat dan mempunyai peran dalam menyusun rencana organisasi. Rencana tersebut harus fleksibel sehingga dapat mengikuti perubahan kebutuhan dan pertumbuhan kebutuhan dari penyelenggara. Saluran komunikasi harus dibangun antara menejer dengan teknisi dan hal yang demikian harus dilakukan pada setiap tingkat organisasi dengan tujuan tersedianya suatu lingkungan pembelajaran melalui organisasi, membantu menbangun suatu keyakinan bahwa tujuan organisasi pasti akan dapat diwujudkan, dan untuk mengenalkan bahwa dalam menciptakan keberhasilan berarti harus berani mengambil resiko dan kemudian kelompok mampu menangani konflik dengan berhasil apabila tangan terbuka. 2. Kebutuhan Pendidikan Setiap orang yang berada dalam pelayanan sistem layanan kesehatan membutuhkan pendidikan dan hal itu menjadi keharusan dalam peningkatan mutu

pelayanan kesehatan. Pendidikan dan jaminan mutu pelayanan kesehatan merupakan suatu hubungan simbiosis, dengan masukan sebagai suatu unsur keharusan di dalam program jaminan layanan kesehatan. Pengukuran mutu layanan kesehatan dapat menjadi suatu proses pendidikan atau menjadi identifikasi masukan kebutuhan pendidikan lebih lanjut. Pendekatan melalui kerjasama kelompok harus terus dikembangkan dan ditingkatkan sehingga organisasi tidak hanya mencakup tugas-tugas yang akan dikerjakan tetapi juga akan mencakup pengembangan manusia. 3. Penghargaan, Insentif, dan Promosi Penghargaan, insentif dan promosi sangat berhubungan dengan kinerja. Dalam pelaksanaan pendekatan jaminan mutu layanan kesehatan para manajer harus dapat menciptakan berbagai insentif. Misalnya, kegiatan peningkatan mutu layanan kesehatan harus menjadi kondisi-kondisi yang kondusif untuk promosi jabatan dan insentif financial yang akan didapat dari penghematan yang timbul akibat keberhasilan penerapan jaminan mutu layanan kesehatan. 2.2.3 Perangkat Pengukuran Kepuasan Perawat Ada beberapa pakar yang menganggap kepuasan perawat sebagai aspek psikososial dari keefektifan layanan kesehatan. Kepuasan perawat akan diukur terhadap sikap dan persepsi penyelenggara terhadap factor-faktor sebagai berikut: 2.2.3.1 Otonomi dan Pengendalian Organisasi Otonomi dan pengendalian organisasi harus dipandu oleh nilai-nilai kemanusiaan. Organisasi tersebut akan memperlakukan perawat dengan adil dan hormat. Otonomi dan pengendalian dapat diukur dengan indikator:

1. Kepuasan terhadap cara kerja dan pengendalian cara kerja. 2. Sejauh mana personil dapat menentukan teknik kerja apa yang diperlukan tanpa pengaruh organisasi dan sejauh mana personil dibolehkan menggunakan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimilikinya. 3. Kepuasan terhadap kecukupan sumber daya dalam melayani pasien 4. Kepuasan terhadap pengendalian pada lingkup dan konten kerja 5. Kepuasan terhadap jenis supervisi. 2.2.3.2 Interaksi Pasien dengan Perawat dan Hubungan Antar Perawat Interaksi pasien dengan perawat dan hubungan antar perawat merupakan salah satu bagian penting dari kepuasan kerja. Bagian ini menjelaskan bahwa kepuasan perawat dalam bekerja akan menghasilkan perilaku yang positif, dan sebaliknya ketidakpuasan akan mempengaruhi fungsi dan kegiatan organisasi. Ini dapat diukur dengan indikator: 1. Kemudahan atau kesulitan hubungan pasien dengan perawat dan seberapa jauh oraganisasi memengaruhi hubungan tersebut. 2. Seberapa jauh profesi kesehatan merasa perlu menggunakan waktu dengan pasien artinya melakukan layanan kesehatan yang bermutu. 3. Kepuasan yang terkait dengan hubungan antar perawat. 2.2.3.3 Prestise atau Status

Kepuasan perawat dapat berfungsi sebagai indikator dari kegiatan organisasi. Indikator prestise atau status antara lain: 1. Kepuasan terhadap kesempatan peningkatan keterampilan dan pengetahuan dalam organisasi layanan kesehatan atau organisasi profesi. 2. Kepuasan terhadap gaji, tunjangan dan kondisi kerja 3. Pendapat umum dan evaluasi sebagai tempat kerja yang diinginkan dibandingkan dengan tempat kerja bidang kesehatan lain. 4. Evaluasi kemampuan organisasi bertahan terhadap lingkungan, kesempatan berkembang dan berhasil dimasa depan sama prestise dan status dalam masyakat kesehatan lainnya. 2.2.3.4 Kepuasan dan Ketidakpuasan Terhadap Sistem Layanan Kesehatan Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap sistem layanan kesehatan dapat diukur dengan indikator: 1. Angka berhenti kerja 2. Angka mangkir 3. Penggunaan cuti sakit yang berlebihan 4. Mutu hasil kerja Penelitian yang dilakukan As ad, Sidin, dan Kapalawi, (2013) dengan judul Hubungan Kepuasan Kerja Dengan Kinerja Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Hasanuddin di Makassar indikator-indikator perangkat pengukuran kepuasan perawat ini, dapat menunjukkan hasil puas dan ketidakpuasan perawat. Beberapa indikator tersebut diantaranya kepuasan terhadap pekerjaan, kondisi kerja, kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap

peluang pengembangan, kepuasan terhadap supervise dan kepuasan terhadap kepemimpinan. Indikator tersebut menunjukkan hasil yang bebeda-beda.