Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

Lampiran 1. Pembuatan Media Natrium Agar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Pembuatan Ekstrak Daun Nangka. (a) (b) (c)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI. Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODE PENELITIAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB III METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN

Gambar 4. Uji Saponin

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK KERING DAUN Ocimum americanum L. SEBAGAI ANTIFUNGI Candida albicans

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAB III BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni Lokasi penelitian di

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Serangga Uji Bahan Tanaman Uji Penyiapan Tanaman Pakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAHAN DAN METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Kandungan Metabolit Sekunder Sargassum crassifolium Sampel kering Sargassum crassifolium yang telah dihaluskan ditimbang 0,5 gram dengan menggunakan timbangan analitik untuk masingmasing 6 perlakuan uji fitokimia, yaitu uji alkaloid, uji flavonoid, uji saponin, uji tanin, uji steroid, uji triterpenoid. Hasil uji fitokimia yang telah dilakukan pada sampel rumput laut Sargassum crassifolium diperoleh hasil kandungan metabolit sekunder sebagai berikut : 4.. Alkaloid Identifikasi alkaloid pada sampel rumput laut Sargassum crassifolium menunjukkan nilai negatif, dengan kata lain Sargassum crassifolium tidak mengandung senyawa alkaloid. Pereaksi yang digunakan dalam pengujian senyawa alkaloid dalam rumput laut Sargassum crassifolium menggunakan pereaksi meyer, dan hasilnya tidak terbentuk endapan. Hasil positif uji alkaloid jika terbentuk endapan putih. Pereaksi meyer digunakan sebagai pereaksi pengendapan, artinya berdasarkan kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang memiliki berat atom tinggiseperti merkuri, bismuth atau iood (Sastrohamidjojo 996 dalam Sari 203). Kelarutan dan sifat lain alkaloid sangat berbeda, cara penjaringan umum untuk alkaloid dalam tumbuhan tidak akan berhasil mendeteksi senyawa khas. Alkaloid pada umumnya tidak ditemukan pada gymnospermae, pakupakuan, lumut dan tumbuhan rendah (Harborne, 987). Gambar 0. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium 32

33 4..2 Flavonoid Identifikasi senyawa flavonoid pada rumput laut Sargassum crassifolium dilakukan dengan menggunakan 3 pereaksi, yaitu pereaksi pertama menggunakan H2SO4 2N, pereaksi kedua menggunakan NaOH 0% dan pereaksi ketiga menggunakan HCl+Mg. Senyawa flavonoid dapat diidentifikasi dalam suasana basa dan asam. Hasil uji flavonoid menunjukkan bahwa pada pereaksi pertama dan kedua terjadi perubahan warna, sedangkan pada pereaksi yang ketiga tidak mengalami perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi adalah garam benzolpirilum atau garam flavilium (Achmad 986 dalam Sari 203). Hasil yang berbeda ditunjukkan pada pereaksi ketiga yang tidak terjadi perubahan warna. Pereaksi ketiga menggunakan campuran asam kuat dan logam, hal ini menunjukkan senyawa yang dihasilkan pada pereaksi ini merupakan senyawa kompleks yang dapat bereaksi dengan logam (Mg). Sehingga dapat dikatakan bahwa Sargassum crassifolium positif mengandung senyawa flavonoid dengan pereaksi asam dan basam. (a) (b) (c) Gambar. Hasil Uji Flavonoid Pereaksi Sargassum crassifolium Hasil positif Pereaksi H2SO4 2N (a) dan Pereaksi NaOH 0% (b), Hasil negatif Pereaksi HCl+Mg (c) 4..3 Saponin Identifikasi uji saponin pada rumput laut Sargassum crassifolium menuunjukkan nilai positif, dengan terdapat buih stabil saat pengocokan dilakukkan. Hal ini menandakan bahwa dalam Sargassum crassifolium mengandung senyawa saponin. Menurut Rusyid dan Marina dkk (990) dalam Sari (203) menyatakan bahwa busa yang terdapat dalam pengujian senyawa saponin menunjukkan adanya glikosida yang mampu membentuk buih dalam air,

