BAB I PENDAHULUAN. kusta (Mycobacterium leprae) yang awalnya menyerang saraf tepi, dan selanjutnya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih

Tingginya prevalensi kusta di Kabupaten Blora juga didukung oleh angka penemuan kasus baru yang cenderung meningkat dari tahun 2007 sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN UPAYA PENCEGAHAN KECACATAN PENDERITA KUSTA DI KABUPATEN NGAWI

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Masa tunas dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kusta maupun cacat yang ditimbulkannya. kusta disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular dan menahun yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. sementara penyakit menular lain belum dapat dikendalikan. Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Sebenarnya kusta bila ditemukan dalam stadium dini

BAB 1 PENDAHULUAN. TB sudah dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed

BAB I PENDAHULUAN. (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menimbulkan komplikasi kesakitan (morbiditas) dan kematian

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi bidang promotif, pencegahan, dan pengobatan seharusnya

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman kusta Mycobacterium leprae (M. leprae) yang dapat menyerang

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

peningkatan dukungan anggota keluarga penderita kusta.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan

BAB I PENDAHULUAN. utama. The World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO TINGKAT KECACATAN PADA PENDERITA KUSTA DI PUSKESMAS PADAS KABUPATEN NGAWI

I. PENDAHULUAN. Penyakit kusta (morbus Hansen) merupakan penyakit infeksi kronis menahun

BAB I PENDHULUAN. dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan yaitu dengan mengawasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Predileksi awal penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. perifer sebagai aktivitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pembangunan kesehatan diharapkan akan tercapai

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan ekonomi (Depkes, 2007). Para penderita kusta akan cenderung

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang


BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

BAB I PENDAHULUAN. berobat dan putus berobat selama 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Amiruddin dalam Harahap (2002) menjelaskan penyakit kusta adalah

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium leprae, ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, World Health Organitation

PENDAHULUAN. Herdianti STIKES Harapan Ibu Jambi Korespondensi penulis :

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang. disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium Tuberculosis yang pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

Profil Program P2 Kusta Dinkes Kayong Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

-Faktor penyebab penyakit kusta. -Tanda dan gejala penyakit kusta. -Cara penularan penyakit kusta. -Cara mengobati penyakit kusta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan penting di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit TB paru di Indonesia masih menjadi salah satu penyakit yang

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN MOTIVASI PETUGAS TBC DENGAN ANGKA PENEMUAN KASUS TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Microbacterium tuberculosis (WHO, 2012).Bakteri ini menyebar melalui droplet

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk yang paling banyak dan paling penting (Widoyono, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. telah berjangkit dalam periode waktu lama di tengah-tengah masyarakat Indonesia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang


S T O P T U B E R K U L O S I S

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan dalam masyarakat (Depkes RI, 2009). pembangunan berkelanjutan yang diberi nama Sustainable Development Goals

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang awalnya menyerang saraf tepi, dan selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, system muskulo retikulo endotelia, mata, otot, tulang, testis dan organ lain kecuali system saraf pusat. Bila tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, akan menimbulkan kecacatan menetap yang umumnya akan menyebabkan penderitanya dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh keluarga dan sulit mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi sangat tergantung secara fisik dan finansial kepada orang lain yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan (Depkes, 2008). Penyakit kusta pada umunya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan atau pengertian dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, preventif dan kuratif serta pemulihan kesehatan dibidang penyakit kusta, seharusnya kusta sudah dapat diatasi dan tidak lagi menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Akan tetapi mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program pengendalian secara terpadu dan menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta (Rachmat,2008).

2 Penanganan kusta dikomunitas sebagai population at risk sesuai dengan tiga dari delapan tujuh Millenium Development Goals (MDG s) atau tujuan pembangunan millennium, yaitu memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, (Susanto, 2010). Berdasarkan pendekatan epidemiologi, penyakit kusta merupakan masalah yang cukup serius karena jumlah populasi beresiko (population at risk) dan terpapar oleh penyakit kusta sangat besar (Susanto, 2010). Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), jumlah kasus kusta tahun 2009 di dunia berjumlah 497.791 kasus. Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dengan jumlah 16.549 kasus. Pada tahun 2010 Indonesia melaporkan 17.012 kasus baru dan 1.822 diantaranya, ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat 2 (cacat yang tampak). Berdasarkan data Profil Kesehatan Jawa timur 2012, penemuan penderita Kusta di Indonesia merupakan urutan ketiga di bawah India dan Brazil. Dan secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya. Rata-rata penemuan penderita Kusta di Provinsi Jawa Timur per tahun antara 4.000-5.000 orang. Pada tahun 2012, penemuan penderita baru di Indonesia sebanyak 18.853 orang, sedangkan penemuan penderita baru di Provinsi Jawa Timur sebanyak 4.807 orang (25,5% dari jumlah penderita baru di Indonesia). Berdasarkan hasil survey peneliti di wilayah Malang Timur, masih ditemukan penderita kusta di wilayah Kedung Kandang sebanyak 47 penderita. 37 penderita terbaru ditemukan di tahun 2013-2014 dan menduduki urutan pertama angka kejadian kusta tertinggi di Kota Malang. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pemberantasan penyakit kusta di dunia, maka Indonesia telah ikut melaksanakan program MDT (Multi Drug Therapy) sejak tahun 1983 yaitu 1tahun setelah WHO merekomendasikan

