BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
MOTTO DAN PERSEMBAHAN...

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 2.1. momen magnet yang berhubungan dengan (a) orbit elektron (b) perputaran elektron terhadap sumbunya [1]

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

4 Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. (Guimaraes, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis Partikel Magnetik Terlapis Polilaktat (PLA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MEDAN MAGNET SUGIYO,S.SI.M.KOM

ENKAPSULASI NANOPARTIKEL MAGNESIUM FERRITE (MgFe2O4) PADA ADSORPSI LOGAM Cu(II), Fe(II) DAN Ni(II) DALAM LIMBAH CAIR

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahan Magnetik. oleh: Ichwan Yelfianhar (dirangkum dari berbagai sumber)

polutan. Pada dasarnya terdapat empat kelas bahan nano yang telah dievaluasi sebagai bahan fungsional untuk pemurnian air yaitu nanopartikel

d) Dipol magnet merupakan sebuah magnet dipol, akselerator partikel, magnet yang dibangun untuk menciptakan medan magnet homogen dari jarak tertentu.

Bahan Listrik. Bahan Magnet

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 2 STUDI PUSTAKA Magnet

Karya Tulis Ilmiah MAGNET

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH WAKTU ANNEALING DAN MOLARITAS LARUTAN TITRASI PADA KOBALT FERIT DOPING STRONTIUM MENGGUNAKAN METODE KOPRESIPITASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

V. Medan Magnet. Ditemukan sebuah kota di Asia Kecil (bernama Magnesia) lebih dahulu dari listrik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19

Sistem Telekomunikasi

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. Gambar 5.1. (a)proses sintesis nanopartikel Mg1-xNixFe2O4, (b) nanopartikel Mg1-

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd)

BAB 2 PENGGUNAAN SENSOR MEDAN MAGNET TUNGGAL BERBASIS EFEK HALL DALAM PENGEMBANGAN ALAT UKUR HISTERISIS MAGNET UNTUK MATERIAL MAGNET LEMAH

GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. Oleh: DHELLA MARDHELA NIM: 15B08052

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh alat ukur dibawah ini adalah.

Materi Pendalaman 03 GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK =================================================

MEDAN MAGNET DAN ELEKTROMAGNET

θ HASIL DAN PEMBAHASAN. oksida besi yang terkomposit pada struktur karbon aktif.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 20. KEMAGNETAN Magnet dan Medan Magnet Hubungan Arus Listrik dan Medan Magnet

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

FABRIKASI NANOPARTIKEL COBALT FERRITE HASIL KO- PRESIPITASI DENGAN TWO STEP ANNEALING

Gambar 2.1. Medan Magnet Suatu Material Magnet[5]

Fisika Ujian Akhir Nasional Tahun 2003

: Dr. Budi Mulyanti, MSi. Pertemuan ke-9

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK UTARA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA MUSYAWARAH KERJA KEPALA SEKOLAH (MKKS) SMA TRY OUT UJIAN NASIONAL 2010

PENGARUH UKURAN PARTIKEL Fe 3 O 4 DARI PASIR BESI SEBAGAI BAHAN PENYERAP RADAR PADA FREKUENSI X DAN Ku BAND

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

METODE X-RAY. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

Teori Dasar GAYA MAGNETIK : (F) Jika dua buah benda atau kutub magnetik terpisah pada jarak r dan muatannya masing-masing m 1.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sifat gelombang elektromagnetik. Pantulan (Refleksi) Pembiasan (Refraksi) Pembelokan (Difraksi) Hamburan (Scattering) P o l a r i s a s i

BAB II STUDI PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

LATIHAN UJIAN NASIONAL

BAHAN AJAR 1 MEDAN MAGNET MATERI FISIKA SMA KELAS XII

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Medan magnet bumi, Utara geografik D. Utara magnetik I. Timur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MATA PELAJARAN WAKTU PELAKSANAAN PETUNJUK UMUM

