BAB 2 TEORI PERDAGANGAN INTERASIONAL DAN APLIKASINYA

dokumen-dokumen yang mirip
IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

BAB 5 ANALISA MODEL PERSAMAAN REKURSIF FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN EKSPOR CPO INDONESIA

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. keberlangsungan suatu negara dan diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA. selama tahun tersebut hanya ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komoditas penting yang diperdagangkan secara luas di dunia. Selama

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

1.1 Latar Belakang Masalah

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN DESEMBER 2016

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN JANUARI 2017

BAB I PENDAHULUAN. berlebih, yang bisa mendatangkan suatu devisa maka barang dan jasa akan di ekspor

BAB I PENDAHULUAN. Minyak goreng sawit adalah salah satu jenis minyak makan yang berasal dari

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Gambar 1 Produksi dan ekspor CPO tahun 2011 (Malaysian Palm Oil Board (MPOB))

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

PROSPEK TANAMAN PANGAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Terjalinnya hubungan antara negara satu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN JANUARI 2016

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

Sumber (diolah dari) ; 1. Bank Indonesia, Sipuk-Siabe (2003). 2. Departermen Perindustrian, (2007).

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN MEI 2017

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN FEBRUARI 2016

Kondisi Perekonomian Indonesia

RINGKASAN LAPORAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN BULAN JULI 2011

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN MARET 2017

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN MEI 2016

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen beberapa komoditi. primer seperti produk pertanian, perkebunan, dan perikanan serta

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan memegang peranan penting dalam meningkatkan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Transkripsi:

BAB 2 TEORI PERDAGANGAN INTERASIONAL DAN APLIKASINYA 2.1. Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah pertukaran barang dan jasa maupun faktor-faktor lain yang melewati perbatasan suatu negara, dan memberikan dampak terhadap perekonomian domestik maupun global 8. Dalam melakukan perdagangan internasional, suatu negara memiliki dua alasan: pertama, tiap negara memiliki keunggulan yang berbeda dalam menghasilkan suatu barang atau jasa. Karenanya, akan lebih menguntungkan apabila masing-masing negara berspesialisasi pada keunggulannya yang secara relatif adalah lebih baik dibandingkan negara lain. Kedua, melalui perdagangan maka mereka dapat mencapai skala ekonomi dalam berproduksi. Apabila setiap negara memproduksi barang dalam jumlah yang lebih besar (tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan domestiknya, tetapi juga untuk diperdagangkan ke luar negeri) maka biaya yang dikeluarkan dalam berproduksi pun akan relatif lebih rendah. Dengan perdagangan itu pula, akan lebih efisien bagi suatu negara dibandingkan jika harus memproduksi semua barang sendiri. Berangkat dari teori ini, perdagangan komoditas CPO Indonesia di pasar dunia pun dilatarbelakangi oleh keunggulan yang dimiliki Indonesia dalam menghasilkan produk minyak kelapa sawit. Produksi yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga hasil produksi selebihnya dapat diperdagangkan. Untuk itu, studi ini merasa perlu melihat sejauh mana faktor-faktor di dalam perdagangan mempengaruhi besarnya ekspor CPO di Indonesia. 8 James R. Markusen, et al. International Trade, Theory and Evidence. New York: McGraw Hill, 1995. 8

2.2. Kebijakan Pergadangan Internasional: Pajak Ekspor Pajak ekspor, atau yang di Indonesia dikenal sebagai pungutan ekspor, merupakan pungutan yang dibebankan terhadap barang ekspor. Jenis tarif yang ditetapkan pada pajak ekspor terbagi menjadi tiga, yaitu: 1. Ad valorem tariff, persentase tarif yang ditetapkan atas nilai komoditas yang diperdagangkan. 2. Spesific tariff, jumlah tarif yang ditetapkan atas setiap unit komoditas yang diperdagangkan. 3. Compound tariff, kombinasi antara ad valorem dan spesific tariff. (Salvatore, 2007: 248) Bagi negara-negara maju dan industrial, kebijakan pajak ekspor jarang diterapkan. Amerika Serikat, misalnya, yang tidak lagi memperbolehkan penerapan pajak ekspor sejak adanya US Constitution. Akan tetapi, di negara-negara berkembang yang berorientasi ekspor pada komoditas primer atau agrikultur kebijakan ini masih biasa diterapkan. Brazil, misalnya, yang pada tahun 1996 menerapkan tarif pajak ekspor hingga 40 persen pada komoditas gulanya. Ada pula Madagaskar yang memberlakukan pajak pada ekspor vanila, kopi, merica dan cengkeh, Rusia pada ekspor minyak buminya, dan juga Indonesia pada ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya 9. Pada dasarnya, penerapan pajak ekspor pada suatu komoditas bertujuan untuk menjamin kecukupan pasokan dan stabilitas harga komoditas tersebut di pasar domestik. Hal ini dapat digambarkan pada analisa grafis berikut. 9 International Trade Theory and Policy Chapter 10-4: Export Taxes. http://www.internationalecon.com 9

