Surat surat yang dapat diperiksa Surat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa

dokumen-dokumen yang mirip
INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

Bagian Kedua Penyidikan

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYADAPAN PADA PUSAT PEMANTAUAN

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA. Oleh INDARTO BARESKRIM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

Pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dalam perkara pidana di wilayah hukum Pengadilan Negeri Surakarta. Yossie Ariestiana E.

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

CAKRAWALA HUKUM Perjalanan Panjang Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Oleh : Redaksi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PUTUSAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati. HAM dimiliki

Lex Privatum Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BARESKRIM POLRI STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR PENYITAAN MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN RESERSE KRIMINAL

Transkripsi:

E. Pemeriksaan Surat Definisi Yang dimaksud dengan surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Surat surat yang dapat diperiksa Surat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa Tata cara pemeriksaan surat - Penyitaan surat yang tertangkap tangan harus diberikan tanda penerimaan Dalam Pasal 41 KUHAP dikatakan, bahwa dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket/surat/benda yang pengangkutnya atau pengirimnya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan/perusahaan komunikasi/pengangkutan, sepanjang paket/surat/benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal dari padanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi/pengangkutan yang bersangkutan harus diberikan surat tanda penerimaan - Membuka, memeriksa dan menyita surat dengan izin khusus ketua pengadilan negeri Pasal 47 menuntukan: 1. Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan, atau perusahaan komunikasi/pengangkutan jika benda tersebt dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri 2. Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan, atau perusahaan telekomunikasi/pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan 3. Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut (lihat pasal 96 UU No. 31/1997 ttg Peradilan Militer) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara. Sebaliknya

apabila ternyata surat tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapih dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan/perusahaan komunikasi/pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi telah dibuka oleh penyidik dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan, beserta identitas penyidik. Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan (Pasal 48 KUHAP & Pasal 97 UU No. 31/1997 ttg Peradilan Militer) - Pemeriksaan surat dicatat dalam berita acara Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 75 KUHAP. Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, jawatan/perusahaan komunikasi/pengangkutan yang bersangkutan (Pasal 49 KUHAP & Pasal 98 UU No. 31/1997 ttg Peradilan Militer) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya, sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ketempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, serta jika perlu menyitanya. Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 129 KUHAP (Pasal 131 KUHAP) Bentuk dan cara pemeriksaan surat palsu - Berdasarkan pengaduan, pemeriksaan surat palsu dilakukan oleh ahli Pasal 132 ayat (1), dalam hal diterima pengaduann bahwa suatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat meminta keterangan mengenai hal itu dari orang ahli. - Permintaan surat palsu dengan izin ketua pengadilan negeri Pasal 132 ayat (2), dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang/dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat ahli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahann perbandingan. Lebih lanjut ayat (3), dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipaisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131, penyidik dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan. Kemudian ayat (4), dalam hal surat bagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu daftar, penyimpanan membuat salinan sebagai penggantinya samapai surat yang asli

diterima kembali yan dibagian bawah sari salinan itu penyimpanan, mencatat apa sebab salinan itu dibuat. Terakhir ayat (5), dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan, tanpaalasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya. Ayat (6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan sebagai biaya perkara. F. Penyadapan Dalam KUHAP, tindakan yang mendahului pemeriksaan dimuka pengadilan terdiri dari tingkat penyelidikan/penyidikan (kepolisan) dan tingkat penuntut umum. Pada tingkat penyelidikan/penyidikan, terdapat beberapa tahap yaitu penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Sehingga dapat kita ketahui bahwa penyadapan tidak diatur dalam KUHAP. Akan tetapi karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka memungkinkan untuk dilakukannya penyadapan. Sehingga KUHAP yang merupakan produk hukum Indonesia keluaran orde baru (1981) maka belum mengatur menganai penyadapan. Sehingga pemerintah melalui Kementrian Hukum dan HAM dalam rapat kerja dengan DPR telah menyampaikan rancangan KUHAP ke DPR dimana dalam rancangan revisi KUHAP tersebut, terdapat prosedur dan tata cara penyadapan. Karena aturan aturan tersebut mengenai penyadapann belum diatur dalam UU manapun, sebagian besar hanya menjelaskan penyadapan sebatas kewenagan saja. Penyadapan dalam praktik sangat berguna untuk mengungkap sekaligus mencegah dan mendeteksi kejahatan yang tidak dapat lagi diacak dengan cara cara konvensional yang dahulu digunakan oleh aparatur penegak hukum. Definisi Menurut Pasal 31 ayat 1 UU No. 11/2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), penyadapan adalah kegiatan untuk mendengar, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektrimaneti atau radio frekuensi.

Tujuan Untuk membantu jalannya proses penyidikan (untuk mengumpulkan bukti yang membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka) serta untuk mencegah terjadinya tindak pidana serius. Pejabat yang berwenang melaksanakan penyadapan Dalam RUU KUHAP Bab IV tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat diatur mengenai pihak yang berwenang melakukan penyadapan. Pasal 83 ayat (3) RUU KUHAP mengatur bahwa hanya penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapatkan izin dari hakim pemeriksaan pendahuluan yang berwenang melakukan penyadapan. Ayat (4) menyatakan bahwa penuntut umum menghadap kepada hakim pemerikasaan pendahuluan bersama dengan penyidik untuk melakukan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada hakim pemeriksaan pendahuluan, dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alasan dilakukannya penyidikan tersebut. Dari kedua ayat tersebut dapat dikesimpulkan bahwa pejabat yang berwenang melakukan penayadapan adalah penyidik atas perintah atasan penyidik setempat atau penuntut mum setelah mendapatkan izin dari hakim pemeriksaan pendahuluan. Selain dalam RUU KUHAP, kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan juga diatur dalam UU No. 5/1997 ttg psikotropika, UU No. 30/2002 ttg KPK, UU No. 21/2007 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 11/2008 ttg ITE, UU No. 35/2009 ttg Narkotika, UU No. 17/2011 ttg Intelejen Negara, dll Syarat Penyadapan Penyadapan merupakan pelanggaran HAM yang berat karena melanggar Pasal 28E UUD 1945. Oleh karena itu, penyadapan merupakan upaya paksa yang berarti hanya dapat dilakukan sesudah ditemukannya bukti bukti permulaan yang cukup. Penyadapan dilakukan pada saat proses penyidikan. Selain itu, putusan MK No. 5/PUU/VIII/2010 pasca uji materiil UU No. 11/2008 ttg ITE terhadap UUD 1945, dalam perkara No. 5/PUU/VIII/2010 tersebut menyatakan bahwa dalam membentuk aturan mengani penyadapan perlu dilihat syarat penyadapan yaitu: a. Adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam UU untuk memberikan izin penyadapan b. Adanya jaminan waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan c. Pembatasan penanganan materi hasil penyadapan d. Pembatasan menganai orang yang dapat mengakses penyadapan

RUU KUHAP juga mengatur syarat penyadapan dimana penyadapan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari hakim pemeriksaan pendahuluan (Pasal 83 ayat 3). Tidak hanya itu, penyadapan hanya dapat dilakukan dalam jenis tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat 2 KUHAP. Tata cara penyadapan Tata cara penyadapan dalam RUU KUHAP hanya diatur dalam Pasal 83 dan Pasal 84. - Permohonan izin penyadapan Dalam hal perizinan, penyidik dengan penuntut umum menyampaikan permohoan tertulis yang didalamnya termuat alasan alasan untuk melakukan penyadapan kepada hakim pemerikasaan pendahuluan. Setelah mendapat izin, maka atasan penyidik mengeluarkan surat perintah penyadapan. Ketentuan ini berdasarkan Pasal 83 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHAP dimana Pasal 83 ayat (3) mengatakan bahwa penyadapan pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat, setelah mendapat izin dari hakim pemeriksaan pendahuluan. Sedangak pada ayat (4) dikatakan bahwa penuntut umum menghadap kepada hakim pemeriksaan pendahuluan bersama dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada hakim pemeriksaan pendahuluan dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik dengan alasan dilakukannya penyelidikan tersebut. - Penetapan atau penolakan izin penyadapan Apabila permohanan izin penyadapan disetujui, hakim pemeriksa pendahuluan mengeluarkan penetapan izin untuk melakukan penyadapan setelah memeriksa permohonan tertulis sebagaimana dimaksdu dalam ayat (4) (Pasal 83 ayat 5) RUU KUHAP). Jika izin penyadapan ditolak (Pasal 83 ayat 7 RUU KUHAP), dalam hal hakim pemeriksa pendahuluan memberikan/menolak memberi izin penyadapan, hakim pemeriksa pendahuluan harus mencantumkan alasan pemberian/penolakan izin tersebut. - Pelaksanaan penyadapan Menurut Pasal 83 ayat (1) RUU KUHAP, penyadapan pembicaraan melalui telefon/alat komunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaran yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana tersebu, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukannya penyadapan. Pelaksanaan penyadapan harus dilaporkan kepada atasan penyidik dan hakim pemeriksa pendahuluan (Pasal 83 ayat 6 KUHAP)

Jangka waktu penyadapan Dalam RUU KUHAP, jangak waktu penyadapan dimana izin penyadapan diberikan untuk waktu paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang satu kali untuk waktu paling lama 30 hari (Pasal 83 ayat 6 RUU KUHAP) Penyadapan dalam keadaan mendesak Pasal 84 RUU KUHAP mengatur mengenai penyadapan dalam keadaan mendesak, sebagai berikut: 1. Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin dari hakim pemeriksaan pendahuluan dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada hakim pemeriksa pendahuluan melalui penuntut umum 2. Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Bahaya maut/ancaman luka fisik yang serius yang mendesak b. Permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara c. Permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi 3. Penyadapan sebagaimanan dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada hakim pemerikasaan pendahuluan paling lama 2 hari terhitung sejak tanggal penyadapan dilakukan untuk mendapatkan persetujuan. 4. Dalam hal hakim pemeriksa pendahuluan tidak memberikan persetujuan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka penyadapan dihentikan.