ANALISIS PERILAKU HAMBATAN ATMOSFER DARI MODEL ATMOSFER DAN DATA SATELIT

dokumen-dokumen yang mirip
Diterima 14 Februari 2013; Disetujui 15 April 2013 ABSTRACT

Penentuan Koefisien Balistik Satelit LAPAN-TUBSAT dari Two-Line Elements (TLE)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA KALA HIDUP SATELIT

PEMANTAUAN BENDA JATUH ANTARIKSA DAN ANALISISNYA

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DAN GEOMAGNET TERHADAP KETINGGIAN ORBIT SATELIT

KARAKTERISTIK ORBIT SATELIT MIKRO Dl KETINGGIAN LEO

MODEL KOEFISIEN BALISTIK SATELIT LEO SEBAGAI FUNGSI CUACA ANTARIKSA

DISTRIBUSI ANOMALI SATELIT SELAMA SIKLUS MATAHARI KE-23 BERDASARKAN ORBITNYA

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

ANALISIS KONDISI ANTARIKSA DI ORBIT LAPAN A2 MENJELANG PUNCAK AKTIVITAS MATAHARI SIKLUS 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

6massa udara yg terdapat pd seluas 1 cm 2 : 1,02 kg6. Massa total atmosfer : 1,02 kg x ( luas permukaan bumi) : kg

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

TUGAS PRESENTASI ILMU PENGETAHUAN BUMI & ANTARIKSA ATMOSFER BUMI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI LINGKUNGAN ANTARIKSA Dl WILAYAH ORBIT SATELIT

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 3, Juli 2014 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 2 Juni 2012 :

Seputar ATMOSFER Asal katanya dari atmos dan shaira (bahasa Yunani), yang artinya atmos : uap, shaira : bulatan. Jadi, atmosfer adalah lapisan gas

Atmosf s e f r e B umi

Jaman dahulu Sekarang

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

VARIASI UNSUR BERAT BERDASARKAN PENGAMATAN SATELIT ACE/SIS PADA PERISTIWA PARTIKEL MATAHARI TAHUN 2006

ANALISIS ALTERNATIF PENEMPATAN SATELIT LAPAN A2 DI ORBIT

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi

KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni.

G A S _KIMIA INDUSTRI_ DEWI HARDININGTYAS, ST, MT, MBA WIDHA KUSUMA NINGDYAH, ST, MT AGUSTINA EUNIKE, ST, MT, MBA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

WUJUD ZAT (GAS) Gaya tarik menarik antar partikel sangat kecil

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

GANGGUAN PADA SATELIT GSO

MAKALAH GRAVITASI DAN GEOMAGNET INTERPRETASI ANOMALI MEDAN GRAVITASI OLEH PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN MIPA FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

PEMBANGUNGAN SISTEM INFORMASI ANOMALI SATELIT (SIAS)

TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

RANCANG BANGUN SIMULATOR ORBIT SATELIT NON-GEOSTASIONER LANDSAT 7 TUGAS AKHIR

PLANET DAN SATELITNYA. Merkurius

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

Bab II Dasar Teori Evolusi Bintang

YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010

Perpindahan Panas. Perpindahan Panas Secara Konduksi MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 02

Angin Meridional. Analisis Spektrum

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

MODEL PELURUHAN DAN REENTRI ORBIT SATELIT LEO

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

Radio Aktivitas dan Reaksi Inti

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VI. Teori Kinetika Gas

LINGKUNGAN ANTARIKSA, ORBIT SATELIT DAN GANGGUANNYA

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

Bab II Pemodelan. Gambar 2.1: Pembuluh Darah. (Sumber:

SOAL UJIAN SELEKSI CALON PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2013 TINGKAT PROVINSI

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

7. EVOLUSI BINTANG 7.1 EVOLUSI BINTANG PRA DERET UTAMA

PERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS)

TELAAH ORBIT SATELIT LAPAN-TUBSAT

PENGEMBANGAN MODEL FLUKSMIKROMETEOROID DARI DATA METEOR WIND RADAR

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere

Buldan Muslim Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

TEMPERATUR. dihubungkan oleh

ANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375

II LANDA SAN TEO RI BAB II LANDASAN TEORI. Sulfamic acid juga dikenal sebagai asam amidosulfonic, asam amidosulfuric, asam

CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015

Pengolahan awal metode magnetik

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT

Sifat fisika air. Air O. Rumus molekul kg/m 3, liquid 917 kg/m 3, solid. Kerapatan pada fasa. 100 C ( K) (212ºF) 0 0 C pada 1 atm

Transkripsi:

ANALISIS PERILAKU HAMBATAN ATMOSFER DARI MODEL ATMOSFER DAN DATA SATELIT Neflia dan Santi Sulistiani Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACTS Atmospheric drag's behaviour can be shown by atmospheric drag's parameter B*. By assumming that ballistic koeffisien for each satellite is constant, according to atmospheric drag's model SGP-4, B* depends only on atmospheric density. For each altitudes, B*, according to satellite data and atmospheric models, has a different behaviour. B*'s behaviour will resemble the atmospheric density behaviour with the increase of altitudes. ABSTRAK Perilaku hambatan atmosfer dapat ditunjukkan dengan salah satu parameter hambatan atmosfer, yaitu B*. Dengan mengasumsikan bahwa koefisien balistik pada tiap satelit konstan, maka berdasarkan model gangguan atmosfer SGP-4, B* hanya bergantung pada kerapatan atmosfer. Pada tiap ketinggian, berdasarkan data satelit dan model atmosfer, B* memiliki perilaku yang berbeda. Perilaku B* akan menyerupai perilaku kerapatan atmosfer dengan bertambahnya ketinggian. Kata kunci : Hambatan atmosfer, B*, Model atmosfer 1 PENDAHULUAN Kajian tentang orbit satelit, khususnya satelit orbit rendah, tidak mungkin terpisah dari kajian tentang gangguan orbit akibat hambatan atmosfer. Berbagai model telah dibuat untuk merepresentasikan hambatan atmosfer. Komponen hambatan atmosfer juga termasuk pada data elemen orbit yang didasarkan pada data pengamatan orbit dan model gangguan orbit SGP-4 {Simplified General Perturbation - versi 4). Data pengamatan dalam bentuk TLE [Two Line Element) ini akan dikaji dalam menggambarkan perilaku hambatan atmosfer pada berbagai ketinggian. Penyebab utama dari hambatan atmosfer adalah kerapatan atmosfer. Kerapatan atmosfer atas berubah-ubah akibat interaksi antara struktur molekul atmosfer, radiasi matahari dan geomagnet. Komponen hambatan atmosfer pada model SGP-4 dinyatakan dengan I 2m \P (1-1) dengan 2m (koefisien balistik) adalah suatu konstanta, C D koefisien hambatan, A penampang satelit dan m massa satelit dan p kerapatan atmosfer. Harga B* terdapat pada TLE yang nilainya tergantung pada ketinggian, aktivitas matahari dan geomagnet. Sementara itu kerapatan atmosfer dapat juga diperoleh dari model, antara lain model Jacchia dan MSIS. Dari model kerapatan atmosfer, p akan dapat juga dihitung B * pada suatu ketinggian. Untuk memahami perilaku hambatan atmosfer pada berbagai ketinggian data B * dari pengamatan atmosfer ini akan dibandingkan dengan B * yang diturunkan dari model. Anomali yang terjadi akan dianalisa untuk memahami kondisi nyata yang tidak terungkap pada model. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku hambatan atmosfer dengan menggunakan parameter hambatan atmosfer (B*) berdasarkan data TLE satelit dan model kerapatan atmosfer. 136