Gambar 2.1 Dampak Penerapan Pajak Ekspor pada Negara Eksportir dan Negara Importir Negara Pengimpor Negara Pengekspor Pada kondisi perdagangan bebas atau sebelum ada penerapan pajak ekspor, tingkat harga di pasar dunia adalah sebesar P FT, sedangkan jumlah ekspor dan impor komoditas adalah sebesar selisih penawaran dan permintaan pada masing-masing negara, atau yang digambarkan dengan garis biru pada grafik di bawah ini. Akan tetapi, di saat terjadi kelangkaan pasokan komoditas atau harga komoditas yang begitu tinggi di pasar domestik, pemerintah negara eksportir kemudian menerapkan kebijakan pajak ekspor. Tingginya pungutan menyebabkan produsen dan eksportir enggan mengekspor komoditas dalam jumlah besar dan lebih memilih untuk mengalokasikan komoditas ini ke pasar domestik. Akibatnya, pasokan di dalam negeri pun menjadi meningkat dan harga domestik mengalami penurunan hingga tingkat harga P EX, T. Karena negara tersebut merupakan negara eksportir besar, maka penurunan jumlah ekspor komoditas tersebut memberi dampak pada menurunnya pasokan di pasar dunia, yang pada akhirnya akan menyebabkan harga di pasar dunia meningkat hingga mencapai tingkat harga P IM, T. 10

Akibatnya, negara pengimpor pun mengalami kenaikan harga sesuai pergerakan harga di pasar dunia. Besar pajak ekspor yang diterima negara eksportir itu sendiri adalah sebesar selisih P IM, T P EX, T 10. Indonesia sendiri menetapkan pungutan ekspor terhadap komoditas CPO dan turunannya dengan tujuan melindungi pasar domestiknya. Sebab, CPO merupakan bahan baku bagi minyak goreng, komoditas yang menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Kebijakan ini tentunya akan menjadi restriksi bagi ekspor CPO Indonesia. Karena itu, perlu dianalisa lebih jauh apakah penetapan pungutan ekspor ini akan berdampak negatif dan signifikan bagi perubahan ekspor CPO Indonesia. 2.3. Teori Permintaan: Barang Substitusi Di dalam hukum permintaan dijelaskan bahwa dengan mengasumsikan faktor lainnya tetap, kuantitas suatu barang yang diminta akan meningkat apabila harga barang tersebut menurun, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini digambarkan oleh kurva D pada grafik berikut, di mana saat harga barang berada pada tingkat harga P 1, kuantitas permintaan di pasar adalah sebersar Q 1, tetapi di saat terjadi penurunan harga (menjadi P 2 ) maka kuatitas permintaan barang tersebut meningkat menjadi Q 2. Berangkat dari hukum permintaan ini, dapat diartikan bahwa jumlah permintaan akan komoditas CPO di pasar dunia juga dipengaruhi oleh harga CPO itu sendiri; di mana jumlah permintaan akan meningkat seiring menurunnya harga CPO di pasar dunia. Dalam hal ini, ekspor CPO Indonesia menjadi proksi permintaan akan CPO dunia kepada Indonesia, sehingga tentu saja faktor harga turut menjadi faktor penentu besar-kecilnya ekspor CPO Indonesia. 10 International Trade Theory and Policy - Chapter 90-23: Welfare Effects of an Export Tax: Large Country. http://www.internationalecon.com 11

