1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo (Zaire) (FWI, 2001) 1. Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) adalah 120,35 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2008) 2. Tipe-tipe hutan utama di Indonesia terdiri dari hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, hutan monsoon dan padang savana di Nusa Tenggara serta hutan-hutan non-dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan alpin di Papua. Selain itu juga terdapat hutan mangrove dan hutan rawa gambut (FWI, 2001) 3. Hutan Indonesia yang mengambil porsi lebih kurang 60% luas daratan Indonesia merupakan sumberdaya alam yang penting. Fungsi utama hutan adalah sebagai salah satu komponen keseimbangan ekosistem, yang mampu mempengaruhi kualitas kehidupan manusia termasuk kelestarian perekonomian (Warsito, 2005) 4. Manfaat sumberdaya hutan yang sedemikian penting belum digali sepenuhnya dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Sejak dimulainya era HPH sumberdaya hutan lebih menonjol peranannya sebagai 1 Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, Potret Keadaan Hutan Indonesia, (Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch, 2001), p.1. 2 Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2007, (Jakarta: Departemen Kehutanan, 2008). 3 Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, loc. cit.. 4 Sofyan P. Warsito, PNBP Bersumber Dana Retribusi Penggunaan Kawasan Hutan Negara Untuk Usaha Pertambangan : Kontroversi PP No. 2 Tahun 2008, Paper didiskusikan dalam Lokakarya Mengurai Kontroversi Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Bogor, 5 Agustus 2005, p.1-2. 1
2 penghasil komoditas kayu apabila dibandingkan komoditas maupun fungsi lainnya. Hal ini diketahui dari data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa dalam perekonomian Indonesia kontribusi sektor kehutanan baik dalam pendapatan nasional maupun devisa berasal dari komoditas kayu (FWI, 2001 5 ; Simangunsong, 2004 6 ). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa output sektor kehutanan identik dengan komoditas kayu sedangkan komoditas lainnya maupun jasa lingkungan berkontribusi sangat kecil atau bahkan belum diperhitungkan dalam perekonomian Indonesia. Besarnya kontribusi yang dihasilkan oleh komoditas kayu dari hutan menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya hutan karena kegiatan eksploitasi hutan. Selain itu, Sumitro (2005) 7 menambahkan bahwa sifat pengusaha yang profit maximizing menyebabkan terancamnya kontinyuitas produksi dan makin susutnya tegakan. Di sisi lain kegiatan rehabilitasi dan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) tidak dapat mengikuti laju penebangan kayu. Hartono (2002) 8 menyatakan bahwa dari kegiatan pembangunan HTI, dari standing stock yang ada kemampuan HTI menghasilkan kayu adalah hanya 1/3 dari kebutuhan industri. Pengusahaan hutan yang menitik beratkan pada eksploitasi kayu telah menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. 5 Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, op. cit., p.5. 6 Bintang C.H. Simangunsong, Briefing Paper #4. The Economic Performance of Indonesia s Forest Sector in the Period 1980-2002 (Jakarta : GTZ-STMC, 2004), p.6. 7 Achmad Sumitro, Ekonomi Sumberdaya Hutan Analisis Kebijakan Revitalisasi Hutan di Indonesia, (Yogyakarta : Debut Press, 2005), p.16. 8 Bambang Tri Hartono, 2002. Can Forest Plantations Alleviate Pressure on Natural Forests? : An Efficiency Analysis in Indonesia. EEPSEA Research Reports ASSN 1608-5434 ; 220-RR1, ( Singapore : Economy and Environment Program for South East Asia, 2002), p.3.
3 Selain kerusakan yang terjadi akibat eksplotasi kayu, tekanan terhadap hutan juga berasal dari kebutuhan lahan untuk kepentingan non kehutanan. Kepadatan penduduk yang tinggi dan kebutuhan akan kawasan budidaya pertanian, perkebunan, perikanan serta pembangunan infrastruktur seperti jalan, perkantoran, kawasan industri dan transmigrasi membutuhkan luasan lahan dalam jumlah besar (Djakapermana et al, 2005) 9. Kawasan hutan dengan kondisi mengalami kerusakan dihadapkan pada konversi untuk kepentingan lain. Sumitro (2004) 10 menyatakan bahwa umumnya deforestasi akan diikuti dengan konversi lahan hutan untuk kepentingan non kehutanan. Konversi kawasan hutan untuk berbagai kepentingan nonkehutanan dimungkinkan oleh peraturan perundangan. Kementerian Kehutanan yang mengalokasikan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) untuk kepentingan non kehutanan. P. 53/Menhut-II/2008 menyebutkan bahwa HPK adalah kawasan hutan produksi yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan Selain itu juga terdapat Keputusan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan (P. 364/Kpts-II/1990: 519/Kpts/hk.050/7/1990 : 23/VIII/1990) tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Usaha Pertanian yang menyatakan bahwa kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi tanah Usaha Pertanian adalah 9 Ruchyat Deni Djakapermana, Santun R.P. Sitorus, Marimin dan Ernan Rustiadi, Perhitungan Nilai Ekonomi Total dalam Rangka Pemanfaatan Ruang Wilayah Pulau Kalimantan Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 16 (3), p. 57-75. 10 Achmad Sumitro, Ekonomi Sumberdaya Hutan Analisis Kebijakan Revitalisasi Hutan di Indonesia, (Yogyakarta : Debut Press, 2005), p.16.
