ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENINGKATAN STOK KARBON PADA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN SANGGAU, KALIMANTAN BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

ANALISIS FINANSIAL PERKEBUNAN GAMBIR RAKYAT DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT. Vera Anastasia

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

ANALISIS FINANSIAL DAN KEUNTUNGAN YANG HILANG DARI PENGURANGAN EMISI KARBON DIOKSIDA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT

Iklim Perubahan iklim

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

Sakti Hutabarat Staf pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di lahan HKm Desa Margosari Kecamatan Pagelaran

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang

I. PENDAHULUAN. mencapai 2324,7 juta ton/tahun (Ditjenbun, 2007).

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Karet

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PERKEBUNAN KARET PROGRAM EKS UPP TCSDP DI DESA BINA BARU KECAMATAN KAMPAR KIRI TENGAH KABUPATEN KAMPAR

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN. Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan,

MEKANISME DISTRIBUSI PEMBAYARAN REDD : Studi Kasus Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan PUSLITSOSEK 2009

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

BAB 1. PENDAHULUAN. peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil

MAKALAH PEMANASAN GLOBAL

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

KELAYAKAN EKONOMI BENDUNGAN JRAGUNG KABUPATEN DEMAK

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

III. METODOLOGI PENELITIAN

DINAMIKA USAHATANI JAGUNG HIBRIDA DAN PERMASALAHANNYA PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN BONE. Hadijah A.D. 1, Arsyad 1 dan Bahtiar 2 1

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

226 ZIRAA AH, Volume 32 Nomor 3, Oktober 2011 Halaman ISSN

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

IV. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI

ANALISIS PEMBANGUNAN PLTU MADURA KAPASITAS 2 X 200 MW SEBAGAI PROGRAM MW PT. PLN BAGI PEMENUHAN KEBUTUHAN LISTRIK DI PULAU MADURA

VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Perubahan Iklim dan SFM. Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

IV. METODE PENELITIAN

ANALYSIS OF COST EFFICIENCY AND CONRTIBUTION OF INCOME FROM KASTURI TOBACCO, RICE AND CORN TO THE TOTAL FARM HOUSEHOLD INCOME

ANALISIS KERAGAAN USAHA TANI DAN OPPORTUNITY COST EMISI CO 2 PERTANIAN LAHAN GAMBUT KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT

III. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

Land Use planning for low Emission development Strategy (LUWES)

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

ABSTRACT ANALYSIS OF THE POTENTIAL OF PALM SHELL WASTE WHEN USED AS ACTIVED CHARCOAL IN RIAU PROVINCE BY : EDWARD SITINDAON

Opportunity Cost Dalam Pelaksanaan REDD

ANALISIS KELAYAKAN USAHATANI JERUK SIAM (CITRUS NOBILIS LOUR) PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN TAPIN SELATAN KABUPATEN TAPIN, KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARAWANA KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alasan peneliti memilih desa Sipiongot kecamatan Dolok Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

Transkripsi:

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENINGKATAN STOK KARBON PADA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN SANGGAU, KALIMANTAN BARAT Herman 1, Fahmuddin Agus 2, dan Eleonora Runtunuwu 2 1 Riset Perkebunan Nusantara, Jl. Salak No. 1A Bogor 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No.12 Cimanggu Bogor ABSTRACT The research was carried out using survey method during June November 2010. Farming analysis and Financial analysis method were used to analyze collected data. Research results showed that average land holding of respondents was relatively wide (9.76 ha) but unfortunately 32.20 % of it was fallowed. Several factors influencing land use in the research area were shifting cultivation culture, soil fertility, accessibility to investor and Government policy. During 2009/2010, average farmer income was Rp 39,76 million/household/year and this was still possibly to be increased through better land management and land use improvement. Increase utilization of unused land by developing estate crop plantation and timber estate would increase farmer income and also carbon stok since estate crops and forest trees are classified into commercial crops having biggest ability for carbon absorption amongst other agricultural crops. Rubber, oil palm and timber estate would require investment cost Rp 30.03 million/ha,rp 30.10 million/ha and Rp 13.25 million/ha respectively. With such investment, net present value (NPV) which is going to be obtained at 12.5% interest rate (NPV df=12.5%) for rubber, oil palm and timber estate plantation is Rp 21.96 million/ha, Rp 17.75 million/ha and Rp 1.92 million/ha respectively. Each of them could increase carbon absorption 57.5 ton/ha, 49.5 ton/ha dan 14.5 ton/ha respectively. Considering those findings, rehabilitation on degraded land was feasible to be implemented, not to mention if carbon stok is marketable. In order to realize those efforts, comprehensive planning and involvement of investor for technology transfer to gain added value through utilization of carbon trade option were extremely needed. Key words: feasibility study, land rehabilitation, estate crop, timber estate, carbon stok ABSTRAK Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei pada bulan Juni- November 2010. Data dan informasi yang berhasil dikumpulkan diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan metode analisis usaha tani dan analisis finansial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani menguasai lahan cukup luas yaitu rata-rata 9,76 ha, tetapi sekitar 32,20 persen diistirahatkan. Penggunaan lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: budaya berladang, kesuburan tanah, kehadiran investor, dan kebijakan pemerintah. Pada tahun 2009/10, pendapatan petani rata-rata Rp 39,76 juta/kk/tahun dan berpeluang untuk ditingkatkan melalui perbaikan pengelolaan kebun dan peningkatan pemanfaatan lahan. Peningkatan pemanfaatan lahan terlantar melalui pengembangan tanaman perkebunan dan hutan 425

Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu tanaman industri (HTI) akan meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan stok karbon, karena tanaman perkebunan dan tanaman hutan merupakan tanaman komersial dan penambat karbon terbesar diantara berbagai jenis tanaman pertanian. Pengembangan perkebunan karet, kelapa sawit dan HTI memerlukan biaya investasi masing-masing sebesar Rp 30,03 juta/ha, Rp 30,10 juta/ha dan Rp 13,25 juta/ha. Dengan dana investasi tersebut akan dihasilkan pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto 12,5 persen/tahun (NPV df=12,5%) masing -masing sebesar Rp 21,96 juta/ha untuk karet, Rp 17,75 juta/ha untuk kelapa sawit, dan Rp 1,92 juta/ha untuk HTI, serta meningkatkan serapan karbon rata-rata masing-masing sebesar 57,5 ton/ha, 49,5 ton/ha, dan 14,5 ton/ha. Kegiatan rehabilitasi tersebut layak untuk dilaksanakan, lebih-lebih jika stok karbon dapat dipasarkan. Untuk merealisasikan upaya tersebut diperlukan perencanaan yang matang dan keterlibatan pihak investor untuk transfer teknologi dan meraih nilai tambah melalui pemanfaatan peluang perdagangan karbon. Kata kunci: kelayakan usaha, rehabilitasi lahan, tanaman perkebunan, stok karbon PENDAHULUAN Perubahan Iklim merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi masyarakat dunia di abad 21, sehingga perubahan iklim menjadi topik pembicaraan hangat, baik di media masa, seminar, lokakarya, maupun pada saat pembahasan kerja sama antarnegara di dunia. Pada bulan Desember 1977 dan Desember 2000, Panel Antar Pemerintah Mengenai Perubahan Iklim, badan yang terdiri dari 2.000 ilmuwan, mengajukan sejumlah pandangan mengenai realitas sekarang ini antara lain: (a) terjadi bencana alam yang lebih sering dan dahsyat seperti gempa bumi, banjir, angin topan, siklon, dan kekeringan, (b) bencana badai besar terjadi empat kali lebih besar sejak tahun 1960, (c) suhu global meningkat sekitar 5 derajat C (10 derajat F) sampai abad berikut, dan (d) permukaan es di kutub utara makin tipis (Kelompok Kerja Pemanasan Global, 2002). Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca, yg terus bertambah di udara khususnya CO 2 yang dihasilkan oleh tindakan manusia. Penggunaan batubara, minyak bumi, dan gas serta penggundulan dan pembakaran hutan merupakan penyebab meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Karbon dioksida, chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di udara dan menjaring panas dari matahari. Sementara itu, lautan dan vegetasi yang biasanya menangkap banyak CO 2 makin berkurang kemampuannya, sehingga konsentrasi CO 2 di udara makin tinggi. Menurut Koropitan (dalam Kompas, 2009), Penelitian Global Carbon Project menunjukkan, bahwa indeks CO tersimpan di air laut turun dari 0,3 pada tahun 1960 menjadi 0,25 pada tahun 2008. Sebaliknya, indeks kandungan CO dalam atmosfer naik dari 0,41 pada tahun 1960 menjadi 0,43 pada tahun 2008. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh masyarakat dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui berbagai kesepakatan antara lain: pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, penambatan karbon ke dalam jaringan tanaman melalui mekanisme pembangunan bersih (CDM), dan pasca-kyoto Protocol tahun 426

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat 2012 melalui mekanisme reducing emissions from deforestation and degradation (REDD). Untuk sektor pertanian, salah satu pendekatan yang menjanjikan rosot karbon yang cukup berarti adalah melalui rehabilitasi lahan alang-alang atau semak belukar menjadi lahan perkebunan. Tanaman perkebunan merupakan penambat (sequester) karbon terbesar di antara berbagai jenis tanaman pertanian dan berpotensi memperbaiki kehidupan masyarakat lokal karena dapat memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar. Ada beberapa peluang pendanaan rehabilitasi lahan alang-alang dan semak belukar menjadi lahan pertanian berbasis pohon-pohonan. Peluang utama dan yang sekarang sudah berjalan adalah melalui berbagai proyek pembangunan kehutanan dan pertanian, misalnya gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (GERHAN) serta berbagai proyek perkebunan seperti revitalisasi perkebunan karet, kelapa sawit, dan kakao. Kemungkinan kedua adalah melalui investasi swasta untuk perkebunan. Kemungkinan ketiga, yang prosedurnya relatif rumit adalah melalui pasar karbon sukarela berskala kecil (small scale voluntary market), baik berupa reducing emissions from deforestation and degradation (karena dengan penggunaan lahan alang-alang dapat dikurangi penebangan hutan dan emisi karbon) maupun melalui mekanisme afforestation and reforestation clean development mechanism (AR-CDM). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan dan menganalisis biaya dan kelayakan serta merumuskan strategi peningkatan stok karbon sekaligus meningkatkan pendapatan petani di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sanggau menjadi pilihan lokasi penelitian karena merupakan salah satu kabupaten yang telah mengalami degradasi lahan cukup luas dan hanya menyisakan sedikit kawasan hutan dengan tutupan lahan yang baik. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat (2008), di Kabupaten Sanggau terdapat areal padang alang-alang dan semak belukar seluas 700.824 ha atau 54,51 persen dari total areal Kabupaten Sanggau, sementara areal hutan yang tersisa hanya sekitar 66.829 ha atau hanya 5,20 persen dari total wilayah Kabupaten Sanggau. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian dan Pengumpulan Data Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang mengalami degradasi lahan paling luas di Indonesia. Pada tahun 2006, lahan kritis di Kalimantan Barat tercatat seluas 10,06 juta ha atau 12,93 persen dari total lahan kritis nasional (Badan Planologi Kehutanan, 2007). Luas lahan kritis tersebut meningkat menjadi 14,46 juta ha tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Kalimantan Barat yang luasnya 14,68 juta ha di klasifikasikan sebagai lahan kritis (Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, 2008). Terlepas dari definisi kekritisan lahan dan data luasan lahan kritis yang telah dipublikasi, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi penggunaan 427

Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu lahan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, manganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengggunaan lahan dan mencarikan alternatif pemanfaatan lahan yang layak dan menguntungkan bagi pengelolanya dalam rangka mengurangi luasan lahan kritis. Pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan survei dan pengumpulan data di lapangan. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kembayan dan Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pada Bulan Juni sampai November 2010. Kedua kecamatan tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki kawasan padang alang-alang dan semak belukar cukup luas serta menjadi daerah pengembangan perkebunan karet, kelapa sawit, dan hutan tanaman industri (HTI) acacia mangium. Data primer dikumpulkan melalui kegiatan wawancara dengan petani, pengusaha, dan tokoh masyarakat. Responden petani ditentukan secara acak berstrata. Stratifikasi dilakukan berdasarkan jenis tanaman utama yang diusahakan petani. Responden yang diwawancara berjumlah 30 orang, masing-masing 15 orang petani karet, 15 orang petani kelapa sawit. Disamping itu juga dilakukan diskusi kelompok dengan petani dan masyarakat yang berada di kawasan Hutan Tanaman Industri. Data sekunder dikumpulkan melalui diskusi dan konsultasi dengan pemerintah daerah, Bappeda, Bapedalda, dan dinas kehutanan dan perkebunan, perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan hutan tanaman industri serta studi literatur dari berbagai sumber antara lain: Badan Pusat Statistik dan perguruan tinggi/universitas. Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang berhasil dikumpulkan diolah secara tabulasi dan di analisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk memberikan gambaran kondisi umum daerah penelitian, kondisi sosial ekonomi keluarga petani dan persepsi petani tentang perladangan. Sedangkan analisis kuantitatif meliputi analisis usaha tani dan analisis finansial. Analisis usaha tani dilakukan untuk memberikan gambaran penerimaan, biaya dan keuntungan bersih berbagai cabang usaha tani serta kegiatan di luar usaha tani. Analisis usaha tani dilakukan melalui pendekatan penerimaan bersih yaitu selisih antara penerimaan ( benefit) dan biaya ( cost) untuk semua cabang usaha dan kegiatan petani beserta keluarganya. Penerimaan bersih keluarga petani dirumuskan sebagai berikut: dimana: π = B - C.(1) π = Penerimaan bersih, B = Total Penerimaan, C = Total Biaya. 428

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat Analisis finansial dilakukan untuk memperoleh gambaran secara utuh keuntungan kini bersih yang dihasilkan tanaman tahunan yaitu: kelapa sawit, karet dan HTI dalam satu siklus hidup tanaman. Analisis dilakukan dengan menggunakan kriteria Nilai Kini Bersih (Net Present Value = NPV), Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate of Raturn = IRR), dan Rasio Penerimaan - Biaya (Benefit Cost Ratio = B/C) yang dirumuskan sebagai berikut ( Gray et. al. 1987): n a. NPV...... (2) t dimana: t 0 Bt Ct (1 i) NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih), Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t, Ct = Biaya pada tahun t, i = Tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku), n = Umur ekonomis proyek (cakrawala waktu). Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bila nilai NPV > 0 NPV1 NPV1 NPV2 b. IRR i1 (i2 i1).... (3) dimana: IRR i1 NPV1 i2 NPV2 = Internal Rate of Raturn (tingkat pengembalian internal), = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol, = Nilai NPV mendekati nol positif, = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati nol, = Nilai NPV negatif mendekati nol. Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih besar dari tingkat suku pinjaman di Bank. n t 0 c. B/C...... (4) di mana: n t 0 Bt (1 i) Ct (1 i) t t B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan-biaya), Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t, Ct = Biaya pada tahun t, i = Tingkat diskonto, n = Umur ekonomis proyek. Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1. 429

Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Penelitian Kabupaten Sanggau secara geografi terletak di bagian tengah Provinsi Kalimantan Barat antara 1º 00 LU-0º 06 LS dan 109º 08 BT - 111º 03 BT dengan luas wilayah 12.857,70 km² atau 8,76 persen dari luas daerah Provinsi Kalimantan Barat (146.807 km²). Secara administratif Kabupaten Sanggau terbagi dalam 15 kecamatan dengan Kecamatan Jangkang sebagai kecamatan terluas dan Kecamatan Balai merupakan kecamatan terkecil (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau, 2009). Pada saat penelitian ini dilakukan, kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah ini sudah mengalami perkembangan, meskipun budaya berladang masih melekat kuat di masyarakat. Sebagian besar masyarakat sudah sangat menggantungkan hidup mereka dari hasil perkebunan terutama karet dan kelapa sawit, tetapi mereka masih tetap berladang atau menggarap sawah tadah hujan untuk menghasilkan beras guna menjamin kecukupan kebutuhan konsumsi keluarga mereka. Responden pada umumnya telah berpengalaman cukup lama sebagai peladang dan pekebun karet. Di samping itu sebagian dari mereka juga berpengalaman mengelola perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan oleh perusahaan perkebunan melalui program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun), maupun yang dikembangkan secara mandiri. Responden rata-rata berumur cukup tua yaitu 48 tahun dengan kisaran umur 34 tahun hingga 74 tahun dengan tingkat pendidikan beragam mulai dari tidak lulus SD hingga berijazah D2. Ukuran keluarga responden relatif kecil yaitu rata-rata 4 orang per kepala keluarga dengan kisaran 2 orang sampai 6 orang dan umumnya hanya memiliki 2 sampai 3 orang tenaga kerja produktif. Petani umumnya menguasai lahan yang relatif luas yaitu rata-rata 9,76 ha, tetapi yang dimanfaatkan rata-rata sekitar 6,62 ha atau 67,80 persen dari total lahan yang dikuasai petani, sementara 32,20 persen diistirahatkan. Lahan yang diistirahatkan umumnya adalah lahan untuk perladangan. Pada saat penelitian ini dilakukan, hanya sekitar 0,33 ha ladang yang digunakan dan 2,97 ha diistirahatkan. Penggunaan lahan terluas adalah untuk perkebunan kelapa sawit yaitu rata-rata 2,96 ha, disusul karet 2,88 ha, dan sawah 0,44 ha (Tabel 1). Tabel 1. Penggunaan Lahan yang Dikuasai Petani, 2009/2010 Petani Pekarangan Penggunaan Lahan (ha) Kelapa Karet Ladang Sawah Total Sawit Karet 0,19 3,08 0,81 2,07 0,73 6,88 Kelapa Sawit 0,18 2,67 5,10 4,53 0,15 12,63 Rata-rata 0,19 2,88 2,95 3,30 0,44 9,76 430

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat Pada tahun 2009/2010, petani responden memperoleh pendapatan ratarata sebesar Rp 39,76 juta/kepala keluarga/tahun dengan sumber pendapatan utama dari perkebunan karet disusul perkebunan kalapa sawit, luar usaha tani dan perladangan atau sawah tadah hujan (Tabel 2). Tabel 2. Pendapatan Petani dari Berbagai Sumber Pendapatan (Rp/tahun), 2009/2010 Petani Karet K elapa Sawit Sumber Pendapatan Ladang/ Nonusaha Sawah Tani Total Karet 24.815.200-3.468.667 6.666.667 34.950.533 Kelapa Sawit 7.608.000 27.984.867 1.220.000 7.746.667 44.559.533 Rata-rata 16.211.600 13.992.433 2.344.333 7.206.667 39.755.033 Persentasi (%) 40,78 35,20 5,90 18,13 100,00 Apabila petani dibedakan berdasarkan sumber pendapatan utamanya, maka akan tampak bahwa petani kelapa sawit memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari petani karet. Hal ini terjadi karena lahan usaha yang dimiliki/dikelola petani kelapa sawit jauh lebih luas dari lahan yang dikelola petani karet. Meskipun demikian, petani karet lebih efisien dalam menggunakan lahan untuk menghasilkan pendapatan dibandingkan petani kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit yang dimiliki petani pada umumnya kurang produktif karena tidak dikelola dengan baik. Produktivitas perkebun kelapa sawit sangat rendah yaitu rata-rata 8,17 ton TBS/ha/tahun dengan kisaran 3-13,5 ton/ha/tahun pada saat tamanan berusia 9 hingga 25 tahun. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena perkebunan kelapa sawit pada usia puncak produksi hanya mampu menghasilkan produksi maksimum 13,5 ton/ha/tahun atau kurang dari 40 persen potensinya, malah ada yang hanya berproduksi sekitar 10 persen dari potensi produksinya dan kondisi ini dapat dikatakan sebagai pemborosan investasi. Sebenarnya pengelolaan perkebunan karet yang dilakukan oleh petani karet juga hampir sama dengan pengelolaan perkebunan kelapa sawit, tetapi penurunan produktivitas karet tidak setajam produktivitas kelapa sawit. Karet yang tidak dikelola dengan baik dan tidak ubahnya seperti hutan karet, masih mampu menghasilkan produksi cukup tinggi. Produktivitas perkebunan karet lokal rata-rata 800 kg karet kering/ha/tahun dengan kisaran 350 kg/ha/tahun hingga 1.600 kg/ha/tahun, sementara produktivitas karet unggul rata-rata mencapai 1.865 kg/ha/tahun dengan kisaran 800 kg/ha/tahun sampai 2.700 kg/ha/tahun. Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa petani belum menggunakan lahan secara optimal dan mereka masih memiliki pola pikir/perilaku peladang dengan mengistirahatkan lahan yang cukup luas. Kondisi ini hampir sama dengan kondisi umum penggunaan lahan di Kabupaten Sanggau. Pada tahun 2008, lahan yang untuk sementara tidak digunakan di Kabupaten Sanggau tercatat seluas 319.281 ha atau 24,83 persen dari total wilayah Sanggau dan pada umumnya berupa padang alang-alang dan semak belukar. Luasan tersebut menempati urutan kedua setelah penggunaan lahan untuk usaha perkebunan yaitu seluas 359.391 ha atau 27,95 persen dari total wilayah Kabupaten Sanggau. 431

Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu Lebih lanjut, hasil analisis dengan menggunakan data citra satelit Landsat ETM7 tahun 2009 serta data pendukung lainnya seperti peta rupabumi, peta RePROT dan informasi lainnya menunjukkan bahwa Kabupaten Sanggau memiliki lahan padang alang-alang dan semak seluas sekitar 60 ribu ha dengan kandungan karbon yang rendah yaitu rata-rata 10,5 ton/ha (Agus et al., 2010). Simpanan karbon untuk kawasan tersebut dapat ditingkatkan melalui rehabilitasi dengan menggunakan tanaman karet dan kelapa sawit maupun tanaman hutan akasia. Pengembangan perkebunan karet dan kelapa sawit berpotensi menyerap karbon masing-masing 128 ton/ha dan 109 ton/ha (Boer et al., 2006), sedangkan menurut Agus et al. (2008), secara rata-rata perkebunan karet dan kelapa sawit berpotensi menyerap karbon masing-masing sebesar 68 ton/ha, dan 60 ton/ha. Sementara itu pengembangan HTI akasia berpotensi menyimpan karbon hingga 32 ton/ha pada saat tanaman berusia 8 tahun (Heriansyah, 2005). Disamping itu pengembangan perkebunan dan HTI akan meningkatkan produktivitas lahan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaannya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Penggunaan lahan oleh masyarakat sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Faktor utama yang sangat mempengaruhi penggunaan lahan adalah budaya berladang dan pola pikir subsisten, kesuburan tanah dan ketersediaan bahan tanam bernilai ekonomis, ketersediaan tenaga kerja, serta ketersediaan modal dan pihak investor, serta dukungan kebijakan pemerintah. Budaya Berladang dan Pola Pikir Subsisten Perladangan merupakan suatu budaya bagi masyarakat Dayak maupun Melayu yang tinggal di pedalaman Kalimantan karena dari hasil perladangan itulah mereka hidup. Perladangan biasanya dilakukan dengan cara: tebas-tebang-bakartanam, kemudian diistirahatkan untuk beberapa tahun atau dijadikan perkebunan karet apabila kondisinya mendukung dalam artian tersedianya bahan tanam, kesuburan tanah cukup memadai dan tidak terjadi kebakaran. Jika terjadi kebakaran maka ladang yang disiapkan untuk menjadi kebun karet tersebut akan menjadi semak belukar/diberakan. Lebih lanjut, para peladang pada umumnya belum memiliki tuntutan kebutuhan hidup yang tinggi, dan merasa cukup dengan hidup sederhana sebagai petani subsisten. Menurut Arkanudin (2009), kearifan tradisional orang Dayak dalam megelola sumber daya hutan, secara hakiki pada dasarnya berpangkal dari sistem religi yang menuntun agar senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta. Meskipun apa yang dilakukan orang Dayak tersebut, ada yang tidak logis karena mereka masih percaya bahwa alam semesta ini penuh dengan kekuatan gaib, namun secara sosiologis tradisi atau adat istiadat yang dilakukan orang Dayak tersebut adalah semata-mata merupakan upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan. 432