Gambar 2.2 Kurva Permintaan Harga P 1 P 2 D' Kuantitas Q 1 Q 2 Q 2 Di lain pihak, kuantitas permintaan suatu barang tidak saja di pengaruhi oleh harga barang itu sendiri. Perubahan harga barang lain yang berfungsi atau memiliki kegunaan yang sama juga turut berpengaruh. Barang tersebut dikatakan sebagai barang substitusi, di mana kedudukan keduanya dapat saling menggantikan. Sehingga, kenaikan harga barang substitusi akan berdampak pada peningkatan kuantitas permintaan barang lain yang memiliki kegunaan yang sama 11. Pada grafik di atas, kenaikan kuantitas permintaan ini digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan menjadi D', dan kuantitas yang mencapai Q 3. Di pasar internasional, keberadaan CPO sebagai sumber minyak nabati berkaitan erat dengan substitusinya yaitu minyak kedelai (soybean oil) dan juga minyak biji bunga matahari (sunflowerseed oil). Karenanya, fluktuasi harga pada salah satu komoditas ini tentu akan sangat berpengaruh pada harga komoditas substitusi. Padahal di sisi lain, 11 Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld. Microeconomics, 5 th Ed (2000): 22. 12

perubahan harga di suatu komoditas akan berpengaruh pada jumlah permintaannya. Untuk itu, perlu dilakukan pembuktian mengenai seberapa besar elastisitas yang ditimbulkan akibat perubahan harga komoditas substitusi ini terhadap harga CPO di pasar dunia, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi ekspor CPO di Indonesia. 2.4. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai faktor determinan perdagangan minyak nabati sebelumnya pernah dilakukan oleh Lordkipanidze, Epperson, dan Ames (1996). Penelitian tersebut berfokus pada impor minyak kanola (rapeseed oil) di Amerika Serikat. Dijelaskan bahwa jumlah permintaan akan impor minyak Canola di Amerika Serikat ditentukan tidak saja oleh faktor ekonomis, tetapi juga faktor nonekonomis. Faktor-faktor tersebut adalah harga impor minyak kanola itu sendiri, harga minyak nabati lain yang menjadi substitusinya, pendapatan bersih, nilai tukar dolar Kanada-Amerika Serikat, lagged imports, faktor tren, dan musim 12. Analisa lain mengenai pengaruh komoditas substitusi di pasar minyak nabati juga pernah dilakukan sebelumnya. Drajat., et al (1995) dalam analisa situasi pasarnya mengemukakan bahwa di pasar internasional khususnya negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang, minyak kelapa sawit Indonesia bersaing dengan produk sejenis atau komoditas substitusinya yang diproduksi oleh negara-negara pesaing 13. Di sisi lain, Wahyudi., et al (2001) juga mengemukakan bahwa minyak kelapa sawit memiliki peluang ekspor yang semakin meningkat dibandingkan komoditas substitusinya maupun tanaman perkebunan lain. Meskipun demikian, peluang tersebut masih sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga di pasar internasional. 12 Nazibrola Lordkipanidze, James E. Epperson and Glenn C.W. Ames. An Economic Ananlysis of Import Demand for Canola Oil in the United States (February 1996): 9-10. 13 Bambang Drajat, et al. Pengkajian Pengembangan Agribisnis Perkebunan: Upaya Pengembangan Pasar Produk Agroindustri Perkebunan (Komoditas Kelapa Sawit) (1995): VII-1 V11-3. 13

