BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa kanak-kanak awal biasanya dikenal dengan masa prasekolah. Pada usia ini, anak mulai belajar memisahkan diri dari keluarga dan orangtuanya untuk masuk dalam lingkungan yang baru, yaitu lingkungan taman bermain atau taman kanak-kanak. Dalam memasuki lingkungan taman bermain, anak akan mempelajari banyak hal, di antaranya belajar arti berteman, belajar bahasa verbal yang sama dengan orang-orang di lingkungannya. Selain itu, keterampilan motorik kasar dan motorik halus anak akan berkembang semakin baik, sehingga meningkatkan kemandiriannya (Ayah Bunda, 2009:105, Balita dan Masalah Perkembangannya). Seiring berkembangnya keterampilan-keterampilan yang telah dikuasai oleh anak, diharapkan anak-anak dapat belajar mandiri dengan merawat dirinya sendiri, dalam memenuhi kebutuhannya, seperti melepas dan mengenakan pakaian, buang air kecil, ataupun memakai kaos kaki dan sepatunya sendiri tanpa bantuan orangtua maupun pengasuhnya. Awalnya, anak akan banyak melakukan kesalahan dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi dengan adanya proses pembelajaran yang terus menerus, anak akan dapat melakukan berbagai hal itu sendiri tanpa bantuan khusus dari orangtua maupun pengasuhnya (Ayah Bunda, 2009:112, Balita dan Masalah Perkembangannya). Saat kemampuan anak semakin baik dalam mengurus dirinya, anak akan merasa bangga terhadap kemampuannya. Selain itu, ia merasa orangtua telah memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepadanya, 1
2 sehingga membuat anak ingin belajar lebih mandiri dan tidak berpikir bahwa menyelesaikan tugas adalah sesuatu yang tidak menyenangkan atau dipaksakan kepada mereka untuk diselesaikan (Papalia,2008:305). Rasa bangga yang dirasakan oleh anak terhadap dirinya membuat rasa percaya diri dan inisiatifnya meningkat dalam melakukan suatu hal, seperti yang dikemukakan oleh teori Erikson pada tahap ketiga perkembangan psikososial, yaitu tahap initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah) setelah sebelumnya melewati tahap sebelumnya yaitu autonomy vs shame and doubt (otonomi vs. rasa malu dan keragu-raguan) dimana anak telah mengembangkan kemampuan untuk menguasai dirinya sendiri dan otot-otot tubuh, maka pada tahap ketiga ini anak lebih dihadapkan kepada lingkungan sekitarnya (Gunarsa, 1982: 111). Anak-anak mulai dapat bekerjasama dengan orang lain, berimajinasi, dan mengambil inisiatif sendiri untuk suatu melakukan suatu tindakan, yaitu mengurus diri, menunjukkan kemampuannya, serta melakukannya sesuai dengan yang mereka sukai. Meskipun kadang anak-anak banyak melakukan kesalahan, tetapi dengan pengarahan orangtua, anak akan melakukannya dengan lebih baik lagi (Nuryanti, 2008: 26). Kepercayaan diri merupakan salah satu hal yang penting dalam menumbuhkan kemandirian seorang anak, karena dengan adanya rasa percaya diri, anak akan merasa yakin akan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri seorang anak, maka akan semakin besar keinginan anak untuk meningkatkan kemandiriannya (Parker, 2005: 235). Dari pernyataan di atas, saat anak memiliki rasa percaya diri dan inisiatif dalam melakukan suatu hal, anak dapat mulai mempersiapkan tahap perkembangan berikutnya yaitu industry vs inferiority. Dalam tahap ini anak-anak banyak belajar keterampilan yang lebih formal. Bila sebelumnya anak
