7 KLASIFIKASI DAN DISTRIBUSI TANAH GAMBUT INDONESIA SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK PERTANIAN D. Subardja dan Erna Suryani Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114, Telp. 0251-8323011 (csar@indosat.net.id) Abstrak. Tanah gambut Indonesia diklasifikasikan sebagai Histosol atau Organosol terbentuk dari bahan tanah organik, umumnya jenuh air, mengandung karbon (C) organik 12-18% tergantung kandungan liat tanah. Kedalaman tanah gambut disepakati minimal 50 cm tanpa mempertimbangkan tingkat dekomposisinya. Penyebarannya di Indonesia tidak begitu luas, hanya sekitar 7% dari seluruh wilayah daratan Indonesia atau sekitar 13,2 juta ha yang banyak dijumpai terutama di daerah rawa -rawa di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luasan tanah gambut Indonesia diperoleh dari hasil kompilasi data selama periode 1990-2000. Data luasan tanah gambut terbaru yang dikeluarkan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, tahun 2011 sekitar 14,9 juta ha. Berdasarkan tingkat dekomposisi atau kematangannya, tanah gambut Indonesia terbagi dalam 3 kelas, yaitu tanah gambut saprik (Saprist) yang telah terdekomposisi lanjut, gambut hemik (Hemist) yang terdekomposisi sedang dan gambut fibrik (Fibrist) yang belum atau sedikit terdekomposisi. Tanah gambut hemik memiliki penyebaran paling luas di Indonesia, yaitu sekitar 80% dari tanah gambut Indonesia atau 10,6 juta ha, sedangkan tanah gambut fibrik dan gambut saprik masing-masing 8% (1,1 juta ha) dan 12% (1,5 juta ha). Sekitar lebih dari 10 juta ha tanah gambut yang terdiri dari gambut hemik dan saprik cukup potensial untuk pertanian. Sedangkan tanah gambut fibrik karena faktor kematangan dan daya dukung yang rendah untuk pertumbuhan tanaman maka menjadi tidak sesuai pemanfaatannya untuk pertanian. Pemberian pupuk anorganik dan amelioran serta tata kelola air secara tepat akan mempercepat dekomposisi dan peningkatan produktivitas tanah gambut secara berkelanjutan. Saat ini pemanfaatan tanah gambut untuk pertanian mulai dibatasi terkait issu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, sehingga harus mengacu kepada INPRES No. 10/2011 dan Permentan No. 14/2009. Katakunci: Tanah gambut, klasifikasi, distribusi, pemanfaatan, pertanian, Indonesia PENDAHULUAN Pembangunan pertanian di masa yang akan datang dihadapkan pada empat tantangan utama, yaitu: (a) kerusakan dan degradasi sumberdaya lahan dan air, (b) peningkatan variabilitas dan perubahan iklim; (c) penciutan dan alih fungsi (konversi) lahan pertanian subur, dan (d) fragmentasi lahan pertanian dan keterbatasan sumberdaya lahan potensial. Pada hal di sisi lain, untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan serta target pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, perluasan areal pertanian baru masih sangat dibutuhkan, baik untuk pangan maupun komoditas lainnya. Hingga tahun 2035, 87
D. Subardja dan E. Suryani dibutuhkan tambahan lahan sekitar 12 15 juta ha, sekitar 3,5 juta diantaranya adalah untuk pencetakan sawah baru (Tim Sinjak BBSDLP, 2011). Tanah gambut yang luasnya sekitar 13-14 juta ha merupakan salah satu alternatif yang cukup potensial untuk dijadikan lahan pertanian bahkan sebagian diantaranya secara ekonomi dan sosial berasosiasi dan menjadi sumber kesejahteraan masyarakat. Secara agronomi, diperikirakan sekitar 40-50% lahan gambut potensial/sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Umumnya lahan gambut tergolong sesuai marjinal (tingkat kesesuaian rendah) untuk berbagai jenis tanaman pangan dengan faktor pembatas utama media perakaran yang masam, asam organik yang beracun, unsur hara rendah dan drainase yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Sebagian lahan gambut telah dibuka oleh penduduk setempat secara swadaya atau oleh pemerintah melalui program transmigrasi. Sebagian dari area yang sudah dibuka menjadi terlantar karena salah dalam pengelolaannya. Karena keterbatasan lahan produktif, akhirnya lahan gambut juga dimanfaatkan untuk ekstensifikasi pertanian terutama untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan tanaman pangan. Namun demikian pemanfaatan lahan gambut, terutama untuk pertanian menimbulkan berbagai polemik, terutama dikaitkan dengan dampaknya terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan kerusakan lingkungan. Dalam makalah ini dibahas mengenai karakteristik dan klasifikasi tanah -tanah gambut di Indonesia menurut sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (USDA) dan sistem klasifikasi tanah nasional serta disrtibusi dan pemanfaatannya untuk pertanian. Potensi dan kendala pengelolaan tanah gambut juga sedikit dibahas terkait dengan peningkatan produksi pangan dan pembatasan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian khususnya dalam pengembangan perkebunan. KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH GAMBUT INDONESIA Tanah gambut terbentuk dari bahan tanah organik, umumnya jenuh air, mengandung karbon (C) organik 18% atau lebih bila fraksi mineral mengandung liat 60% atau lebih, atau memiliki 12% atau lebih karbon organik bila fraksi mineral tidak mengandung liat, atau mengandung karbon organik 12 sampai 18% bila kandungan liat di antara 0 dan 60%. Bila tidak pernah jenuh air alami minimum mengandung karbon organik 20%. Kedalaman tanah gambut minimal 40 cm bila bahan telah terdekomposisi sedang (hemik) sampai lanjut (saprik) atau minimal 60 cm jika belum atau sedikit terdekomposisi (fibrik), atau setidak-tidaknya tanah gambut memiliki lebih dari setengah lapisan tanah teratas 80 cm merupakan bahan tanah organik (Soil Survey Staff, 2010). Dalam prakteknya di lapangan, kedalaman gambut di Indonesia telah disepakati minimal sedalam 50 cm tanpa mempertimbangkan tingkat dekomposisi atau kematangannya. 88
Klasifikasi dan distribusi tanah gambut Indonesia Bahan tanah gambut berasal dari sisa-sisa tanaman yang sudah mati, baik yang sudah maupun belum melapuk. Timbunan terus bertambah karena perkembangan biota pengurai terhambat oleh kondisi lingkungan anaerob dan miskin mineral sehingga proses dekomposisi terhambat. Oleh karena itu, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik. Berdasarkan tingkat dekomposisi atau kematangannya, tanah gambut Indonesia terbagi dalam 3 kelas, yaitu tanah gambut saprik, gambut hemik dan gambut fibrik. Tanah gambut fibrik mengandung lebih dari ¾ bagian volume tanah berupa serat -serat yang belum atau sedikit terdekomposisi, berat isi sangat ringan <0,1 g cm -3, kandungan air sangat tinggi berdasarkan berat keringnya, sangat labil, masih mengalami banyak perubahan secara fisik dan atau kimia, daya dukung terhadap pertumbuhan tanaman sangat rendah sehingga tidak sesuai pemanfaatannya untuk pertanian. Tanah gambut hemik terdekomposisi sedang, mengandung serat tanaman kurang dari 50%, kandungan air sedang, berat isi >0,1 g cm -3, sebagian bahan telah mengalami perubahan secara fisik dan kimia, daya dukung terhadap pertumbuhan tanaman tergolong sedang. Tanah gambut saprik telah mengalami dekomposisi paling lanjut, mengandung jumlah serat tanaman sangat sedikit, berat isi terberat (>0,2 g cm -3 ), dan kandungan air terendah, biasanya berwarna kelabu gelap sampai hitam, paling stabil, berubah sangat sedikit dengan bertambahnya waktu baik secara fisik maupun kimia, dan memberikan emisi paling rendah. Tanah gambut Indonesia diklasifikasikan menurut Taksonomi Tanah sebagai Histosol (Soil Survey Staff, 2010) atau menurut Klasifikasi