IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sifat Fisik Kimia Produk

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

4 Pembahasan Degumming

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

METODOLOGI PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

kimia LAJU REAKSI 1 TUJUAN PEMBELAJARAN

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

PENGARUH SUHU, LAMA PEMASAKAN, KONSENTRASI METANOL DAN SUHU PEMURNIAN TERHADAP BILANGAN IOD DAN BILANGAN ASAM SURFAKTAN DARI MINYAK INTI SAWIT

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN II PERHITUNGAN

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI H 2 SO 4 DAN SUHU REAKSI PADA PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DENGAN METODE SULFONASI ABSTRACT

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

II. TINJAUAN PUSTAKA

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

TUGAS ANALISIS AIR, MAKANAN DAN MINUMAN ANALISIS LEMAK

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma) YANG SUDAH DIPERLAKUKAN DENGAN KITOSAN

Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

a. Kadar Air (SNI) ), Metode Oven b. Kadar Abu (SNI ), Abu Total

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah Cirebon. Analisis biji jarak pagar bertujuan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku yang digunakan dalam penelitian. Analisis yang dilakukan terhadap biji jarak pagar ini meliputi kadar air, kadar abu, dan kadar minyak. Hasil analisis terhadap biji jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Biji Jarak Pagar Analisis Proksimat Nilai (%) Kadar Air 8,90 Kadar Abu 4,62 Kadar Minyak 39,87 Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa biji jarak pagar mengandung kadar minyak sebanyak 39,87%. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, kadar minyak biji jarak yang diperoleh tidak berbeda terlalu jauh. Berdasarkan beberapa literatur, kadar minyak biji jarak memang berkisar antara 30-50%. Kadar minyak dari biji jarak pagar yang tinggi ini menunjukkan bahwa jarak pagar sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumber minyak nabati dalam produksi surfaktan methyl ester sulfonates acid (MESA). Dalam analisis juga diperoleh data bahwa kadar air dalam biji jarak cukup tinggi, yakni 8,9%. Nilai kadar air yang diperoleh ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan literatur yakni 3,1-5,8% (Gubitz et al., 1999), 5% (Peace and Aladesanmi, 2008), dan 5,77% (Winkler et al., 1997). Kadar abu ini menunjukkan jumlah kandungan bahan anorganik dalam biji jarak pagar. Sama halnya dengan kadar minyak, hasil analisis menunjukkan

bahwa kadar abu biji jarak pagar yang diperoleh tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan literatur, yakni sebesar 4,62%. Kadar abu ini menunjukkan jumlah kandungan bahan anorganik dalam biji jarak pagar. Literatur menunjukkan bahwa pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kadar abu biji jarak umumnya berkisar antara 3,6-4,3% (Gubitz et al.,1999). Pada tahapan selanjutnya karakterisasi dilakukan terhadap minyak jarak pagar yang diperoleh dari hasil pengepresan biji yang telah dianalisis sebelumnya. Karakterisasi ini perlu dilakukan guna mengetahui sifat fisikokima dari minyak jarak pagar kasar sebelum diolah menjadi metil ester. Karakterisasi ini meliputi analisis kadar abu, FFA, bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan iod, dan densitas. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan hasil dari karakterisasi minyak jarak. Tabel 6. Hasil Analisis Minyak Jarak Kasar Analisis Satuan Nilai Kadar Abu % 0,042 FFA % 10,98 Bilangan Asam mg KOH/g lemak 20,94 Bilangan Iod mg iod/g lemak 99,34 Bilangan Penyabunan mg KOH/g lemak 197,6 Densitas g/cm 3 0,91 Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa nilai persentase FFA dan bilangan asam dari minyak jarak cukup tinggi, yakni berturut-turut sebesar 10,98% dan 20,94 mg KOH/g lemak. Tingginya nilai FFA dan bilangan asam ini diduga karena biji jarak yang digunakan telah mengalami proses penyimpanan. Secara alami, biji jarak pagar akan terus mengalami hidrolisis karena adanya kandungan air dan enzim lipase sehingga dapat memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Dengan meningkatnya jumlah asam lemak bebas maka akan meningkatkan jumlah asam lemak dalam minyak yang terhitung sebagai bilangan asam. Akibat dari nilai FFA yang tinggi, maka