3 bermain secara bebas, pada tahap ini ini anak bermain dengan menggunakan aturan yang telah ditentukan oleh kelompok (Nuryanti, 2008: 27). Anak-anak yang berhasil melalui tahap sebelumnya akan menjadi anak yang mempunyai rasa percaya diri dan inisiatif yang tinggi, sedangkan anak-anak yang kurang mandiri, tidak dapat melewati tahap ini dengan baik, cenderung menjadi penakut, kurang dapat bergaul dengan kelompok, tergantung dengan orang lain, serta perkembangan imajinasinya terhambat (Nuryanti, 2008: 27-28). Oleh karena itu, kemandirian penting diperkenalkan pada anak sejak dini, karena pada usia dini anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar sehingga anak selalu ingin mencoba untuk menyelesaikan dan menguasai suatu hal. Dorongan itulah yang tidak dapat menghentikan anak untuk menjadi individu yang mandiri, meskipun awalnya berjalan perlahan dan tidak sempurna dalam proses kemandiriannya, tetapi orangtua harus terus memberi kesempatan kepada anak untuk dapat mengembangkannya seiring dengan berkembangnya kompetensi dan tanggung jawab anak (Parker, 2005: 229). Pembentukan kemandirian ini tidak terlepas dari peran orangtua. Menurut aliran konvergensi (Sobur, 2003: 149), pengaruh yang paling besar dalam 5 tahun pertama perkembangan anak adalah pengaruh orangtua. Orangtua memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak, misalnya makanan, pakaian, tempat tinggal, juga kasih sayang. Akan tetapi, harus diingat juga bahwa tidak selamanya orangtua dapat hadir menyediakan kebutuhan anak. Oleh karena itu, tujuan utama orangtua dalam membesarkan anak adalah menyiapkannya menuju kehidupan sebagai individu yang nantinya akan menjadi dewasa. Sedikit demi sedikit anak mengalami proses pendewasaan, yang membuat anak semakin tidak bergantung kepada orangtua, karena tidak sepenuhnya
4 orangtua dapat menentukan kehidupan seorang anak. Hal itulah yang membuat hasil dari proses perkembangan anak kadang tidak selalu sama dengan harapan orangtua (Sobur, 2003: 149). Meskipun menumbuhkan kemandirian anak sangat penting, namun menurut data yang didapatkan oleh peneliti dari hasil observasi dan wawancara awal dengan seorang guru kelas dan kepala sekolah TK YPPI- IV Surabaya, anak-anak TK B di tempat tersebut saat pertama kali masuk sekolah masih belum sepenuhnya dapat mengurus dirinya sendiri. Hal tersebut diketahui saat beberapa anak masuk sekolah, anak-anak tersebut masih minta untuk ditemani oleh orangtuanya. Jika keinginannya tidak dipenuhi maka anak akan menangis dan tidak mau masuk ke kelas. Hal ini terkait dengan kemandirian anak secara emosional, yang menurut Dowling (2000: 34) dapat dilihat ketika anak dapat mengendalikan emosinya saat harus berpindah ke lingkungan yang baru tanpa kehadiran orangtuanya. Selain itu, saat anak-anak makan bersama, peneliti melihat beberapa anak masih meminta bantuan guru untuk membuka pembungkus makanannya. Hal ini terkait dengan kemandirian anak secara fisikal dan fungsional. Menurut Dowling (2000: 34), kemandirian ini dapat dilihat ketika anak telah dapat menguasai kemampuan motoriknya dengan baik, serta koordinasi mata dan tangannya secara matang, sehingga anak dapat melakukan kegiatannya sendiri tanpa bantuan orang dewasa. Saat beraktivitas di dalam kelas, kebanyakan anak-anak tampak sibuk bermain dengan teman di sebelahnya, dengan demikian saat guru menerangkan di dalam kelas anak-anak tidak dapat menangkap instruksinya dengan baik dan akhirnya pekerjaan yang diberikan oleh guru tidak dapat dikerjakan oleh anak. Misalnya saat pelajaran matematika anak sibuk mengganggu teman di sebelahnya, sehingga saat
5 guru meminta untuk mengerjakannya anak menjadi diam dan mengumpulkannya tanpa ada jawaban apa-apa, akhirnya guru menginstruksikan kembali tugas yang harus dikerjakan oleh anak dan membantu anak menyelesaikannya. Hal ini menggambarkan kekurangmandirian anak secara intelektual, yang menurut Dowling (2000: 34) dilihat ketika anak dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik dengan arahan yang disampaikan oleh orang dewasa. Dalam bergaul pun anak-anak tampak perlu harus diarahkan oleh guru untuk berteman dengan teman-temannya yang lain. Hal ini terlihat ketika anak yang lain sedang asyik bermain ada beberapa anak yang asyik bermain sendiri dan ada juga yang mengajak temannya untuk memusuhi salah satu temannya. Dari hasil wawancara peneliti dengan guru kelas TK B, memang ada anak yang tidak dapat berbaur dengan teman-temannya, ada beberapa