2 MODEL ATMOSFER Model atmosfer yang digunakan dalam analisa perilaku hambatan atmosfer ini adalah model Jacchia77 dan model MSIS90. Model Jacchia dan MSIS dibangun berdasarkan perhitungan kerapatan dari pengamatan pada rentang parameter model dan fitting akar kuadrat nonlinier pada data kerapatan untuk memperoleh kerapatan. Kerapatan tlap unsur pada ketinggian di bawah 100 km untuk unsur N2, Ar dan He ditentukan dengan menggunakan persamaan 2.1 Jacchia 77 Model Jacchia merupakan fitting dari nilai kerapatan yang diperoleh data orbit satelit sepanjang periode 1961-1970. Semua profil temperatur Jacchia dimulai pada nilai konstan T =188K pada ketinggian z =90km dengan gradien G = ( d-r / ), kemudian meningkat pada titik balik matahari pada ketinggian z =125 km, dan menjadi asimptotik pada temperatur T, (sering disebut dengan temperatur exosferik). Baik temperatur T dan gradien temperatur G = ( d % z ) pada titik balik matahari merupakan fungsi dari T c. Profil temperatur terbagi menjadi dua daerah ketinggian, yaitu di bawah 125 km dan di atas 125 km: Atmosfer diasumsikan disusun hanya oleh nitrogen, Oksigen, argon, helium dan hydrogen. Untuk menentukan massa molekular rata-rata pada ketinggian permukaan laut digunakan asumsi komposisi pada ketinggian permukaan laut dari atmosfer standar US, 1962 (COESA, 1962). Komposisi atmosfer pada model Jacchia 77 terbagi menjadi dua daerah ketinggian, yaitu kondisi bercampur pada ketinggian di bawah 100 km dan kondisi difusi pada ketinggian di atas 100 km. Dengan q (i) volume fraksi unsur, M massa molekular rata-rata, M a massa molekular pada ketinggian permukaan laut, a, koefisien difusi termal, <, fluks vertikal unsur i dan D koefisen difusi mutual. Pada model ini juga mencakup beberapa tipe variasi yang dikenali pada daerah atmosfer. Variasi ini merupakan penyebab semua ketidakberaturan yang terjadi di atmosfer. Variasi ini dapat dikelompokkan sebagai (Jacchia, 1977); variasi dengan aktivitas matahari variasi harian atau diurnal; variasi dengan aktivitas geomagnet; variasi seasonal-latitudinal; variasi semiannual. 2.2 MSIS90 Pada termosfer, model MSIS merupakan fitting akar kuadrat nonlinier dari kumpulan data yang terutama terdiri dari nilai kerapatan unsur dan data temperatur, yang diperoleh dari data satelit dan stasiun bumi. Periode data yang digunakan yaitu sepanjang dua siklus matahari yang diawali pada tahun 1983.

Tabel 2-1: SATEL1T YANG DIGUNAKAN DALAM ANALISIS iwww.spacetrak.org) Seperti halnya pada model Jacchia, model MSiS mengasumsikan atmosfer disusun atas nitrogen, oksigen, argon, helium dan hydrogen yang diambil berdasarkan model atmosfer standar US. Kondisi atmosfer pada model ini dibagi menjadi dua daerah ketinggian, yaitu di bawah 116,5 km (dalam keadaan bercampur) dan di atas 116,5 km (dalam keadaan difusi). Nilai batas 116,5 km ini diperoleh dari hasil fitting data pengamatan. Kerapatan atmosfer dan number density pada model MSIS ditentukan menggunakan fasilitas program online yang telah tersedia (www.modelweb. gfsc. nasa.com). 3 DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam menentukan kerapatan atmosfer seperti indeks aktivitas matahari, F10.7 dan indeks aktivitas geomagnetic, Ap diperoleh dari www.celestrak.com. Sedangkan data TLE satelit diperoleh dari www. space-track.org. Dari data TLE dapat diketahui perilaku B* selama satelit tersebut mengorbit. Analisis data yang digunakan yaitu dengan analisis grafis B* yang diperoleh dengan menggunakan data TLE satelit dan B* yang diperoleh dengan menggunakan persamaan berdasarkan model SGP-4 dengan menggunakan kerapatan atmosfer dari model atmosfer dan koefisien yang diasumsikan. Data yang digunakan - Model atmosfer ofio i7 harian dari tahun 1990-2005 o A p harian dari tahun 1990-2005 ofio.7ct.-harian dari tahun 1990-2005 o Lintang geografis :0 o Bujur geografis :109 out : 5 - Data TLE 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku hambatan atmosfer ditunjukkan dengan plot data B* dan kerapatan atmosfer yang dihitung dengan menggunakan model Jacchia77 dan MSIS90 B* merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam data TLE. Biasanya B* digunakan untuk analisis hambatan atmosfer berdasarkan model SGP-4. Dengan mengasumsikan bahwa nilai koefisen balistik konstan dan berdasarkan persamaan model gangguan SGP-4 (persamaan 1-1) diperoleh bahwa perilaku B* hanya dipengaruhi oleh kerapatan atmosfer. Data yang digunakan dalam penentuan B* pada suatu ketinggian disesuaikan dengan data TLE satelit pada rentang ketinggian yang diinginkan. Jumlah data TLE yang digunakan pada setiap ketinggian bervariasi. Hal ini disebabkan oleh lamanya satelit itu berada pada ketinggian tersebut. Kerapatan atmosfer yang dihitung dengan menggunakan model atmosfer diperoleh dengan menggunakan data fluks matahari dan indeks aktivitas geomagnet. Per-hitungan kerapatan atmosfer ini dilakukan harian. Perilaku B* dan kerapatan atmosfer dapat ditunjukkan pada Gambar 4-1 s.d 4-4 pada ketinggian 200 km, 300 km, 400 km dan 500 km untuk melihat korelasi antara data TLE (B*) dan kerapatan atmosfer model. Pada Gambar 4-1 terlihat bahwa tidak ada korelasi antara kerapatan atmosfer model dengan B*. Bahkan pada ketinggian ini profil dari kerapatan atmosfer model Jacchia memiliki perbedaan dengan kerapatan atmosfer MSIS90. Pada ketinggian ini, satelit sangat 138