Tanah Nasional sebagai Organosol (Soepraptohardjo, 1961; Suhardjo dan Soepraptohardjo, 1981). Pada tingkat sub-ordo dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi atau kematangannya, terdiri dari Fibrists, Hemists, dan Saprists. Pada tingkat grup, berdasarkan sifat dan cirinya sebagian besar diklasifikasikan sebagai Haplofibrists, Haplohemist, dan Haplosaprists atau setara Organosol Fibrik, Organosol Hemik dan Organosol Saprik. Sebagian tanah gambut hemik mengandung bahan sulfidik (sulfat masam) di dalam kedalaman 100 cm dari permukaan tanah yang diklasifikasikan sebagai Sulfihemists. Penyebaran Haplohemists sangat dominan di Indonesia. DISTRIBUSI TANAH GAMBUT DI INDONESIA Tanah gambut di Indonesia tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua meliputi luas lebih dari 13,2 juta hektar atau sekitar 7% dari luas daratan Indonesia. Data luasan tanah gambut tersebut diperoleh dari kompilasi data selama periode 1990-2000. Data 89
D. Subardja dan E. Suryani luasan tanah gambut terbaru yang dilaporkan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2011) mencapai 14,9 juta ha, tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Penyebarannya selalu berada atau berasosiasi dengan daerah rawa-rawa. Berdasarkan data awal, tanah gambut hemik memiliki penyebaran paling luas di Indonesia, yaitu sekitar 80% (10,6 juta ha) dari luas tanah gambut di Indonesia. Sekitar 2,1 juta ha merupakan tanah gambut hemik bersulfat masam (Sulfihe mists), sedangkan tanah gambut fibrik dan gambut saprik masing-masing 8% (1,1 juta ha) dan 12% (1,5 juta ha). Sekitar 8,4 juta ha tanah gambut hemik potensial untuk pertanian. Luas dan penyebaran gambut di masing-masing provinsi di Indonesia yang diperoleh dari hasil kompilasi peta tanah tinjau dan eksplorasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2000) disajikan pada Tabel 1. PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN TANAH GAMBUT DI INDONESIA Pemanfaatan tanah gambut hemik dan gambut saprik cukup potensial untuk pertanian, namun perlu kehati-hatian, karena bila salah kelola akan dapat menimbulkan kerusakan tanah (sifat tidak balik, subsiden) dan lingkungan (pencemaran dan peningkatan emisi karbon). Tanah gambut saprik dangkal (<100 cm) paling cocok untuk pertanian khusu snya untuk tanaman pangan dan hortikultura sayuran dan buah-buahan semusim. Pemberian pupuk anorganik dan amelioran serta tata kelola air secara tepat akan mempercepat peningkatan produktivitas tanah gambut secara berkelanjutan. Saat ini pemanfaatan tanah gambut untuk pertanian mulai dibatasi terkait issu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, sehingga harus mengacu kepada INPRES No. 10/2011 dan Permentan No. 14/2009. Tanah gambut memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tanah mineral. Tanah gambut alami memiliki sifat hidrofilik dan mampu menahan air sampai 13 kali bobot keringnya. Oleh karenanya gambut secara fisik lembek serta memiliki BD dan daya menahan beban yang rendah (Nugroho et al. 1997). Bila didrainase, lahan gambut akan mengalami subsiden (penurunan permukaan), dan potensial mengalami kering tidak balik (irriversible drying) dan bersifat hidrofobik. Karena asam-asam organiknya tinggi maka tanah gambut mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi dengan kisaran sekitar ph 3-4. Tanah gambut oligotropik di pedalaman, banyak dipengaruhi air hujan memiliki tingkat kemasaman lebih tinggi dibandingkan gambut eutropik di tepi pantai yang dipengaruhi air laut (Salampak, 1999). Tanah gambut di Indonesia umumnya tergolong gambut kayuan yang bila melapuk menghasilkan asam-asam fenolat yang bersifat racun bagi tanaman (Sabiham et al. 1997). Keberadaan asam-asam fenolat ini menjadi kendala utama dalam budidaya tanaman di lahan gambut. Secara inherent, gambut tropis memiliki kandungan 90
Klasifikasi dan distribusi tanah gambut Indonesia basa-basa dan hara yang rendah, baik hara makro maupun mikro. Hal ini berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan. Tabel 1. Luas dan penyebaran tanah gambut di Indonesia No Provinsi Fibrists Hemists Saprists Jumlah (ha) Haplofibrists Haplohemists Sulfihemists Haplosaprists 1 Lampung - 1.171 780-1.951 2 Sumsel - 866.737 398.903 178.921 1.444.561 3 Bengkulu - 17.861 10.248 1,660 29.769 4 Jambi - 378.025 94.540 157.476 630.041 5 Riau - 2.321.768 482.734 1.065.112 3.869.614 6 Sumbar - 71.706 18.383 29.420 119.509 7 Sumut - 141.529 74.896 19.457 235.882 8 Aceh - 155.411 66.529 37.078 259.018 9 Kalbar 365.982 1.035.882 297.696-1.699.560 10 Kalteng 518.977 1.192.060 275.729-1.986.766 11 Kalsel 6.306 93.691 38.788-138.785 12 Kaltim 209.582 402.612 10.217-622.411 13 Sulut - 5.371 - - 5.371 14 Sulteng - 20.630 9.497-30.127 15 Sulsel - 70.846 - - 70.846 16 Sultra - 21.399 - - 21.399 17 Maluku - 24.885 - - 24.885 18 Papua - 1.637.114 374.666-2.011.780 Jumlah (ha) 1.100.847 ( 8%) Sumber: Kompilasi data periode 1990-2000 8.458.698 (64%) 2.153.606 (16%) 1.489.124 (12%) 13.202.275 (100%) Kawasan gambut sebagai bagian dari ekosistem rawa memiliki multi fungsi antara lain fungsi ekonomi, pengatur hidrologi, lingkungan, budaya dan biodiversity. Dari sisi ekonomi lahan gambut adalah sumber pendapatan petani. Dari aspek hidrologi, lahan gambut adalah penyangga hidrologi kawasan untuk menghindari banjir dan kekeringan. Dari segi lingkungan lahan gambut menyimpan cadangan karbon sangat besar yang potensial mengalami emisi. Sementara itu dari sisi pelestarian keaneka-ragaman hayati, lahan gambut adalah habitat asli beberapa jenis tanaman langka seperti ramin, jelutung rawa serta berbagai jenis burung dan ikan. Sesuai dengan Keppres No. 32/1990 dan Permentan No. 14/2009, gambut dengan ketebalan <3 m masih bisa digunakan untuk budidaya tanaman dengan syarat tidak masuk dalam kawasan lindung, substratumnya bukan pasir kuarsa dan tingkat kematangannya saprik atau hemik. Untuk kawasan yang memenuhi syarat tersebut, dalam pemanfaatannya harus tetap berdasarkan pendekatan konservasi. Namun untuk beberapa daerah yang memiliki lahan gambut yang luas, implementasi Keppres tersebut menjadi dilema karena perekonomian daerah dan masyarakatnya sangat tergantung pada lahan gambut. Kasus di 91
D. Subardja dan E. Suryani Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan petani terhadap lahan gambut rata-rata mencapai 82,89%. Tingkat ketergantungan yang paling tinggi adalah petani karet dan sayuran yaitu masing-masing 91,33% dan 91,21%. Sedangkan petani kelapa sawit dan jagung masing-masing sebesar 80,31% dan 53,68% Karena dominannya lahan gambut seperti di Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Pontianak, maka pemanfaatan lahan gambut bukan merupakan pilihan, melainkan suatu keharusan. Ekspansi pertanian ke lahan gambut dapat dilihat dari perubahan tutupan lahan yang signifikan dapat diamati dari daerah-daerah yang sangat ekstensif mengembangkan perkebunan (Tim Sinjak BBSDLP, 2011). Secara fisik, jika diganggu/dibuka lahan gambut bersifat fragil (ringkih) dan dibutuhkan teknologi dan penanganan yang khusus dan dengan input tinggi. Jika dibuka dan didrainase, terjadi percepatan dekomposisi dan peningkatkan emisi GRK (terutama CO 2 ) dengan laju 200-750 ton CO 2 e ha -1 akibat deforestasi, gangguan tata air (hidrologi), subsidensi dan ancaman kebakaran lahan. Namun demikian, disisi lain peningkatan kebutuhan terhadap pangan dan perlunya dukungan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara siginfikan, dibutuhkan tambahan areal pertanian