TREDA, CSIS dan LPEM FEUI (2005) pernah melakukan penelitian yang serupa mengenai faktor determinan. Akan tetapi, di dalam pembahasannya dijelaskan bahwa daya saing ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal yang berbeda, seperti tingginya biaya produksi, kurangnya investasi, ketersediaan infrastruktur penunjang perdagangan yang sangat minim dan juga kemampuan promosi yang masih lemah dibandingkan negara pesaing lainnya 14. Di sisi lain, Larson (1996) melakukan penelitian mengenai subsektor minyak kelapa sawit Indonesia. Peningkatan harga minyak goreng (cooking oil) di tahun 1994-1995 berdampak pada penetapan pajak ekspor atas CPO. Menurutnya, kebijakan pajak ekspor yang diterapkan di Indonesia saat itu memang efektif untuk menurunkan harga di dalam negeri. Akan tetapi, kebijakan ini ternyata berdampak negatif terhadap transfer pendapatan para petani sawit di Indonesia dan juga keseimbangan di pasar dunia. Untuk itu, Larson merekomendasikan agar dilakukan pencabutan pajak ekspor, sehingga kebijakan dapat lebih disesuaikan dalam merespon harga di pasar intenasional 15. Mengacu dari beberapa penelitian tersebut dan teori lainnya, maka dilakukanlah studi penelitian dengan tujuan menganalisa faktor-faktor determinan ekspor CPO di Indonesia, seperti tingkat harga CPO di pasar dunia, nilai tukar, dan juga penerapan pungutan ekspor. Di samping itu, diperhitungkan pula pengaruh harga dari komoditas substitusi CPO seperti minyak kedelai (soybean oil), minyak biji bunga matahari (sunflowerseed oil), dan minyak bumi, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap ekspor CPO Indoensia. 14 TREDA Ministry of Trade RI, CSIS, LPEM FEUI. Value Upgrading of Indonesian Palm Oil (2005): 2. 15 Donald F. Larson. Indonesia s Palm Oil Subsector (September 1996): 1. 14

BAB 3 PERKEMBANGAN FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN EKSPOR CPO INDONESIA 3.1. Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO Indonesia 3.1.1. Produksi CPO Indonesia Di pasar dunia, Indonesia merupakan produsen sekaligus eksportir CPO terbesar kedua setelah Malaysia. Pada tahun 2006, produksi CPO keduanya mencakup 86% total produksi dunia. Antara tahun 2001-2006, produksi CPO Indonesia sendiri selalu mengalami kenaikan. Rata-rata pertumbuhan produksi CPO Indonesia adalah sebesar 13.9%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan Malaysia yang hanya mencapai 6.6% per tahun. Tingkat pertumbuhan ini menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi untuk terus meningkatkan produksi CPOnya dan menjadi produsen terbesar di dunia. Tabel 3.1 Perbandingan Produksi CPO Indonesia dan Malaysia, Tahun 2001-2006 (dalam ribu ton) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Indonesia 7.775 9.060 10.370 11.970 13.450 14.980 (%) 32,7% 36,2% 37.4% 40,1% 40,4% 42,6% Malaysia 11.940 11.856 13.180 13.418 15.195 15.260 (%) 50,2% 47,4% 47,5% 44,9% 45,6% 43,4% Dunia 23.773 25.021 27.752 29.877 33.328 35.160 Sumber: Oil World Annual 2005-2006 Tak dapat dielakkan bahwa faktor iklim dan kondisi tanah menjadi salah satu faktor penentu produktifitas perkebunan kelapa sawit. Dengan iklim tropis yang dimilikinya, 15

kedua negara ini memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan negara produsen lain sebab iklim inilah yang paling cocok untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Di lain pihak, Indonesia memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan pesaing utamanya, Malaysia. Ketersediaan lahan yang luas dan jumlah tenaga kerja yang banyak, merupakan potensi yang dapat digunakan untuk lebih mengoptimalkan produksi CPO. Tabel 3.2 Produksi CPO dan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 2001-2005 Tahun Produksi (ton) Luas Areal (Ha) 2001 8.396.472 4.713.435 2002 9.622.345 5.067.058 2003 10.440.834 5.283.557 2004 10.830.389 5.284.723 2005 11.861.615 5.453.817 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI Pertambahan produksi CPO di Indonesia berjalan seiring dengan pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit. Hingga tahun 2005, penggunaan lahan terus meningkat hingga mencapai 5.453.817 Ha. Adapun daerah persebaran perkebunan ini berada di sebagian besar pulau Sumatra (4.266.721 Ha), dengan provinsi Sumatra Utara (910.188 Ha) dan Riau (1.457.599 Ha) sebagai daerah dengan luas areal perkebunan terbesar, provinsi Jawa Barat (6.251 Ha) dan Banten (19.137 Ha), sebagian wilayah Kalimantan (1.081.620 Ha), Sulawesi (153.818 Ha), dan Papua (80.949 Ha) 16. Meningkatnya luar areal perkebunan ini disebabkan oleh makin banyaknya pelaku usaha dalam perkebunan kelapa sawit. Meski diperoleh dalam jangka panjang, namun return yang besar dari usaha perkebunan ini merupakan salah satu faktor daya tarik bagi pengusaha ataupun investor untuk menanamkan modalnya dalam usaha ini. Akibatnya, perluasan lahan ataupun nilai investasi di tahun-tahun tersebut semakin meningkat 16 Teguh Wahyono, M. Akmal Agustira, dan Ratnawati NurkSumberhoiry. Profil Kelapa Sawit Indonesia 2005: hal 13. 16

dibandingkan beberapa tahun atau dekade sebelumnya. Di mana, memasuki tahun 2000-an terbukti bahwa terjadi peningkatan yang sangat signifikan atas kepemilikian lahan perusahaan swasta dan inti rakyat. Gambar 3.1 Produksi CPO Indonesia (Ton) berdasarkan Kepemilikan Usaha, Tahun 1990 376950 16% 788506 33% 1247156 51% Smallholders Government Private Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI Gambar 3.2 Produksi CPO Indonesia (Ton) berdasarkan Kepemilikan Usaha, Tahun 2000 1905653 27% 3633901 52% 1460954 21% Smallholders Government Private Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI 17

3.1.2. Konsumsi CPO Indonesia CPO yang diproduksi Indonesia pada awalnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor saja. Akan tetapi seiring dimulainya pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit di tahun 1974, konsumsi dalam negeri mulai meningkat. Awalnya konsumsi ini digunakan untuk mensubstitusi minyak kelapa yang supplainya tidak mencukupi kebutuhan bahan baku minyak goreng. Namun pesatnya perkembangan produksi CPO Indonesia, harga yang lebih murah, dan kualitas CPO yang lebih baik, justru menggeser penggunaan minyak kelapa sebagai bahan baku utama pembuat minyak goreng. Bahkan di tahun 2005, konsumsi minyak kelapa sawit mencapai 85% (sekitar 3.547 ribu Ton) dari total konsumsi minyak dan lemak di pasar dalam negeri 17. Gambar 3.3 Penggunaan CPO pada Industri Makanan Sumber: Profil Kelapa Sawit Indonesia, hal. 4. 17 Sumber: Oil World Monthly 2005 dalam Profil Kelapa Sawit Indonesia 2005, hal: 16. 18

Selain digunakan sebagai bahan baku utama minyak goreng, CPO juga digunakan dalam pembuatan margarin atau produk turunan lainnya yang banyak digunakan untuk bahan baku industri makanan, seperti Olein, RDB Palm Oil, dan Stearin, dan juga produk turunan yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan kosmetik ataupun industri kimia dan farmasi, seperti asam lemak dan Gliserin. Gambar 3.4 Penggunaan CPO pada Oleokimia Sumber: Profil Kelapa Sawit Indonesia, hal. 5. 3.1.3. Ekspor CPO Indonesia Produksi CPO Indonesia yang begitu tinggi tidak sepenuhnya dapat terserap oleh pasar domestik meskipun jumlah konsumsi terus mengalami peningkatan. Untuk itu, kelebihan jumlah produksi ini diekspor ke pasar dunia. Antara tahun 2001-2006, rata-rata proporsi ekspor CPO terhadap total produksi Indonesia mencapai 69.5%, di mana nilai proporsi tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar 75.4% dari total produksi. Hal ini 19