MATA PELAJARAN WAKTU PELAKSANAAN PETUNJUK UMUM

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Magnet Magnet merupakan benda yang terbuat dari bahan tertentu dengan sifat mampu menarik bahan ferromagnetik dan ferrimagnetik. Nama magnet diambil dari nama daerah dimana batu yang bisa menarik atau menempel pada tongkat besi ditemukan (Overshott, 1991). Pada tahun 1820, Oersted memahami hubungan magnet dengan kelistrikan. Hubungan tersebut didapatkan dari pengamatan medan magnet yang terbentuk di sekitar kawat berarus. Dari penemuan tersebut, muncul hubungan antara medan magnet, medan listrik, dan cahaya yang dijelaskan dalam teori gelombang elektromagnetik Maxwell (Griffith, 1999). Pengembangan tentang magnet terus dilakukan hingga sekarang. 2.2. Medan Magnet, Induksi Magnetik, dan Magnetisasi Salah satu hal untuk menjelaskan fenomena magnetik adalah interaksi dari dua kutub magnetik (Chikazumi, 1997). Jika dua kutub magnet saling berinteraksi maka dapat terjadi gejala tarik-menarik atau tolak-menolak terhadap bahan magnet lain bergantung kutubnya (Dent, 2012). Dua gejala ini muncul karena adanya perubahan energi di area sekitar magnet. Area ini disebut sebagai medan magnet dan dilambangkan dengan H dengan satuan Oersted. Medan magnet yang berasal dari magnet permanen ada karena gerak dari elektron. Elektron terus bergerak secara kontinu karena mengalami gerak orbital dan gerak spin (Jiles, 1998). Gerak orbital merupakan gerak elektron mengelilingi inti atom. Tiap gerak tersebut menghasilkan momen magnetik. Momen magnetik merupakan hasil dari kuat kutub magnetik dan panjang magnet yang bekerja pada magnet (Chikazumi, 1997). Jika elektron mengelilingi inti atom dengan luas daerah A dan membawa arus muatan sebesar i, maka momen dipol magnetnya m dituliskan: = (2.1)

Untuk elektron yang berpasangan, momen magnet akan saling menghilangkan. Sedangkan untuk elektron yang tidak berpasangan menyebabkan adanya resultan momen magnet. Oleh karena itu, area dari suatu medan magnet sangat dipengaruhi oleh momen magnet dari bahan (Jiles, 1998). Medan magnet juga dapat muncul dari pergerakan muatan listrik disebut medan magnet Ampere. Medan magnet yang terbentuk bergantung pada bentuk dari lintasan gerak dan muatan yang dibawa. Jika pergerakan muatan terjadi pada suatu konduktor berbentuk lingkaran, berdasarkan hukum Biot-Savart dan teorema Ampere, medan magnet H, pada konduktor pembawa arus i, dengan jarijari r adalah (Jiles, 1998): = 2 (2.2) Suatu bahan yang dikenai medan magnet akan mengalami induksi magnetik. Besarnya medan magnet yang menembus tegak lurus terhadap medium disebut fluks. Besar induksi magnetik dipengaruhi oleh permeabilitas bahan. Persamaan induksi magnetik adalah sebagai berikut: = (2.3) Dimana adalah permeabilitas ruang hampa dan B adalah induksi medan magnet dengan satuan Tesla atau Oersted (Griffith, 1999). Magnetisasi menunjukkan seberapa besar suatu bahan dapat dipengaruhi oleh medan magnet dari luar. Magnetisasi terhadap suatu bahan dipengaruhi oleh suseptibilitas. Suseptibilitas dari suatu bahan merupakan tingkatan suatu bahan saat dimagnetisasi. Persamaan suseptibilitas dituliskan sebagai berikut (Kotnala & Shah, 2015): = (2.4) Dimana M adalah magnetisasi dari bahan dan adalah suseptibilitas dari bahan. Persamaan 2.4 menunjukkan bahwa besar suseptibilitas akan mempengaruhi besar magnetisasi oleh medan magnet eksternal. Magnetisasi secara kuantitas merupakan besar momen magnet tiap satuan volume yang terjadi karena pemberian induksi magnetik pada bahan.

