R I S H E L L Y R I T O N G A P A D A M U E M B U N dan cerita-cerita lainnya Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com
Perbincangan Denganmu 2
Jarum pada jam yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan pukul enam petang. Dengan wajah memberengut, kulepaskan sepatu converse favoritku. Ttiga tahun berlalu semenjak ayah memberikannya sebagai hadiah ulang tahunku yang ke tujuhbelas sebelum ayah benar-benar pergi dari kehidupanku untuk selamanya. Ayah mengidap kanker paru-paru stadium empat hingga akhirnya ia menyerah dan tidak mampu lagi bertahan. Ayah seorang perokok berat. Sehari ia dapat menghabiskan tiga bungkus rokok sekaligus tanpa pernah memikirkan kesehatannya. Ayah meninggalkanku bersama ibu. Tetapi hanya selang beberapa bulan saja setelah itu, ibu juga ikut meninggalkanku. Ibu bersedih sepanjang hari, seakanakan matahari tak akan lagi bersinar. Ibu menangis di dalam kamar karena merindukan ayah. Lalu apa yang dapat kulakukan selain menghiburnya? Sebagai anak tunggal, aku bingung harus berbuat apa. Aku hanyalah seorang anak perempuan. Kukuatkan jiwa dan ragaku mengurus ibu meski perihku tak terelakkan lagi ketika Tuhan berkehendak 3
lain atas hidup ibu. Kesedihannya itu menyebabkan ibu tak bergairah melakukan apapun. Ibu jarang makan bahkan sedikit minum. Badannya semakin lemas dan menjadi kurus. Ibu jatuh sakit. Ia kekurangan gizi. Ibu seperti manusia egois. Ia tak memikirkanku. Dengan mudahnya ia menyerah tanpa melakukan perjuangan apapun. Ibu tak mau berobat. Ibu memilih berbaring di ranjangnya. Sampai aku menyadari bahwa ibu terlalu mencintai ayah. Tanganku meraih gagang pintu sebelum sesaat kuperhatikan rak sepatu. Kau sudah pulang rupanya. Biasanya kau masih di kantor dan aku akan berada di rumah sendirian, menunggumu hingga tertidur di sofa. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam, mencari-carimu di ruang tengah. Kau tak berada di sana. Dari dapur terdengar bunyi ketel air mendidih. Bergegas aku berlari tetapi kau juga tak terlihat di sana. Kumatikan kompor lalu menyeduh bubuk kopi yang telah tersedia di dalam cangkir. Sepertinya kau hendak membuat kopi. Memang telah menjadi kebiasaanmu sejak dulu, menyeduhnya dengan air mendidih. Padahal kau bisa mengambil air panas dari dispenser tanpa harus repot 4
memasak air lagi. Tapi kau selalu bilang rasa kopinya akan berbeda, tak senikmat bila diseduh langsung dengan air mendidih. Aroma kopi seketika menyeruak masuk hingga ke rongga dadaku. Hangat dan begitu menenangkan. Lantas kau berada dimana? Kuletakkan cangkir kopi di atas meja kemudian menarik keluar sebuah kursi dari kolong meja dan duduk di situ. Wajahku memberengut. Mungkin jika kau melihatnya, kau akan berkata aku lebih mirip jeruk purut ketimbang seorang gadis berusia 20 tahun yang cantik dan lugu. Ah, lama sekali kau muncul. Apakah sejak tadi kau belum berganti pakaian? Sepertinya kau tidak merasakan kehadiranku. Kesal. Kurebahkan kepalaku di atas meja, sambil memutar-mutar cangkir kopimu sesukaku tanpa jelas kemana arahnya. Terdengar derap langkah kaki datang mendekat. Itu pasti dirimu. Enggan kuangkat kepalaku menoleh padamu. Aku dapat mencium wangi parfummu ketika kau mulai mendekatiku. Aku menyukainya, wangi lembutmu yang selalu membuatku merasa nyaman 5
ketika sedang bersamamu. Aku merasakan tanganmu menyentuh lembut kepalaku. Mataku memejam sesaat, meresapi kepedulianmu yang sering tak mampu kau ungkapkan melalui kata-kata. Dapat kutebak, kau telah mengerti permasalahan yang kuhadapi kali ini. Kau melepaskan tanganmu dari kepalaku lalu duduk di hadapanku. Kau ikut-ikutan menidurkan kepalamu di atas meja. Mata sipitmu menatapku. Wajahmu yang bersih selalu mengingatkanku pada ayah. Setelah lama kuperhatikan, kau memang terlalu mirip dengan ayah, berhidung kecil dan mancung. Yang berbeda adalah dagumu, sedikit berbelah seperti kebanyakan aktor bollywood. Bibirmu tipis merona sebab kau bukanlah seorang perokok. Diam-diam aku menyembunyikan tawa. Wajahmu itu, memang terbilang unik tetapi aku mengaguminya. Mulutku masih mengatup, belum ingin berucap apapun meski kau telah memberi isyarat dengan kedua alismu, kau siap mendengarkan semua keluhanku. Aku mengangkat wajah lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kau mengikutiku. Tanganmu menarik cangkir kopi, mengangkatnya ke udara, kemudian 6
mengendusi wanginya. Ya, kopi buatanku selalu sesuai dengan seleramu, bukan? Kau menyesapnya perlahan. Seketika itu senyumanmu mengembang. Kau letakkan kembali cangkir itu dan menatapku lagi. Kau masih menungguku untuk menceritakan apa yang menjadi beban pikiranku. Aku mengeluarkan secarik kertas double folio dari dalam ranselku. Kuperlihatkan isinya kepadamu serta sebuah huruf besar yang menghiasi pojok kanan atas kertas itu. Aku dapat nilai D untuk mata kuliah Geografi Lanjutan. ucapku. Semangatku sirna tiap kali kulihat nilai itu. Pelupuk mataku mulai basah. Tidak! Aku tidak ingin menangis di depanmu. Sudah terlalu sering kau melihatku meneteskan airmata. Buru-buru kuusap air itu sebelum jatuh. Kau sudah berusaha, bukan? suara beratmu terdengar juga. Kepalaku mengangguk pelan. Tapi dosen itu tega sekali memberikan nilai gagal ini padaku. 7
Mungkin dia ingin melihatmu belajar lebih rajin lagi dan berusaha lebih keras lagi. Aku sedih sekali, Dev! kataku tak tahan lagi. Kudaratkan kepalaku pada dada bidangmu. Lenganmu mendekapku. Airmataku membasahi kaos oblong abuabumu. Aku ingat, kaos itu adalah pemberian ibu yang masih kau simpan sampai sekarang dan paling sering kau kenakan jika sedang berada di rumah. Sekarang kau mandi. Aku akan memasak makan malam. katamu. Kulepaskan tubuhku dari pelukanmu. Jemarimu mengusap airmataku. Entah mengapa, dirimu selalu berhasil menyejukkan hati dan perasaanku dengan setiap gerakanmu. Tak ada yang lebih menghanyutkan dari pada itu. Aku ingin makan capcay ayam. kataku manja seraya beranjak dari kursi. Baiklah, akan aku buatkan capcay ayam yang enak untukmu. jawabmu tersenyum. Habiskan kopimu. kataku kemudian berlalu dari hadapanmu sambil membawa kertas double folio 8