baru secara progresif 400-650 ribu ha tahun -1 atau sekitar lahan sawah sekitar 2-3,5 juta ha hingga tahun 2035, dan lahan kering seluas 6-10 juta. Sekitar 5-6 juta ha lahan potensial tersedia untuk perluasan lahan pertanian adalah lahan gambut. Apalagi pemanfaatan lahan mineral juga mempunyai beberapa persoalan, seperti konflik dan status kepemilikan, tersebar sporadis dan dalam hamparan sempit (Tim Sinjak BBSDLP, 2011). Teknologi pengelolaan lahan gambut yang utama meliputi pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan dan pemilihan jenis tanaman yang sesuai. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 50-100 cm mutlak diperlukan, kecuali untuk tanaman padi sawah cukup dengan kemalir 20-30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mengurangi kadar asam-asam organik. Teknologi ameliorasi dan pemupukan dapat mengatasi kendala kemasaman tanah, unsur beracun dan kahat unsur hara. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan ph dan basa-basa tanah (Subiksa et al. 1997; Salampak, 1999). Pemilihan komoditas yang sesuai juga menjadi penentu keberhasilan pengelolaan tanah gambut. KESIMPULAN 1. Tanah gambut di Indonesia mencapai luasan 13-14 juta ha, umumnya jenuh air dan dijumpai atau berasosiasi dengan daerah rawa-rawa yang tersebar terutama di P. Sumatera (Sumsel, Riau), Kalimantan (Kalbar, Kalteng) dan Papua. Berdasarkan 92
Klasifikasi dan distribusi tanah gambut Indonesia tingkat dekomposisinya dibedakan atas tanah gambut fibrik (Fibrists), gambut hemik (Hemists) dan gambut saprik (Saprists). Tanah gambut hemik sangat dominan penyebarannya di Indonesia dan potensial untuk pengembangan pertanian. 2. Berdasarkan karakteristiknya, tanah gambut hemik dan gambut saprik dapat dimanfaatkan untuk tujuan pertanian, namun masih perlu kehati-hatian dalam pengelolaannya untuk mencegah kerusakan tanah dan lingkungan. Sedangkan tanah gambut fibrik mengingat tingkat dekomposis i dan daya dukungnya terhadap pertumbuhan tanaman masih sangat rendah maka menjadi tidak sesuai pemanfaatannya untuk pertanian dan sebaiknya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi/hutan lindung. 3. Pemanfaatan tanah gambut untuk pertanian ke depan telah mulai dibatasi dengan mengacu kepada Inpres No. 10/2011 dan Kepmentan No 14/2009. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Dok. BBSDLP Edisi Desember 2011. Nugroho K., G. Gianinazzi, and IPG Widjaja Adhi. 1997. Peat hydraulic characteristics. International Peat Symp. Palangkaraya. Ed. J Keyzer and S. Page. Peat and Biodiversity. Samara Ltd. Published. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Sabiham, S., TB. Prasetyo, and S. Dohong. 1997. Phenolic acid in Indonesian peat. In:Rieley and Page (Eds). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Samara Publ. Ltd. UK Salampak. 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah minera l berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. 11 th Ed. USDA -Natural Resources Conservation Service. Washington DC. Soepraptohardjo, M. 1961. Sistim Klasifikasi Tanah di Balai Penyelidikan Tanah. Kongres Nasional Ilmu Tanah I. Bogor. Subiksa, IGM., Kusumo Nugroho, Sholeh and Widjaja Adhi. 1997. The effect of ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In: Rieley and Page (Eds). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Samara Publ. Ltd. UK Suhardjo, H dan M. Soepraptohardjo. 1981. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survei dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Publ. No. 28/1981. Proyek P3MT, Pusat Penelitian Tanah. Bogor. Tim Sinjak BBSDLP. 2011. Sintesis Kebijakan Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Pembangunan Pertanian. Dok. BBSDLP. 93
D. Subardja dan E. Suryani 94