Konstipasi adalah penyakit dengan kelainan. Konstipasi dan Faktor Risikonya pada Sindrom Down. Ina Rosalina, Sjarif Hidayat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. disabilitas intelektual dapat belajar keterampilan baru tetapi lebih lambat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pemeriksaan Dermatoglifik dan Penilaian Fenotip Sindrom Down Sebagai Uji Diagnostik Kariotip Aberasi Penuh Trisomi 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tentunya akan menjadikan penerus bagi keturunan keluarganya kelak. Setiap anak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu kesehatan anak khususnya sub bagian

BAB I PENDAHULUAN. orang tua yang sudah memiliki anak. Enuresis telah menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan

BAB I PENDAHULUAN. Air adalah komponen penyusun tubuh terbesar, yaitu sebanyak 50%-60%

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tekanan darah tinggi menduduki peringkat pertama diikuti oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan konsistensi tinja cair

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi dari organ tempat sel tersebut tumbuh. 1 Empat belas juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kasus. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia tahun yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

GANGGUAN SALURAN CERNA PADA AWAL MASA KEHIDUPAN ANAK DWI PRASETYO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012).

BAB 1 : PENDAHULUAN. Kanker payudara dapat tumbuh di dalam kelenjer susu, saluran susu dan jaringan ikat

BAB I PENDAHULUAN. kebersihan rumah tangga dan lingkungan, serta meningkatnya pendapatan dan

BAB I PENDAHULUAN. aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik

HUBUNGAN ANTARA STATUS INTERAKSI SOSIAL DAN TIPE KEPRIBADIAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA LANJUT USIA DI PANTI WERDHA DARMA BHAKTI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

BAB III METODE PENELITIAN. cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan

Farmakoterapi I Diar dan konstipasi. Ebta Narasukma A, M.Sc., Apt

BAB 1 PENDAHULUAN. (lebih dari 15 menit) dapat menyebabkan kematian (0,64-0,74%). pertama sebelum umur 4 tahun, terbanyak diantara bulan.

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dasar (usia 6-12 tahun) adalah pola makan yang tidak tepat. Anak usia sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN

BAB I PENDAHULUAN. non-infeksi makin menonjol, baik di negara maju maupun di Negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hemoroid merupakan salah satu penyakit. anorektal yang sering dijumpai. Hemoroid adalah bantalan

BAB I PENDAHULUAN. pada abad ini. Dijelaskan oleh WHO, di dunia penyakit tidak menular telah

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat 125 juta orang dengan usia 80 tahun bahkan lebih. (World Health

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol merupakan substansi yang paling banyak digunakan di dunia dan tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. negara berkembang, penyakit ini disebabkan oleh kuman. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2014, dari 20 negara di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB I PENDAHULUAN. terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 8,2 juta orang. Berdasarkan Data GLOBOCAN, International Agency

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 pen

BAB I PENDAHULUAN. dengan tiga kriteria utama, yaitu gangguan fungsi intelektual secara bermakna,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Hati adalah organ tubuh yang paling besar dan paling kompleks. Hati yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB I PENDAHULUAN. Overweight dan obesitas adalah dua istilah yang berbeda. Overweight

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. A DENGAN POST APPENDIKTOMI HARI KE II DI RUANG CEMPAKA RSUD PANDANARAN BOYOLALI

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit tidak menular (PTM) merupakan masalah kesehatan utama di

1. Nama Penyakit/ Diagnosis : Sindrom Down

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proporsi penduduk dunia berusia 60 tahun ke atas tumbuh lebih

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara sekitar dari jumlah penduduk setiap tahunnya.gastritis

BAB I PENDAHULUAN. paling sering ditemukan didunia. Tumor ini sangat prevalen didaerah tertentu

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

*Fakultas Kesehatan Masyarakat

Pengertian Irritable Bowel Syndrome (IBS)

Panduan Konseling Pasien tentang Genetika Reproduksi. Konten pendidikan disediakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dilihat dari usia harapan hidup (UHH) (Mubarak,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Mioma uteri sering disebut juga leiomioma atau fibroid uterus, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang


BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan adalah hipertensi. Hipertensi adalah keadaan peningkatan

HERNAWAN TRI SAPUTRO J

Transkripsi:

Sari Pediatri, Sari Pediatri, Vol. 6, No. Vol. 1, 6, Juni No. 1, 2004: Juni 10-15 2004 Konstipasi dan Faktor Risikonya pada Sindrom Down Ina Rosalina, Sjarif Hidayat Konstipasi adalah keterlambatan atau kesulitan buang air besar yang terjadi 1 sampai 2 kali per minggu atau lebih dari 3 hari secara berturut-turut. Angka kejadian konstipasi pada anak bervariasi antara 2-20%, pada umumnya merupakan suatu gejala dari penyakit. Kegagalan dalam proses defekasi merupakan penyebab utama dari konstipasi dan hipotoni merupakan salah satu keadaan yang mengakibatkan terjadinya konstipasi tersebut. Sindrom Down merupakan kelainan kromosom yang dapat mengakibatkan terjadinya hipotoni pada seluruh sistem muskuloskeletal termasuk pada saluran cerna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase sindrom Down yang menderita konstipasi dan hubungan dengan faktor risikonya. Diagnosis sindrom Down ditegakkan berdasarkan pemeriksaan genetik di rumah sakit Hasan Sadikin, dibagi dalam tipe aberasi penuh dan tipe mosaik. Pada subyek diberikan kuesioner terstruktur yang berisi pertanyaan yang berhubungan dengan konstipasi dan faktor risikonya, 50 kuesioner kembali ke peneliti. Subyek berusia 3-10 tahun ( 27 wanita dan 23 pria), konstipasi ditemukan pada 32%. Aberasi penuh lebih banyak yang menderita konstipasi (35%) dibanding dengan mosaik (25%). Encopresis ditemukan pada 30% pasien sedangkan soiling pada 26% pasien. Baik encopresis maupun soiling lebih banyak ditemukan pada tipe mosaik ( 58,5%; 38%) dibanding aberasi penuh ( 26,7% ; 25%). Nyeri perut dan nyeri saat buang air besar berhubungan dengan kejadian konstipasi (r:0,5, p:0,002 ; r:0,56, p:0,002). Aktifitas berlebihan dan soiling berhubungan dengan kejadian encopresis (r: 0.49, p:0,001; r:0,44, p:0,005). Gangguan saluran kemih dan pemakaian obat obatan berhubungan dengan kejadian soiling (r: 0,38, p: 0,02; r:0,32, p:0,04). Kesimpulan, hampir setengah dari sindrom Down mengalami konstipasi, encopresis dan soiling; sedangkan tidak jelas faktor risiko mempengaruhi terjadinya konstipasi pada anak sindrom Down. Kata kunci: konstipasi, sindrom Down, faktor risiko Konstipasi adalah penyakit dengan kelainan defekasi. Konstipasi pada anak didefinisikan apabila seorang anak tidak defekasi selama 3 hari berturut turut atau seminggu hanya defekasi kurang dari 3 kali. Keadaan lain yang termasuk dalam konstipasi disebut soiling yaitu apabila buang air besar sedikit sedikit dan melekat Alamat Korespondensi: Ina Rosalina, dr., Sp.A Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSUP dr. Hasan Sadikin Jl. Pasteur No. 38 Telp./Fax. 2034426-203595 Bandung 40161 di celana, encopresis yaitu apabila buang air besar di celana tanpa bisa disadari. 1 Konstipasi disebabkan oleh berbagai macam keadaan; seperti kelainan di saluran cerna dan kelainan di luar saluran cerna. Salah satu penyebab diluar saluran cerna adalah keadaan hipotoni otot yang sifatnya umum. Konstipasi karena kelainan hipotoni disebut sebagai penyebab konstipasi pada anak yang mengalami sindrom Down. 2,3 Sindrom Down adalah suatu anomali atau kelainan kromosom (kelebihan kromosom pada kromosom 21) yang didapatkan pada 1,3 per seribu kelahiran; anomali ini belum banyak diketahui penyebabnya. Diduga 10