2.3. Sifat-Sifat Magnetik 2.3.1. Energi Domain Wall Momen magnetik di kedua sisi magnet memiliki orientasi yang berbeda. Hal ini berhubungan dengan terbentuknya medan magnet yang seragam (uniform) (Chikazumi, 1997). Domain magnetik mewakili orientasi tertentu dari momen magnetik. Momen magnet yang berorientasi sama bergabung dalam kelompokkelompok domain. Daerah batas antar momen magnet yang memiliki orientasi berbeda disebut dengan domain wall. Magnetisasi spontan yang diberikan pada suatu bahan mengakibatkan domain wall mengalami perubahan atau perpindahan disebut domain wall displacement (Chikazumi, 1997). Magnetisasi spontan dari masingmasing domain berkebalikan dengan domain yang terpisah karena adanya energi domain walls. Energi domain walls bergantung pada kenaikan atau penurunan dari lebar domain walls akibat penumbuhan domain (Cullity & Graham, 2009). 2.3.2. Koersivitas Koersivitas menunjukkan kestabilan keadaan remanen dan digunakan untuk klasifikasi jenis magnet yaitu hard magnet, semi-hard magnet atau soft magnet. Koersivitas dari suatu bahan sangat bergantung pada ukuran butirnya. Ketika ukuran butir turun, maka koersivitas akan naik mencapai maksimum dan kemudian akan turun. Perubahan koersivitas ini terjadi karena perubahan dari keadaan multi domain menjadi keadaan domain tunggal superparamagnetik. Domain tunggal dapat dicapai dengan cara menurunkan ukuran butir sehingga keadaan tidak stabil dan fluktuasi spin mendominasi (Overshott, 1991). 2.4. Ferromagnetik Bahan ferromagnetik menunjukkan interaksi dipolar yang arahnya paralel dengan vektor dipol magnetiknya. Total energi dari bahan ferromagnetik merupakan jumlah dari energi exchange, magnetostatik, anisotropi, dan energi Zeeman. Energi exchange dalam hal ini terjadi pada permukaan bahan. Pada bahan ferromagnetik, interaksi exchange mekanik kuantumnya menjadikan

momen magnet atom sebelah menjadi paralel walaupun tanpa adanya medan magnet dari luar. Momen atom kopling ini menghasilkan magnetisasi yang besar dari bahan ferromagnetik atau disebut momen tiap satuan volume (Kotnala & Shah, 2015). Jika suhu dinaikkan hingga energi termalnya sebanding dengan energi exchange, susunan panjang atom ferromagnetik akan hilang. Suhu ketika magnetisasi spontan bernilai nol disebut sebagai suhu Curie dari bahan. Suhu Curie memisahkan fase ferromagnetik dan paramagnetik, fase ferromagnetik berada dibawah suhu Curie dan fase paramagnetik berada diatas suhu Curie. Beberapa bahan ferromagnetik dengan suhu Curie yang berbeda-beda ditampilkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Suhu Curie dari beberapa material (Jiles, 1998) Material Suhu Curie (T c ) ( C) Iron 770 Nikel 358 Kobalt 1130 Gadolinium 20 Terfenol 380-430 Alnico 850 SmCo 720 Nd2Fe14B 312 Sm2Co17 810 Hard Ferrite 400-700 Barium Ferrite 540 2.5. Kurva Histerisis Karakteristik bahan ferromagnetik yang dipengaruhi oleh induksi magnetik, medan magnet luar, dan magnetisasi ditunjukkan dalam bentuk kurva histerisis. Hubungan dari ketiga besaran tersebut ditunjukkan dengan persamaan: = + (2.5) Dimana B adalah induksi magnet (Tesla), H adalah medan magnet luar (A/m), M adalah magnetisasi (A/m), dan µ o merupakan permeabilitas ruang hampa.