menunjukkan lonjakan yang sangat tajam mengingat di tahun 1990 produksi CPO sebagian besar masih digunakan untuk konsumsi dalam negeri dan proporsi ekspor hanya sebesar 34% 18. Namun perubahan mulai terjadi setelah memasuki tahun 1999, di mana nilai proporsi itu mulai meningkat hingga melebihi 50%. Tabel 3.3 Proporsi Ekspor dan Konsumsi CPO Indonesia terhadap Total Produksi, 2001-2006 (ribu ton) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Produksi (000 Ton) 7.775 9.060 10.370 11.970 13.450 14.980 Ekspor 4.617 6.094 7.167 8.706 9.862 11.300 (persentase) 59,4% 67,3% 69,1% 72,7% 73,3% 75,4% Konsumsi 3.159 2.966 3.203 3.264 3.588 3.680 (persentase) 40,6% 32,7% 30,9% 27,3% 26,7% 24,6% Sumber: Oil World Annual 2005-2006 Meskipun mengalami peningkatan, pertumbuhan ekspor CPO Indonesia sangat fluktuatif baik dalam satuan nilai ataupun volume ekspor. Hal ini disebabkan karena permintaan CPO di pasar dunia pun berubah-ubah seiring terjadinya perubahan permintaan pada beberapa minyak nabati lain yang menjadi substitusi utama CPO, seperti minyak kedelai, minyak kanola dan minyak biji bunga matahari. Di samping itu, perubahan harga pada minyak bumi pun diperkirakan turuta berpengaruh. Sebab, beberapa negara importir CPO terbesar menggunakan CPO sebagai bahan baku bagi bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi. 18 Teguh Wahyono, M. Akmal Agustira, dan Ratnawati Nurkhoiry. Profil Kelapa Sawit Indonesia 2005: hal 19. 20

Gambar 3.5 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Volume (Kg), Nilai (Rp) 900,000,000 800,000,000 700,000,000 600,000,000 500,000,000 400,000,000 300,000,000 200,000,000 100,000,000 - Jan-01 Apr-01 Jul-01 Oct-01 Jan-02 Apr-02 Jul-02 Oct-02 Jan-03 Volume Ekspor CPO Apr-03 Jul-03 Oct-03 Jan-04 Apr-04 Jul-04 Oct-04 Jan-05 Sumber: Badan Pusat Statistik Nilai Ekspor CPO Apr-05 Jul-05 Oct-05 Jan-06 Apr-06 Jul-06 Oct-06 Bulan Adapun negara-negara tujuan utama ekspor CPO Indonesia adalah India, Belanda, Singapura, Malaysia dan Cina. India merupakan importir CPO terbesar Indonesia dengan nilai mencapai US$ 738.263.037 pada tahun 2006, atau sebesar 37% total nilai ekspor CPO Indonesia. Sedangkan pertumbuhan terbesar pada impor CPO dari Indonesia terjadi pada negara Cina, di mana di 2006 ia mengalami pertumbuhan sebesar 516.86% dari tahun sebelumnya. Di lain pihak, meskipun merupakan penghasil CPO terbesar di dunia, Malaysia tetap mengimpor CPO dari Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan industri hilir dalam negerinya. Hanya saja besar impor CPOnya sangat berfluktuasi. Di samping Belanda, beberapa negara Eropa lain seperti Jerman, juga melakukan impor CPO dari Indonesia. Pertumbuhan ekspor CPO Indonesia dipandang sudah cukup baik. Hanya saja, untuk dapat bersaing di pasar dunia dan menjadi produsen sekaligus eksportir CPO terbesar diperlukan upaya yang cukup berat mengingat masih banyak kendala yang harus dihadapi, baik itu kendala ekonomis maupun non-ekonomis. Sejumlah pengusaha kelapa sawit baik 21

yang bergerak dalam bisnis pengolahan maupun usaha ekspor mengeluhkan beberapa kendala, mulai dari kondisi perkebunan kelapa sawit itu sendiri, penerapan pajak ekspor oleh pemerintah, keterbatasan akan modal usaha, hingga masalah rumitnya birokrasi dalam hal perizinan usaha. Kapasitas produksi kelapa sawit di Indonesia dinilai belum cukup maksimal. Hal ini diperkirakan terjadi karena banyaknya kondisi perkebunan yang telah melampaui usia produktif dan minimnya perolehan bibit unggul dan pupuk. Akan tetapi hal ini dapat diatasi apabila para pengusaha melakukan investasi yang lebih besar dalam upaya peremajaan dan perluasan lahan, dan juga penyediaan bibit unggul dan pupuk yang selama ini dibutuhkan. Di sisi lain, sedikitnya penyaluran kredit di bidang pertanian, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit ini pun turut mempengaruhi besarnya ekspor CPO. Di tahun 2005 saja, rata-rata jumlah kredit pertanian hanya sebesar 5.94% dari total kredit nasional. Itu berarti, ketersediaan modal kerja untuk jangka panjang sangatlah terbatas. Sedikit sulit bagi pengusaha kelapa sawit untuk dapat meningkatkan kapasitas produksinya, hingga pada akhirnya jumlah ekspor pun bisa menurun. Hambatan lain yang dihadapi oleh pengusaha maupun eksportir adalah rumitnya birokrasi, khususnya menyangkut hal perizinan usaha atau proses ekspor. Tidak sedikit terjadi pungutan retribusi yang dilakukan oleh petugas terkait, yang pada akhirnya akan menambah biaya dan mengakibatkan harga kelapa sawit Indonesia kurang kompetitif. Di sisi lain, isu lingkungan atau eco-labelling pun turut menjadi penghambat bagi peningkatan ekspor CPO Indonesia. Beberapa negara maju seperti negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat saat ini menjadi sangat selektif dalam mengimpor komoditas ini. Mereka tidak menginginkan terjadinya perusakan hutan yang kemudian dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. 22