adanya kesalahan dalam perkembangan sel yang berakibat pada adanya 47 kromosom. 4 Terdapat 3 tipe utama kelainan kromosom pada sindrom Down, tipe trisomi 21 bebas 95%, tipe translokasi 3-4% dan tipe mosaikisme 1%. 3 Delapan puluh persen bayi sindrom Down lahir dari ibu berumur kurang dari 35 tahun sedangkan 1 dari 400 lahir dari ibu yang umurnya di atas 35 tahun. Sindrom Down merupakan individu yang mempunyai kelainan yang berbeda dengan orang normal terutama dalam hal kepribadian, cara belajar, kecerdasan, keluh kesah, rasa humor, sikap dan kelainan bawaan. Selain itu juga mempunyai kelainan pada organ yang memberikan gejala klinis yang berbeda. Salah satunya adalah kelainan di saluran cerna yang sering sekali menimbulkan masalah pada anak sindrom Down yang penyebabnya belum banyak diketahui. Terdapat literatur yang mengatakan kelainan gastrointestinal yang dihubungkan dengan sindrom Down dibagi dalam tiga grup yaitu 5,6 1). Masalah struktural dan embrional, berupa anorektal (imperforata atau stenosis), duodenal atau jejunal atresia/stenosis, penyakit Hirschprung. 2). Masalah koordinasi dan motilitas; sulit makan, konstipasi, toddler diarrhea, gastro oesophagal reflux, batu empedu; 3). Otoimun, penyakit Celiak, hepatitis 5,6. Konstipasi pada anak sindrom Down disebabkan karena gangguan motilitas yang kronik akibat hipotoni yang menyeluruh termasuk di sistem pencernaan. Belum banyak penelitian yang menyebutkan berapa besar konstipasi terjadi pada anak dengan sindrom Down. Konstipasi pada anak sindrom Down akan menambah masalah sehari-hari pada anak ini. Oleh karena itu pada penelitian ini ingin mengetahui berapa besar konstipasi memberikan masalah pada anak sindrom Down agar penanganan dan perawatan mereka lebih komprehensif 5. Bahan dan cara Penelitian dilakukan secara cross sectional. Pasien yang ikut dalam penelitian ini adalah pasien dengan kelainan bawaan yang mempunyai fenotip sindrom trisomi 21 (sindrom Down) berusia 3-10 tahun yang datang ke RS Hasan Sadikin. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan genetik yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, 7 sehingga diketahui tipe kromosom termasuk aberasi penuh atau mosaik. Suatu formulir terstruktur telah dikembangkan untuk mengetahui data tentang konstipasi pada pasien. Formulir terdiri dari 20 pertanyaan mengenai konstipasi dan faktor risiko konstipasi sejak lahir sampai dilakukannya penelitian. Formulir dibuat sedemikian sehingga bisa dimengerti oleh orang tua pasien. Formulir disebarkan kepada pasien dan diisi oleh mereka, kemudian dikembalikan kepada peneliti. Dari 100 formulir yang disebar, separuhnya kembali dan bisa dianalisis. Analisis Data Analis data dilakukan dengan memakai program komputer SPSS versi 11. Untuk data mean memakai analisis student-t test, untuk analisis korelasi memakai korelasi pearson, sedangkan untuk perbedaan dua variabel dengan data proporsi memakai Fisher exact test. Hasil Terdapat 50 formulir yang kembali kepada peneliti yang bisa dianalisis. Distribusi pasien tersebar dari usia 3-10 tahun. Jumlah pasien dengan tipe aberasi penuh terdapat pada 34 pasien sedangkan 16 pasien tipe mosaik. Jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan dari kedua kelompok tidak didapatkan perbedaan yang berbeda. Pasien sindrom Down yang mengalami konstipasi sebanyak 32% (16/50) Kejadian konstipasi pada pasien dengan aberasi penuh lebih banyak (35%) dibanding pasien dengan mosaik (25%). Akan tetapi secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna diantara keduanya (Gambar 1). Kejadian encopresis pada sindrom Down terdapat 26%, sedangkan soiling lebih banyak ditemukan yaitu 30%. Encopresis lebih banyak (p: 0,05) ditemukan pada sindrom tipe mosaik (58.3%) dibandingkan dengan sindrom tipe aberasi penuh (27%) (Gambar 2). Demikian juga soiling ditemukan lebih banyak pada sindrom tipe mosaik (38%) dibandingkan pada tipe aberasi penuh (25%), meskipun demikian secara statistik tidak berbeda bermakna (Gambar 3). Hubungan kejadian konstipasi dengan beberapa faktor risiko tertera pada Tabel 1. Kejadian konstipasi pada anak dengan sindrom Down berhubungan dengan adanya rasa nyeri di perut ( r:0,5; p:0,002) 11

dan rasa nyeri saat buang air besar ( r:0,56; p:0,002). Kejadian konstipasi pada anak sindrom Down tidak dipengaruhi oleh pola mekoneum saat baru lahir, jumlah minuman yang dikonsumsi dan jenis makanan yang di konsumsi. Demikian juga dengan adanya riwayat konstipasi pada keluarga. Gambar 1. Kejadian konstipasi pada anak sindrom Down Gambar 2. Proporsi encopresis pada Sindrom Down 12