4 kawasan hutan yang berdasarkan kemampuan tanahnya cocok untuk Usaha Pertanian dan menurut tata guna hutan tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau kawasan untuk keperluan lainnya. Meskipun dimungkinkan oleh peraturan perundangan, kebijakan pemanfaatan kawasan dan alih fungsi kawasan harus didukung kajian yang komprehensif sebagai acuan dalam pembuatan keputusan. Kebijakan tersebut seringkali hanya memperhitungkan variabel nilai guna (use value) dalam bentuk manfaat langsung (direct benefit) tanpa memperhitungkan berbagai dampak yang kemungkinan terjadi kemudian, dalam bentuk antara lain bencana lingkungan (Djakapermana et al, 2005) 11. Hal ini kemungkinan juga terjadi pada perumusan kebijakan penetapan fungsi dari suatu kawasan hutan. Penetapan fungsi dari suatu kawasan hutan di Indonesia didasarkan pada kriteria-kriteria teknis lapangan seperti potensi tegakan, faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan (Djajono, 2006) 12. Penetapan fungsi suatu kawasan hutan dengan cara seperti tersebut di atas tidak memperhitungkan manfaat hutan secara komprehensif. Penetapan fungsi suatu kawasan hutan tanpa memperhitungkan manfaat hutan secara komprehensif tidak hanya terjadi pada kawasan hutan di lahan kering maupun lahan basah, termasuk di lahan rawa gambut. Padahal apabila ditinjau dari pertimbangan ekologi, ekosistem hutan rawa gambut alami mempunyai peranan penting bagi ekosistem dunia terutama 11 Ruchyat Deni Djakapermana, Santun R.P. Sitorus, Marimin dan Ernan Rustiadi, loc. cit. 12 Ali Djajono, Kompleksitas Persoalan Tenurial dalam Perencanaan Ruang Kehutanan, Buletin Planologi No. 02, p. 12 17.
5 dalam kaitannya dengan pemanasan global. Selain itu, dari pertimbangan luasan, lahan gambut Indonesia merupakan yang terluas ke-empat di dunia dan merupakan 50% dari gambut tropis dunia (Najiyati et al, 2005) 13. Penetapan fungsi kawasan hutan tanpa memperhitungkan manfaat hutan secara komprehensif diduga terjadi pada kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK) yang dalam TGHK ditetapkan sebagai Hutan Produksi (HP) dan Areal Penggunaan Lain (APL). HRGMK secara administratif terletak di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Menurut kajian deforestasi yang dilakukan IFCA (2007) dan Suratijaya (2008) dalam Putro (2008) 14 kawasan tersebut merupakan hutan rawa gambut alami yang masih tersisa di pantai timur Provinsi Sumatera Selatan, yang merupakan provinsi dengan kawasan gambut terluas ke-dua di Pulau Sumatera setelah Provinsi Riau. HRGMK seluas lebih kurang 138.200 hektar bersama ekosistem lahan basah di Taman Nasional Berbak dan Sembilang merupakan kawasan keanekaragaman kunci yang tersisa di Pulau Sumatera (Putro, 2008) Selain itu, hasil survey menunjukkan bahwa di kawasan tersebut banyak ditemukan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter (WI-IP, 2004) 16. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut penting berdasarkan 15. 13 Sri Najiyati, Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan, Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia, Wetlands International Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. (Bogor, 2005), p.2. 14 Hariyanto R. Putro, Peluang Perdagangan Karbon di Kawasan Gambut Merang Sumatera Selatan, Laporan Akhir. South Sumatera Forest Fire Management Project. (Palembang: SSFFMP, 2008), p.14. 15 Hariyanto R. Putro, op. cit., p.17. 16 WI-IP (Wetlands International-Indonesia Programme), Laporan Survei Kawasan Hutan Rawa gambut Merang Kepahiyang, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. (Bogor :WI-IP, 2004).p.87
6 pertimbangan manfaat ekologisnya. Peran kawasan tersebut menjadi lebih penting apabila mempertimbangkan peran dan sifat hutan rawa gambut. Hutan rawa gambut berperan fungsional sebagai pengendali banjir, pengatur arus, persediaan air dan pencegah intrusi air asin. Hutan rawa gambut juga mempunyai peranan penting dalam perubahan iklim, yaitu sebagai penyimpan dan penyerap karbon dari atmosfer. Meskipun hutan rawa gambut mempunyai berbagai fungsi ekosistem yang penting, tetapi di sisi lain hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang fragile dan irreversible. Gangguan pada vegetasi dan tanah hutan rawa gambut akan menyebabkan fungsi ekosistem hutan rawa gambut rusak dan tidak pulih. Dampak kerusakan ini tidak hanya bersifat lokal tetapi juga global. Karena tanah gambut kering yang terbakar akan menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan serta sumber emisi karbon dalam jumlah besar (Wahyunto et al., 2005) 17. Karena sifat hutan rawa gambut yang demikian itu maka diperlukan acuan yang tepat untuk menentukan fungsi kawasan. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menyatakan bahwa tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai atau rawa merupakan kawasan yang dilindungi. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera dinyatakan bahwa kawasan bergambut Merang ditetapkan sebagai kawasan bergambut yang bernilai konservasi tinggi. 17 Wahyunto, Sofyan Ritung, Suparto dan H. Subagjo, Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan 2004, (Bogor: Wetlands International- Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada, 2005), p. 170