anak yang memang senang bermain sendiri, dan ada beberapa anak yang memilih-milih teman untuk diajak bermain. Hal ini terkait dengan kemandirian anak secara sosial, yang menurut Dowling (2000: 34) dapat dilihat ketika anak dapat bergaul dan berbagi dengan teman-temannya di sekolah. Menurut guru di TK YPPI, hal ini dikarenakan orangtua yang beranggapan bahwa anak-anaknya masih membutuhkan bantuan orang yang lebih dewasa untuk mengurus dirinya, sehingga ketika di sekolahpun anak menganggap bahwa apapun yang mereka lakukan harus selalu dibantu oleh orang lain yang lebih dewasa dari dirinya. Oleh karena itu terkadang orangtua merasa tidak tega untuk meninggalkan anaknya di sekolah. Selain di sekolah, kemandirian juga dapat terlihat ketika anak berada di rumah. Menurut data yang didapatkan melalui internet, dikatakan bahwa dengan alasan tidak mau kotor, beberapa orangtua terus-
6 menerus memasangkan popok (diaper) pada anaknya hingga usia 5 tahun, bahkan tidak melatih mereka untuk bisa buang air di kamar mandi secara mandiri. Hal tersebut dilakukan karena alasan kepraktisan. Beberapa orangtua juga masih terus memandikan dan membersihkan anaknya setelah buang air besar, hingga anak berusia 7 tahun lebih (Pujianti, 2008, Senangnya,Saat Anak Makin Mandiri, para 6). Orangtua lebih senang membantu anaknya melakukan sesuatu karena mereka takut anaknya kotor ataupun terluka saat melakukan aktivitasnya. Banyak hal dan alasan yang sering dikatakan oleh orangtua untuk membuat kurungan bagi anak untuk tumbuh menjadi individu yang mandiri (Pujianti, 2008, Senangnya,Saat Anak Makin Mandiri, para 6). Orangtua tidak menyadari, bahwa ketika anak mempunyai kemampuan mandiri, anak akan memiliki rasa percaya diri yang luar biasa (Pujianti, 2008, Senangnya,Saat Anak Makin Mandiri, para 7). Ketidakmandirian seorang anak seringkali terlihat dari sikapnya yang selalu tergantung pada orang lain di sekitarnya. Pada umumnya ketidakmandirian anak terbentuk karena pemanjaan yang diberikan oleh orangtua terlalu berlebihan, bahkan pemanjaan diberikan secara terusmenerus sampai melewati batas usia anak yang sudah tidak seharusnya untuk mendapatkan pemanjaan (Ayah Bunda, 2009: 134, Balita dan Masalah Perkembangannya). Anak-anak menjadi manja karena orangtua selalu menuruti keinginan anaknya tanpa memberikan konsekuensi yang tegas dan kadang orangtua kurang mampu dalam berkomunikasi dengan anak (Carrol & Reid, 2005: 4). Orangtua seringkali menunjukkan rasa sayang yang berlebihan kepada anak-anaknya, sebagaimana dapat terlihat ketika anak kesusahan dalam mengerjakan tugasnya, orangtua akan langsung datang membantu menyelesaikan tugasnya sehingga anak tidak
7 dapat menunjukkan potensi kemandirian dan kepercayaan terhadap diri mereka sendiri. (Parker, 2005: 230). Perlakuan orangtua terhadap anak tersebut merupakan bentuk pola asuh permisif. Dengan tipe pola asuh permisif, orangtua seringkali menyetujui semua yang diinginkan oleh anaknya. Hal tersebut membuat orangtua terlihat tidak mempunyai kekuatan dalam mengatur dan mendidik anaknya, sebaliknya anaklah yang memegang peranan penting dalam suatu keluarga (Dariyo,2007: 207). Menurut Maccoby& Martin (dalam Santrock, 1999), pola asuh permisif terdiri dua bentuk, yang pertama yaitu neglecful parenting, dimana orangtua tidak terlibat sama sekali dalam kehidupan anak, dan yang kedua permissive-indulgent parenting, dimana orangtua selalu ikut campur dalam perkembangan anak sampai mereka tidak dapat mengendalikan anaknya. Fokus penelitian ini lebih melihat pada bentuk permissive-indulgent parenting, yang mana orangtua terlalu memanjakan dan mengijinkan anak melakukan apapun yang mereka sukai (Besembun, 2009, Gaya Pola Asuh Orangtua, para 6). Mungkin orangtua dengan pola asuh permisif terlihat sangat baik, karena orangtua tampak sangat mencintai dan menghindari setiap permasalahan yang terjadi pada anaknya. Orangtua tidak pernah berkata