BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT. Mangiliwati Winardi dan Tri Wahyuni

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal


BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KARENA KELALAIANNYA MENYEBABKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA PADA KECELAKAAN LALU-LINTAS.

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

P U T U S A N Nomor : 108/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB II KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

TINJAUAN YURIDIS PROSES PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MOHAMMAD RIFKI / D

BAB IV ANALISIS. keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Malah tempatnya diletakkan pada. yang penting, artinya dalam pemeriksaan perkara pidana.

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

PUTUSAN. Nomor : 46 / Pid.B / 2011 / PN.M DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

ALUR PERADILAN PIDANA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HUKUM HAKIM DAN FIQIH JINAYAH DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LAMONGAN NO:164/PID.B/ 2013/PN

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

P U T U S A N Nomor : 107/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : SAMSUL Als SUL Bin GUSOY

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM HUKUM PEMBUKTIAN

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP Visum et Repertum dapat disebut sebagai keterangan tertulis, yaitu keterangan yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. 27 Dilihat menurut sifatnya, Visum et Repertum dibagi dalam 3 (tiga) macam: a. Visum et Repertum yang dibuat (lengkap) sekaligus atau difinitif. b. Visum et Repertum sementara. Misalnya visum yang dibuat bagi korban yang sementara dirawat dirumah sakit akibat luka-lukanya karena penganiayaan. c. Visum et Repertum lanjutan. Misalnya visum bagi korban yang luka tersebut (Visum et Repertum sementara) kemudian lalu meninggal dirumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut korban kemudian dipindahkan ke rumah sakit/ dokter lain, melarikan diri, pulang dengan paksa atau meninggal dunia. 28 Pemakaian istilah Visum et Repertum kadang berlainan, namun maksudnya dapat dipahami. R. Soeparmono menjelaskan: seperti Visum et Repertum bagi korban hidup, yang terjadi oleh karena atau diakibatkan benda tumpul, benda tajam, bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair (basah) atau kering, tembakan senjata api dari jarak jauh atau dekat, tenggelam, mencoba bunuh diri atau sebagainya, sehingga perlu diobati ataupun dirawat nginap di rumah sakit. Kemudian dalam 27 Sofwan Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik dan Hukum Kesehatan, (Semarang; Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,1993), hal. 15. 28 R. Soepomo, Op.Cit., hal. 99.

hal dibuatkan Visum et Repertum akhir dari suatu hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat dokter atau dokter ahli yang mengibati atau menangani semula. 29 Visum et Repertum mempunyai kekuatan pembuktian dalam suatu perkara pidana. R. Atang Ranoemihardja 30 menjelaskan kekuatan Visum et Repertum dalam pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Staatsblad 1937 nomor 350 bahwa Visum et Repertum mempunyai daya bukti, sebab yang dimuat dalam pembuktiannya merupakan kesaksian, karena ia memuat segala sesuatu hal yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, jadi sama halnya dengan seseorang yang melihat dan merasakan sendiri, misalnya suatu kecelakaan di tempat peristiwa itu terjadi. Sedangkan kesimpulan Visum et Repertum dibuat untuk memudahkan bagi jaksa dan hakim, dengan catatan bahwa apabila kesimpulan itu logis maka dapat diterima, sebaliknya bila dianggap tidak logis, jaksa atau hakim mengambil langkah-langkah lain. R. Atang Ranoemihardja 31 mengungkapkan beberapa tindak pidana (perkara pidana) yang diperkirakan memerlukan adanya Visum et Repertum yaitu: a. Pembunuhan dengan sengaja (doodslag) termasuk pembunuhan anak dengan sengaja (kinderdoodslag) yaitu Pasal 338, 339, 341, dan pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis) yaitu Pasal 347 dan 348 KUHP b. Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (met voorbedachte rade moord) termasuk di dalamnya pembunuhan anak dengan direncanakan (kindermoord) dan bunuh diri (zelf moord) Pasal 340, 342, 345 KUHP 29 Ibid. 30 R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), (Bandung; Tarsito, 1991), hal. 25. 31 Ibid., hal. 35.

c. Penganiayaan (mishandeling) termasuk didalamnya penganiayaan ringan (lichte mishandeling) dan penganiayaan berat (zware mishandeling) yaitu Pasal 351, 352, 353, 355, 356, 358 KUHP d. Percobaan (poging) terhadap delik-delik yang tersebut dalam sub a e. Percobaan (poging) terhadap delik-delik yang tersebut dalam sub b f. Makar mati (aanslag met het oogmerk : aan het leven te beroven) yaitu Pasal 104 KUHP g. Kematian karena culpa (veroorzaken van den dood door schuld) yaitu Pasal 359 KUHP h. Luka karena culpa (veroorzaken van lichamelijk letsel door schuld) yaitu Pasal 360 KUHP i. Pemerkosaan (verkrachting) yaitu Pasal 285, 286, 287, 288 KUHP j. Perjinahan (overspel) termasuk didalamnya perbuatan cabul (ontuchtige handeling) dan homosexual yaitu Pasal 284, 289, 290, 294 KUHP. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mencabut HIR jo Undangundang Nomor 1/Drt tahun 1951 jo Ketentuan perihal macam-macam alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukkannya secara tegas alat bukti keterangan ahli di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP. Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli (pakar) itu bagi kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang

pengadilan, amat membantu dalam usaha menambah keyakinan Hakim dalam hal pengambilan keputusan. Pemeriksaan oleh Hakim di persidangan, suatu berkas pidana, apakah ada atau tidak ada Visum et Repertum, maka perkara yang bersangkutan tetap harus periksa dan diputus. Kelengkapan Visum et Repertum dalam berkas perkara terdakwa yang diperiksa oleh Hakim, diserahkan kepada Penuntut Umum yang mulai diserahkan kepadanya berkas perkara Pro Yustia tersebut oleh Penyidik Penuntut Umum memang berusaha untuk membuktikannya dalam sidang agar Majelis Hakim yakin perihal terbuktinya kesalahan terdakwa tersebut. Beberapa kasus yang diperiksa di pengadilan, Majelis Hakim sendiri tidak mutlah harus mendasarkan diri pada Visum et Repertum. Kekuatan pembuktian dari Visum et Repertum diserahkan saja pada penilaian Hakim (Majelis Hakim). Penuntut Umum berusaha membuktikan kesalahan Terdakwa dipersidangan, maka dari itu, berarti beban pembuktian bagi perkara pidana ada pada Penuntut Umum, dalam usaha mencari kebenaran materil, dan Hakim tetap dibatasi pada alat-alat bukti yang diajukan olehnya. Seumpamanya Penuntut Umum tidak bersedia menambah alat bukti yang hanya minimum, maka Hakim tidak dapat mencari sendiri alat buktu tambahan, sedangkan terdakwa mungkin. Terdakwa apabila dalam BAP penyidik disitu mengaku, maka BAP Penyidik merupakan surat, yang dapat dipergunakan untuk alat bukti Petunjuk. 32 Hal tersebut diatas sesuai dengan asas Praduga Tidak Bersalah menurut azas hukumacara Pidana, yaitu bahwa seorang terdakwa pada azasnya harus dianggap tidak bersalah, sebelum kesalahan tersebut dinyatakan terbukti oleh suatu putusan 32 R. Suparmono,Op. Cit., hal. 131.

Hakim serta telah mempunyai kekuatan hukumyang tetap. Karena itu KUHAP menentukan dalam Pasal 66 KUHAP: Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa yang diperlukan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang adalah: a. Adanya dua alat bukti yang sah (sekurang-kurangnya); b. Kenyakinan; c. Bahwa tindak pidana itu benar terjadi; d. Bahwa terdakwalah yang bersalah berbuat Penjelasan Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa ketentuan tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukumbagi seseorang. Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan Hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Alat bukti dalam persidangan yang ada dalam suatu berkas perkara dengan hasilhasil pemeriksaan yang ada dalam berkas itu, Hakim akan memeriksa, menilai, dan menentukan alat bukti yang ada, apakah dari alat bukti yang ada itu dalam pemeriksaan di persidangan mempunyai kekuatan pembuktian berdaarkan batas minimum pembuktian seperti ditentukan Pasal 183 KUHAP dan bukan untuk mencari alat bukti. Didalam dunia ilmu Pasal 183 KUHAP ini dikenal dengan sistem/stelsel Negative Wettelijk dalam hukum pembuktian pada acara pidana. Teori Negative Wettelijk tentang pembuktian menentukan syarat alat bukti, disertai adanya keyakinan yang diperoleh Hakim sebagai undur-unsur yang memegang peranan penting.

Menurut sistem KUHAP, ketentuan-ketentuan Undang-undang tidak boleh dilanggar, artinya Hakim tidak boleh dan dilarang melanggar batas minimum pembuktian dan Hakim wajib mengikuti dan menaati Pasal 183 jo. Pasal 184 KUHAP. Contohnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menentukan, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hak ini dikenal dengan istilah Unus Testis Nullus Testis (seorang saksi bukan saksi). Pasal 183 KUHAP diperlukan untuk mencapai batas minimum pembuktian guna menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa; hal ini untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang Hakim wajib memegang teguh hal tersebut dan dilarang untuk dilanggar. Dalam KUHAP, Visum et Repertum diatur dalam beberapa Pasal, yaitu: Pasal 120 ayat (1) berbunyi: Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Pasal 133 ayat (1) berbunyi: Dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Ayat (2) berbunyi: Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat. Pasal 134 ayat (1) berbunyi: Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebuh dahulu kepada keluarga korban. Ayat (2) berbunyi:

Dalam hal keluarga korban tidak keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. Pasal 135 berbunyi: Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.