Ketika suatu bahan ferromagnetik dikenakan medan magnet luar H, maka bahan akan termagnetisasi. Jika nilai H diperbesar, magnetisasi M juga semakin besar. Pada keadaan tertentu saat magnetisasi sudah tidak naik dengan kenaikan H keadaan ini disebut magnetisasi saturasi M s. Selanjutnya, saat H dikecilkan nilainya dan mencapai nol, magnetisasi bahan ferromagnetik tidak kembali nol namun memiliki nilai dan disebut magnetisasi remanen M r. Magnetisasi remanen merupakan magnetisasi yang didapatkan setelah memberi perlakuan medan magnet pada bahan dan kemudian dihilangkan. Pada keadaan ini, ada momen magnetik yang orientasinya tidak kembali ke orientasi awal sehingga bahan memiliki sisa magnetisasi. Gambar 2.1. Kurva histerisis untuk bahan ferromagnetik, paramagnetik, diamagnetik, dan superparamagnetik berdasarkan besaran magnetisasi saturasi (M s ), magnetisasi remanen (M r ), dan koersivitas (H c ) (Kotnala & Shah, 2015) Medan koersif H c merupakan medan yang dibutuhkan untuk membuat magnetisasi remanen bernilai nol. Medan koersif mengukur besar medan magnet yang harus diberikan untuk membalik magnetisasi. Pada keadaan M r bernilai nol ini, orientasi seluruh magnet bahan ferromagnetik tadi kembali ke orientasi awal. Medan magnet luar kemudian dibalik polaritasnya dan diperbesar nilainya (dalam H bernilai negatif), hingga keadaan tertentu magnetisasi saturasi bernilai negatif terjadi. Proses dilanjutkan dengan pemberian medan magnet luar bernilai nol, dan didapatkan magnetisasi remanan bernilai negatif. Keseluruhan proses magnetisasi

ditunjukkan dalam kurva histerisis pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 juga menunjukkan kurva histerisis tiap bahan. Terlihat bahwa bahan yang bersifat diamagnetik, jika diberi medan magnet luar maka akan mengalami magnetisasi dengan nilai sebaliknya. Jika medan magnet luarnya positif, maka magnetisasinya bernilai negatif. Selain itu, ketika medan magnet luarnya dihilangkan (bernilai nol), maka tidak ada magnetisasi sisa pada bahan. Hubungan medan magnet luar dan magnetisasi bahan terlihat jelas pada Gambar 2.1. Magnetisasi saturasi merupakan batas dari magnetisasi bahan. Magnetisasi saturasi dari masing-masing bahan berbeda satu sama lain. Tabel 2.2 menunjukkan magnetisasi saturasi (M s ) dari beberapa bahan ferromagnetik. Tabel 2.2. Magnetisasi saturasi beberapa bahan ferromagnetik (Jiles, 1998) Material M s (10 6 Am -1 ) Iron 1,71 Kobalt 1,42 Nikel 0,48 78 Permalloy 0,86 Supermalloy 0,63 Mctglass 2605 1,27 Permendur 1,91 Kurva histerisis antara M dan H biasanya disebut dengan kurva histerisis intrinsik. Kurva histerisis antara B dan H disebut kurva histerisis normal. Bentuk kurva histerisis digunakan untuk klasifikasi antara soft magnetic dan hard magnetic. Soft magnetic memiliki nilai medan koersif dan remanen yang kecil, sehingga bentuk kurva sangat pipih. Nilai koersivitas yang kecil ini menunjukkan bahwa bahan dapat dengan mudah dihilangkan magnetisasinya. Aplikasi soft magnetic banyak dilakukan pada medan koersif yang kecil. Contoh dari soft magnetic adalah campuran Si-Fe, Mn-Zn ferrite, dan Ni-Zn ferrite. Hard magnetic memiliki nilai medan koersif dan remanen yang cukup besar. Hal ini berkaitan dengan aplikasi dari hard magnetic sebagai bahan yang stabil dan sebagai sumber permanen dari medan magnet. Parameter penting lain dari hard magnetic adalah hasil energi maksimum. Contoh dari hard magnetic adalah bahan campuran ferrite, nickel, cobalt, alumunium, dan cooper (Bertotti, 1998).