tidak kepada anaknya, sehingga anak selalu merasa bahwa apapun yang mereka inginkan akan selalu terpenuhi. Hal tersebut akhirnya membuat anak selalu merasa nyaman dari permasalahan yang terjadi pada dirinya (Bradley,2006, Permissive Parenting, para 1). Akibatnya seringkali terlihat, jika ketergantungan anak semakin tinggi terhadap orangtua ataupun dengan orang lain, maka kemandirian seorang anak akan menjadi kurang berkembang dengan maksimal. Menurut Baumrind (dalam Papalia, 2004 : 395), pola asuh permisif memberikan dampak yang cenderung negatif terhadap perkembangan diri anak untuk tumbuh
8 sebagai anak yang sangat tidak dewasa, manja, kurang mandiri, ingin menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat bahwa orangtua yang memanjakan anaknya dengan selalu membantu dan menuruti semua keinginan anak akan membuat anak terus berada dalam zona nyamannya di dalam rumah, sehingga semua perlakuan yang diterima oleh anak akan terus tertanam dalam pikirannya. Hal tersebut membuat anak mempunyai pikiran bahwa apapun yang ia inginkan akan selalu dipenuhi oleh orangtua. Akhirnya saat berada dalam lingkungan yang baru, anak akan selalu minta dilayani, dan mereka akan selalu menuntut untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Dengan kata lain, anak menjadi tidak mandiri. Untuk menguji apakah ada hubungan antara tingkat permisivitas orangtua dan kemandirian anak prasekolah tersebut, penelitian ini dilakukan. 1.2 Batasan masalah Agar permasalahan penelitian tidak meluas, maka peneliti memberikan batasan-batasan sebagai berikut : 1. Subjek dalam penelitian ini dibatasi pada anak-anak TK B usia 4-5 tahun di sekolah TK YPPI IV. 2. Penelitian ini ingin melihat tingkat kemandirian anak selama berada di sekolah. Kemandirian ini akan dinilai oleh guru. Kemandirian anak dalam penelitian ini meliputi kemandirian sosial emosi, kemandirian fisikal dan fungsional, dan kemandirian intelektual.
9 3. Permisivitas yang diangkat dalam penelitian ini hanya akan berfokus pada salah satu bentuk permisivitas yaitu permissive indulgent parenting, yang akan melihat tingkat pemanjaan orangtua terhadap anaknya. Hal ini akan dilihat melalui persepsi orangtua subjek, karena subjek masih pada tahap perkembangan anak usia dini. 4. Penelitian ini merupakan penelitian uji hubungan, yakni penelitian yang melihat hubungan antara tingkat permisivitas orangtua dengan kemandirian anak prasekolah. 1.3 Rumusan masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan antara tingkat permisivitas orangtua dengan kemandirian anak prasekolah? 1.4 Tujuan penelitian Dalam melakukan penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah ada hubungan antara tingkat permisivitas orangtua dengan kemandirian anak prasekolah. 1.5 Manfaat penelitian Dengan penelitian yang dilakukan, peneliti berharap dapat memberikan berbagai manfaat, seperti : a. Manfaaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya teori dalam psikologi perkembangan yakni perkembangan sosial-emosi anak khususnya
10 mengenai kemandirian anak yang ditinjau dari tingkat permisivitas orangtua. b. Manfaat Praktis a. Bagi orangtua Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi orangtua tentang keterkaitan antara tingkat permisivitas orangtua dan kemandirian anak prasekolah. Apabila hipotesis penelitian terbukti diharapkan nantinya orangtua dapat membenahi pengasuhan permisif yang diterapkan pada anaknya menjadi lebih baik dan menyadari bahwa pemanjaan dapat memberikan dampak negatif pada kemandirian anak. b. Bagi guru dan pengelola sekolah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi guru TK dan pengelola sekolah, bahwa pola pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua dapat memberikan dampak bagi kemandirian anak saat berada di sekolah, sehingga guru dan pengelola sekolah dapat bekerjasama dengan orangtua lebih baik lagi untuk dapat meningkatkan kemandirian anak didiknya.