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat Dengan lahan yang cukup luas, masyarakat Dayak umumnya tidak melakukan kegiatan pertanian yang intensif dan sulit untuk dipacu menjadi petani intensif. Oleh karena itu dalam upaya mengatasi makin terbatasnya ketersediaan lahan masyarakat peladang sebaiknya diarahkan untuk mengelola perkebunan karet. Peladang tampaknya belum siap untuk melakukan lompatan budaya dari budaya berladang dan meramu hasil hutan ke pertanian menetap yang intensif khususnya perkebunan kelapa sawit, kecuali dibina dengan baik. Sebagai gambaran, pemerintah telah berupaya untuk membantu peladang melalui berbagai proyek pembinaan seperti pengembangan karet melalui proyek Smallholder Rubber Development Project (SRDP), namun karena budaya berladang tersebut masih melekat kuat dimasyarakat, dan mereka belum memahami bahwa perkebunan dengan bahan tanam unggul membutuhkan pengelolaan yang baik. Kebun karet mereka biarkan tidak terpelihara seperti hutan karet, sehingga produktivitasnya tidak optimal. Meskipun demikian, hasil yang mereka peroleh dari perkebunan karet masih cukup memadai. Kondisi yang cukup memprihatinkan dialami oleh para peladang yang menjadi peserta proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR -Bun) kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit yang mereka terima umumnya tidak dikelola sesuai dengan anjuran, sehingga produktivitasnya sangat rendah dan hal ini dapat dikatakan sebagai pemborosan investasi. Kesuburan Tanah Ketersediaan Bahan Tanam Bernilai Ekonomi Kesuburan tanah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi siklus perladangan, lamanya lahan digunakan dan keberlanjutan usaha menjadi perkebunan. Di lahan yang relatif subur, peladang bisa melakukan penanaman tanaman pangan lebih dari satu kali, tetapi di lahan yang kurang subur hanya bisa dilakukan satu kali penanaman dan selanjutnya pindah ke lahan yang baru. Jika peladang memiliki bahan tanam tanaman tahun yang bernilai ekonomis seperti karet dan buah-buahan, maka bahan tanam tersebut biasanya mereka tanam/sisipkan diantara tanaman pangan, sehingga pada saat lahan tidak bisa digunakan lagi untuk tanaman pangan, lahan tersebut menjadi kebun karet atau kebun buah-buahan. Keberhasilan tanaman sisipan menjadi kebun sangat tergantung pada kesuburan tanah dan kondisi alam. Di lahan yang subur, perawatan tanaman tahunan menjadi agak panjang dan kondisi ini memperbesar peluang keberhasilan ladang menjadi lahan perkebunan. Disamping itu kondisi alam terutama adanya kemarau panjang dan kebakaran ladang merupakan penyebab utama kurang berhasilnya ladang menjadi perkebunan. Ketersediaan Tenaga Kerja Ketersediaan tenaga kerja merupakan faktor yang ikut menentukan pola pemanfaatan lahan. Peladang pada umumnya memiliki anggota keluarga yang relatif kecil dengan 2 sampai 3 orang tenaga kerja produktif. Kondisi ini sangat 433

Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu mempengaruhi kemampuan mereka dalam melakukan usaha tani intensif di lahan yang mereka kuasai. Disamping itu adanya berbagai keterbatasan, terutama modal usaha dan penguasaan teknologi budidaya menyebabkan kurang optimalnya pengelolaan usaha mereka, sehingga produktivitas lahan menjadi rendah. Peningkatan pengetahuan dan penyediaan fasilitas modal usaha sangat penting untuk membantu peningkatan produktivitas lahan sekaligus meningkatkan kesejahteraan peladang. Tanpa pembinaan yang memadai khususnya di perkebunan kelapa sawit terbukti telah memboroskan investasi yang ditanamkan. Ketersediaan Modal dan Keterlibatan Pihak Investor Modal dan keterlibatan investor sangat mewarnai pemanfaatan lahan terutama melalui pola kemitraan usaha perkebunan. Di Kabupaten Sanggau, perluasan usaha perkebunan mengalami perkembangan cukup pesat terutama melalui pola perkebunan besar dan pola kemitraan, sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 31 perusahaan perkebunan besar yang telah memiliki izin untuk mengembangkan usaha perkebunan di Kabupaten Sanggau dan sebagian (66.139 ha) sudah memiliki hak guna usaha (HGU). Lahan usaha yang dicadangkan untuk pengembangan perkebunan tersebut tercatat seluas 648.395 ha dengan areal yang sudah ditanami kelapa sawit mencapai 150.450 ha dan sekitar 57 persen diantaranya adalah kebun plasma (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sanggau, 2009). Perusahaan perkebunan besar tidak begitu berminat untuk mengembangkan tanaman karet, sehingga perkembangan areal perkebunan karet relatif lambat dan sebagai akibatnya perkebunan karet yang dulunya mendominasi areal perkebunan di Kabupaten Sanggau, posisinya digeser oleh perkebunan kelapa sawit yang mengalami perkembangan sangat pesat sejak awal pengembangannya. Pada saat ini areal perkebunan kelapa sawit mendominasi areal perkebunan di Kabupaten Sanggau. Meskipun demikian, tanaman karet masih cukup prospektif untuk diusahakan dan masyarakat sudah terbiasa mengusahakan tanaman karet dengan berbagai keterbatasannya. Pemerintah telah berupaya untuk membantu pekebun karet dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan serta bantuan bibit unggul dan sarana produksi. Melalui bantuan yang relatif terbatas tersebut, areal perkebunan karet di Kabupaten Sanggau terus berkembang. Dukungan Kebijakan Pemerintah Berladang merupakan budaya bagi masyarakat Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk melakukan perubahan pola pikir dan kebiasaan hidup dari masyarakat peladang berpindah yang subsisten menjadi pertanian menetap dan komersial. Pola pikir bahwa kebutuhan pangan harus dipenuhi sendiri mulai digeser apabila kondisi lahannya tidak memungkinkan dan ada alternatif lain yang lebih menguntungkan serta ramah lingkungan. Pemerintah daerah melalui dinas terkait dan jajarannya perlu 434