2.6. Nanopartikel Magnetik Bahan magnetik mengalami banyak perkembangan penelitian mulai dari penelitian magnet permanen berupa alloy, bulk hingga nanopartikel magnetik. Ketika suatu bahan menjadi lebih kecil ukurannya, maka jumlah atom di permukaan sama dengan total atom. Hal ini menyebabkan efek permukaan menjadi penting. Berdasarkan penelitian tentang nanopartikel magnetik, nano bukan berarti memiliki skala nanometer, namun lebih kepada submikro atau lebih kecil. Sifat-sifat menarik dari suatu nanopartikel magnetik terjadi karena dinamika sistem spin. Pada suhu rendah, momen magnetik akan secara spontan berubah arah pada proses kuantum tunneling (Sangregorio et al., 1997). Partikel magnetik berukuran nano memberikan sifat khas seperti superparamagnetik dan sifat seperti spin-glass, yang berhubungan dengan ketidakteraturan kation dan efek permukaan (Nathani et al., 2004). 2.7. Metode Kopresipitasi Metode kopresipitasi merupakan salah satu metode dalam fabrikasi nanopartikel kobalt ferit berupa pengendapan. Reaksi kopresipitasi terdiri dari tahapan nukleasi, penumbuhan, pengerasan, dan aglomerasi. Reaksi kimia yang digunakan untuk kopresipitasi ini dapat mengalami beberapa bentuk reaksi. Penambahan campuran berupa senyawa-senyawa dalam tahap awal belum tentu menghasilkan bahan yang terdispersi secara homogen dan berupa nanopartikel. Proses nukleasi dan penumbuhan memiliki berpengaruh besar terhadap ukuran partikel dan morfologi dari bahan (Kotnala & Shah, 2015). Berdasarkan proses termodinamika, proses penumbuhan terjadi untuk mencapai keadaan partikel yang lebih stabil. Proses pengerasan dapat didefinisikan sebagai proses partikel kecil dimakan oleh partikel besar. Setiap prosedur kopresipitasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Kecepatan reaksi dan transpor secara umum dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu, ph, dan urutan saat pencampuran bahan. Struktur dan kristalinitas partikel dipengaruhi

oleh kecepatan reaksi dan impuritas. Ukuran partikel dan morfologi dipengaruhi oleh supersaturasi, kecepatan nukleasi dan penumbuhan, stabilitas koloidal, dan rekristalisasi. Menurut Houshiar et al. (2014), metode kopresipitasi memiliki kelebihan kontrol terhadap ukuran sintesis nanopartikel dengan mudah. Kontrol ukuran tersebut berkaitan dengan penelitian Maaz et al. (2009) yang menyebutkan bahwa ukuran butir nanopartikel sangat berpengaruh terhadap sifat magnetik yang dihasilkan. Jadi secara langsung, sifat magnetik dari nanopartikel kobalt ferit dipengaruhi oleh ukuran butir dan dapat dikontrol. 2.8. Kobalt Ferit Ferit merupakan oksida dari bahan feromagnetik yang memiliki resistivitas dan permeabilitas yang tinggi. Material ferit dikenal sebagai magnet keramik dengan rumus kimia MO.Fe 2 O 3 dengan M adalah Mn, Fe, Co, Ni, Cu, Zn, Mg, dan lain-lain (Chikazumi, 1997). Salah satu contoh magnet ferit adalah kobalt ferit (CoFe 2 O 4 ). Menurut Lee sebagaimana ditulis oleh Zhang et al. (2010), kobalt ferit memiliki kestabilan kimia, kekuatan mekanik, anisotropi magnetik, koersivitas, dan anisotropi magnetisasi yang tinggi. Aplikasi bahan magnetik ini adalah medium perekaman seperti piringan hitam, tape recording, dan high density disk hard disk (Maaz et al., 2009). Kobalt ferit memiliki struktur spinel inversi face centered cubic (fcc). Struktur spinel terdiri dari 8 formula atau total 8 7 = 56 ion, tiap sel satuan. Ion oksigen tersusun saling dekat membentuk susunan fcc dan ion logam yang lebih kecil ukurannya menempati ruang diantara susunan oksigen. Ruang tersebut terdiri dari dua macam yaitu tetrahedral sites dan oktahedral sites seperti terlihat pada Gambar 2.2a dan 2.2b. Gambar 2.2c dan 2.2d menunjukkan pembagian sel. Untuk struktur spinel inversi, satu satuan sel terdiri dari 32 ion O 2-, 8 ion logam di tetrahedral sites, dan 16 ion logam di oktahedral sites dengan jumlah total adalah 56 ion. Dalam struktur spinel inversi, ion Fe 3+ mengisi tetrahedral sites (A-sites)