3 MDT (Multi Drug Therapy) untuk kusta. Upaya penanggulangan penyakit Kusta dipengaruhi oleh ketidakteraturan berobat dan menghilangnya penderita tanpa melanjutkan program pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). Menurut Avianty (2005) dalam Budiman (2010), kepatuhan adalah suatu sikap yang merupakan respon yang hanya muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Jika individu tidak mematuhi apa yang telah menjadi ketetapan dapat dikatakan tidak patuh. Kepatuhan minum obat di pengaruhi oleh beberapa variabel yaitu variabel umur, pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap, dan peran pengawas minum obat (PMO). Ketidakteraturan berobat dapat menimbulkan suatu kondisi putus obat (default). Jika seorang penderita PB (Pausi Bassiler) tidak mengambil atau meminum obatnya lebih dari 3 bulan (tidak menyeleseaikan pengobatan sesuai waktu yang telah ditetapkan) maka mereka dinyatakan sebagai Defaulter PB (Pausi Bassiler). Dan jika seorang MB (Multi Bassiler) tidak mengambil atau meminum obatnya lebih dari 6 bulan (tidak menyeleseaikan pengobatan sesuai waktu yang telah ditetapkan) maka mereka dinyatakan sebagai Defaulter MB (Multi Bassiler). Selama mengikuti program pengobatan MDT (Multi Drug Therapy), penderita secara rutin harus mengambil obat untuk pengobatan selama satu bulan di Puskesmas. Obat yang pertama kali dalam bentuk Blister ini wajib diminum di depan petugas dan selanjutnya diteruskan dirumah (Depkes RI,2006). Ketidakpatuhan berobat dan menghilangnya penderita tanpa melanjutkan pengobatan menimbulkan banyak masalah dalam keberhasilan upaya penanggulan penanggulan penyakit kusta (Panigoro, 2007). Menurut Saranani (2005) pengobatan yang adekuat dan teratur minum obat akan mengurangi infeksiusitas penderita yang menular, dan ketidakpatuhan minum obat pada penderita kusta akan berakibat sangat

4 buruk bagi penderita karena akan menimbulkan resistensi obat-obatan anti kusta. Bila Penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit syaraf yang dapat memperburuk keadaan, disinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur (Depkes RI, 2008). Pengobatan kusta yang memerlukan jarak lama antara 6-12 bulan, biasanya memiliki resiko tinggi dalam ketidakteraturan berobat dan minum obat. Dalam perjalanannya penyakit kusta sering mengalami reaksi yang disebut dengan reaksi kusta yang apabila tidak cepat ditangani atau terlambat penanganan akan menimbulkan cacat yang permanen, inilah salah satu yang sangat ditakuti dari penyakit ini meskipun tidak menimbulkan kematian namun akan mengurangi produktifitasnya dan bila tingkat cacatnya berat akan menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Akan tetapi dengan penanganan yang tepat dan cepat dapat mencegah dan mengurangi tingkat kecacatan sehingga pasien akan sembuh tanpa meninggalkan cacat dan akan bisa produktif lagi (Dewi, 2014). Melihat masalah diatas, kusta perlu mendapat perhatian. Salah satu kunci pemberantasan kusta, untuk mencapai kesembuhan penyakit kusta diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi penderita. Upaya yang dapat dilakukan tenaga kesehatan untuk mempercepat eliminasi penyakit kusta adalah dengan melakukan promosi kesehatan tentang kepatuhan dan ketepatan minum obat secara konsisten dan berkesinambungan. Tenaga kesehatan dapat berperan sebagai care giver dan konselor yang berfungsi untuk mendampingi serta memantau pengobatan penderita kusta (Dewi, 2014). Namun keterbatasan tenaga kesehatan yang ada tidak memungkinkan dapat dilakukannya pengontrolan rutin ke tiap-tiap penderita kusta setiap harinya. Maka