34 senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glukosa dan aglikon. Saponin sendiri merupakan senyawa glikosida yang termasuk kelompok aglikon. Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin (Cheek, 2005 dalam Sari 203). Gambar 2. Hasil Positif Saponin Sargassum crassifolium 4..4 Tanin Identifikasi uji tanin pada Sargassum crassifolium menunjukan hasil positif, hal ini dibuktikan dengan adanya endapan berwarna kecoklatan. Sargassum crassifolium memiliki senyawa tanin yang bereaksi dengan protein yang ada dalam Sargassum crassifolium dan membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air, dan hal ini sudah dibuktikan dalam uji tanin dengan adanya endapan yang menandakan adanya kopolimer. Gambar 3. Hasil Positif Tanin Sargassum crassifolium 4..5 Triterpenoid / Steroid Identifikasi senyawa triterpenoid/steroid pada rumput laut Sargassum crassifolium menunjukkan nilai positif pada uji steroid dan nilai negatif pada uji triterpenoid. Karena pada uji steroid, saat ditetesi pereaksi asam sulfat pekat terjadi perubahan warna biru kehijauan yang mengindikasi senyawa steroid dalam suatu bahan alam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (987) yang

35 menyatakan bahwa sterol lain terutama terdapat dalam tumbuhan rendah, tetapi kadangkadang terdapat dalam tumbuhan tinggi. Misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga coklat dan kelapa. Gambar 4. Hasil Positif Steroid Sargassum crassifolium Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Sargassum crassifolium Uji Fitokimia Sampel Rumput Laut Sargassum crassifolium Alkaloid Flavonoid H2SO4 2N + NaOH 0% + HCl + Mg Saponin ++ Tanin ++ Steroid + Triterpenoid Keterangan : = Negatif + = Positif ++ = Positif Kuat

36 Tujuan dilakukannya analisis fitokimia ialah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat yang ditunjukkan dalam suatu bahan dengan sistem biologi (Harborne 987). 4.2 Ekstraksi Rumput Laut Sargassum crassifolium Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa yang terkandung dalam suatu bahan dengan menggunakan pelarut sesuai dengan kepolaran senyawa yang diinginkan. Ekstraksi ini bertujuan untuk mendapatkan komponen senyawa yang terkandung di dalam suatu bahan sesuai kepolaran senyawa tersebut (Harborne 987). Proses maserasi rumput laut Sargassum crassifolium yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu selama 2x24 jam dengan 3 kali pengulangan, dimana pada ulangan ke4, sampel tidak menunjukkan warna hijau. Hal ini dikarenakan senyawa yang terkandung dalam sampel sudah tidak terdapat lagi pada ulangan keempat. Proses evaporasi menghasilkan filtrat hasil ulangan tiga kali maserasi sebanyak,2 L pelarut. Jenis ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah eksraksi tunggal yaitu ekstraksi yang hanya menggunakan pelarut metanol, ini berdasarkan penelitian Sarastani (2002) dan Prabowo (2009) dalam Sari (203) yang menunjukkan bahwa rendemen ekstrak dari hasil ekstraksi tunggal jauh lebih besar dibandingkan dengan ekstraksi bertingkat. Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi ini menggunakan pelarut polar berupa metanol. Pelarut polar dapat menarik senyawasenyawa polar yang terkandung dalam suatu bahan. Selain itu, metanol secara umum dapat melarutkan kandungan metabolit sekunder dari bahan alam dengan berbagai kepolaran (Syahputri, 202). Metabolit sekunder target diantaranya senyawa flavonoid penyusun senyawa aktif dalam rumput laut Sargassum crassifolium. Suhu yang dipakai pada proses ekstraksi dengan menggunakan rotary evaporator yaitu dengan suhu 40 0 C dibawah suhu titik didih dari pelarut metanol yaitu 65 0 C. Hal ini dimaksudkan agar pada saat ekstraksi, senyawasenyawa yang terkandung dalam bahan alam tidak rusak akibat suhu tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyatakan Harborne (987) yang menyatakan bahwa yang biasa dilakukan dalam penguap putar yang akan memekatkan larutan menjadi volume