dan oktahedral sites (B-sites), sedangkan ion Co 2+ hanya mengisi oktahedral sites (Chikazumi, 1997). Gambar 2.2. Struktur kristal dari ferit kubus (Cullity & Graham, 2009) Magnetisasi saturasi dari suatu bahan magnetik dipengaruhi oleh distribusi dari kation penyusunnya. Berikut merupakan rumus terkait momen magnet dari bahan pada sites oktahedral (B-sites) dan sites tetrahedral (A-sites). = (2.6) Dengan adalah momen magnetik dari kation B-sites dan adalah momen magnetik dari kation A-sites. 2.9. Karakterisasi Bahan Magnet 2.9.1. Fourier Transform Infra-Red (FTIR) Spektrum infra merah jika dikenai pada suatu bahan, maka akan terjadi serapan energi oleh atom dalam bahan. Serapan energi menyebabkan terjadinya perubahan energi yang dipengaruhi oleh frekuensi dari berkas cahaya yang dikenakan pada bahan. Frekuensi berbanding lurus dengan kecepatan berkas cahaya dan berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Prinsip frekuensi ini mendasari prinsip dari Fourier Transform Infra-Red (FTIR). Spektroskopi FTIR mengacu pada interferensi radiasi diantara dua berkas untuk menghasilkan sebuah

interferogram. Sinyal yang diproduksi sebagai fungsi dari perubahan panjang gelombang diantara dua berkas disebut latter. Kedua domain dari jarak dan frekuensi ini diubah dengan metode matematika yaitu Fourier-transformation (Stuart, 2004). wavenumber, k (cm -1 ) Gambar 2.3. Kurva serapan FTIR CoFe 2 O 4 dan MnFe 2 O 4 (Waldron, 1955) Pada bahan magnet khususnya ferit, kurva serapan FTIR masing-masing bahan berbeda. Kurva serapan ini menunjukkan ikatan oksida antara ion logam dengan ion oksigen. Gambar 2.3 menunjukkan kurva serapan dari CoFe 2 O 4 dan MnFe 2 O 4. Kurva serapan CoFe 2 O 4 muncul pada angka gelombang sekitar 580-600 cm -1 dan 360-380 cm -1, sedangkan kurva serapan MnFe 2 O 4 muncul pada angka gelombang 540-560 cm -1 dan 380-400 cm -1 (Waldron, 1955). 2.9.2. X-Ray Diffraction (XRD) X-ray atau sinar-x merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang sekitar 0,01-1,00 Å. Panjang gelombang pada ukuran ini sesuai dengan rentang jarak antar atom dalam suatu kristal. Ketika sebuah berkas sinar-x mengenai sampel, selain terjadi penyerapan atau absorbi oleh bahan dan fenomena lain, juga terjadi hamburan sinar-x pada panjang gelombang yang sama dengan berkas awal (He, 2009).

