BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin pesat perkembangan industri penerbangan membuat kompetisi antar perusahaan penerbangan semakin ketat. Penumpang transportasi udara terus meningkat dengan peningkatan rata-rata sebesar 5% setiap tahunnya (International Civil Aviation Organization, 2012). Pasar transportasi udara terbesar disumbang oleh Asia Pasifik. Pertumbuhan pasar angkutan udara di Asia lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia. Total jumlah airline di Asia diestimasikan akan meningkat 65% (14.750 airlines) pada tahun 2032, dan Asia berkontribusi hampir setengah dari pertumbuhan lalu lintas udara untuk 20 tahun kedepan (The Asia Foundation, 2014 dalam Liau dan Tan, 2014). Perkembangan ekonomi pada Asia Pasifik dan Timur Tengah diprediksi akan berkontribusi paling besar dalam meningkatkan pertumbuhan penumpang internasional dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) masingmasing sebesar 5,7% dan 6,3% (International Air Transport Association, 2015). Instabilitas perekonomian dunia dan terlalu tingginya harga fuel (Avtur) menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh signifikan terhadap industri penerbangan. Harga rata-rata fuel dari tahun 2010 hingga 2014 selalu menembus angka USD 100 per Barrel dan berdampak pada pencapaian net profit Airline (Industri Economics Performance-IATA Economics, 2015). Berdasarkan data dari IATA (2015), biaya fuel pada tahun 2014 menyumbang 32,2% dari total biaya 1
2 operasional industri penerbangan yaitu pada USD 101.4 juta. Angka ini meningkat hampir 5% dibanding tahun 2007 yang hanya sebesar 27,4%. Bahkan di Asia, bahan bakar berkontribusi sampai 50% dari biaya operasional, lebih tinggi dari rata-rata global yang mencapai 30%. Fenomena ini memicu munculnya konsep Low Cost Carriers (LCCs) Airlines. LCCs biasa disebut dengan budget airlines, merupakan konsep pelayanan penerbangan berbiaya rendah. LCCs melakukan metode operasional yang berbeda, seperti beroperasi pada secondary airport, penawaran pelayanan yang seadanya (pengenaan biaya tambahan terhadap in-flight entertaint), efisiensi distribusi dengan reservasi via internet dan beberapa upaya lain terkait penekanan biaya sehingga dapat menekan tarif. Adanya persaingan tarif antar airline membuat masyarakat semakin sensitif terhadap tarif yang ditawarkan (sensitive price). Kemunculan LCCs yang semakin banyak dewasa ini, khususnya di Asia, tentu memberikan kompetisi yang cukup kuat bagi airlines yang menawarkan konsep pelayanan penuh atau biasa disebut dengan Full Service Carriers (FSCs) Airlines untuk segera merespon tantangan tersebut. Hal ini mengharuskan perusahaan maskapai penerbangan, khususnya FSCs, untuk terus mencari cara bagaimana mereka dapat mempertahankan eksistensinya di tengah persaingan pasar. Oleh karena itu, seluruh perusahaan penerbangan berlomba untuk menciptakan nilai tambah (value added) dalam jasa yang ditawarkan kepada pelanggan. Selain keselamatan penerbangan, pelayanan yang ramah dan ketepatan waktu (kualitas pelayanan) juga
3 tidak kalah penting karena merupakan produk utama perusahaan penerbangan yang merefleksikan reputasi dan profesionalisme perusahaan. FSCs menawarkan pelayanan tambahan kepada target pasar menengah ke atas yang memiliki kemauan untuk membayar tarif lebih tinggi demi mendapatkan pelayanan yang maksimal. Pelayanan tambahan yang ditawarkan secara tidak langsung meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan FSCs. Oleh karena itu, model efisiensi biaya LCCs tidak dapat diadopsi oleh FSCs secara keseluruhan. Salah satu bentuk respon strategis FSCs adalah dengan melakukan strategi efficient differentiation. Strategi ini merupakan salah satu bentuk keunggulan kompetitif dalam efisiensi biaya yaitu dengan melakukan pertimbangan dari dua sudut pandang secara bersamaan baik dari segi biaya dan kualitas pelayanan dimana FSCs tetap terus meningkatkan efisiensi biaya namun bukan pada biaya yang berdampak pada berkurangnya kualitas pelayanan (Smyth dan Pearce, 2006). Strategi efficient differentiation dapat berjalan dengan baik apabila terdapat suatu sistem pengendalian manajemen dalam mengimplementasikan strategi biaya FSCs. Menurut Smyth dan Pearce (2006), terdapat beberapa biaya yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dimana mampu membantu menarik pendapatan lebih tinggi. Oleh karena itu, dengan mengidentifikasi biaya terkait peningkatan kualitas pelayanan premium, dapat membantu manajemen dalam mendistribusikan biaya dengan cara yang paling efisien tanpa mengurangi kualitas pelayanan untuk mencapai pendapatan maksimum. Sebagaimana dinyatakan oleh Parast dan Fini (2010), bahwa sangat penting menentukan faktor internal yang berkontribusi pada kinerja airlines. Hal ini dapat
4 membantu manajemen agar lebih efektif mengalokasikan sumber daya yang dimiliki dan menekankan praktik yang dapat berkontribusi pada kinerja organisasi secara keseluruhan. Menurut penelitian Parast dan Fini (2010), faktor internal berupa produktivitas pegawai berhubungan positif signifikan terhadap profitabilitas airlines. Adapun ontime performance sebagai proksi dari kualitas pelayanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas perusahaan penerbangan di US. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya pada beberapa aspek. Pertama, penelitian ini lebih berfokus pada FSCs pada industri penerbangan di Asia, dimana peneliti menguji pengaruh produktivitas pegawai, kualitas pelayanan dan keselamatan penerbangan yang dapat berkontribusi pada profitabilitas FSCs airlines. Penelitian sebelumnya lebih general yaitu menguji hubungan produktivitas pegawai dan kualitas pelayanan baik pada airline berkonsep FSCs maupun LCCs pada industri penerbangan di US. Kedua, penelitian ini dilakukan dari tahun 2011 sampai dengan 2015, sedangkan penelitian sebelumnya dilakukan pada tahun 1989 sampai dengan 2008. Ketiga, terdapat perbedaan proksi yang digunakan antara penelitian ini dengan sebelumnya. Passenger miles dibagi dengan jam kerja pegawai digunakan sebagai proksi dari produktivitas pegawai pada penelitian sebelumnya, sedangkan pada penelitian ini menggunakan Available Seat Killometres (ASK) dibagi dengan jumlah pegawai sebagai proksi produktivitas pegawai. Adapun On Time Performance (OTP) digunakan sebagai proksi dari kualitas pelayanan pada penelitian sebelumnya, sedangkan pada penelitian ini menggunakan in-flight dan passenger expense sebagai
5 proksi dari kualitas pelayanan. Hal ini dimaksudkan untuk menguji apakah akan diperoleh hasil yang sama apabila menggunakan proksi yang berbeda dalam mengukur setiap variabel dari penelitian sebelumnya. Mengingat sangat pentingnya strategi biaya bagi perusahaan penerbangan berkonsep pelayanan penuh, diperlukan adanya pengendalian dalam penerapan strategi efficient differentiation dengan mengetahui efektifitas terkait penambahan nilai produk yang berimplikasi pada pencapaian profit yang maksimal. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mengambil judul Strategi Efficient Differentiation Pada Industri Full Service Airlines di Asia. 1.2. Rumusan Masalah Semakin ketatnya persaingan bisnis dalam industri penerbangan dan banyaknya pendatang baru LCCs menjadi latar belakang pentingnya menentukan faktor internal yang berkontribusi pada kinerja FSCs. Hal ini dapat membantu FSCs agar lebih efektif dalam mengalokasikan dan menekan sumber daya yang dimiliki dalam menjalankan operasi perusahaan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Parast dan Fini (2010) terkait efek produktivitas dan kualitas pada profitabilitas industri airlines di US mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan keselamatan penerbangan. Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas, maka dapat dibentuk rumusan masalah sebagai berikut: a. Apakah produktivitas pegawai berpengaruh terhadap profitabilitas FSCs?
6 b. Apakah kualitas pelayanan berpengaruh terhadap profitabilitas FSCs? c. Apakah kualitas pelayanan berpengaruh terhadap profitabilitas FSCs melalui keselamatan penerbangan sebagai variabel intervening? d. Apakah keselamatan penerbangan berpengaruh terhadap profitabilitas FSCs? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menguji pengaruh produktivitas pegawai terhadap profitabilitas FSCs. b. Menguji pengaruh kualitas pelayanan terhadap profitabilitas FSCs. c. Menguji pengaruh kualitas pelayanan terhadap profitabilitas FSCs melalui keselamatan penerbangan sebagai variabel intervening. d. Menguji pengaruh keselamatan penerbangan terhadap profitabilitas FSCs. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk akademisi, perusahaan penerbangan dan pihak lain dalam penelitian serupa selanjutnya. a. Bagi regulator industri penerbangan Sebagai masukan bagi regulator airlines dalam melakukan evaluasi terhadap seluruh aturan khususnya yang ditujukan kepada Full Service Airlines. b. Bagi perusahaan penerbangan (khsusunya full service airlines) Sebagai masukan bagi perusahaan airlines dalam mengetahui faktor internal yang berkontribusi pada kinerja airlines, sehingga dapat membantu mengidentifikasi
7 peluang guna pengembangan kualitas airlines secara terus-menerus. Selain itu, dapat membantu dalam pengambilan keputusan terkait pengalokasian sumber daya yang dimiliki secara efektif dan fokus terhadap aktivitas yang berkontribusi pada kinerja perusahaan secara keseluruhan. c. Bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan Sebagai tambahan ilmu dan pengetahuan terkait profitabilitas pada perusahaan jasa yang menerapkan strategi differentiation, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya. d. Bagi akademisi Sebagai bahan yang diharapkan dapat menambah pemahaman terhadap pengaruh biaya terkait peningkatan produktivitas, kualitas dan keselamatan pada profitabilitas perusahaan penerbangan berkonsep full service airlines di Asia, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian dengan karakteristik serupa pada periode mendatang.