Gambar 3. Proporsi soiling pada Sindrom Down Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian encopresis dengan kejadian soiling (r: 0,44; p:0,005) serta aktifitas anak yang berlebihan (r:0,49; p: 0,001). Demikian juga kejadian soiling berhubungan dengan adanya gangguan pada saat buang air kecil (r: 0,38; p: 0,02), dan pemakaian obat obatan (r: 0,32; p: 0,04). (Tabel 1) Pembahasan Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa banyak anak sindrom Down akan mengalami konstipasi. Dari data yang didapat diketahui bahwa anak sindrom Down hampir setengahnya (32%) mengalami konstipasi. Konstipasi pada anak normal atau populasi normal bervariasi dari negara ke negara. Di Amerika berkisar 3-15%, sedangkan di Eropa berkisar 3% pada anak dan sampai 20% pada orang dewasa. Pada negara yang sedang berkembang prevalensi konstipasi ini lebih kecil dan berkisar 2% dari populasi. 1 Perbedaan prevalensi ini mungkin disebabkan karena penyebab konstipasi sendiri sangat beragam sehingga pengaruh keadaan Tabel 1. Hubungan kejadian konstipasi dengan beberapa faktor risiko Kejadian Nyeri perut Nyeri saat Soiling Aktivitas Gangguan Obat- obatan b.a.b* berlebihan saat b.a.k** Konstipasi r:0,5 r:0,56 p:0,002 p:0,002 Enkopresis r:0,44 r:0,49 p:0,005 p: 0,001 Soiling r:0,38 r: 0,32 p: 0,02 p: 0,04 * b.a.b: buang air besar * b.a.b: buang air besar 13