Analisa struktur kristal dari suatu bahan dapat dilakukan dengan prinsip sinar-x tersebut dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD). Prinsip utama XRD adalah difraksi sinar-x. Ketika sinar-x mengenai bidang kristal suatu bahan dengan sudut datang θ dan terjadi pemantulan dengan sudut θ, maka akan terjadi difraksi sinar-x pada bidang kristal tersebut sesuai dengan hukum Bragg ditunjukkan pada Gambar 2.4a. (a) Gambar 2.4. (a) Sinar-X datang dan sinar-x terpantul dengan sudut θ simetri dengan garis normal dari bidang kristal (Callister, 2007) dan (b) Puncak difraksi pada sudut Bragg θ (He, 2009) Persamaan hukum Bragg adalah sebagai berikut (Beiser, 1987): 2 sin = (2.7) Dimana n adalah orde difraksi, d merupakan jarak dua bidang atom yang sejajar dan berdekatan, dan λ adalah panjang gelombang sumber sinar-x. Sinar-X yang masuk pada bidang kristal akan dihamburkan ke segala arah, sebagian gelombang berinterferensi konstruktif dan sebagian yang lain berinterferensi destruktif. Interferensi konstruktif terjadi antara sinar terhambur yang sejajar dan beda jarak lintasannya tepat λ, 2λ, 3λ, nλ (Beiser, 1987). Puncak-puncak intensitas yang ditunjukkan oleh difraktogram merupakan interferensi yang konstruktif. Puncak difraksi pada intensitas tertinggi dari sampel digambarkan pada Gambar 2.4b. Gambar 2.4b menunjukkan puncak difraksi dengan lebar tertentu. Pelebaran dari puncak ini dapat terjadi karena kondisi kristal yang tidak sempurna akibat regangan dan ukuran tertentu, vibrasi panas atom atau karena kondisi alat. Lebar dari puncak intensitas tertinggi diukur

sebagai lebar setengah puncak tertinggi atau full width at half maximum (FWHM) (He, 2009). 2.9.3. Scanning Elektron Microscopy (SEM) Morfologi dari bahan nanopartikel dapat dilihat menggunakan alat Scanning Elektron Microscopy (SEM). Prinsip kerja dari SEM adalah menggambarkan permukaan sampel dengan berkas elektron yang dipantulkan menggunakan energi tinggi. Filamen yang dihubungkan dengan tegangan sumber akan menyebabkan emisi medan (penyebab elektron lepas). Emisi ini difokuskan menuju sampel dengan lensa magnetik. Permukaan material yang terkena berkas elektron akan memantulkan kembali berkas elektron sekunder ke segala arah. Terdapat secondary electron detector dan backscattered electron detector sebagai detektor untuk menangkap intensitas elektron akibat pantulan dari bahan. Selain itu detektor juga menentukan lokasi berkas elektron yang berintensitas tertinggi. Ketika dilakukan pengamatan terhadap bahan tertentu, lokasi permukaan benda yang ditembak dengan berkas elektron diamati dan dilakukan scanning ke seluruh permukaan bahan pengamatan (McMullan, 1995). 2.9.4. Vibrating Sample Magnetometer (VSM) Vibrating Sample Magnetometer (VSM) mengacu pada hukum Faraday, dimana ketika tegangan emf dikenakan pada suatu coil maka akan terjadi perubahan fluks di sekitar coil tersebut (Foner, 1959). Jika coil diposisikan konstan terhadap medan magnet, maka sinyal keluaran dari coil akan sebanding dengan magnetisasi M, namun independen terhadap medan magnet. Pada VSM, sampel digerakkan dengan pergerakan sinusoidal dengan frekuensi ν. Sinyal keluaran listrik dari coil ini memiliki frekuensi yang sama yaitu ν. Intensitas keluaran yang terukur sebanding dengan momen magnetik dari sampel, amplitudo getaran, dan frekuensi ν. Pengukuran sifat-sifat magnet dari suatu bahan dengan vibrating sample magnetometer (VSM) dilakukan dengan menempatkan sampel di tengah di daerah antara kutub dari magnet laboratorium, yang mampu menghasilkan medan terukur

H 0. Batang tipis panjang vertikal menyambungkan sample holder dengan transduser. Transduser ini sebagai penggetar sampel sehingga sampel bergerak sinusoidal terhadap medan magnet H 0. Coil menangkap sinyal hasil dari gerakan sampel. Sinyal pada frekuensi vibrasi ν ini sebanding dengan besar momen dari sampel. Sehingga dari pengukuran sifat magnetik dengan VSM didapatkan besaran magnetisasi dan medan magnet yang dikenakan pada sampel (Buschow & Boer, 2004).