5 dari itu diperlukan seseorang yang bisa dipercaya menjadi seorang pengawas minum obat (PMO). Menurut Depkes RI (2008), pengawas minum obat (PMO) adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita kusta dalam meminum obatnya secara teratur dan tuntas. Pengawas minum obat (PMO) bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan. Pengawas minum obat (PMO) berperan untuk memantau keteraturan penderita dalam meminum obat sesuai dengan dosis dan waktu yang sudah ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program kusta, peneliti mengetahui bahwa masih ada 3 dari 11 penderita baru (8%) yang tidak teratur dalam mengambil obat dan 2 dari 26 penderita lama (5%) sempat menjadi defaulter karena tidak tahan dengan efek samping dan lama pengobatan. Penderita memiliki pengawas minum obat (PMO) dan seluruh PMO tersebut adalah keluarga pasien yang tinggal serumah dan mampu memantau pasien setiap hari. Selain itu, sebelum menjadi seorang PMO, anggota keluarga yang ditunjuk sudah diberi pelatihan singkat tentang bagaimana penyakit kusta dan harus mengawasi pasien untuk minum obat secara teratur. Hal ini kemungkinan terjadi karena tidak efektifnya kinerja PMO. Menurut (Nurhayati,2013), kinerja PMO yang baik akan membuat pasien lebih termotivasi dalam menjalani pengobatan dengan teratur sehingga keberhasilan pengobatan dapat tercapai. Sebaliknya jika kinerja PMO tidak baik maka akanmempengaruhi motivasi pasien dalam menyelesaikan program pengobatan. Pasien yang memiliki kinerja PMO baik memiliki kemungkinan untuk teratur berobat 5,23 kali lebih besar dibandingkan pasien yang memiliki kinerja PMO buruk. Kegagalan pengobatan dan dan kurang kedisiplinan bagi penderita Kusta sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peran pengawas minum obat

6 (PMO). Pengawas minum obat (PMO) sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal (Depkes,2008). Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilannya (Purwanta,2005). Kepatuhan minum obat merupakan faktor yang paling menentukan kesembuhan penderita penyakit kusta. Kepatuhan minum obat penderita kusta sangat membutuhkan pengawasan agar penderita tidak lupa minum obat sehari-hari dan tidak putus obat (default dandrop out). Melihat kondisi tersebut peneliti ingin melihat kepatuhan penderita kusta dalam mengikuti program pengobatan MDT (Multi Drug Therapy) sehingga peneliti mengambil judul Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Kusta di Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 1.2 Rumusan Masalah 1. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta di Puskesmas Kedungkandang Kota Malang? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta.

7 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mendeskripsikan gambaran kinerja pengawas minum obat (PMO) pada penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 2. Mendeskripsikan kepatuhan minum obat pada penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 3. Menganalisis hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) dengan kepatuhan minum obat pada penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti Menambah wawasan dalam penyusunan karya tulis, khususnya tentang hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta di Puskesmas Kedungkandang Kota Malang serta menjadi pengalaman berharga untuk peneliti dan kemudian sebagai referensi untuk penelitian berikutnya. 1.4.2 Bagi Puskesmas Sebagai masukan kepada puskesmas dalam upaya peningkatan pemantauan pengobatan penderita kusta melalui pengawas minum obat (PMO) sampai selesai berobat dan dinyatakan Release from Treatment (RFT). 1.4.3 Bagi Peneliti lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pembanding atau sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

8 1.5 Keaslian Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Resty,2010) tentang hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) dengan keteraturan berobat pasien TB Paru dengan hasil pasien yang memiliki kinerja PMO baik memiliki kemungkinan untuk teratur berobat 5,23 kali lebih besar dibanding pasien yang memiliki kinerja PMO buruk dan secara statistic hubungan tersebut signifikan. Penelitian di atas menunjukkan adanya hubungan antara kinerja pengawas minum obat (PMO) dengan keteraturan penderita untuk mengikuti program pengobatan. Sedangkan dalam penelitian (Nurvita, 2013) hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan pengawas minum obat (PMO) dan kepatuhan berobat pada penderita TB Paru di Puskesmas Limboto Kab. Gorontalo. Dukungan pengawas minum obat yang baik menunjukkan adanya hasil yang significant terhadap tingkat kepatuhan berobat pada penderita TB Paru. Dengan adanya dukungan dan pengawasan langsung dari pengawas minum obat (PMO) membuat penderita lebih termotivasi dalam menjalani dan menyelesaikan pengobatan. 1.6 Batasan Penelitian Menghindari luasnya pembahasan dan kajian dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi penelitian pada : 1. Peneliti hanya meneliti penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 2. Peneliti hanya meneliti penderita kusta yang kooperatif di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 3. Peneliti hanya meneliti kepatuhan minum obat pada penderita kusta wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang.