Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

dokumen-dokumen yang mirip
PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN UMUM DAN ALOKASI DAK TA 2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 126 /PMK.07/2010 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH

DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 21/PMK.07/2009 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/PMK.07/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM DAN ALOKASI DANA PENYESUAIAN

2011, No.70 2 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010; 4. Peraturan Menteri Ke

2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, perlu mengatur kembali mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban transfer ke daerah dan dana desa; d. bah

KEBIJAKAN ALOKASI DAK BIDANG PENDIDIKAN TAHUN 2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 04/PMK.07/2008 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanju

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN TRIWULAN III

2017, No Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017 (Lembaran Negara Republik Indon

2016, No menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahu

Kebijakan Pengalokasian, Penyaluran dan Pelaporan Dana Keistimewaan DIY

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

KEBIJAKAN PENGALOKASIAN DAK FISIK TAHUN ANGGARAN 2018 SOSIALISASI DAN PELATIHAN PENGGUNAAN APLIKASI E-PLANNING DAK JAKARTA, APRIL 2017

2016, No Anggaran 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 (L

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam APBN ISBN:

Frequently Asked Questions (FAQ)

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN ARAH KEBIJAKAN SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH (SIKD)

PERANAN KEMENTERIAN KEUANGAN DALAM ALOKASI ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH GUNA MENDUKUNG INPRES NOMOR 12 TAHUN 2011

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM (DBH SDA)

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI

Frequently Asked Questions (FAQ)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL. Novotel, Bogor, 06 September 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KEBIJAKAN ALOKASI DAN PENYALURAN DAK TAHUN 2016

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5767); MEMUTUSKAN: Menetap

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

2016, No ditentukan penggunaannya dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan uang daerah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DANA ALOKASI KHUSUS DALAM PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH

POKOK-POKOK PERUBAHAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2016

Monitoring Realisasi APBD Triwulan I

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 04/PMK.07/2011 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 04/PMK.07/2011 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN DAK BIDANG KESEHATAN 2010

KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KESEHATAN TAHUN 2014

KEBIJAKAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2018

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

2017, No melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tent

DINAMIKA PENGELOLAAN DANA TRANSFER DAN PINJAMAN DAERAH

KEBIJAKAN DANA TRANSFER KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

TRANSFER DANA DESENTRALISASI LAMPAUI RP500 TRILIUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TABEL MEKANISME ALUR DATA DJPK

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Press Briefing. Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (PMK Nomor 50/PMK.07/2017)

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2018

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

DAFTAR ISI. Halaman BAB III PENUTUP... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 71/PMK.07/2011 TENTANG

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

EVALUASI KEBIJAKAN PENYALURAN DANA ALOKASI KHUSUS FISIK TAHUN 2016

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

LAPORAN KEUANGAN TRANSFER KE DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174/PMK.07/2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KESIAPAN PENYALURAN TAHAP I DANA ALOKASI KHUSUS FISIK 2018 PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 09 TAHUN 2011

2011, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 17/PMK.07/2009 TENTANG

Transkripsi:

1

ii Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

RINGKASAN EKSEKUTIF 1. SILPA daerah yang besar merupakan indikasi masih adanya permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam pengelolaan keuangannya. SILPA yang timbul di akhir tahun anggaran antara lain dapat berasal dari adanya penghematan anggaran pelaksanaan kegiatan, kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan sehingga dananya tidak terserap, adanya pelampauan pendapatan, ataupun transfer pemerintah pusat ke daerah yang dilakukan mendekati akhir tahun anggaran sehingga tidak dapat diserap oleh daerah dalam kegiatannya. Kondisi demikian perlu diteliti lebih mendalam karena memang faktanya daerah-daerah masih memiliki SILPA yang sangat tinggi. 2. Besaran SILPA yang masih tinggi setiap tahunnya perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat. Dari tahun ke tahun SILPA daerah terus mengalami kenaikan, hal ini berarti pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan dalam anggaran belanja publik pada APBD tidak optimal. Salah satu yang menjadi penyebab munculnya SILPA yang besar antara lain adalah sisa penyerapan dana transfer yang bersifat spesifik, yang tidak dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan pada tahun berkenaan. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh karena penyalurannya lebih banyak dilakukan di akhir tahun, serta sifat penggunaannya yang telah diatur dalam petunjuk teknis dan tidak dapat digunakan dalam kegiatan lain di luar petunjuk teknis. 3. SILPA tahun berkenaan (harga berlaku) menunjukkan tren peningkatan yakni dari Rp52,2 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp99,3 triliun di tahun 2013. Tren peningkatan SILPA ini disebabkan oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu pesimis dalam menetapkan target pendapatan dalam APBD (rata-rata realisasi pendapatan daerah mencapai 109,4% dari yang Ringkasan Eksekutif iii

dianggarkan dalam APBD). Dalam kajian ini hanya akan dilihat SILPA yang berasal dari transfer ke daerah yang bersifat spesifik, terutama dari Dana Alokasi Khusus (DAK). 4. Berdasarkan monitoring yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Besaran sisa penyerapan Dana Alokasi Khusus (DAK) di 489 daerah yang merupakan bagian SILPA yang bersumber dari dana transfer yang bersifat earmarked berkisar Rp8,02 triliun atau sebesar 8,3% total SILPA pada realisasi APBD TA 2013 dari daerah tersebut. b. Besaran SILPA yang berasal dari pendapatan yang bersifat earmarked tidak cukup signifikan dalam porsi SILPA keseluruhan sehingga kontribusi pemerintah dalam kaitan kebijakan transfer bersifat earmarked tidak terlalu besar. c. Kendala utama dalam penyerapan DAK yang menyebabkan meningkatnya SILPA adalah kendala DAK pada bidang pendidikan, dimana sisa DAK bidang pendidikan mendominasi sisa DAK Tahun Anggaran 2010-2013 yakni sebesar 56,8%. 5. Dari kesimpulan di atas, diusulkan rekomendasi sebagai berikut : a. Untuk memperkecil atau bahkan meniadakan kontribusi transfer bersifat earmarked dalam SILPA daerah, Pemerintah perlu mempersiapkan perangkat peraturan untuk mendukung pelaksanaan DAK, yakni dengan menyediakan petunjuk teknis dan peraturan lainnya secara lebih dini, sehingga pelaksanaan DAK dapat dilaksanakan secara lebih awal di daerah. b. Perlu dipertimbangkan untuk mengubah penyaluran DAK, misalnya: - penyaluran DAK tidak berdasarkan tahapan namun berdasarkan kurun waktu, misalnya triwulan ataupun semester, mengingat tahun anggaran berlaku selama satu tahun. Hal ini untuk memberikan keleluasaan bagi daerah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah selama satu tahun anggaran. iv Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

- penyaluran DAK berdasarkan bidang, mengingat DAK per bidang dilaksanaan oleh Satuan Perangkat Pemerintah Daerah (SKPD) sendiri-sendiri di daerah, sehingga pelaksanaan yang lambat DAK bidang tertentu oleh SKPD tertentu tidak membebani DAK bidang oleh SKPD lainnya. Ringkasan Eksekutif v

KATA PENGANTAR Desentralisasi fiskal telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara dan daerah. Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi fiskal adalah memberikan kewenangan kepada pemda untuk mengelola keuangannya secara lebih optimal agar dapat memberikan output berupa layanan publik yang sesuai prioritas negara dan daerah, serta sesuai dengan kebutuhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah Pusat mengalokasikan dana transfer untuk daerah. Besaran dana transfer ke daerah yang bersumber dari APBN terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kemampuan daerah untuk mengelola APBD menggambarkan kapabilitas pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, faktanya masih terdapat kendala dan permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal ini ditandai dengan masih besarnya jumlah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) dalam Realisasi APBD. Jumlah SILPA daerah secara agregat nasional terus mengalami peningkatan hingga Realisasi APBD tahun anggaran 2013 telah mencapai Rp99,3 triliun. SILPA yang timbul di akhir tahun anggaran berkenaan antara lain merupakan penjumlahan dari adanya penghematan anggaran pelaksanaan kegiatan, tidak dilaksanakannya kegiatan sehingga dananya tidak terserap, adanya pelampauan pendapatan, dan penyaluran dana Transfer ke Daerah yang mendekati akhir tahun anggaran sehingga dananya tidak dapat terserap seluruhnya dalam kegiatannya. Besaran SILPA yang masih tinggi setiap tahunnya perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat. Dari tahun ke tahun SILPA daerah terus mengalami kenaikan, yang berarti pelaksanaan vi Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

kegiatan yang telah direncanakan dalam anggaran belanja publik pada APBD tidak optimal. Monitoring dan evaluasi pembiayaan daerah ini difokuskan untuk melakukan evaluasi atas Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) yang berasal dari transfer earmarked, khususnya Dana Alokasi Khusus (DAK). Beberapa hal yang dikaji adalah kinerja penyaluran dan penyerapan DAK, evaluasi atas besaran sisa DAK pada akhir tahun anggaran yang tidak terserap oleh Daerah yang kemudian menjadi SILPA dalam Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), serta melakukan evaluasi penyebab timbulnya SILPA yang berasal dari transfer earmarked. Laporan ini disusun untuk memberikan kontribusi dalam upaya perbaikan kebijakan pengelolaan dana transfer earmarked dalam kontribusinya terhadap pembentukan SILPA yang cukup tinggi. Penyajian laporan ini menggunakan skema pembahasan analisis deskriptif berdasarkan data kualitatif dan kuantitatif. Akhir kata, kami mengharapkan kiranya laporan ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan daerah. Jakarta, Desember 2014 Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah, Adijanto Kata Pengantar vii

Daftar Isi RINGKASAN EKSEKUTIF...iii KATA PENGANTAR...vi DAFTAR ISI...viii DAFTAR TABEL...x DAFTAR GRAFIK...xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...1 1.2. Tujuan Penelitian...5 1.3. Manfaat Penelitian...5 1.4. Ruang Lingkup Penelitian...5 1.5. Metode Penelitian...6 BAB II LANDASAN TEORI... 7 2.1. Kebijakan Transfer ke Daerah...7 2.2. Kebijakan Dana Alokasi Khusus...8 2.2.1. Kebijakan Umum Dana Alokasi Khusus...8 2.2.2. Mekanisme Penyaluran Dana Alokasi Khusus...10 2.2.3. Optimalisasi Penggunaan Dana Alokasi Khusus...13 2.3. Pembiayaan Daerah...13 2.4. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA)...14 2.5. SILPA Dalam Konteks Dana Alokasi Khusus (DAK)...15 BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 17 3.1. Tren Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA)...17 3.2. Tren Dana Alokasi Khusus...19 3.3. Kinerja Penyaluran DAK dan Penyerapan DAK TA 2010-2013..22 viii Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

3.3.1. Kinerja Penyaluran DAK dan Penyerapan DAK Tahun 2011...22 3.3.2. Kinerja Penyaluran DAK dan Penyerapan DAK Tahun 2012...25 3.3.3. Kinerja Penyaluran DAK dan Penyerapan DAK Tahun 2013...27 3.4. Sisa Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam RKUD...29 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 34 4.1. Kesimpulan...34 4.2. Rekomendasi...34 DAFTAR PUSTAKA... 36 UCAPAN TERIMA KASIH... 39 Daftar Tabel ix

Daftar Tabel Tabel 3.1 Penyaluran DAK Tahun 2011...24 Tabel 3.2 Penyaluran DAK Tahun 2012...26 Tabel 3.3 Penyaluran DAK Tahun 2013...28 x Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Daftar GRAFIK Grafik 1.1 Tren Transfer ke Daerah Tahun 2010 2013...2 Grafik 1.2 Tren SILPA Tahun Berkenaan...4 Grafik 3.1 Tren SILPA Tahun Berkenaan Tahun 2009-2013...18 Grafik 3.2 Perkembangan Dana Alokasi Khusus Tahun 2009-2013...21 Grafik 3.3 Peta Dana Alokasi Khusus Agregat se-provinsi di Indonesia, 2012-2013...22 Grafik 3.4 Sisa Penyerapan DAK Agregat Per Provinsi...31 Grafik 3.5 Sisa Penyerapan DAK 2010-2013 Perbidang...32 Daftar Grafik xi

xii Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan desentralisasi fiskal telah berjalan selama lebih dari satu dasawarsa. Tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah, meningkatkan kualitas pelayanan publik, meningkatkan efisiensi sumber daya nasional, dan mendukung fiscal sustainability. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai salah satu instrumen fiskal bagi pemerintah daerah memegang peranan penting dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Dalam APBD tercantum prioritas pembangunan daerah yang akan dicapai melalui pelaksanaan belanja daerah sesuai sumber daya yang tersedia. Sumber pendapatan utama daerah adalah dari APBN dalam bentuk Transfer ke Daerah sebagai Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus), Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan DIY, dan Dana Transfer Lainnya. Dana perimbangan dialokasikan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (vertical imbalance) dan mengurangi ketimpangan pendanaan urusan pemerintahan antar daerah (horizontal imbalance). Untuk mendanai penyelenggaraan daerah otonomi khusus dialokasikan Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sedangkan Dana Keistimewaan DIY dialokasikan untuk mendanai keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi bidang kebudayaan, pertanahan, kelembagaan, dan tata ruang. Adapun Dana Bab I Pendahuluan 1

Transfer Lainnya (d/h dana penyesuaian) meliputi Tunjangan Profesi Guru PNSD, Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, dan Bantuan Operasional Sekolah yang disalurkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta Dana Insentif Daerah, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi. Besaran Transfer ke Daerah untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal menunjukkan tren yang terus meningkat sebagaimana ditunjukkan pada grafik 1.1 berikut ini. Grafik 1.1 Tren Transfer ke Daerah Tahun 2010 2013 Triliun Rupiah 600,0 500,0 400,0 300,0 200,0 100,0 344,7 411,3 480,6 513,1-2010 2011 2012 2013 Dana Penyesuaian 29,9 53,7 57,4 69,3 Dana Otsus & DIY 9,1 10,4 12,0 13,4 DBH 92,2 96,9 111,5 88,5 DAK 21,0 24,8 25,9 30,8 DAU 192,6 225,5 273,8 311,1 Series6 344,7 411,3 480,6 513,1 Sumber: DJPK, diolah Grafik 1.1 di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2013 alokasi Transfer ke Daerah mencapai Rp513,1 triliun, meningkat sekitar 6,8 persen dari tahun 2012. Komposisi terbesar Transfer ke Daerah untuk tahun 2013 adalah Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp311,1 triliun, kemudian diikuti Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp88,5 triliun, Dana Penyesuaian sebesar Rp69,3 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp30,8 triliun serta Dana Otonomi 2 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Khusus dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebesar Rp13,4 triliun. Mekanisme penyaluran dari masing-masing jenis transfer tersebut berbedabeda. Transfer ke Daerah yang bersifat specific atau earmarked dialokasikan kepada daerah dengan kriteria tertentu serta penggunaan dananya pun ditentukan oleh Pemerintah Pusat seperti DAK, DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT), DBH minyak dan gas (Migas). Demikian halnya transfer dari pemerintah provinsi kepada pemerintah daerah juga terdapat penyaluran dana yang bersifat earmarked karena peruntukkannya sudah ditentukan oleh pemerintah provinsi. Dana Alokasi Khusus merupakan transfer yang bersifat earmarked disalurkan ke daerah (Rekening Kas Umum Daerah/RKUD) secara bertahap dalam persentase tertentu dari pagunya. Setelah tahap pertama disalurkan, maka untuk tahap berikutnya penyalurannya akan dilakukan berdasarkan tingkat penyerapan dana pada tahap sebelumnya. Apabila dana yang disalurkan secara tahapan tersebut terserap seluruhnya (sesuai pagu) dalam pelaksanaan kegiatan, maka sisa DAK tidak akan muncul di RKUD akhir tahun anggaran. Akan tetapi, sebaliknya jika terdapat pelaksanaan kegiatan yang penyerapan dananya kurang optimal maka akan timbul sisa DAK di RKUD yang akan menjadi bagian dari SILPA daerah sebagai SILPA yang bersifat earmarked. Transfer dana dari Pemerintah Pusat yang diterima oleh daerah mendekati akhir tahun anggaran tentunya juga dapat berpotensi penumpukan SILPA di akhir tahun karena daerah tidak dapat melakukan penyerapan dana tersebut. Besaran SILPA yang masih tinggi setiap tahunnya perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat. Dari tahun ke tahun, SILPA daerah terus mengalami kenaikan, hal ini berarti pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan dalam anggaran belanja publik pada APBD tidak optimal. SILPA yang besar tersebut Bab I Pendahuluan 3

merupakan akumulasi SILPA dari tahun-tahun anggaran sebelumnya. Tren SILPA dapat dilihat dalam grafik berikut. Grafik 1.2 Tren SILPA Tahun Berkenaan Tren SILPA Tahun Berkenaan Sumber: DJPK (data diolah) SILPA daerah yang besar merupakan indikasi masih adanya permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam pengelolaan keuangannya. SILPA yang timbul di akhir tahun anggaran antara lain dapat berasal dari adanya penghematan anggaran pelaksanaan kegiatan, kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan sehingga dananya tidak terserap, adanya pelampauan pendapatan, ataupun transfer pemerintah pusat ke daerah yang dilakukan mendekati akhir tahun anggaran sehingga tidak dapat diserap oleh daerah dalam kegiatannya. Kondisi demikian perlu diteliti lebih mendalam karena memang faktanya daerah-daerah masih memiliki SILPA yang sangat tinggi. Dari data yang dikumpulkan, terdapat indikasi bahwa transfer earmarked dari Pemerintah pusat ke daerah tidak terserap dalam kegiatan dengan baik sehingga menjadi SILPA earmarked di akhir tahun. Besaran transfer 4 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

earmarked yang menjadi SILPA di akhir tahun anggaran ditengarai jumlahnya cukup signifikan. Berdasarkan kondisi tersebut maka dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) untuk mengetahui seberapa besar transfer earmarked dari Pemerintah pusat yang tidak dapat digunakan daerah yang kemudian menjadi SILPA pada akhir tahun. 1.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka monev yang dilakukan bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi besaran dana transfer earmarked dari Pemerintah Pusat yang belum dapat digunakan oleh daerah sehingga menjadi SILPA di akhir tahun dan 2. Mengevaluasi penyebab timbulnya SILPA yang berasal dari transfer earmarked. 1.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah dalam upaya mengendalikan besaran SILPA yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga penerimaan daerah khususnya yang berasal dari transfer yang bersifat earmarked dapat segera diserap dan dimanfaatkan secara optimal untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup monitoring dan evaluasi pembiayaan daerah untuk tahun 2014 ini akan difokuskan untuk mengetahui besaran SILPA pada tahun anggaran 2013 yang berasal dari transfer earmarked. Hal yang dibahas dalam Bab I Pendahuluan 5

penelitian ini dibatasi hanya terkait dengan transfer earmarked dari DAK. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan cara melihat besaran sisa DAK untuk seluruh bidang dalam RKUD tahun 2010 sampai dengan tahun 2013. 1.5. Metode Penelitian i. Sumber Data Data-data yang digunakan untuk mendukung monev ini yaitu Ringkasan dan Rincian APBD dan Realisasi APBD, serta data penyaluran Transfer ke Daerah. Sumber data tersebut berasal dari Subdirektorat Data Keuangan Daerah, Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah dan Subdirektorat Pelaksanaan Transfer I, Direktorat Dana Perimbangan, Direktorat Jenderal Perimbangan keuangan. ii. Metode Analisis Data Laporan monitoring dan evaluasi ini akan menyajikan hasil analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil pengumpulan informasi dan data akan dianalisis secara deskriptif. Data SILPA akan diidentifikasi dengan cara membandingkan data APBD dan Realisasi APBD. Selanjutnya, akan dibandingkan data dana transfer DAK yang sudah disalurkan Pemerintah Pusat dengan data dana yang sudah digunakan dan dilaporkan daerah dalam laporan penyerapan sehingga diketahui besaran dana yang masih tersisa dalam RKUD. 6 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kebijakan Transfer ke Daerah Payung hukum kebijakan desentralisasi fiskal adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur penyerahan tugas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang diikuti dengan pendanaannya untuk pelaksanaan tugas tersebut. Instrumen fiskal yang utama dalam penyerahan tugas dari Pemerintah Pusat kepada daerah yaitu pemberian dana dalam bentuk transfer ke daerah serta pemberian kewenangan kepada Pemda untuk melakukan pemungutan pajak (local taxing power). Transfer ke Daerah bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal horisontal (horizontal fiscal imbalance) dan kesenjangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalance). Kesenjangan tersebut terjadi akibat pembagian kewenangan antara tingkat pemerintahan yakni Pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota. Ada dua jenis transfer dari Pemerintah Pusat ke daerah yaitu transfer yang bersifat block grant dan bersifat specific grant. Transfer yang bersifat block grant merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Daerah yang kewenangan penggunaannya dalam APBD diserahkan kepada daerah. Sementara specific transfer merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Daerah yang tujuan penggunaannya ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Specific transfer ini berguna untuk mendorong pencapaian prioritas nasional di tingkat daerah. Bab II Landasan Teori 7

Beberapa jenis transfer dalam APBN yang bersifat block grant yaitu DAU, DBH Pajak, DBH Sumber Daya Alam (SDA), sedangkan yang bersifat specific grant adalah DBH CHT dan DBH Migas 0,5% untuk Pendidikan, serta DAK. Kesemua jenis transfer di atas merupakan bagian dari dana perimbangan yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain dana tersebut, juga terdapat dana otonomi khusus dan Dana Transfer Lainnya. Dana otonomi khusus dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus di suatu daerah sesuai UU Otonomi Khusus dan Dana Transfer Lainnya dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2.2. Kebijakan Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai prioritas nasional. Transfer DAK yang diberikan kepada daerah bertujuan untuk membantu daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat, untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional. 2.2.1. Kebijakan Umum Dana Alokasi Khusus Kebijakan umum Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan Pemerintah Pusat, sebagai berikut: 1. mendukung pencapaian prioritas nasional, termasuk program-program prioritas nasional yang bersifat lintas sektor/kewilayahan sesuai dengan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework) dan penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting); 8 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

2. membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangannya relatif rendah untuk membiayai pelayanan publik dalam rangka pemerataan pelayanan dasar dan mendorong pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM); 3. meningkatkan kualitas perhitungan alokasi DAK, serta mempercepat penyusunan petunjuk teknis penggunaan DAK yang ditujukan untuk mendorong penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang efektif, efisien, dan tepat waktu; 4. meningkatkan koordinasi pengelolaan DAK secara utuh dan terpadu di pusat dan daerah sehingga terwujud sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang didanai dari sumber-sumber pendanaan lainnya; 5. meningkatkan penyediaan data-data teknis yang lebih akurat sebagai basis kebijakan kementerian dan lembaga dalam rangka meningkatkan keserasian serta menghindari duplikasi kegiatan antar Bidang DAK; dan 6. mendorong penggunaan kinerja pelaporan sebagai salah satu pertimbangan dalam penyusunan kriteria pengalokasian DAK. DAK dialokasikan untuk membantu daerah mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang merupakan prioritas nasional di bidang: 1. Pendidikan; 2. Kesehatan; 3. Infrastruktur Jalan; 4. Infrastruktur Irigasi; 5. Infrastruktur Air Minum; 6. Infrastruktur Sanitasi; 7. Prasarana Pemerintahan Daerah; 8. Kelautan dan Perikanan; 9. Pertanian; 10. Lingkungan Hidup; 11. Keluarga Berencana; Bab II Landasan Teori 9

12. Kehutanan; 13. Sarana Perdagangan; 14. Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal; 15. Energi Perdesaan; 16. Perumahan dan Permukiman; 17. Keselamatan Transportasi Darat; 18. Transportasi Perdesaan; dan 19. Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan. 2.2.2. Mekanisme Penyaluran Dana Alokasi Khusus Mekanisme penyaluran Dana Alokasi Khusus kepada daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Penyaluran DAK ke daerah dilaksanakan secara bertahap dengan ketentuan sebagai berikut: a. Tahap pertama disalurkan paling cepat pada bulan Februari tahun anggaran berkenaan setelah Ditjen Perimbangan Keuangan menerima dokumen persyaratan sebagai berikut: 1. Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berkenaan; 2. Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap III tahun anggaran sebelumnya; 3. Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya; dan 4. Surat Pernyataan Penyediaan Dana Pendamping dari Kepala Daerah penerima DAK. b. Tahap kedua disalurkan paling lambat 15 hari kerja setelah Ditjen Perimbangan Keuangan menerima Laporan Realisasi Penyerapan 10 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

DAK Tahap I tahun anggaran berkenaan dari Kepala Daerah penerima DAK. c. Tahap ketiga disalurkan paling lambat 15 hari kerja setelah Ditjen Perimbangan Keuangan menerima Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap II tahun anggaran berkenaan dari Kepala Daerah penerima DAK. 2. Penyaluran DAK dilakukan dengan rincian sebagai berikut: a. Tahap 1: 30% dari pagu alokasi DAK (seluruh bidang DAK); b. Tahap 2: 45% setelah sisa dana Tahap 1 < 10%; dan c. Tahap 3: 25% setelah sisa di Kas Daerah < 10%. 3. Pemindahbukuan ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Penyaluran DAK dilakukan dengan cara pemindah bukuan dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke RKUD. 4. Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap I atau Tahap II diterima paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum tahun anggaran berjalan berakhir. Jika DAK Tahap II dan/atau Tahap III tidak dapat tersalurkan karena terlampauinya batas waktu pencairan, maka pendanaan dan penyelesaian kegiatan DAK dan/atau kewajiban kepada pihak ketiga atas pelaksanaan kegiatan DAK menjadi tangggung jawab pemerintah daerah. Selain tahapan penyaluran tersebut, terdapat beberapa peraturan yang disempurnakan guna mendukung pencapaian target nasional penyaluran dan penyerapan DAK. Penyesuaian dilakukan untuk mengatasi kendala dalam penyerapan DAK Bidang Pendidikan. Peraturan dimaksud antara lain: 1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.07/2011 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011. Pelaksanaan penyaluran DAK TA 2011 mengalami perubahan yakni pencairan Tahap II dan III dilaksanakan setelah diterima Laporan Realisasi Penyerapan DAK TA 2011 dengan capaian penyerapan 90% dari DAK tahap sebelumnya. Namun, tidak memperhitungkan porsi dan Bab II Landasan Teori 11

penyerapan DAK Bidang Pendidikan TA 2011 bagi daerah yang belum melaksanakan penyerapan DAK Bidang Pendidikan TA 2011. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2012. Penyaluran DAK pada TA 2012 masih menggunakan mekanisme yang sama dengan penyaluran DAK pada tahun 2011. Untuk pencairan Tahap II dan III tidak memperhitungkan porsi dan penyerapan bidang Pendidikan TA 2012. Kegiatan yang dibiayai dari DAK Bidang Pendidikan yang telah tercantum dalam APBD perubahan TA 2012 tetap dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangan. 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK/2013 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2013. Pada TA 2013 terdapat keterlambatan penyerapan DAK Bidang Pendidikan sebagai akibat adanya revisi petunjuk teknis. Atas dasar hal tersebut, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) merekomendasikan agar penyaluran DAK seyogianya tidak memperhitungkan porsi dan penyerapan DAK Bidang Pendidikan TA 2013. Hal ini dilakukan agar target nasional penyaluran dan penyerapan DAK TA 2013 tercapai. Beberapa hal yang diatur dalam PMK Nomor 165 Tahun 2013, sebagai berikut: - Apabila terjadi keterlambatan pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari DAK TA 2013 yang mengakibatkan penyerapan Tahap I dan II tidak mencapai 90%, maka penyaluran dan pelaporan realisasi penyerapan DAK Tahap II atau III dilaksanakan dengan memisahkan antara DAK Bidang Pendidikan dan DAK Non Bidang Pendidikan. - Penyaluran DAK tahap II atau III untuk Bidang Pendidikan maupun Non Bidang Pendidikan dilakukan sebesar porsi dari alokasi DAK Bidang Pendidikan ataupun Non Pendidikan. 12 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

2.2.3. Optimalisasi Penggunaan Dana Alokasi Khusus Optimalisasi penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 126/PMK.07/2010, PMK Nomor 06/PMK.07/2012, dan PMK Nomor 183/PMK.07/2013 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Berdasarkan PMK tersebut, daerah dapat melakukan optimalisasi penggunaan DAK dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Daerah Penerima DAK dapat melakukan optimalisasi penggunaan DAK dengan merencanakan dan menganggarkan kembali kegiatan DAK dalam APBD Perubahan tahun berjalan apabila akumulasi nilai kontrak pada suatu bidang DAK lebih kecil dari pagu bidang DAK tersebut. 2. Optimalisasi penggunaan DAK dilakukan untuk kegiatan pada bidang DAK yang sama sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan. Apabila terdapat sisa DAK pada kas daerah saat tahun anggaran berakhir, daerah dapat menggunakan sisa DAK tersebut untuk mendanai kegiatan DAK pada bidang yang sama tahun anggaran berikutnya dengan menggunakan petunjuk teknis TA sebelumnya dan/atau TA berjalan, dan sisa DAK tersebut tidak dapat digunakan sebagai dana pendamping DAK. 2.3. Pembiayaan Daerah Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Pos penerimaan pembiayaan meliputi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya, Pencairan Dana Cadangan, Hasil Penjualan Kekayaan yang Dipisahkan, Bab II Landasan Teori 13

Penerimaan Pinjaman dan Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman. Pengeluaran pembiayaan terdiri dari penyertaan modal, pembayaran pokok utang, pemberian pinjaman daerah kepada daerah lain, pembayaran kegiatan lanjutan, dan pengeluaran perhitungan pihak ketiga. 2.4. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Pada realisasi APBD terdapat dua jenis SILPA, yaitu: 1. SILPA tahun sebelumnya yang merupakan sisa penggunaan anggaran tahun sebelumnya dan merupakan bagian dari penerimaan pembiayaan. 2. SILPA tahun berkenaan yang merupakan sisa penggunaan anggaran pada tahun berjalan dan akan menjadi salah satu penerimaan pembiayaan pada tahun berikutnya. Nilai SILPA yang sangat besar mengindikasikan masih kurang tepatnya perencanaan anggaran atau masih belum optimalnya penyerapan anggaran. Jika dilihat secara nasional jumlah SILPA daerah mempunyai nilai yang cukup besar, namun berdasarkan data APBD yang ada menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah yang mempunyai SILPA negatif. Adanya daerah yang memiliki SILPA negatif menunjukkan bahwa Pemda belum dapat menutup belanja dan/atau pengeluaran pembiayaannya pada tahun tersebut, sehingga nilai tersebut akan menjadi beban pada tahun berikutnya. Kondisi ini mencerminkan masih belum optimalnya proses pengelolaan keuangan daerah, sehingga pemerintah pusat dan daerah harus berupaya memperbaiki kondisi ini. 14 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

2.5. SILPA Dalam Konteks Dana Alokasi Khusus (DAK) Sisa DAK adalah selisih DAK yang telah disalurkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berkenaan dengan dana DAK yang tidak terserap dalam pelaksanaan kegiatan dan/atau dengan dana kegiatan yang tidak dapat direalisasikan. Apabila terdapat sisa DAK, maka daerah penerima DAK dapat melakukan optimalisasi penggunaan DAK dengan merencanakan dan menganggarkan kembali kegiatan DAK dalam APBD pada tahun anggaran berjalan dengan ketentuan akumulasi nilai kontrak pada suatu bidang DAK lebih kecil dari pagu DAK bidang bersangkutan. Optimalisasi penggunaan DAK dilakukan untuk kegiatan-kegiatan pada bidang DAK yang sama dan sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan. Penggunaan sisa DAK sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 183 Tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1. Dalam hal pada akhir tahun anggaran terdapat sisa DAK dari bidangbidang DAK yang output kegiatannya sudah tercapai, maka sisa DAK tersebut dapat digunakan untuk mendanai kegiatan DAK dengan ketentuan: a. sisa DAK dari bidang-bidang tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan DAK di bidang yang sama pada tahun anggaran berikutnya; dan/atau b. akumulasi sisa DAK dari bidang-bidang tersebut dapat digunakan untuk mendanai kegiatan DAK di bidang tertentu pada tahun anggaran berikutnya (poin b ini baru dapat dilaksanakan mulai TA 2015, dan berlaku untuk DAK TA 2013 dan tahun-tahun anggaran berikutnya), dengan memperhatikan prioritas nasional dan menggunakan petunjuk teknis tahun anggaran berjalan. 2. Sisa DAK tidak dapat digunakan sebagai dana pendamping. Bab II Landasan Teori 15

3. Pelaksanaan kegiatan yang didanai dari sisa DAK harus selesai dan dapat dimanfaatkan pada akhir tahun anggaran berkenaan. 4. Kepala Daerah menyampaikan laporan Penggunaan Sisa DAK kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Perimbangan setelah kegiatan yang didanai dari sisa DAK selesai. Dari sisi pembukuan Pemerintah Pusat, besaran SILPA yang bersumber dari DAK di daerah tidak dapat diketahui seluruhnya dengan mudah, hal ini tergantung besaran persentase penyalurannya. Apabila penyaluran DAK per bidang dari RKUN ke RKUD mencapai 100% dari pagu, maka DAK per bidang di RKUD dapat diketahui, namun apabila penyaluran DAK tidak mencapai 100% dari pagu, maka sisa DAK per bidang pada RKUD sulit diketahui, mengingat jumlah sisa DAK di RKUD merupakan akumulasi sisa DAK untuk keseluruhan bidang. Informasi sisa DAK per bidang pada RKUD hanya dapat diperoleh di daerah. 16 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN SILPA merupakan salah satu concern pemerintah dalam tiap tahunnya, karena nilainya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. SILPA tersebut terbagi menjadi dua, yaitu SILPA yang berasal dari pendapatan yang bersifat earmarked dan berasal dari penerimaan yang bersifat non earmarked. Semakin besar SILPA yang berasal dari pendapatan yang bersifat earmarked, maka dapat dindikasikan bahwa hal tersebut terjadi karena kebijakan pemerintah yang kurang implementatif, sedangkan sebaliknya jika semakin besar SILPA yang berasal dari penerimaan non earmarked, maka hal tersebut mengindikasikan kurang optimalnya kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan kegiatan. 3.1. Tren Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Tren SILPA tahun berkenaan pada periode tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Grafik 3.1. Grafik tersebut menunjukkan pola SILPA tahun berkenaan dengan menggunakan dua pendekatan berbeda. Pendekatan pertama adalah pendekatan harga berlaku yang tidak memperhitungkan faktor perubah harga seperti inflasi pada tahun 2009-2013. Pendekatan kedua adalah pendekatan harga dasar tahun 2000 yang memperhitungkan faktor perubah harga pada tahun 2009-2013. Bab III Analisis dan Pembahasan 17

Grafik 3.1 Tren SILPA Tahun Berkenaan Tahun 2009-2013 Sumber: DJPK (data diolah) SILPA tahun berkenaan (harga berlaku) menunjukkan tren peningkatan yakni dari Rp52,2 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp99,3 triliun di tahun 2013. Tren peningkatan SILPA ini disebabkan oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu pesimis dalam menetapkan target pendapatan dalam APBD (ratarata realisasi pendapatan daerah mencapai 109,4% dari yang dianggarkan dalam APBD). Jika dilihat dari nominal harga dasar, SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren fluktuatif. Jika pada tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun, selanjutnya di tahun 2010 nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun 2011 dan 2012, SILPA tahun berkenaan meningkat menjadi masing-masing sebesar Rp26,8 triliun dan Rp31,7 triliun. Adapun di tahun 2013, SILPA tahun berkenaan mengalami penurunan menjadi Rp31,1 triliun atau sebesar 1,9% dari tahun 2012. Penurunan ini merupakan indikasi adanya perbaikan kinerja pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah, khususnya terkait penetapan anggaran pendapatan daerah yang lebih optimis. Selisih realisasi pendapatan daerah TA 2013 dengan yang dianggarkan adalah 6,4%, menurun dari rata-rata periode 2009-2012 yang sebesar 10,2%. 18 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

3.2. Tren Dana Alokasi Khusus Pendapatan daerah yang bersumber dari transfer pemerintah pusat yang besifat earmarked atau sudah ditentukan peruntukannya antara lain adalah Dana Bagi Hasil Pajak Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT), Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam-Dana Reboisasi (DBH SDA DR), Dana penyesuaian, dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Khusus untuk transfer DBH (DBH-CHT dan DBH SDA-DR), tidak semua daerah memperoleh transfer DBH ini, mengingat transfer dana tersebut hanya didasarkan pada daerah penghasil. Transfer lainnya dari pemerintah yang bersifat earmarked adalah dana penyesuaian. Dana Penyesuaian disalurkan ke daerah melalui pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD. Dana penyesuaian ini mempunyai perlakuan yang berbeda dengan DAK. Jika DAK tidak terserap seluruhnya pada tahun anggaran berjalan, penyerapan dapat dilakukan pada kegiatan tahun anggaran berikutnya. Namun, tidak demikian halnya untuk Dana Penyesuaian. Apabila dana ini diperkirakan tidak terserap seluruhnya hingga akhir tahun anggaran berjalan, maka sisa dana tersebut harus dikembalikan kepada Pemerintah. Mengingat daerah tidak dapat dengan serta merta mengembalikan sisa dana ini pada akhir tahun anggaran kepada Pemerintah, akhirnya dana ini akan memperbesar jumlah SILPA. Mengingat, jika terdapat sisa dana penyesuaian harus dikembalikan pada akhir tahun, maka seyogianya transfer dana penyesuaian ini ditampung dalam rekening tersendiri yang merupakan bagian dari RKUD, sehingga ketika di akhir tahun anggaran terdapat sisa dana, dapat segera dikembalikan ke RKUN sehingga tidak menjadi SILPA. DAK mulai dialokasikan pada tahun 2001 yakni berupa Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi (DAK-DR). Selanjutnya, pada tahun 2003 Pemerintah mulai mengalokasikan DAK selain Dana Reboisasi (DAK Non DR) sebesar Rp2,3 triliun untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan prasarana pemerintahan. Pada tahun 2005, DAK Non DR mengalami penambahan Bab III Analisis dan Pembahasan 19

bidang DAK yakni bidang kelautan dan perikanan, serta bidang pertanian. Selanjutnya pada tahun 2006, DAK-DR dihapus dan diubah menjadi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Kehutanan, sedangkan DAK Non DR tahun 2006 yang selanjutnya disebut DAK mengalami penambahan bidang yakni bidang lingkungan hidup. Pada tahun 2008, jumlah bidang DAK kembali bertambah yakni penambahan bidang kehutanan dan bidang infrastruktur dipecah menjadi 3 bidang yakni bidang prasarana jalan, bidang prasarana irigasi, serta bidang prasarana air minum dan penyehatan lingkungan. Selanjutnya, pada tahun 2009 DAK mengalami penambahan bidang dan perubahan nomenklatur bidang. Bidang DAK yang ditambah adalah bidang sarana dan prasarana perdesaan serta bidang perdagangan. Adapun bidang DAK yang berubah nomenklatur adalah bidang prasarana jalan menjadi bidang infrastruktur jalan, bidang prasarana irigasi menjadi bidang infrastruktur irigasi, serta bidang prasarana air minum dan penyehatan lingkungan menjadi bidang infrastruktur air minum dan sanitasi. Tahun 2010, bidang DAK mengalami banyak penambahan bidang yakni bidang listrik pedesaan, bidang perumahan dan permukiman, bidang keselamatan transportasi darat, bidang transportasi perdesaan, serta bidang sarana dan prasarana kawasan perbatasan. Kemudian, pada tahun 2011 bertambah satu bidang lagi yakni bidang sarana dan prasarana daerah tertinggal sehingga total seluruh bidang DAK adalah sebanyak 19 (sembilan belas) bidang. Pada tahun 2012, tidak ada penambahan bidang DAK. Selanjutnya pada tahun 2013, guna memberikan affirmative policy bagi daerah tertinggal, pemerintah mulai mengalokasikan DAK Tambahan di bidang infrastruktur dasar dengan kewajiban penyediaan dana pendamping yang relatif lebih kecil dari DAK. 20 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Grafik 3.2 Perkembangan Dana Alokasi Khusus Tahun 2009-2013 Sumber : DJPK, diolah Pada grafik 3.2. di atas menunjukkan tren perkembangan DAK pada periode tahun 2009-2013. Pada tahun 2009, alokasi DAK mencapai Rp24,7 triliun. Di tahun selanjutnya, DAK mengalami penurunan sebesar 15,2% menjadi Rp21,0 triliun. Pada tahun 2011 hingga 2013, pemerintah terus meningkatkan alokasi DAK masing-masing sebesar Rp24,8 triliun tahun 2011, Rp25,9 triliun tahun 2012, dan Rp30,8 triliun tahun 2013. Jika melihat besaran DAK yang diterima masing-masing daerah dalam provinsi, daerah yang mendapatkan alokasi DAK tahun 2013 terbesar secara berurutan adalah daerah-daerah se-provinsi Papua, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, daerah yang mendapatkan alokasi terkecil secara berurutan adalah daerah-daerah di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Bali. Alokasi DAK tahun 2012 dan 2013 untuk daerah per wilayah provinsi dapat dilihat pada Grafik 3.3. Bab III Analisis dan Pembahasan 21

Grafik 3.3 Peta Dana Alokasi Khusus Agregat se-provinsi di Indonesia, 2012-2013* Sumber : DJPK, Diolah 3.3. Kinerja Penyaluran DAK dan Penyerapan DAK TA 2010-2013 3.3.1. Kinerja Penyaluran DAK dan Penyerapan DAK Tahun 2011 DAK tahun 2011 dialokasikan ke 520 provinsi/kabupaten/kota dari total 524 daerah seluruh Indonesia. Daerah yang tidak memperoleh alokasi DAK tahun 2011 adalah Provinsi DKI Jakarta, Kota Bontang, Kota Dumai, dan Kota Tarakan. Daerah tersebut tidak mendapatkan alokasi DAK tahun 2011 karena memiliki kemampuan keuangan daerah di atas rata-rata nasional serta tidak memenuhi kriteria khusus dan kriteria teknis. 22 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Daerah yang menerima penyaluran tahap I DAK tahun 2011 sebanyak 520 daerah (100%). Penyaluran tahap I sebesar 100% ini tercapai karena syarat penyaluran tahap I DAK tahun 2011 relatif mudah yakni daerah menyampaikan Perda APBD tahun 2011, laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun 2010, Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap III tahun 2010, dan Surat Pernyataan Penyediaan Dana Pendamping. Penyaluran Tahap I DAK 2011 pada triwulan I tahun 2011 diterima oleh 292 daerah (56,2%), pada triwulan II diterima oleh 193 daerah (37,1%), dan pada triwulan III diterima oleh 35 daerah (6,7%). Daerah yang menerima penyaluran tahap II DAK tahun 2011 adalah sebanyak 519 daerah dari semestinya 520 daerah. Adapun daerah yang tidak mendapatkan penyaluran DAK tahap II tersebut adalah Kabupaten Tana Tidung karena daerah tersebut tidak menyampaikan persyaratan penyaluran tahap II DAK tahun 2011 yakni Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap I tahun 2011. Penyaluran tahap II DAK tahun 2011 sebagian besar dilaksanakan pada bulan November 2011 yakni sebanyak 221 daerah (42,6%). Penyaluran tahap II DAK ke daerah dapat dijadikan sebagai indikator bagi kinerja penyerapan tahap I DAK. Semakin dini daerah menerima penyaluran tahap II DAK, maka hal itu menandakan semakin baiknya penyerapan tahap I DAK di daerah tersebut ditandai dengan pelaksanaan kegiatan yang dimulai dari lelang selesai tepat waktu hingga progres pembangunan fisik DAK sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Demikian sebaliknya, dapat dipastikan bahwa daerah yang terlambat memperoleh penyaluran tahap II DAK dari Pemerintah merupakan daerah yang penyerapan tahap I DAK-nya tidak begitu baik. Hal ini ditengarai terjadi karena lambatnya proses lelang dan/atau progress pembangunan fisik DAK yang terlambat dari jadwal. Pada tahap III DAK tahun 2011, daerah yang menerima penyaluran sebanyak 479 daerah (92,1%) atau berkurang sebanyak 40 daerah dari jumlah yang menerima tahap II DAK tahun 2011 yakni 519 daerah. Dari 40 daerah dimaksud, sebagian besar menerima penyaluran tahap II DAK 2011 Bab III Analisis dan Pembahasan 23

pada bulan terakhir yakni Desember 2011 sehingga tidak dapat menyerap dana tahap II DAK (45% dari total alokasi) dalam waktu yang relatif singkat. Akibatnya daerah-daerah tersebut tidak dapat menyampaikan Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap II tahun 2011, sisa dana tahap III DAK tahun 2011 sebanyak 25% dari alokasi hangus. Ringkasan kinerja penyaluran DAK tahun 2011 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3.1 Penyaluran DAK Tahun 2011 No Bulan Jumlah Daerah Penyaluran Tahap 1 Penyaluran Tahap 2 Penyaluran Tahap 3 1 Januari 2011 - - - 2 Februari 2011 97 - - 3 Maret 2011 195 - - 4 April 2011 73 - - 5 Mei 2011 80 - - 6 Juni 2011 40 6-7 Juli 2011 18 10-8 Agustus 2011 12 17-9 September 2011 5 46 1 10 Oktober 2011-77 1 11 November 2011-221 23 12 Desember 2011-142 454 Jumlah 520 519 479 Sumber : DJPK Daerah secara agregat nasional hanya dapat menyerap DAK tahun 2011 sebesar Rp17,3 triliun atau 69,7% dari realisasi DAK tahun 2011 sebesar Rp24,8 triliun. Tingkat penyerapan DAK tahun 2011 ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan tingkat penyerapan DAK tahun 2010 sebesar 75,8%. Penurunan tingkat penyerapan DAK tahun 2011 ini ditengarai disebabkan 24 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