minyak jarak harus diesterifikasi terlebih dahulu sebelum ditransesterifikasi. Esterifikasi perlu dilakukan untuk mencegah pembentukan sabun pada saat proses transesterifikasi yang kemudian akan menganggu proses pemisahan gliserol dengan metil ester, serta akan berdampak langsung dalam penurunan rendemen metil ester yang dihasilkan. Nilai bilangan penyabunan minyak jarak pagar didapat sebesar 197,6 mg KOH/g minyak. Hal ini tidak berbeda jauh dengan minyak jarak berdasarkan penelitian Peace dan Aladesanmi (2008) yang menunjukkan hasil sebesar 198,5 mg KOH/g minyak. Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodine yang terserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh (Ketaren, 1986). Lebih lanjut Sinaga (2006) menjelaskan bahwa jenis asam lemak dominan pada minyak jarak adalah asam lemak oleat dan linoleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh. Berdasarkan analisis, diperoleh bilangan iod sebesar 99,34 mg I 2 /g minyak. Bilangan iod yang diperoleh ini mendekati bilangan iod berdasarkan literatur yakni 96,5 mg I 2 /g minyak (Hambali et al.,2006).

B. ANALISIS METIL ESTER Pada penelitian ini, metil ester diperoleh setelah proses esterfikasi dan transesterifikasi minyak jarak pagar. Analisis metil ester diperlukan untuk mengetahui karakteristiknya sebelum diproses lebih lanjut dengan reaksi sulfonasi untuk memproduksi MESA. Analisis yang dilakukan terhadap metil ester meliputi kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, gliserol total, fraksi tak tersabunkan, dan kadar ester yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik metil ester minyak jarak pagar yang dihasilkan No Karakter Satuan Nilai 1 Kadar air, metode oven % 1,33 2,29 2 Bilangan asam mg KOH/g lemak 0,155 0,41 3 Bilangan iod mg Iod/g lemak 98,33 4 Bilangan penyabunan mg KOH/g lemak 214,46 5 Gliserol total %-b 0,12 0,27 6 Fraksi tak tersabunkan % 0,39 7 Kadar ester %, dihitung 98,9 Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa metil ester yang diproduksi sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh MacArthur (1998). Oleh karena itu, metil ester ini dapat digunakan untuk diproses lebih lanjut sebagai bahan baku MESA.

C. PENGARUH FAKTOR LAJU ALIR REAKTAN DAN SUHU REAKSI Proses sulfonasi terhadap metil ester merupakan kegiatan utama dalam penelitian ini. Proses ini akan menghasilkan surfaktan MESA. Metil ester yang digunakan sebagai bahan baku diperoleh dari proses esterifikasi dan transesterifikasi minyak jarak pagar. MESA yang dihasilkan berwarna kehitaman. Warna hitam yang ditimbulkan memang tidak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan proses sulfonasi dengan gas SO 3 bersifat sangat reaktif sehingga menyebabkan adanya perubahan molekul karena panas (golongan keton dan aldehid). Panas dapat membuat minyak atau lemak menjadi hitam akibat proses oksidasi. Oleh karena produk hasil sulfonasi (MESA) berwarna kehitaman, maka sebenarnya diperlukan proses pemurnian untuk menghasilkan MES. Akan tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan pemurnian terhadap MESA karena perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengaruh dari laju alir reaktan dan suhu reaksi proses sulfonasi. Hal ini karena belum ada penelitian sebelumnya tentang faktor pengaruh laju alir reaktan dan suhu reaksi dalam pembuatan MESA berbasis minyak jarak pagar. Setelah diketahui pengaruh faktor dan kemudian kondisi terbaik dalam penelitian ini, maka proses pemurnian perlu dilakukan. Pada proses sulfonasi ini, faktor yang digunakan adalah laju alir reaktan dan suhu reaksi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis tegangan permukaan, tegangan antar muka, bilangan iod, bilangan asam, kadar bahan aktif, dan ph dari MESA yang terbentuk. Data hasil analisis kemudian dihitung dengan menggunakan analisis statistik menggunakan software SPSS for Windows 10.0 sehingga diketahui pengaruh dari faktor-faktor yang digunakan sebagai parameter analisis dalam penelitian ini.