Ekspor CPO juga mengalami beberapa hambatan di pasar internasional, seperti hambatan tarif yang masih cukup tinggi di beberapa negara importir seperti India. Hingga tahun 2006, India menerapkan bea masuk terhadap komoditas CPO sebesar 67.6%. Sedangkan Pakistan dan Cina, masing-masing menerapkan bea masuk terhadap CPO sebesar 60% dan 9%. 3.2. Kebijakan Pungutan Ekspor CPO Indonesia Kebijakan pungutan ekspor yang ditetapkan atas komoditas CPO dan turunannya dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri minyak goreng dan menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Hal ini dilakukan mengingat minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, sehingga pemerintah merasa perlu melakukan kebijakan terkait dengan kestabilan supplai dan harga di dalam negeri. Penetapan pungutan ekspor terhadap CPO terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Akan tetapi semua perubahan ini terjadi seiring dengan perubahan harga CPO di pasar dunia. Pada tahun 1979, misalnya, pemerintah sempat menerapkan pajak ekspor yang sangat tinggi atau dengan melarang adanya ekspor CPO. Begitu pula di tahun 1984, pajak ekspor sempat mencapai 37.18% akibat harga CPO di pasar dunia begitu tinggi. Akan tetapi, rendahnya harga di pertengahan 1986 menyebabkan dilakukannya deregulasi dengan menerapkan pajak ekspor sebesar nol persen. Deregulasi juga dilakukan di tahun 1997 dengan tujuan peningkatan potensi ekspor Indonesia dalam menghadapi pasar global. Hal ini terus berlanjut hingga memasuki tahun 2000. Bahkan untuk 23

mendorong pertumbuhan ekspor, besaran tarif pajak ekspor terus mengalami perubahan seperti yang tertera pada tabel berikut 19. Tabel 3.4 Penetapan Tarif Pajak Ekspor CPO Tahun Tarif Pajak Ekspor 1999 40% 2000 5% 2001 3% 2004 1% 2005 3% Sumber: Keputusan Menteri Keuangan RI Memasuki tahun 2005, besar pajak ekspor ditentukan berdasarkan harga pungutan ekspor (HPE). Adapun nilai pajak ekspor atau yang saat ini disebut sebagai pungutan ekspor CPO, diperoleh dari perhitungan tersendiri yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI, di mana: Pungutan Ekspor (PE) = Tarif Pungutan Ekspor χ Harga Patokan Ekspor (HPE) χ Jumlah Satuan Barang χ Kurs. HPE ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang ditunjuk dalam hal ini Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, dengan berpedoman pada harga rata-rata internasional dan atau harga rata-rata FOB di beberapa pelabuhan di Indonesia dalam satu bulan sebelum penetapan HPE 20. Sedangkan kurs yang 19 Bambang P. S. Brodjonegoro. Politik Ekonomi: Antara Liberalisasi vs Proteksi pada Pengembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia, Prediksi dan Rekomendasi: Revitalisasi Industri Kelapa Sawit sebagai Andalan Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2010-2020, hal 98. 20 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 35/M-DAG/PER/8/2007, pasal 1 dan 2. 24