37 kecil tanpa terjadi percikan yaitu pada suhu antara 30 dan 40 0 C. Setelah hasil ekstrak didapat dari ekstraksi, ekstrak ditempatkan pada botol vial kemudian dimasukkan kedalam lemari es, untuk mencegah kerusakan senyawa yang ada pada ekstrak. Sebagai tindakan pencegahan untuk kehilangan senyawa, ekstrak pekat harus disimpan dalam lemari es (Harborne 987). Gambar 5. Proses Pemekatan Filtrat Menggunakan Rotary Evaporator 4.2. Rendemen Ekstrak Rumput Laut Sargassum crassifolium Pada penelitian ini berat sampel kering rumput laut Sargassum crassifolium yang sudah dihaluskan berjumlah 3,3 gram sedangkan jumlah hasil ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium adalah 2,58 gram. Rendemen merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang diperoleh dari suatu bahan terhadap awal berat bahan simplisia. Hal ini dimaksudkan bahwa hasil rendemen merupakan hasil senyawa bioaktif yang terkandung dalam bahan simplisia tersebut sesuai dengan berat awal simplisia yang diperoleh. Semakin tinggi hasil persentase rendemen menunjukkan semakin banyak senyawa bioaktif yang terkandung dalam suatu bahan (Rohmansyah 20). Berikut merupakan perhitungan nilai rendemen menurut (SNI9705 2000 dalam Prabowo 2009) :

38 R = Berat Ekstrak Berat Sampel 00% R = 2,58 3,3 00% = 2,27 % Dalam 3,3 gram sampel kering rumput laut Sargassum crassifolium terkandung sekitar 2,27% senyawa bioaktif dalam rumput laut tersebut. Hasil rendemen ekstrak rumput laut ini salah satunya dipengaruhi oleh jumlah pelarut yang digunakan dan lama waktu maserasi. 4.3 Hasil Uji LC50 Ekstrak Rumput Laut Sargassum crassifolium Selama 24 Jam Terhadap Udang Windu Uji LC50 dilakukan untuk mengetahui batas toleransi udang windu terhadap ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium dapat menyebabkan 50% kematian pada hewan uji udang windu. Berikut adalah hasil uji LC5024 Jam ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium terhadap larva udang windu, dimana tiap perlakuannya terdapat 5 larva udang windu dengan umur Post Larva (PL) 22 yang berada di wadah kaca (keller) dengan volume liter : Waktu Dedah 5 menit 30 menit jam 2 jam 4 jam 6 jam 8 jam Tabel 5. Hasil Uji LC5024 Jam Konsentrasi ( ppm ) 0 (A) 50 (B) 200 (C) 400 (D) 2 2 2 2 2

39 6 jam 24 jam 2 Total Udang yang Mati 2 3 2 3 4 Dilihat dari hasil pengamatan LC5024 jam, ekstrak pada konsentrasi 50 ppm memberikan 70% kelangsungan hidup udang windu. Ini merupakan konsentrasi yang paling banyak menunjukkan kelangsungan hidup udang windu yang tinggi, dikarenakan konsentrasi yang relatif rendah bagi udang windu dan tidak menjadikan konsentrasi ini menjadi toksik yang dapat mematikan lebih dari 50% hewan uji. Sehingga dapat dikatakan ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium dengan konsentrasi 50 ppm aman bagi kelangsungan hidup udang windu. Pada konsentrasi 200 ppm, kelangsungan hidup udang windu memberikan nilai 50% kematian hewan uji. Hidayat (20) juga menunjukan bahwa ekstrak rumput laut Sargassum sp. Sebesar 36,228 µg/ml masih dapat ditolerir oleh udang windu dan pada konsentrasi 0 µg/ml sampai dengan 00 µg/ml memberikan hasil kelangsungan hidup udang windu yang tinggi. Pada konsentrasi 400 ppm hasil nilai 30% untuk kelangsungan hidup udang windu. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi lebih dari 300 ppm ekstrak rumput laut Sargassum sp dapat menjadikkan ekstrak tersebut menjadi toksik bagi udang windu karena konsentrasi yang melebihi ambang batas (Hidayat 20). Berikut merupakan hasil analisis LC50 menggunakan program EPA Probit.5 dengan konsentrasi 50 ppm, 200 ppm dan 400 ppm dengan 2 kali pengulangan dan terdapat 5 udang windu untuk tiap perlakuan. Tabel 6. Hasil Analisis EPA Probit.5 Ekstrak Rumput Laut Sargassum crassifolium Terhadap Larva Udang Windu Estimated LC/EC Values and Confidence Limits Exposure Point Conc. LC/EC.00 3.570 LC/EC 5.00.827