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat memberikan dukungan khususnya memfasilitasi pendidikan, penyuluhan dan perbaikan infrastruktur serta mendukung tersedianya pendanaan perbankan dengan bunga yang rendah. Biaya dan Manfaat Penggunaan Lahan Asumsi dan Batasan Untuk analisis finansial digunakan beberapa asumsi, dan batasan sebagai berikut: a. Produktivitas perkebunan kelapa sawit diasumsikan mengikuti pola produksi lahan kelas III dengan pola pengelolaan petani di lokasi penelitian yaitu ratarata 12,50 ton TBS/ha/tahun. Sementara produktivitas perkebunan karet diasumsikan rata-rata 950 kg karet kering/ha/tahun dan produktivitas HTI sebesar 200 m 3 pada saat panen usia 8 tahun. b. Harga Tandan Buah Segar (TBS) diasumsikan Rp 1.200/kg TBS, harga bokar (bahan olah karet) Rp 11.000/kg dan harga kayu akasia Rp 250.000/m 3. Asumsi harga tersebut didasarkan pada perkembangan harga tiga tahun terakhir di lokasi penelitian. Harga TBS berfluktuasi antara Rp 800-1.500/kg, bokar berfluktuasi antara Rp 5.000-17.000/kg dan harga kayu berfluktuasi antara Rp 200.000-300.000/ton. c. Upah tenaga kerja diasumsikan Rp 40.000/hari kerja (HK). d. Analisis finansial dilakukan untuk satu siklus produksi tanaman (25 tahun untuk tanaman perkebunan dan 8 tahun untuk HTI) dengan tahun dasar 2009 dan menggunakan tingkat diskonto sebesar 12,5 persen/tahun. Biaya Investasi dan Kelayakan Usaha Investasi yang diperlukan untuk membangun kebun karet sangat beragam, tergantung pada kondisi lahan, penggunaan pupuk, bibit, dan sarana produksi lainnya serta pola pengelolaan kebun. Pada perkebunan besar biasanya mengikuti standar teknis pengelolaan perkebunan secara komersial. Sementara di perkebunan rakyat, besarnya investasi tergantung pada pelaksanaan pembangunan. Kebun yang dibangun sendiri oleh petani, biasanya biaya investasinya rendah, sedangkan kebun yang dibangun melalui proyek PIR atau SRDP umumnya lebih tinggi karena mengikuti standar teknis. Dengan asumsi bahwa rehabilitasi padang alang-alang dan semak dilakukan sesuai dengan standar teknis maka diperlukan dana investasi masingmasing sebesar Rp 30,03 juta/ha untuk tanaman karet, Rp 30,10 juta/ha untuk tanaman kelapa sawit, dan Rp 13,25 juta/ha untuk tanaman HTI akacia mangium. Disamping itu masih dibutuhkan biaya pemeliharaan tanaman menghasilkan hingga tanaman berumur 25 tahun. Namun biaya pemeliharaan dan biaya investasi tersebut dapat ditutupi oleh nilai produksi yang dihasilkan, bahkan dapat menghasilkan surplus penerimaan bersih bagi pengelolanya. 435

Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu Dengan biaya investasi sebesar Rp 30,03 juta/ha tanaman karet ditambah dengan biaya pemeliharaan dan pengelolaan kebun berkisar antara Rp 5,75-8,57 juta/ha/tahun akan diperoleh pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto 12,5 persen/tahun (NPV df=12,5%) sebesar Rp 21,96 juta/ha, IRR=19,81, dan B/C= 1,2849 yang berarti layak untuk dilaksanakan (Tabel 3). Disamping itu, menurut Boer et al. (2006), tanaman karet berpotensi menyimpan karbon sebesar 128 ton/ha dan menurut Agus et al. (2008) rata-rata 68 ton/ha. Dengan demikian, rehabilitasi padang alang-alang dan semak menjadi perkebunan karet dapat meningkatkan simpanan karbon hingga 117,5 ton/ha atau secara rata-rata sebesar 57,5 ton/ha. Tabel 3. Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Karet, 2010 Uraian (Rp/ha) Uraian Nilai TBM-0 10.797.500 Harga Karet (Rp/kg) 11.000 TBM-1 4.371.000 Prod rata2 (kg/ha) 950 TBM-2 3.634.000 NPV (Rp) 21.964.226 TBM-3 3.674.000 IRR (%) 19,81 TBM-4 3.676.500 B/C 1,4533 TBM-5 3.876.500 Total Invts 30.029.500 NPV/tahun (Rp) 878.569 Sementara itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 30,10 juta/ha ditambah dengan biaya pemeliharaan dan pengelolaan berkisar antara Rp 3,98-13,22 juta/ha/tahun akan diperoleh pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto 12,5 persen/tahun (NPV df=12,5%) sebesar Rp 17,75 juta/ha, IRR=19,08 dan B/C = 1,2768 yang berarti layak untuk dilaksanakan. Kelayakan usaha tersebut seharusnya lebih baik lagi jika petani mengelola kebun kelapa sawit sesuai dengan standar teknis yang dianjurkan dan produktivitas kebun akan mencapai rata-rata 20 ton TBS/ha/tahun. Pada kondisi demikian petani akan menerima NPV df=12,5 persen sebesar Rp 41,14 juta/ha, IRR= 24,73 dan B/C = 1,6486 (Tabel 4). Pengembangan perkebunan kelapa sawit di areal padang alang-alang dan semak akan meningkatkan simpanan karbon sebesar 98,5 ton karbon/ha, atau rata-rata 49,5 ton/ha. Tabel 4. Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Kelapa Sawit, 2010 Uraian (Rp/ha) Uraian Nilai kondisi saat ini Nilai seharusnya TBM-0 13,215,000 Harga TBS 1.200 1.200 TBM-1 6,493,250 Prod rata-2 12.500 20.045 TBM-2 5,321,250 NPV (Rp) 17.747.952 41.140.749 TBM-3 5,072,500 IRR (%) 19,08 24,73 Total Invts 30,102,000 B/C 1,2768 1,6486 NPV/tahun (Rp) 709.918 1.645.630 436