cepat meluruh. Satelit berada pada ketinggian ini tidak lama, hanya merentang dalam beberapa hari. Bahkan pada satelit Bepposax, satelit berada pada ketinggian ini hanya selama 5 hari, sedangkan pada satelit EUVE, satelit berada pada ketinggian ini selama 10 hari. Selain itu jumlah data baik data satelit maupun data kerapatan atmosfer yang digunakan dalam analisis ini berbeda. Jumlah data profil B* lebih banyak dibandingkan data kerapatan atmosfer model. Perhitungan kerapatan atmosfer dilakukan dengan menggunakan data harian, sedangkan data TLE satelit diperoleh 2 hingga 3 data dalam sehari. Hal ini juga menyebabkan perbedaan yang terjadi pada profil kerapatan atmosfer dan B*. Pada Gambar 4-2 terlihat bahwa profil kerapatan atmosfer model sudah hampir menyerupai profil B*, walaupun perubahan yang terjadi pada profil B* dan kerapatan atmosfer model tidak sama. Pada ketinggian ini profil kerapatan atmosfer model MS1S90 lebih menyerupai profil B*, sedangkan profil kerapatan atmosfer Jacchia memiliki fluktuasi yang lebih besar antara satu waktu ke waktu yang lainnya. Perbedaan fluktuasi pada kerapatan atmosfer model mungkin disebabkan oleh keterbatasan masingmasing model. Profil perilaku B* menyerupai kerapatan atmosfer model, baik yang menggunakan model Jacchia dan MSIS90 terlihat pada Gambar 4-3 dan 4-4, yaitu pada ketinggian 400 km dan 500 km, terutama pada ketinggian 500 km. Pada ketinggian 400 km masih terlihat adanya perbedaan akibat terjadinya penurunan kerapatan atmosfer model yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan B* pada satelit Bepposax, walaupun pola perubahannya sama. Sedangkan pada ketinggian 500 km, baik pola perubahan B* maupun pola perubahan kerapatan atmosfer model hampir sama. Secara keseluruhan, pola perubahan B* akan menyerupai pola perubahan kerapatan atmosfer dengan bertambahnya ketinggian. Gambar 4-1:1 lubuni<an antara B* dengan model almoslcr pada ki.'ting^ian 200 km untuk satelit Bepposax dan Euvc 139

Gambar 4-2: Hubungan anlara B* dengan mode] atrnosfer pada ketinggian 300 km untuk salelit Bepposax dan Euve

Satelil Bepposax pada ketinggian 500 krri 5 KESIMPULAN Perilaku hambatan atmosfer terhadap ketinggian yang diperoleh dari hasil analisis graiik B* dan kerapatan atmosfer menunjukkan bahwa pada ketinggian rendah, terutama di bawab 300 km, kedua parameter tersebut tidak memiliki korelasi yang baik. Akan tetapi dengan pertambahan ketinggian perilaku B* akan menyerupai perilaku kerapatan atmosfer. DAFTAR RUJUKAN Jacchia, L. G., 1977. Thermospheric Temperature, Density, and Composition: New Models, Smithsonian Astrophysical Observatory, provided by NASA Astrophysical Data System. www.celestrak.com http://modelweb.gsfc.nasa.gov/models/ msis.html www.space-track.com