40 LC/EC 0.00 22.40 LC/EC 5.00 34.473 LC/EC 50.00 23.20 LC/EC 85.00 38.550 LC/EC 90.00 2029.34 LC/EC 95.00 3843.223 LC/EC 99.00 2733.703 Data hasil analisis EPA Probit, menunjukkan bahwa hasil LC50 memberikan nilai sebesar 23,20 ppm, yaitu ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium yang dapat menyebabkan kematian udang windu sebesar 50% yaitu pada konsentrasi 23 ppm dan dibulatkan menjadi 200 ppm. Berdasarkan konsentrasi tersebut, maka konsentrasi yang digunakan dalam media pemeliharaan udang windu adalah perlakuan A = 50 ppm (25% dari 200 ppm), perlakuan B = 00 ppm (50% dari 200 ppm), perlakuan C = 50 ppm (75% dari 200 ppm), perlakuan D = 200 ppm (00% dari 200 ppm). 4.4 Kelangsungan Hidup Udang Windu Selama Masa Perlakuan Penambahan Campuran Ekstrak dan Pakan Tingkat kelangsungan hidup merupakan total organisme yang mampu bertahan hidup hingga waktu yang ditentukan dalam suatu penelitian atau percobaan. Tingkat kelangsungan hidup organisme dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berhubungan dengan organisme itu sendiri seperti umur dan genetika yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup yang meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas (Mudjiman, 998 dalam Rohman 203). Waktu yang digunakan dalam masa perlakuan pemberian pakan dan ekstrak terhadap udang windu adalah 20 hari. Hal ini berdasarkan masa pertumbuhan udang yang lebih kurang membutuhkan waktu 20 hari dalam masa pergantian dari fase mysis ke fase postlarva, dimana pada fase ini sistem imun

4 udang windu sedang berkembang menghasilkan hemosit yang memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan udang. Hemosit bekerja aktif mengeluarkan partikel asing dalam hemocoel melalui fagositosis (Rodriguez dan Lee Moullac 2000 dalam Rohman 203). Hal ini sesuai dengan penelitian Citarasu dkk (2006) yang menyatakan bahwa pemberian ekstrak lima jenis tanaman obat (Cyanodon dactylon, Eagle marmelos, Tinospora corditolia, Picrorizha kuroa dan Eclipta alba) selama 25 hari pemberian pakan yang ditambahkan ekstrak sebanyak 800mg/kg pakan secara signifikan mampu meningkatkan kelangsungan hidup udang windu hingga 74%. Pemberian campuran ekstrak dan pakan dimaksudkan dapat efektif dalam meningkatkan ketahanan tubuh udang windu sebelum diinfeksikan bakteri Vibrio harveyi. Pada perlakuan pemberian pakan udang windu yang dicampur dengan ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium, ditemukan tiap perlakuannya jumlah udang windu berkurang, diduga udang windu mengalami kanibalisme, sebab tidak ditemukan tubuh udang windu yang mati tetapi jumlahnya berkurang. Hal ini disebabkan luas penampang yang tidak terlalu luas yaitu dalam keller, kurangnya jumlah shelter dalam tiap perlakuan dan kurangnya frekuensi pemberian pakan selama 20 hari masa perlakuan. Selama penelitian, frekuensi pemberian pakan dilakukan pada rentang pukul 0.002.00 dan 5.007.00 ini tidak sesuai dengan frekuensi pemberian pakan terhadap udang yang idealnya dilakukan pada rentang empat jam sekali dan dilakukan pemberian pakan pada malam hari. Karena pada malam hari udang lebih agresif dibanding siang hari. Pada perlakuan kontrol dengan pemberian pakan tidak dicampur ekstrak, kelangsungan hidup pada masa perlakuan sebesar 86,6%. Perlakuan A dengan konsentrasi 50 ppm dalam media pemeliharaan udang windu, memberikan kelangsungan hidup sebesar 83,33%. Perlakuan B dengan konsentrasi 00 ppm, memberikan kelangsungan hidup sebesar 83,3%. Perlakuan C dengan 50 ppm, memberikan kelangsungan hidup sebesar 80%. Pada perlakuan D dengan 200 ppm, memberikan kelangsungan hidup sebesar 76,6%. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidup udang windu selama masa perlakuan, sifat kanibalisme udang windu itu sendiri dan kurangnya frekuensi pemberian pakan terhadap

Mortalitas 42 udang windu, memicu terjadinya kanibalisme dalam 20 hari masa perlakuan. Sifat kanibalisme pada udang disebabkan karena lingkungan hidup udang windu yang tidak sesuai dengan keadaan alamnya (tambak). Selama masa perlakuan, terdapat stok yang perlakuannya sama dengan penambahan pakan dengan konsentrasi ekstrak yang berbedabeda. Keberadaan stok ini berguna mengganti udang windu yang kurang dalam tiap perlakuan, sebelum masa kohabitasi atau penginfeksian bakteri Vibrio harveyi. Sehingga jumlah udang windu yang nantinya di uji in vivo jumlahnya sama dengan jumlah awal masa perlakuan. Tabel 7. Mortalitas Udang Windu Selama Perlakuan Pemberian Campuran Ekstrak dan Pakan Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan A (50 ppm) 5 B (00 ppm) 5 C (50 ppm) 6 D (200 ppm) 7 Kontrol 4 Total Mortalitas Udang Windu 8 7 6 5 4 3 2 0 A B C D K Perlakuan Mortalitas Gambar 6. Grafik Mortalitas Udang Windu Selama Perlakuan Pemberian Campuran Pakan dan Ekstrak

43 4.5 Gejala Klinis Udang Windu Selama Masa Perlakuan Pada masa uji in vivo udang windu yang diamati memiliki perubahan gejala klinis jika dibandingkan dengan masa perlakuan pemberian campuran pakan dan ekstrak. Perubahan gejala klinis tersebut meliputi perubahan respon udang terhadap pakan, perubahan fisik dan pergerakan udang windu. Terjadi penurunan respon udang windu terhadap pakan. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan udang windu yang tidak agresif pada saat pemberian pakan. Jika dibandingkan dengan sebelum uji in vivo, respon udang windu terhadap pakan yang dicampur ekstrak sangat baik. Respon makan yang baik terlihat saat pemberian pakan, udang windu bergerak untuk berenang ke atas mengambil pakan yang belum tenggelam atau pakan yang masih berada dipermukaan air. Perubahan juga terjadi pada perubahan fisik udang windu. Udang windu yang diamati pada saat uji in vivo berenang lambat dan selalu berada di dasar air. Hal ini berbeda pada saat perlakuan pemberian pakan, udang windu lebih agresif dengan seringnya berenang ke atas permukaan air dan mengelilingi keller. Informasi dari petambak udang windu, menyatakan bahwa indikasi udang windu yang tidak sehat diantaranya adalah terdapat udang yang terlihat menempel pada tempat wadah (keller/akuarium) itu menandakan udang yang stres. Hal ini disebabkan pengaruh kondisi lingkungan udang yang tidak sesuai dengan kondisi alaminya (tambak). Tetapi pada penelitian ini, tidak terdapat udang yang menempel di pinggir tempat wadah pada saat perlakuan pemberian penambahan pakan dan ekstrak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada perlakuan pemberian pakan dan ekstrak tidak memberikan pengaruh buruk dari penambahan ekstrak. Penambahan ekstrak tidak bersifat toksik terhadap udang windu. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya udang mati pada saat perlakuan.

44 Gambar 7. Udang windu mati karena Vibrio harveyi 4.6 Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Uji In Vivo Pada uji in vivo atau uji tantang yaitu penginfeksian terhadap udang windu dengan kepadatan bakteri Vibrio harveyi sebesar 0 4 cfu/ml kelangsungan hidup udang windu mencapai 00% pada semua perlakuan (konsentrasi ekstrak dalam media pemeliharaan, yaitu 50, 00, 50 dan 200 ppm) kecuali perlakuan kontrol yaitu perlakuan pemberian pakan tanpa ekstrak, dengan kelangsungan hidup mencapai 93,3%. Hal ini diduga penginfeksian dengan kepadatan bakteri 0 4 cfu/ml tidak bersifat patogen terhadap udang windu. Penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Roza dan Zafran (993) dalam Noiborhu (2002) yang menyatakan bahwa kepadatan bakteri Vibrio harveyi dalam air yang mencapai 8.35 x 0 4 cfu/ml bersifat patogen bagi larva udang windu. Hal ini juga diduga pada penelitian ini konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam campuran pakan cukup tinggi, yaitu pada perlakuan A (50 ppm dalam media pemeliharaan) konsentrasi ekstrak yang digunakan pada percampuran pakan sebesar 49,98 ppm/0gr pakan. Perlakuan B (00 ppm dalam media pemeliharaan) sebesar 99,86 ppm/0gr pakan. Perlakuan C (50 ppm dalam media pemeliharaan) sebesar 49,97 ppm/0 gr pakan. Perlakuan D (200 ppm dalam media pemeliharaan) sebesar 99,98 ppm/0 gr pakan. Pada penelitian ini dilakukan penginfeksian kembali dengan peningkatan konsentrasi Vibrio harveyi mencapai 0 7 cfu/ml. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Anonim (2007) dalam Azis (20) yang menyatakan bahwa informasi dosis infeksi bakteri terhadap udang windu sangat dibutuhkan bagi pembudidaya udang windu. Dalam proses budidaya udang windu kriteria air tambak yang baik