rendahnya penyerapan DAK bidang pendidikan yang hanya mencapai 34,3%, jauh di bawah rata-rata keseluruhan bidang DAK yang mencapai 75,8%. Rendahnya penyerapan DAK bidang pendidikan ini disebabkan terlambatnya penetapan petunjuk teknis (juknis) DAK bidang pendidikan yakni baru ditetapkan pada bulan Agustus 2011. Penetapan juknis DAK yang terlambat menyebabkan keterlambatan proses lelang (pengadaan barang dan jasa) yang berdampak pada rendahnya penyerapan DAK. 3.3.2. Kinerja Penyaluran DAK dan Penyerapan DAK Tahun 2012 Jumlah daerah yang menerima alokasi DAK tahun 2012 sama dengan penerima alokasi DAK tahun 2011, yakni sebanyak 520 provinsi/kabupaten/ kota. Daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAK di tahun 2011 sama dengan keadaan pada DAK di tahun 2012 yaitu tidak memenuhi kriteria khusus dan kriteria teknis yang meliputi: Provinsi DKI Jakarta, Kota Bontang, Kota Dumai, dan Kota Tarakan. Daerah penerima penyaluran tahap I DAK tahun 2012 adalah sebanyak 520 daerah terdiri dari 215 daerah (41,4%) di triwulan I tahun 2012, 272 daerah (52,3%) di triwulan II tahun 2012, dan 33 daerah (6,3%) pada triwulan III tahun 2012. Daerah penerima penyaluran tahap II DAK tahun 2012 sebanyak 516 daerah dari yang seharusnya 520 daerah. Terdapat 4 daerah yang tidak menyampaikan Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap I tahun 2012 sebagai persyaratan penyaluran tahap II tahun 2014 yakni Kota Bogor, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Penajam Paser Utara, dan Kabupaten Tana Tidung. Penyaluran tahap II DAK tahun 2012 sebagian besar dilaksanakan pada bulan Oktober dan November 2012 yakni masing-masing sebanyak 142 daerah (27,5%) dan 183 daerah (35,5%). Bab III Analisis dan Pembahasan 25

Daerah penerima penyaluran tahap III DAK tahun 2012 sebanyak 503 daerah (96,7%), berkurang 13 daerah dari 520 daerah penerima tahap II DAK tahun 2012. Dari 13 daerah tersebut, bahkan lebih dari setengahnya baru mampu memenuhi persyaratan penyaluran tahap II DAK 2012 pada bulan akhir Desember 2012 sehingga tidak mampu menyerap minimal 90% dari penyaluran tahap II DAK (sebesar 45% dari total alokasi DAK tahun 2012) dalam waktu yang relatif singkat. Akibatnya daerah-daerah tersebut tidak dapat menyampaikan Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap II tahun 2012, sisa dana tahap III DAK tahun 2012 sebanyak 25% dari alokasi menjadi hangus. Ringkasan kinerja penyaluran DAK tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3.2 Penyaluran DAK Tahun 2012 Jumlah Daerah No Bulan Penyaluran Tahap 1 Penyaluran Tahap 2 Penyaluran Tahap 3 1 Januari 2012 - - - 2 Februari 2012 62 - - 3 Maret 2012 153 - - 4 April 2012 139 - - 5 Mei 2012 87 1-6 Juni 2012 46 1-7 Juli 2012 30 14-8 Agustus 2012 2 42-9 September 2012 1 69 2 10 Oktober 2012-142 6 11 November 2012-183 50 12 Desember 2012-64 445 Jumlah 520 516 503 Sumber : DJPK 26 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Pada akhir tahun anggaran 2012, secara nasional daerah dapat menyerap DAK tahun 2012 sebesar Rp22,4 triliun atau 86,4% dari realisasi DAK tahun 2012 sebesar Rp25,9 triliun. Tingkat penyerapan DAK tahun 2012 jauh di atas tahun 2011 yang hanya sebesar 69,7%. Kenaikan tingkat penyerapan DAK tahun 2012 ditopang oleh peningkatan kinerja penyerapan DAK bidang pendidikan. Jika pada tahun 2011, penyerapan DAK bidang pendidikan hanya sebesar 34,3%, maka pada tahun 2012 naik signifikan menjadi sebesar 76,8%. Salah satu faktor penunjang kenaikan penyerapan DAK bidang pendidikan ini adalah penetapan petunjuk teknis (juknis) DAK bidang pendidikan tepat waktu yakni dilakukan pada bulan Desember 2011. 3.3.3. Kinerja Penyaluran DAK dan Penyerapan DAK Tahun 2013 DAK tahun 2013 dialokasikan ke 518 provinsi/kabupaten/kota dari total 524 daerah seluruh Indonesia. Daerah yang tidak memperoleh alokasi DAK tahun 2013 adalah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Tabalong, Kota Bontang, Kota Dumai, dan Kota Tarakan karena tidak memenuhi kriteria khusus dan/atau kriteria teknis. Jumlah daerah yang menerima penyaluran tahap I DAK tahun 2013 sebanyak 518 daerah (100%). Penyaluran tahap I DAK tahun 2013 disalurkan pada triwulan I tahun 2013 sebanyak 323 daerah (62,4%), pada triwulan II tahun 2013 sebanyak 184 daerah (35,5%), pada triwulan III tahun 2013 sebanyak 10 daerah (1,9%) dan pada triwulan IV tahun 2013 sebanyak 1 daerah yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara. Adapun jumlah daerah yang menerima penyaluran tahap II DAK tahun 2013 berkurang menjadi 513 daerah. Daerah yang tidak menyampaikan Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap I tahun 2013 sebagai persyaratan penyaluran tahap II DAK tahun 2013 adalah Kabupaten Berau, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kota Semarang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Penyaluran tahap II DAK tahun 2013 sebagian besar dilaksanakan Bab III Analisis dan Pembahasan 27

pada bulan Oktober dan November 2013 masing-masing sebanyak 117 daerah (22,8%) dan 180 daerah (35,1%). Pada tahap III DAK tahun 2013, daerah yang menerima penyaluran sebanyak 473 daerah (91,7%), berkurang sebanyak 38 daerah dari jumlah yang menerima tahap II DAK tahun 2013. Dari 38 daerah dimaksud, sebanyak 27 daerah menerima penyaluran tahap II DAK 2013 pada bulan Desember 2013 sehingga daerah tersebut tidak mampu menyerap minimal 90% dari penyaluran tahap II DAK (sebesar 45% dari total alokasi DAK tahun 2013) dalam waktu yang relatif singkat. Sisa dana tahap III DAK tahun 2013 (25% dari total alokasi) untuk 38 daerah dimaksud hangus. Ringkasan kinerja penyaluran DAK tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 3.3. Tabel 3.3 Penyaluran DAK Tahun 2013 No. Bulan Jumlah Daerah Penyaluran Tahap 1 Penyaluran Tahap 2 Penyaluran Tahap 3 1 Januari 2013 - - - 2 Februari 2013 195 - - 3 Maret 2013 128 - - 4 April 2013 104 - - 5 Mei 2013 59 1-6 Juni 2013 21 3-7 Juli 2013 8 19-8 Agustus 2013 1 27-9 September 2013 1 99 2 10 Oktober 2013 1 117 6 11 November 2013-180 24 12 Desember 2013-67 443 Jumlah 518 513 475 Sumber: DJPK 28 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Hingga berakhirnya tahun anggaran 2013, secara nasional daerah dapat menyerap DAK tahun 2013 Rp25,1 triliun atau 81,6% dari realisasi DAK tahun 2013 sebesar Rp30,8 triliun. Tingkat penyerapan DAK tahun 2013 ini lebih rendah apabila dibandingkan tingkat penyerapan DAK tahun 2012 sebesar 86,4%. Penurunan tingkat penyerapan DAK tahun 2013 disebabkan penurunan tingkat penyerapan pada hampir seluruh bidang DAK, kecuali pada bidang Pendidikan, naik sebesar 1,1% menjadi 77,9%. Bidang DAK yang tingkat penyerapannya mengalami penurunan terbesar adalah bidang Perumahan dan Pemukiman (turun 15,0%), bidang Kesehatan (turun 5,1%), dan bidang Pertanian (turun 5,0%). 3.4. Sisa Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam RKUD Penggunaan sisa DAK di daerah yang tidak terserap belum pernah diatur hingga ditetapkannya PMK 126 tahun 2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Dalam PMK tersebut diatur bahwa sisa DAK yang tidak terserap pada tahun anggaran berjalan dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya untuk bidang yang sama dengan menggunakan petunjuk teknis tahun berkenaan atau tahun sebelumnya. Sebagai salah satu syarat pencairan DAK Tahun Anggaran 2014 (TA 2014) adalah daerah harus menyampaikan Laporan sisa DAK TA 2010 hingga 2012 pada Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) kepada Pemerintah. Sisa DAK dalam laporan dimaksud merupakan gambaran Sisa Perhitungan Anggaran (SILPA) transfer yang bersifat earmarked tahun berkenaan APBD TA 2013. Namun, pada beberapa daerah, besaran sisa penggunaan DAK tidak sinkron dengan laporan realisasi APBD tahun 2013. Hal tersebut disebabkan adanya laporan realisasi APBD 2013 yang disampaikan bukan merupakan laporan realisasi APBD yang telah diaudit oleh BPK sehingga dimungkinkan terjadi selisih. Guna menjaga tingkat akurasi dalam analisis, maka daerah Bab III Analisis dan Pembahasan 29