1. Tegangan Permukaan Terbentuknya tegangan permukaan pada suatu cairan disebabkan karena adanya gaya tarik menarik antara molekul-molekul pada cairan dengan udara (Durrant, 1953). Gaya tarik-menarik antara molekul-molekul pada cairan lebih besar daripada terhadap gas. Resultan gaya yang terjadi pada molekul-molekul di permukaan cenderung menggerakkan molekulmolekul tersebut menuju bagian pusat cairan sehingga menyebabkan cairan berperilaku membentuk lapisan tipis. Gaya tersebut dihitung sebagai tegangan permukaan. Definisi tegangan permukaan juga dikemukakan oleh Bird et al. (1983) sebagai suatu fenomena dari adanya ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul-molekul yang berada di permukaan. Akibat dari ketidakseimbangan gaya tersebut, maka molekul pada permukaan cenderung meninggalkan permukaan (masuk ke dalam cairan) sehingga permukaan cenderung menyusut. Apabila molekul dalam cairan akan pindah ke permukaan untuk memperluas permukaan, maka dibutuhkan usaha untuk mengatasi gaya tarik menarik antar molekul tersebut. Tegangan permukaan didefinisikan sebagai entalpi permukaan bebas per unit area dan gaya dalam permukaan suatu cairan untuk meminimalkan area dari permukaan tersebut. Ketika mengukur tegangan permukaan berarti mengukur energi bebas antar muka per unit area batas permukaan antara cairan dan udara di atasnya. Umumnya, tegangan permukaan dinyatakan dalam satuan dyne/cm atau mn/m (OECD, 1995). Hasil pengukuran tegangan permukaan menunjukkan nilai 64 dyne/cm (pada pengukuran kondisi laju alir reaktan 0,8; 0,9; dan 1,0 kg/jam) dan 68 dyne/cm (pada pengukuran kondisi laju alir reaktan 1,1 kg/jam). Setelah dilakukan penambahan MESA, nilai tegangan permukaan yang didapat sebesar 33,85 dyne/cm sampai 37,20 dyne/cm. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan MESA sebanyak 10% (v/v) mampu mengurangi tegangan permukaan air dalam rentang 41,87-50,22%. Besar penurunan yang hampir serupa juga diperoleh dari penelitian Pore

(1993) yang mendapatkan nilai penurunan tegangan permukaan sebesar 44,17% hingga 45,83%. Gambar 10. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan permukaan Nilai tegangan permukaan cenderung menurun dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi laju alir reaktan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan semakin besar. Dalam proses sulfonasi ini, reaksi yang diharapkan adalah terikatnya gugus sulfonat dari SO 3 pada atom karbon metil ester. Semakin besar terikatnya gugus sulfonat akan meningkatkan jumlah gugus hidrofilik dari MES. Gugus hidrofilik ini akan menurunkan gaya kohesi dari molekul air sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan. Suhu juga memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai tegangan permukaan. Segel (1993) mengatakan bahwa peningkatan suhu akan menyebabkan pada peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan sehingga tumbukan antar molekul per waktu lebih produktif. Oleh karena

itu, semakin besar suhu reaksi maka akan meningkatkan jumlah gugus hidrofilik sehingga kemampuan untuk menurunkan nilai tegangan permukaan juga semakin baik. Pengaruh dari berbagai perlakuan terhadap penurunan tegangan permukaan dapat dihitung dengan menggunakan analisis sidik ragam menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai tegangan permukaan. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), suhu reaksi dan laju alir reaktan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan permukaan. Akan tetapi interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nilai tegangan permukaan. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa suhu reaksi 100 C dan 120 C tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan suhu 80 C. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai tegangan permukaan. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai tegangan permukaan dapat dilihat pada Lampiran 5. Kondisi proses yang mampu menurunkan nilai tegangan permukaan paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mampu menurunkan tegangan permukaan air dari 68 dyne/cm hingga 33,85 dyne/cm atau ekuivalen dengan penurunan sebesar 50,22%. Tegangan permukaan akan semakin menurun dengan semakin banyak molekul surfaktan yang terbentuk (Cox et al., 1997). Nilai tegangan permukaan paling tinggi terdapat pada suhu reaksi 80 C dan laju alir reaktan 0,8 kg/jam. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut proses sulfonasi masih belum sempurna sehingga belum banyak gugus hidrofilik yang terbentuk.