45 adalah dengan jumlah bakteri Vibrio tidak melebihi 0 2 cfu/ml pada saat penebaran dan 0 4 cfu/ml pada pertengahan dan akhir pemeliharaan. Pada penginfeksian ini, umur udang windu yang digunakan sudah mencapai PL 35, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem imun dari udang windu sendiri sudah semakin kompleks dengan seiring bertambahnya umur udang windu, karena pada fase ini udang windu mulai beralih dari fase postlarva menuju pada fase juvenil yaitu awal fase udang dewasa. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa Sargassum crassifolium mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin dan steroid. Senyawa flavonoid merupakan salah satu senyawa yang dikategorikan senyawa yang memiliki aktivitas imunomodulator (Collegate 993 dalam Syarifah 2006). Pada penelitian senyawa flavonoid yang terkandung dalam Sargassum crassifolium yang dicampur dengan pakan, memiliki aktivitas imunomodulator pada udang windu. Pada penelitian ini udang windu yang sudah diberi perlakuan pemberian penambahan campuran ekstrak Sargassum crassifolium dan pakan selama 20 hari dapat mentoleransi bakteri Vibrio harveyi dengan kepadatan 0 4 cfu/ml. Sehingga perlunya penginfeksian lanjutan dengan kepadatan melebihi 0 4 cfu/ml untuk melihat toleransi imunomodulasi udang windu dari ekstrak Sargassum crassifolium terhadap ketahanan udang windu. Tabel 8. Mortalitas Udang Windu Pada Penginfeksian Vibrio harveyi Kepadatan 0 4 cfu/ml Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan A (50 ppm) B (00 ppm) C (50 ppm) D (200 ppm) Kontrol 2

Persentase SR 46 02% 00% 98% 96% 94% 92% 90% 88% Survival Rate Udang Windu A B C D K Perlakuan SR Gambar 8. Grafik Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Penginfeksian Vibrio harveyi Kepadatan 0 4 cfu/ml 4.6. Uji In vivo dengan Penginfeksian Peningkatan Konsentrasi Vibrio harveyi Kepadatan 0 7 cfu/ml Penginfeksian udang windu dengan kepadatan bakteri Vibrio harveyi 0 7 cfu/ml menghasilkan kelangsungan hidup mencapai 00% baik perlakuan kontrol tanpa penambahan ekstrak Sargassum crassifolium maupun perlakuan yang diberi penambahan ekstrak. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak Sargassum crassifolium yang terkandung dalam pakan udang windu yang digunakan cukup tinggi yaitu 49,98 ppm/0 gr pakan, 99,86 ppm/0 gr pakan, 49,97 ppm/0 gr pakan, 99,98 ppm/0 gr pakan dan campuran ekstrak pakan ini memiliki aktivitas sebagai imunomodulator pada tubuh udang windu dibuktikan dengan kelangsungan hidup udang windu pada masa perlakuan. Selama uji in vivo udang windu tetap diberi campuran ekstrak dan pakan sehingga diduga campuran ekstrak Sargassum crassifolium pada pakan juga memiliki aktivitas antibakteri sebagai probiotik alami dalam lingkungan perairan udang windu. Hasil positif senyawa saponin dan tanin pada Sargassum crassifolium, memperkuat dugaan bahwa ekstrak yang terkandung dalam campuran ekstrak memiliki aktivitas antibakteri. Hal ini dibuktikan dengan uji TPC bakteri Vibrio harveyi, yaitu perhitungan jumlah koloni bakteri dalam cawan petri. Perbandingan hasil TPC