yang data realisasi APBD dan laporan penyerapan DAK-nya tidak sinkron tidak digunakan dalam penyusunan laporan ini. Kendala data tersebut diatas menyebabkan jumlah daerah yang dapat dianalisis berkurang menjadi 489 daerah (93,3%) dari 524 kabupaten/kota/ provinsi. Dengan jumlah daerah 93%, diharapkan hasil kajian ini cukup memadai sebagai representasi daerah di Indonesia. Besaran sisa DAK tahun 2010 hingga tahun 2013 yang kemudian menjadi SILPA dalam APBD adalah sebesar Rp8,02 triliun (8,3%) dari Rp97,02 triliun (total SILPA APBD 2013, 489 daerah). Besaran persentase tersebut dapat menjawab pertanyaan selama ini bahwa yaitu Apakah SILPA pemda yang cukup besar dikarenakan adanya sisa pendapatan earmarked yang cukup besar dan tidak dapat diserap oleh pemerintah daerah?. Dengan demikian diketahui bahwa SILPA yang berasal dari pendapatan yang bersifat earmarked ternyata tidak terlalu besar (kurang dari 10% dari total SILPA) menunjukkan bahwa kontribusi transfer pemerintah yang bersifat earmarked bukanlah kendala utama SILPA. Kontribusi terbesar dalam SILPA adalah bersumber dari Penerimaan yang bersifat non earmarked antara lain berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan selain DAK, penerimaan pinjaman, pencairan dana cadangan, dan pendapatan lainnya yang peruntukannya belum ditetapkan pemerintah. Jika dilihat per provinsi (total kabupaten, kota, dan provinsi), akan terlihat sebaran sisa penggunaan DAK dan persentase penyerapan yang beragam sebagaimana tampak dalam grafik 3.4 berikut: 30 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Grafik 3.4 Sisa Penyerapan DAK Agregat Per Provinsi Milyar Rupiah 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200-0,0% Prov. DKI 13,2% 18,0% Prov. Malut Prov. Sulbar 25,9% Prov. Gorontalo 1,0% Prov. Kaltim 17,9% Prov. NTB 3,7% Prov. Papbar 13,1% 11,9% 8,3% 7,4% 4,1% 7,6% 3,5% 15,8% 16,6% 10,5% 16,9% 4,8% 9,7% 14,9% 15,9% 2,6% 5,6% 11,6% 8,4% 8,7% 20,7% Prov. Sulteng Prov. Maluku Prov. Kepri Prov. DIY Prov. Bali Prov. Sultra Prov. Banten Prov. Babel Prov. Lampung Prov. Sumsel Prov. Bengkulu Prov. Aceh Prov. Sulut Prov. Kalbar Prov. Jambi Prov. Riau 29,8% 13,9% 9,4% 12,4% 12,7% Prov. Kalsel Prov. Sulsel Prov. Kalteng Prov. Papua Prov. Sumut Prov. NTT Prov. Sumbar Prov. Jawa Barat Prov. Jatim Prov. Jateng 35,0% 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0% Sisa penggunaan DAK TA 2010-2013 % sisa DAK thd SILPA realisasi APBD 2013 Sumber: DJPK, diolah Tiga provinsi di pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat) mempunyai sisa DAK yang paling tinggi dibanding provinsi lainnya. Total ketiganya mencapai Rp3,3 triliun atau sebesar 41,86% total sisa DAK. Jika dibandingkan dengan alokasi, agregat alokasi DAK ketiga provinsi tersebut adalah berkisar 24% total alokasi DAK dalam kurun waktu tahun 2010-2013. Perbandingan porsi alokasi dan sisa penggunaan DAK ketiga provinsi tersebut menggambarkan penyerapan DAK secara nominal di daerah tersebut masih lebih rendah dibanding dengan provinsi lainnya. Jika dirata-rata per daerah dengan membagi nominal dengan jumlah daerah, maka ketiga provinsi tersebut masih mendominasi dengan rata-rata sisa penyerapan DAK per daerah sebesar Rp33 miliar rupiah. Sisa DAK ketiga provinsi tersebut lebih tinggi dari provinsi lainnya, namun karena ketiga daerah tersebut mempunyai SILPA yang berasal dari sumber lainnya maka persentase sisa DAK terhadap total SILPA ketiga provinsi tersebut tidak terlalu besar, hanya berkisar 10-12%. Daerah dengan sisa DAK lebih dari 20% antara lain adalah provinsi NTT (29,8%), Provinsi Gorontalo (25,9%), dan Provinsi Sumatera Utara (20,7%). Persentase sisa DAK pemda di provinsi Gorontalo cukup tinggi dibanding dengan Provinsi Sumatera Utara dan daerah lainnya, namun secara nominal Bab III Analisis dan Pembahasan 31

sisa DAK agregat daerah di Provinsi Gorontalo hanya sebesar Rp38,1 miliar jauh lebih kecil jika dibanding dengan Provinsi Sumatera Utara yang sebesar Rp375,3 miliar. Berdasarkan DAK per bidang, maka DAK bidang pendidikan merupakan bidang penyumbang terbesar sisa DAK. Bidang pendidikan menyumbang 56,8% dari total sisa DAK. Besaran sisa DAK bidang pendidikan tersebut merupakan kumulatif dari bidang pendidikan SD, SMP, SMA dan SMK. Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa untuk DAK bidang pendidikan dari tahun 2010 terdapat kendala dalam hal pelaksanaan di daerah. Untuk tahun 2010 hingga tahun 2012 DAK bidang pendidikan ditransfer 100% ke daerah walaupun penyerapan DAK bidang pendidikan tidak mencapai syarat yang ditentukan. Kendala yang ada antara lain adanya perubahan mekanisme pengadaan barang dan jasa, dari sistem kontraktual ke swakelola dan sebaliknya. Perubahan mekanisme tersebut sangat mengganggu kinerja daerah. Untuk sistem kontraktual, pemerintah daerah perlu melakukan beberapa mekanisme yang harus dilalui seperti lelang pengadaan yang menyita waktu. Sedangkan untuk pelaksanaan swakelola, pemerintah daerah menganggap kebijakan tersebut berbenturan dengan sistem akuntansi pemerintahan. Secara terpisah, porsi sisa DAK perbidang dapat dilihat dalam grafik berikut: Grafik 3.5 Sisa Penyerapan DAK 2010-2013 Perbidang Sumber : DJPK, diolah 32 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)