18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (peraturan daerah) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, dengan otonomi daerah diharapkan pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Latar belakang pertimbangan mendasar terselenggaranya Otonomi Daerah (0tda) adalah perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Selain itu keadaan di luar negeri juga menunjukkan bahwa semakin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk daya saing pemerintah daerahnya. Daya saing pemerintah daerah ini diharapkan akan tercapai melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah. Selanjutnya peningkatan kemandirian pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui 0tda (Halim, 2002). Tujuan program otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar-daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing. Hal ini
ditempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri (Bastian, 2006). Adapun misi Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tersebut bukan hanya melimpahkan kewenangan pembangunan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah efektivitas dan efisiensi sumberdaya keuangan. Sehingga diperlukan suatu laporan keuangan yang handal dan dapat dipercaya agar dapat menggambarkan sumberdaya keuangan daerah berikut dengan analisis prestasi pengelolaan sumberdaya keuangan daerah itu sendiri (Bastian, 2001). Hal tersebut sesuai dengan ciri penting suatu daerah otonom yang mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya, yaitu terletak pada strategi sumberdaya manusia (SDM) dan kemampuan di bidang keuangan daerah (Soedjono, 2000). Kabupaten Lampung Barat dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan tidak terlepas dari masalah sumber dan pembiayaan yang dalam hal ini adalah Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD). Secara konseptual APBD adalah alat untuk menjalankan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab dan merupakan rencana operasional Pemerintah Daerah. Dalam APBD menggambarkan pengeluaran untuk kegiatan pemerintahan dan proyek daerah. Proporsi APBD Kabupaten Lampung Barat saat ini sebagian besar masih bersumber dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Sedangkan pendapatan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih relatif kecil. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan gambaran dari perbandingan antara PAD dengan APBD Kabupaten Lampung Barat dari tahun 2000 hingga 2007. Tabel 1. Perbandingan PAD dengan APBD Kabupaten Lampung Barat Tahun 2003-2007 (Ribuan Rupiah) PAD APBD No Tahun (Juta Rupiah) (Juta Rupiah) 1 2003 5.394,41 235.949,47 2 2004 4.954,46 231.450,55 19
20 3 2005 6.197,94 272.990,81 4 2006 11.215,88 409.383,83 5 2007 12.341,41 449.439,42 Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Tahun 2007 Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penerimaan dari pendapatan asli daerah setiap tahunnya mengalami peningkatan dibandingkan dengan penerimaan daerah secara keseluruhan (APBD). Namun demikian peningkatan tersebut relatif kecil dan dapat dikategorikan rendah atau di bawah 50 persen. Idealnya kontribusi PAD terhadap APBD daerah adalah sebesar 50 persen hingga 75 persen (Halim, 2002). Tahun 2007 PAD Kabupaten Lampung Barat masih sebesar 2,75 persen dari APBD-nya. Persentase ini tentu saja juga menjadi jauh lebih kecil bila membandingkan PAD Kabupaten Lampung Barat dengan alokasi Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN). Kondisi tersebut memerlukan strategi yang tepat dalam upaya meningkatkan PAD. Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah diharapkan Daerah lebih proaktif meningkatkan PAD. Dengan demikian pemerintah daerah mampu mandiri serta tidak tergantung kepada pemerintah pusat. Pendapatan daerah dalam struktur APBD Kabupaten Lampung Barat masih merupakan elemen yang cukup penting peranannya, baik untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan maupun pemberian pelayanan kepada publik. Apabila dikaitkan dengan pembiayaan, maka pendapatan daerah masih merupakan alternatif pilihan utama dalam mendukung program dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Kabupaten Lampung Barat. Arah pengelolaan pendapatan Kabupaten Lampung Barat pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang yaitu mobilisasi sumber-sumber PAD, dana perimbangan dan penerimaan daerah lainnya. Selain penerimaan dari pusat, sumber-sumber PAD ini berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah (Badan Usaha
21 Milik Daerah), dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah. Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah sangat perlu diperhatikan upaya untuk peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah tanpa harus menambah beban bagi masyarakat dan menimbulkan ketidaktertarikan berinvestasi. Selain itu perlu juga perhatian pada pengembangan potensi atau mencari sumber-sumber PAD baru.