2. Tegangan Antar Muka Pengujian tegangan antar muka dilakukan dengan menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer. Dalam pengujian ini, surfaktan yang sudah dilarutkan dalam air formasi 400 ppm diinjeksikan dengan cairan minyak bumi. Setelah itu, diuji nilai tegangan antar muka pada kecepatan rotasi 3000 rpm dan suhu 70 C. Menurut Lapedes (1978), tegangan antar muka merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fasa. Untuk menurunkan tegangan antar muka di antara dua cairan yang berbeda fasa tersebut perlu ditambahkan surfaktan. Surfaktan tersusun atas gugus hidrofilik dan hidrofobik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada bagian antar muka antara dua fasa yang berbeda polaritasnya sehingga surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fasa. Pembentukan film tersebut mengakibatkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda fasa tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antar muka. Pada penelitian ini, MESA yang dihasilkan memiliki tegangan antar muka yang berkisar antara 2,57 46,88 dyne/cm. Semakin kecil nilai tegangan antar muka berarti semakin baik kualitas dari surfaktan yang dihasilkan. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil nilai tegangan antar muka MESA dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan antar muka Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi dapat menurunkan tegangan antar muka. Nilai penurunan tegangan antar muka kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah surfaktan yang terbentuk selama proses sulfonasi. Semakin banyak surfaktan yang dihasilkan, maka akan semakin besar kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka, sehingga nilai penurunan tegangan antar muka akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi laju alir reaktan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan semakin besar. Begitu pula halnya dengan suhu. Menurut Steinfeld (1989), peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi. Kondisi ini memungkinkan semakin besarnya peluang untuk terjadinya tumbukan dan mempercepat terjadinya reaksi. Oleh karena itu, peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi akan meningkatkan jumlah SO 3 yang terikat dengan metil ester membentuk surfaktan MESA.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai tegangan antar muka. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan antar muka. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan antar muka. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa suhu reaksi 100 C dan 120 C tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan suhu 80 C. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai tegangan antar muka. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai tegangan antar muka dapat dilihat pada Lampiran 6. Kondisi proses yang mampu memberikan nilai tegangan antar muka paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 100 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai tegangan antar muka sebesar 2,57 dyne/cm. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain. Proses sulfonasi yang lebih baik akan menghasilkan molekul surfaktan yang lebih banyak. Gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik dari surfaktan inilah yang akan mampu menurunkan tegangan antar muka. 3. Bilangan Iod Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodine yang terserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh (Ketaren, 1986).

Gambar 12. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap bilangan iod Bilangan iod dari MESA yang dihasilkan berkisar antara 50,96-82,53 mg I 2 /g MESA. Berdasarkan Gambar 12, penurunan bilangan iod terjadi seiring dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi. Penurunan bilangan iod juga terjadi dari metil ester ke MESA. Semakin menurunnya bilangan iod, berarti semakin banyak jumlah ikatan rangkap metil ester yang diadisi oleh gas SO 3 yang kemudian terbentuk molekul-molekul surfaktan dengan gugus sulfonat. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai bilangan iod. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan bilangan iod. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai bilangan iod. Semakin besar laju alir reaktan dan suhu reaksi akan menurunkan nilai bilangan iod. Hal ini dikarenakan proses sulfonasi akan semakin sempurna dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi. Proses yang baik akan memperbanyak reaksi antara molekul SO 3 dengan ikatan rangkap metil ester yang berarti akan menurunkan jumlah iodine yang

dapat terserap oleh surfaktan MESA yang dihasilkan. Jungermann (1979) mengemukakan bahwa ikatan rangkap pada metil ester merupakan salah satu tempat terjadinya reaksi sulfonasi. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120 C) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan iod. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan iod. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai bilangan iod dapat dilihat pada Lampiran 7. Kondisi proses yang mampu memberikan nilai bilangan iod paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai bilangan iod sebesar 50,96 mg I 2 / gr MESA. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain. Proses sulfonasi yang lebih baik akan menghasilkan molekul surfaktan yang lebih banyak. Gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik dari surfaktan inilah yang akan mampu menurunkan tegangan antar muka. 4. Bilangan Asam Bilangan asam merupakan derajat keasaman yang ditunjukkan dengan banyaknya miligram KOH atau NaOH yang digunakan untuk menetralkan satu gram sampel (Ketaren, 1986). Semakin banyak KOH atau NaOH yang digunakan untuk menetralkan suatu sampel menunjukkan semakin banyak bilangan asam sampel tersebut.