negara serta kebiasaan penduduknya akan memberikan perbedaan yang mencolok dalam kejadian konstipasi. Konstipasi pada anak sindrom Down belum banyak dilaporkan. Penelitian hanya menyebutkan bahwa pada anak sindrom Down akan terjadi konstipasi karena gangguan hipotoni. Angka yang pasti belum ada. Penelitian ini menjawab pertanyaan seberapa besar anak sindrom Down akan mengalami konstipasi. Melihat angka 32% anak sindrom Down mengalami konstipasi, ini menunjukan bahwa masalah konstipasi tersebut menjadi masalah yang serius. Diperkirakan gangguan hipotoni yang menyerang sistem muskuloskeletal akan menyerang juga otot saluran cerna pada hampir setengah pasien sindrom Down, sehingga berakibat kesulitan dalam buang air besar. Masalah ini akan menjadi lebih komplek karena selain hipotoni, ternyata saluran cerna anak sindrom Down juga mengalami gangguan pada mukosanya. Dengan adanya konstipasi maka kesempatan terjadi infeksi di saluran cerna menjadi lebih besar dibanding anak normal karena konstipasi akan menimbulkan motilitas usus terganggu yang akan berakibat pada gangguan ketahanan sistem pertahanan tubuh terutama di saluran cerna. Meskipun secara statistik tidak berbeda bermakna, tapi angka absolut kejadian konstipasi lebih banyak diderita oleh pasien sindrom Down dengan aberasi penuh dibanding tipe mosaik. Ini menunjukkan bahwa gangguan motilitas karena hipotoni yang menyeluruh lebih banyak pada yang tipe lebih berat yaitu aberasi penuh dibanding mosaik. Hal ini dapat dijelaskan karena tentunya hipotoni akan berhubungan dengan derajat beratnya gangguan kromosomnya. Encopresis dan soiling yang dalam definisi konstipasi termasuk gangguan pengeluaran tinja, atau bahkan dimasukkan dalam katagori konstipasi juga, ternyata kedua keadaan ini meningkat pada sindrom Down ( 30% dan 26%). Pada anak normal gangguan ini hanya diderita oleh kurang dari 2% populasi. Angka ini tidak jauh berbeda dengan angka kejadian konstipasi. Hal ini menunjukkan bahwa hipotoni pada sindrom Down berakibat juga pada gangguan encopresis dan soiling. Kebalikan dari konstipasi, encopresis dan soiling lebih banyak di derita pada sindrom Down tipe mosaik dibanding aberasi penuh (Gambar 2,3). Hal ini menunjukkan bahwa tipe yang lebih ringan cenderung mempunyai gejala gangguan kesulitan buang air besar yang lebih ringan juga. Kejadian konstipasi berhubungan dengan adanya rasa nyeri di perut dan rasa nyeri pada saat defekasi, hubungan ini cukup bermakna. Dapat dimengerti bahwa keadaan konstipasi akan menyebabkan tinja mengeras dan membesar sehingga kemungkinan menyebabkan nyeri saat tinja akan keluar. Demikian juga konstipasi akan menyebabkan perut kembung. Keadaan ini akan menimbulkan rasa sakit perut. Adanya aktivitas yang berlebihan menimbulkan motilitas usus menjadi kurang baik pada sindrom Down, ini terlihat pada kenyataan yang ditemukan bahwa pasien yang aktif berhubungan dengan aktivitas yang berlebihan, meskipun hubungan ini sangat lemah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada sindrom Down yang mengalami encopresis akan juga mengalami soiling, hal ini terlihat pada hubungan antara keduanya bermakna. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa gangguan dalam mengendalikan rasa ingin buang air besar selalu akan timbul pada anakanak yang mengalami gangguan motilitas, sedangkan encopresis dan soiling adalah dua keadaan yang disebabkan sulitnya pengendalian buang air besar. Hipotoni yang terjadi pada sindrom Down terbukti memang menyeluruh. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan pada pengendalian buang air besar berhubungan dengan gangguan buang air kecil, seperti ngompol dan kencing yang sering ditahan, sehingga pada beberapa penelitian ditemukan anak sindrom Down sering mengalami infeksi saluran kemih. Pemakaian obat-obatan yang pada penelitian konstipasi pada anak normal sebagai salah satu penyebab, pada penelitian ini hanya berhubungan secara bermakna dengan kejadian soiling. Kemungkinan jenis obat obatan mempengaruhi kejadian ini. Pada penelitian ini tidak disebutkan macam obat yang dikonsumsi sehingga sulit menjelaskan pengaruhnya obat tersebut terhadap hipotoni. Faktor risiko lain yang pada anak normal berperan terhadap kejadian konstipasi seperti konsumsi air dan makanan berserat serta riwayat keluarga, pada sindrom Down tidak terbukti mempunyai peran terhadap kejadian konstipasi, soiling maupun encopresis. Hal ini bisa dijelaskan bahwa konstipasi pada sindrom Down memang karena hipotoni bukan karena sebab lain yang banyak terdapat pada pasien konstipasi anak normal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa data menunjukkan pasien dengan sindrom Down hampir setengahnya mengalami konstipasi. Faktor risiko konstipasi pada sindrom Down tidak sama dengan 14

faktor risiko konstipasi pada anak normal. Data ini sangat berguna untuk para klinisi dalam merawat dan menangani pasien sindrom Down. Daftar Pustaka 1. Van der plas RN. Epidemiology and Patophysiology of constipation in clinical management and treatment options in children with defecation disorders. Academisch proferschrift. Amsterdam;1998. h.17-145. 2. Jones KL. Morphogenesis and dysmorphogenesis. Smith s recognizable pattern of human malformation, edisi ke-5 Philadelphia: WB Saunders; 1977. h.695-704. 3. Naussbaum RL, McInnes RR, Willard HE. Thompson & Thompson genetics in medicine, edisi ke-5 Philadelphia: WB Saunders;2001. h.135-55. 4. Thompson JS, Thompson MW. Genetics in medicine, edisi ke-3, Philadelphia: WB.Saunders Co; 1980: h.320-30. 5. Charlton.C. Gastrointestinal disorders in people with Down s Syndrome: an overview. A confrence of a royal Society of Medicine forum on learning disability and Down s Syndrome Medical Interest Group. Royal Society of Medicine, London; April 2001. 6. Levi J. The gastrointestinal tract in Down syndrome. Prog Clin Biol Res 1991;373:245-56. 7. Hidayat S. Pemeriksaan dermatoglifik dan penilaian fenotip tubuh anak sindrom Down sebagai uji diagnostik kariotip aberasi penuh trisomi 21. Desertasi program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung; 2002. 8. Gastrointestinal problem in children with Down s Syndrome http://www.downs-syndrome.org.uk/pd. 15