22 1.2. Perumusan Masalah Keuangan daerah tidak terlepas dari sumber penerimaan dan belanja daerah, dimana pada era otonomi daerah diberi keleluasaan penuh untuk mengelola APBD. Salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah daerah mampu membiayai berbagai pengeluaran daerah itu sendiri. Dengan demikian PAD yang merupakan salah satu komponen dalam neraca keuangan daerah memiliki peranan yang cukup menentukan jalannya roda pemerintahan dan pembangunan. Sejak digulirkan otonomi daerah tahun 1999 PAD Kabupaten Lampung Barat mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Jika pada tahun 2000 PAD Kabupaten Lampung Barat baru mencapai Rp. 1,55 milyar maka pada tiga tahun terakhir yaitu tahun 2005 sebesar Rp. 6,19 milyar, tahun 2006 Rp. 11,21 milyar dan pada tahun 2007 telah mampu mencapai Rp. 12,34 milyar. Namun secara umum, peningkatan PAD dari tahun ke tahun tidak terlepas dari semakin tingginya tuntutan beban anggaran, dimana sampai pada tahun 2007 kontribusi PAD Kabupaten Lampung Barat terhadap APBD sebesar 4,39 persen. Pencapaian PAD ini apabila dilihat dari potensi yang ada di Kabupaten Lampung Barat belum maksimal. Karena idealnya kontribusi PAD terhadap APBD daerah adalah sebesar 50 persen hingga 75 persen (Halim, 2002). Kondisi tersebut perlu diberi perhatian khusus yaitu dengan mengidentifikasi mengapa hal tersebut dapat terjadi pada kabupaten yang berani memisahkan diri dan berdiri secara otonomi. Berdirinya secara otonomi suatu daerah biasanya sejalan dengan banyaknya potensi daerah yang menjadi keunggulan daerah tersebut dibanding daerah lainnya. Sektor pertanian memainkan peran yang penting dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten Lampung Barat yang pada tahun 2006 mencapai 64,65 persen. Sektor pertanian telah memberikan identitas yang terkenal pada daerah ini sebagai penghasil kopi di Indonesia. Potensi dari sektor pertanian ini tentu saja menjadi produk unggulan dari daerah ini dan aliran dana dari sektor ini dapat untuk meningkatkan PAD daerah ini. Namun jika hanya mengandalkan pada komoditi ini, maka PAD mungkin tidak akan maksimal. Oleh karena
itu perlu ditelaah kembali sumber-sumber PAD apa saja yang dapat meningkatkan PAD Kabupaten Lampung Barat. Hal ini dapat terjadi karena dengan perkembangan PAD semakin meningkat dari tahun ke tahun. Potensi penerimaan daerah pun masih sangat berpeluang untuk ditingkatkan, yaitu melalui pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Gambaran sumber-sumber PAD Kabupaten Lampung Barat dari tahun 2001 hingga 2007 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Realisasi Sumber-sumber PAD terhadap PAD Kabupaten Lampung Barat tahun 2001-2007 (Jutaan Rupiah) JENIS PENERIMAAN 23 TAHUN Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba Perusahaa n Daerah Lain-lain Pendapata n yang Sah Jumlah PAD 2001 502 540-1,011 2,054 2002 696 569-2,712 3,978 2003 925 1,068 231 3,168 5,394 2004 906 1,465 287 2,295 4,954 2005 1,147 1,588 326 3,136 6,197 2006 1,798 2,084 437 6,895 11,215 2007 1,869 2,586 576 7,308 12,341 Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Tahun 2008 Dengan diberlakukannya otonomi daerah diharapkan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi lebih mandiri dengan salah satu indikatornya adalah meningkatnya PAD dan berkurangnya subsidi (grant) dari pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dititikberatkan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur jalan. Selanjutnya untuk membiayai program-program di luar ketiga bidang tersebut pemerintah daerah mengandalkan PAD. Rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah yang menunjukkan kemandirian suatu daerah merupakan indikator keberhasilan pemerintah daerah dalam
24 menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari potensi riil daerah. Kondisi tersebut semestinya membuat pemerintah daerah memiliki kemampuan dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi. Uraian di atas menggambarkan bahwa dimensi keuangan daerah otonom yang paling krusial adalah tingkat kemandirian keuangan. Kemandirian keuangan daerah yang dimaksud adalah kebebasan untuk memelihara dan menjalankan kepentingan daerah dengan keuangan sendiri. Kebebasan yang dimaksud di sini bukanlah kemerdekaan melainkan kemandirian yang merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Kemandirian keuangan daerah juga menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang menggambarkan sejauhmana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi). Dimensi lain yang tidak kalah pentingnya sebagai indikator keberhasilan daerah dalam merealisasikan PAD yang dianggarkan adalah efektivitas keuangan daerah otonom. Efektivitas keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Efektivitas keuangan daerah juga menggambarkan kemampuan daerah dalam menjalankan tugas yang dibebakan melalui target APBD, semakin tinggi pemerintah daerah merealisasikan maka pemerintah daerah dikategorikan efektif. Perbandingan PAD yang direncanakan dengan realisasi PAD akan mempengaruhi tingkat efektivitas pemerintah daerah. Di sisi lain dalam melakukan pemungutan pendapatan pemerintah daerah dituntut untuk dapat bertindak efisien, sehingga perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan besarnya pendapatan yang diterima bersifat rasional. Sehingga dimensi terakhir yang juga menentukan keberhasilan daerah dalam merealisasikan PAD yang dianggarkan adalah efisiensi keuangan daerah otonom. Efisiensi dalam hal ini mengarahkan pada sejauhmana besarnya biaya yang dikeluarkan
25 untuk memperoleh pendapatan yang diterima. Semakin rendah biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam menjaring pendapatan dari PAD, maka pemerintah daerah masuk dalam kategori efisien. Namun dengan adanya tiga dimensi keuangan daerah tersebut belum tentu menjamin dapat meningkatkan PAD Kabupaten Lampung Barat. Kemandirian keuangan, efektivitas, dan efisiensi tidak mungkin dapat dengan sendirinya meningkatkan PAD jika potensi sumber-sumber PAD dari kabupaten tersebut belum berkembang dengan maksimal. Sehingga perlu upaya-upaya untuk meningkatkan PAD Kabupaten Lampung Barat melalui strategi-strategi yang dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sesuai dengan potensi yang dapat digali di Kabupaten Lampung Barat. Strategi tersebut tidak serta merta langsung dipilih semuanya untuk menjadi rancangan program. Lima strategi tersebut dipilih menjadi satu yang terpenting berdasarkan suatu kriteria yang juga paling dianggap penting. Kriteria-kriteria tersebut yaitu efektivitas, potensi SDM, anggaran biaya, kemudahan, dan potensi pengembangan. Oleh karena itu permasalahan dalam kajian ini adalah: 1. Sejauhmana kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lampung Barat dalam upaya meningkatkan PAD? 2. Bagaimana rancangan program yang tepat untuk meningkatan PAD Kabupaten Lampung Barat? 1.3. Tujuan Kajian Tujuan dari kajian ini adalah: 1. Mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Lampung Barat 2. Menyusun rancangan program untuk meningkatkan PAD Kabupaten Lampung Barat 1.4. Manfaat Kajian Manfaat ilmiah/akademik dari kajian strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lampung Barat ini adalah untuk menambah wawasan tentang pembangunan daerah khusunya yang terkait
26 dengan peningkatan PAD. Manfaat praktisnya adalah diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan daerah yang bersumber dari potensi daerah terutama PAD di Kabupaten Lampung Barat.