Gambar 13. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bilangan asam Bilangan asam dari MESA yang dihasilkan berkisar antara 3,43 10,79 mg NaOH/g MESA. Seiring dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi akan meningkatkan nilai bilangan asam dari MESA yang dihasilkan. Reaktan gas SO 3 bersifat asam. Oleh karena itu, banyaknya gugus SO 3 yang teradisi dalam ikatan rangkap akan meningkatkan bilangan asam dari MESA yang terbentuk. Peningkatan laju alir reaktan gas SO 3 akan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan semakin besar. Dalam proses sulfonasi ini, reaksi yang diharapkan adalah terikatnya gugus sulfonat dari SO 3 pada atom karbon metil ester. Hal yang sama terjadi pada suhu reaksi. Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan sehingga tumbukan antar molekul per waktu lebih produktif (Segel, 1993). Oleh karena itu, semakin besar suhu reaksi maka akan meningkatkan jumlah gugus hidrofilik yang bersifat asam semakin banyak terbentuk sehingga nilai bilangan asam juga akan meningkat.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai bilangan asam. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan bilangan asam. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan nilai bilangan asam. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120 C) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan asam. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan asam. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai bilangan asam dapat dilihat pada Lampiran 8. Kondisi proses yang mampu memberikan nilai bilangan asam paling tinggi ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai bilangan asam sebesar 10,79 mg NaOH/g MESA. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain sehingga semakin banyak jumlah adisi molekul SO 3 yang bersifat asam dalam ikatan rangkap metil ester. 5. Kadar Bahan Aktif Bahan aktif menunjukkan jumlah kandungan bahan aktif permukaan yang terkandung dalam suatu bahan. Semakin besar nilainya, maka akan semakin baik kualitas bahan tersebut. Berdasarkan penelitian ini, kadar bahan aktif berkisar antara 0,08-13,66%. Pada penelitian ini dilakukan analisis kadar bahan aktif dengan metode Ephtone. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif anionik menggunakan cetylpiridinium bromide, yang merupakan salah satu jenis surfaktan kationik. Indikator yang digunakan adalah methylen blue. Campuran surfaktan dengan indikator ditambahi

kloroform sehingga tercipta dua fasa yaitu fasa kloroform di bagian bawah dan fasa larutan surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas. Bahan aktif yang larut pada methylen blue akan memberikan warna biru pekat pada larutan surfaktan. Langkah selanjutnya adalah dititrasi dengan surfaktan kationik. Dalam proses titrasi ini warna biru akan berpindah ke fasa kloroform hingga warna dua fasa tersebut seragam. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih pucat lalu lamakelamaan akan menjadi bening. Gambar 14.. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bahan aktif Gambar 14 menunjukkan bahwa peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi meningkatkan kadar aktif bahan MESA yang dihasilkan. Peningkatan suhu berdampak pada peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan, sehingga tumbukan antar molekul per satuan waktu lebih produktif (Segel, 1993). Peningkatan laju alir reaktan gas SO 3 akan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan

semakin besar. Peningkatan kadar bahan aktif menunjukkan bahwa semakin banyak molekul MES yang terbentuk. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap kadar bahan aktif. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan kadar bahan aktif. Akan tetapi interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar bahan aktif. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120 C) berbeda nyata satu sama lain terhadap kadar bahan aktif. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 berbeda nyata satu sama lain terkecuali pada laju alir 0,8 kg/jam dan 1,1 kg/jam yang tidak berbeda nyata terhadap peningkatan kadar bahan aktif. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar bahan aktif dapat dilihat pada Lampiran 9. Kondisi proses yang mampu memberikan kadar bahan aktif paling tinggi ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai kadar bahan aktif sebesar 16,00%. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain sehingga semakin banyak jumlah molekul surfaktan yang terbentuk. 6. ph Derajat keasaman atau yang lebih dikenal dengan ph digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan dari suatu bahan. Nilai ph didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (Fessenden dan Fessenden, 1995). Menurut Bodner dan Pardue (1989), nilai ph berkisar antara 0-14. Kisaran nilai ph dari 0-6 menunjukkan bahwa suatu larutan bersifat asam, nilai ph 8-14 menunjukkan bahwa

suatu larutan bersifat basa. Larutan dengan nilai ph 7 menunjukkan bahwa larutan tersebut bersifat netral. Pengukuran ph pada MESA dalam penelitian ini menggunakan alat ph meter Schott Instruments handylab ph11/set. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai ph dari MESA berkisar antara 1,42 sampai 1,73. Ini menunjukkan bahwa MESA yang terbentuk masih bersifat asam. Hal ini disebabkan karena MESA yang terbentuk belum melalui tahap netralisasi dalam proses pemurnian. Gambar 15. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai ph Berdasarkan Gambar 15 di atas, dapat dilihat bahwa peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi berakibat pada penurunan nilai ph. Penurunan nilai ph ini diduga karena semakin besar laju alir reaktan SO 3 akan memperbesar tumbukan antar partikel yang berarti terbentuknya gugus sulfonat pada metil ester semakin besar. Demikian pula dengan suhu reaksi yang semakin tinggi akan mempercepat terjadinya proses sulfonasi. Keberadaan gugus sulfonat yang bersifat asam inilah yang menyebabkan nilai ph semakin rendah.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai ph. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan ph. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan ph. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120 C) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai ph. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai ph. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai ph dapat dilihat pada Lampiran 10. Kondisi proses yang memberikan nilai ph paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai ph sebesar 1,42.