7 Menurut peraturan hukum dan perundang-undangan tersebut di atas, fungsi kawasan HRGMK seharusnya bukan sebagai hutan produksi maupun area penggunaan lain. Sementara itu, saat ini di kawasan tersebut terdapat beberapa perusahaan pemegang ijin IUPHHK HT. Ketidaksesuaian antara pertimbangan ekologis, peraturan yang berlaku dan kenyataan di lapangan membuktikan bahwa penetapan fungsi suatu kawasan hutan belum dilakukan dengan pertimbangan yang komprehensif. Situasi problematik tersebut di atas menunjukkan pentingnya kajian penilaian ekonomi sumberdaya hutan rawa gambut yang komprehensif untuk mengetahui nilai ekonomi total dari kawasan HRGMK dalam rangka penetapan fungsi kawasan hutan yang dapat lebih dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Konsep Nilai Ekonomi Total (NET) atau Total Economic Value (TEV) menguatkan bahwa menilai kawasan hutan tidak hanya berdasarkan nilai manfaat finansial yang berasal dari pemanfaatan langsung saja tetapi juga memperhitungkan seluruh manfaat yang dihasilkan oleh seluruh fungsi ekosistem hutan. Dengan konsep NET ini diharapkan penilaian ekonomi dapat dilakukan secara komprehensif, sehingga sumberdaya hutan dapat diketahui nilai sesungguhnya agar dapat dikelola sesuai dengan kemampuannya. Dengan asumsi bahwa pembangunan perekonomian Indonesia mempertimbangkan kelestarian sumberdaya hutan, maka penilaian ekonomi total kawasan hutan rawa gambut dalam rangka formulasi kebijakan pengelolaan kawasan hutan penting untuk dilakukan.
8 1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang nilai ekonomi kawasan HRGMK dengan kemungkinan pengelolaan sebagai hutan rawa gambut, Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit berdasarkan konsep Nilai Ekonomi Total. Secara khusus penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji : (1) Nilai ekonomi kawasan HRGMK apabila tetap dikelola sebagai hutan rawa gambut (2) Nilai ekonomi kawasan HRGMK apabila dikonversi menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI), dan (3) Nilai ekonomi kawasan HRGMK apabila dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit (4) Mendapatkan skenario pengelolaan HRGMK berdasarkan nilai ekonomi total Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang nilai ekonomi berbagai manfaat yang diberikan oleh kawasan HRGMK. Informasi mengenai nilai ekonomi total diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan dalam rangka penentuan fungsi kawasan HRGMK yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 1.3 Signifikansi Penelitian Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta mengenai maraknya konversi kawasan hutan terutama di lahan rawa gambut menjadi berbagai
9 kepentingan, terutama untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dan HTI. Dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan untuk konversi kawasan hutan diduga tidak komprehensif karena lebih mempertimbangkan manfaat finansial dari bentuk pengelolaan yang dipilih tanpa memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini mencoba melakukan penilaian ekonomi kawasan hutan rawa gambut yang berlokasi di Merang Kepayang. Selain sebagai hutan, penilaian ekonomi terhadap kawasan ini juga dilakukan apabila kawasan ini dikonversi menjadi digunakan untuk hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang komprehensif mengenai nilai ekonomi total kawasan HRGMK dalam bentuk hutan maupun sebagai hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit. Adanya pemahaman atas penerapan konsep nilai ekonomi total dalam penilaian sumberdaya hutan diharapkan dapat mendorong pengambil keputusan untuk menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam formulasi kebijakan untuk penetapan fungsi suatu kawasan hutan yang lebih tepat. Hasil penelitian secara akademis diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan terutama dalam kajian penilaian ekonomi sumberdaya hutan. Sehingga dapat menjadi acuan untuk pengembangan ilmu dengan adanya penelitian selanjutnya pada bidang yang sama maupun bidang lain yang terkait.