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat Sedangkan untuk pengembangan hutan tanaman industri dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp 13,25 juta/ha akan dihasilkan pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto 12,5 persen/tahun (NPV df=1 2,5%) sebesar Rp 1.915.907/ha atau Rp 239.488/ha/tahun, IRR=15,32 dan B/C =1,1244 yang berarti cukup layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis ini tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan oleh Martin (2008). Lebih lanjut, hutan tanaman industri tersebut mampu menyimpan karbon sebesar 32 ton/ha pada saat berumur 8 tahun (Heriansyah, 2005). Dengan demikian tanaman akasia akan meningkatkan serapan karbon sebesar 21,5 ton/ha dari kondisi padang alang-alang dan semak. Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa rehabilitasi semak dan padang alang-alang menjadi perkebunan karet, kelapa sawit, dan hutan tanaman industri mampu menghasilkan pendapatan bersih kini bagi pengelolanya dan meningkatkan serapan atau simpanan karbon di suatu wilayah. Dengan kondisi pengelolaan yang dilakukan petani saat ini, pendapatan bersih nilai kini tertinggi diperoleh petani perkebunan karet disusul kelapa sawit. Sementara itu pengelolaan hutan tanaman industri yang dilakukan oleh perusahaan PT Finnantara Intiga hanya mampu menghasilkan pendapatan bersih nilai kini relatif rendah. Oleh karena itu menanam tanaman hutan industri tidak menarik minat petani. Strategi Penurunan Emisi dan Peningkatan Simpanan Karbon Dengan memperhatikan kondisi pada saat ini dan kecenderungan perubahan penggunaan selama 20 tahun terakhir, diperkirakan kondisi hutan akan terus menyusut, padang alang-alang dan semak belukar, serta perladangan masih terus berkembang. Demikian pula halnya dengan perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit akan berkembang. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin menurunkan emisi dan meningkatkan simpanan karbon di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, maka perlu disusun langkah yang strategis, operasional, dan konsisten. Untuk itu, perlu disusun suatu perencanaan yang matang dan dilaksanakan secara konsisten. Perencanaan merupakan unsur penting dalam proses pencapaian sasaran. Secara garis besar, langkah-langkah dalam perencanaan dapat dibagi menjadi empat langkah dasar perencanaan yang dapat dipakai untuk semua kegiatan. Langkah-langkah tersebut meliputi penetapan sasaran, perumusan kondisi saat ini, mengidentifikasi faktor pendukung, dan penghambat pencapaian sasaran, dan menyusun langkah-langkah untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. Menetapkan Sasaran Kegiatan perencanaan dimulai dengan memutuskan apa yang ingin dicapai. Jika sasaran yang ingin dicapai adalah penurunan emisi dan peningkatan simpanan karbon sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya maka langkah yang cukup strategis adalah pengembangan perkebunan pada lahan terlantar yaitu padang alang-alang dan semak. Dengan mengikuti perkembangan areal perkebunan kelapa sawit dan karet selama 3 tahun terakhir masing-masing 437

Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu dengan laju 4,68 persen per tahun dan 3,71 persen per tahun maka 5 tahun ke depan perkebunan kelapa sawit dan karet akan bertambah masing-masing seluas 35.203 ha dan 18.444 ha. Perluasan areal perkebunan tersebut dapat meningkatkan serapan karbon dan memperluas kesempatan kerja serta akan meningkatkan pendapatan petani pada saat tanaman perkebunan menghasilkan. Merumuskan Posisi atau Kondisi pada Saat Ini Pemerintah sebagai pengambil kebijakan telah mengetahui bagaimana kondisi simpanan karbon pada saat ini dan sumber daya apa saja yang dimiliki/dikuasai oleh para pelaku kegiatan. Secara legal telah terdaftar sebanyak 31 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan ijin pemanfaatan lahan seluas 648.395 ha dan areal yang sudah ditanami kelapa sawit mencapai 150.450 ha. Kondisi ini menunjukkan masih luasnya cadangan lahan yang belum dimanfaatkan dan yang menjadi prioritas adalah lahan-lahan yang terlantar dengan penutupan tanaman rendah. Mengidentifikasi Faktor Faktor Pendukung dan Penghambat Menuju Sasaran Selanjutnya perlu diketahui faktor-faktor, baik internal maupun eksternal yang diperkirakan dapat membantu dan menghambat organisasi mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Faktor internal dalam pengertian masih dapat dikendalikan pengambil kebijakan menunjukkan bahwa kondisi perusahaan cukup memadai untuk melaksanakan kegiatan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit maupun hutan tanaman industri. Sementara pengembangan perkebunan karet rakyat menghadapi sedikit kendala karena pelaku perkebunan besar kurang tertarik mengembangkan usaha perkebunan karet. Untuk kegiatan pengembangan perkebunan karet perlu dukungan pemerintah. Menyusun Langkah-langkah untuk Mencapai Sasaran Langkah terakhir dalam kegiatan perencanaan adalah mengembangkan berbagai kemungkinan alternatif atau langkah yang diambil untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, mengevaluasi berbagai alternatif dan memilih alternatif mana yang dianggap paling baik, cocok, dan memuaskan. Pada periode 5 tahun pertama paling tidak areal semak dan padang alang-alang seluas 53.647 ha dapat ditanami kelapa sawit dan karet masing-masing seluas 35.203 ha kelapa sawit dan 18.444 ha karet Untuk merealisasi langkah-langkah operasional tersebut, para pelaku bisnis khususnya para investor dan petugas dinas terkait perlu melakukan kegiatan lokakarya penyusunan rencana tindakan pemanfaatan tata ruang wilayah Kabupaten Sanggau lima tahun dan sepuluh tahun ke depan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 438

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat 1. Petani Kabupaten Sanggau pada umumnya menguasai lahan cukup luas yaitu rata-rata 9,76 ha bervariasi dari 2,1 ha sampai dengan 59,75 ha. Namun yang diusahakan rata-rata hanya 6,62 ha atau 67,80 persen dari total lahan yang dikuasai petani. Sebagian besar lahan usaha digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan karet yaitu masing-masing 2,96 ha dan 2,88 ha, selebihnya untuk sawah 0,44 ha dan perladangan seluas 0,34 ha serta diistirahatkan 2,97 ha. 2. Pendapatan rata-rata petani sebesar Rp 39,76 juta/kk/tahun bervariasi antara Rp 12,9-126,78 juta. Pendapatan petani kelapa sawit rata-rata relatif tinggi yaitu Rp 44,56 juta/kk/tahun, sedangkan pendapatan rata-rata petani karet sebesar Rp 34,95 juta/kk/tahun. 3. Pemanfaatan lahan umumnya belum optimal dan kegiatan usaha tani dilakukan belum sepenuhnya mengikuti anjuran. Sekitar 32,20 persen lahan yang dikuasai petani diistirahatkan atau diberakan dan umumnya ditumbuhi semak belukar atau padang alang-alang. Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan antara lain budaya berladang, pola pikir subsisten, kesuburan tanah, ketersediaan bahan tanam, modal usaha, kehadiran investor, dan kebijakan pemerintah. 4. Rehabilitasi padang alang-alang dan semak belukar membutuhkan investasi sebesar Rp 30,03 juta/ha untuk karet, Rp 30,10 juta/ha untuk kelapa sawit dan Rp 13,25 juta/ha untuk HTI akacia mangium. Dengan dana investasi tersebut akan dihasilkan pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto 12,5 persen/ tahun (NPV df=1 2,5%) masing-masing sebesar Rp 21,96 juta/ha untuk karet, Rp 17,75 juta/ha untuk kelapa sawit dan Rp 1,92 juta/ha untuk akacia mangium, serta meningkatkan serapan karbon rata-rata masing-masing sebesar 57,5 ton/ha, 49,5 ton/ha dan 14,5 ton/ha. Kegiatan rehabilitasi tersebut layak untuk dilaksanakan. 5. Untuk menjamin kelancaran rehabilitasi kawasan padang alang-alang dan semak tersebut perlu disusun perencanaan yang matang mulai dari menentukan target atau sasaran yang ingin dicapai, identifikasi kondisi saat ini, identifikasi faktor penghambat dan faktor pendukung pencapaian sasaran, serta penyusunan langkah-langkah operasional. Penyusunan perencanaan tersebut seyogyanya dilakukan dengan melibatkan semua pihak terkait dalam suatu kegiatan Lokakarya. DAFTAR PUSTAKA Agus, F., Herman, Wahyunto, E. Runtunuwu, E. Susanti, W. Wahdini. 2010. Neraca Karbon pada Lahan Perkebunan Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Laporan Akhir Tahun 2010 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor. Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, H. Syahbuddin, I. Las, and M. van Noordwijk. 2009. Carbon Dioxide Emission in Land Use Transitions to Plantation. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 28(4):118-126. 439

Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu Agus, F., T. June, H. Syahbudin, E. Runtunuwu and E. Susanti. 2008. Field Scale Carbon Budget in Land Use Transition into Plantations in Indonesia. Laporan Tahunan Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Bogor. Arkanudin. 2009. Sistem Perladangan dan Kearifan Tradisional Orang Dayak dalam Mengelola Sumber Daya Hutan. Universitas Kapuas Sintang Universitas Kapuas Sintang. http://www.unka.ac.id/index.php?page=baca1&id=48 diakses 6 Mei 2009. Badan Planologi Kehutanan, 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau, 2009. Kabupaten Sanggau dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau. Sanggau. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2008. Kalimantan Barat dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Boer, R., Upik R., Wasrin, Perdinan, Hendri, B.D. Dasanto, W. Makundi, J. Hero, M. Ridwan dan N. Masripatin. 2006. Assessment Of Carbon Leakage In Multiple Carbon-Sink Projects: A Case Study In Jambi Province, Indonesia. http://ies.lbl.gov/iespubs/61463.pdf diakses tanggal 15 April 2011. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sanggau, 2009. Statistik Perkebunan Kabupaten Sanggau Menurut Kecamatan Tahun 2006-2009. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sanggau, Sanggau. Gray, C., P. Simanjuntak, L.K., Sabur dan P.F.L. Maspaitella, 1987. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia, Jakarta. 272p. Heriansyah, I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam Mensequester Karbon : Studi Kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus. Inovasi Online Vol.3/XVII/Maret 2005. http://io.ppijepang.org/article.php?id=66, diakses tanggal 15 April 2011. Kelompok Kerja Pemanasan Global, 2002. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. http:/www.ofm-jpic.org/globalwarming/pdf/indonesia.pdf diakses tanggal 15 April 2011. Kompas, 2009. Pemanasan Global: Pelepasan Karbon dari Lautan Bertambah. Kompas, 9 Desember 2010. http://www1.kompas.com/read/xml/2010/12/09/13070297/ pelepasan.karbon.dari.lautan.bertambah, diakses tanggal 20 April 2011. Martin, E. (2008). Evaluasi Kinerja Ekonomi Hutan Tanaman Industri Pulp Pola Kemitraan. Info Sosial Ekonomi Vol. 8 No. 2: 87 98. 440