Persentase SR 47 bakteri Vibrio harveyi sebelum direndam dengan campuran ekstrak pakan dan hasil TPC bakteri yang sudah direndam selama 24 jam, menghasilkan TPC yang sebelum direndam 344 koloni, dan yang sudah direndam 237 koloni (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri Vibrio harveyi pada saat perendaman dengan campuran ekstrak dan pakan. Pernyataan ini diperkuat dengan Penelitian Hidayat (202) menunjukan bahwa Ekstrak Sargassum sp. pada konsentrasi 237,02 µg/ml efektif menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi kepadatan 0 7 cfu/ml. Pada penginfeksian ini, umur udang windu yang digunakan sudah mencapai PL 38, artinya udang windu mulai beralih dari fase post larva (PL) ke fase juvenil. Tabel 9. Mortalitas Udang Windu Pada Penginfeksian Vibrio Harveyi Kepadatan 0 7 cfu/ml Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan A (50 ppm) B (00 ppm) C (50 ppm) D (200 ppm) Kontrol Kelangsungan Hidup Udang Windu 20% 00% 80% 60% 40% 20% 0% A B C D K Perlakuan SR Gambar 9. Grafik Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Penginfeksian Vibrio Harveyi Kepadatan 0 7 cfu/ml

48 4.7 Parameter Kualitas Air 4.7. Salinitas Salinitas atau kadar garam air selama penelitian, dikategorikan baik atau sesuai dengan masa hidup udang windu di tambak. Hal ini dikarenakan air yang dipakai selama proses penelitian merupakan air laut, bukan air tawar yang ditambahkan garam krosok. Selama proses penelitian ditemukan perubahan salinitas yang signifikan, dimana stok akuarium yang diberi pengatur suhu (Heater) dengan pengaturan suhu 3032 0 C mempengaruhi nilai salinitas. Semakin tinggi suhu dalam penelitian, semakin tinggi nilai salinitasnya. Nilai salinitas dalam penelitian adalah 3038 ppt. Udang windu dapat hidup dengan salinitas 5 40 ppt dan kisaran optimumnya adalah 30 ppt. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Rakhmatun dan Mudjiman (2003) yang menyatakan bahwa udang windu tumbuh paling baik pada kadar garam 535 ppt. 4.7.2 Suhu Suhu selama penelitian berkisar 2528 0 C dan masih berada dalam kelayakan pemeliharaan udang windu. Suhu dalam perlakuan dikategorikan cukup rendah, hal ini dikarenakan tiap perlakuan tidak menggunakan pengatur suhu. Tetapi dalam pelaksanaan penelitian, terdapat stok air laut dalam akuarium yang diaerasi dan diberi pengatur suhu (Heater). Sehingga dalam pelaksanaan penelitian, setelah proses sipon yaitu pembersihan tempat pemeliharaan udang windu. Pengganti air buangan sipon adalah stok air laut yang di akuarium tersebut. Sehingga suhunya masih terjaga. suhu optimum udang windu adalah 28 32 0 C. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Suyatno (200) yang menyatakan bahwa kisaran suhu yang baik di kawasan tambak budidaya udang windu adalah kisaran 28 0 32 0 C.

49 4.7.3 DO (Oksigen Terlarut) Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar 6,5 8,3 mg/l. Nilai tersebut masih dikategorikan layak untuk kelangsungan hidup udang windu. Dimana kisaran yang aman untuk kelangsungan hidup udang windu adalah dengan nilai DO diatas 3. Dan oksigen terlarut yang optimum pada udang windu adalah 48 mg/l. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyanto (2004) bahwa kisaran oksigen terlarut yang baik untuk budidaya udang windu adalah 48 mg/l. 4.7.4 ph Derajat keasaman atau ph selama penelitian berkisar antara 6,90 7,4. Nilai ph ini masih layak bagi kelangsungan hidup udang windu. Walaupun bukan dikategorikan ph yang optimum bagi kehidupan udang windu. ph yang optimum bagi kehidupan udang windu adalah dengan kisaran 7 8. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ghufron (997) bahwa ph yang optimal bagi kehidupan dan pertumbuhan udang windu adalah 6,8 8,7.