digunakan untuk menghitung nilai pungutan ekspor adalah kurs pajak ekspor yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan dan diperbaharui setiap minggunya. Adapun tarif pungutan ekspor yang dikenakan pada komoditas CPO dan turunannya tergolong dalam bentuk ad valorem tariff. Besar tarif ini ditentukan oleh menteri keuangan yang disesuaikan dengan harga rata-rata CPO di pasar dunia (CIF Rotterdam) satu bulan sebelum penetapan HPE 21, di mana pada saat harga di pasar dunia mengalami peningkatan, maka tarif ekspor CPO pun meningkat dengan klasifikasi tertentu. Saat studi penelitian ini dilakukan, tarif pungutan ekspor diterapkan dengan klasifikasi sebagai berikut: Tabel 3.5 Ketentuan Pengenaan Tarif Pungutan Ekspor CPO Harga CPO di Pasar Dunia (per ton) Tarif Pungutan Ekspor US$ 550 > price CPO 0.0% US$ 550 price CPO < US$ 650 2.5% US$ 650 price CPO < US$ 750 5.0% US$ 750 price CPO < US$ 850 7.5% US$ 850 price CPO 10.0% Sumber: Peraturan Menteri Keuangan No. 94/PMK.011/2007 Dampak penerapan pungutan ekspor CPO di Indonesia tidak saja dirasakan oleh para eksportir, tetapi juga oleh para petani sawit. Kenaikan beban ini akan menurunkan daya saing ekspor CPO Indonesia di pasar dunia. Agar tetap dapat bersaing dengan harga yang kompetitif, produsen meminimisasi biaya dengan menekan harga beli tandan buah segar dari para petani sawit. Karena itulah, pungutan ekspor ini justru lebih memberatkan para petani dibandingkan produsen ataupun eksportir CPO itu sendiri. 21 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 35/M-DAG/PER/8/2007, pasal 3 ayat (1). 25

3.3. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat Selepas tahun 2001 hingga 2006, nilai tukar antara rupiah dan dolar Amerika Serikat sesungguhnya tidak mengalami fluktuasi yang cukup berarti. Hanya saja di kuartal pertama tahun 2001 sempat terjadi depresiasi rupiah, di mana pada bulan April nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai Rp 11.675 per US$ dari nilai Rp 9.450 per US$ di awal tahun. Fluktuasi ini terus terjadi sepanjang tahun 2001. Hal ini disebabkan oleh dampak krisis ekonomi tahun 1998 yang belum sepenuhnya dapat teratasi, seperti masalah restrukturisasi utang yang belum tuntas, dampak otonomi daerah, serta tekanan suku bunga yang memiliki pengaruh sangat besar bagi APBN. Dari sisi eksternal, ancaman Bank Dunia untuk menghentikan pinjaman baru kepada Indonesia telah mengakibatkan sentimen negatif di pasar valuta asing. Gambar 3.6 Perbandingan Volume Ekspor dan Kurs Rupiah per US Dollar Tahun 2001-2006 Ekspor Volume (Kg) 900,000,000 800,000,000 700,000,000 600,000,000 500,000,000 400,000,000 300,000,000 200,000,000 100,000,000 Kurs Rupiah/US$ 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000-0 Jan 01 Apr 01 Jul 01 Oct 01 Jan 02 Apr 02 Jul 02 Oct 02 Jan 03 Apr 03 Jul 03 Oct 03 Jan 04 Apr 04 Jul 04 Oct 04 Jan 05 Apr 05 Jul 05 Oct 05 Jan 06 Apr 06 Jul 06 Oct 06 Bulan Export_Vol KURS Sumber: Bank Indonesia dalam www.bi.go.id; Badan Pusat Statistik Setelah tahun 2001, nilai tukar rupiah berfluktuasi dalam nilai yang dikatakan normal. Meskipun demikian, fluktuasi tersebut menunjukan tren yang terus meningkat, 26

yang berarti nilai rupiah cenderung melemah terhadap dolar. Dalam hal ekspor, kondisi ini tentunya mengutungkan. Sebab, di saat mata uang suatu negara bernilai rendah terhadap mata uang lain, berarti harga barang-barang negara tersebut relatif lebih murah. Sehingga, permintaan pasar dunia terhadap barang-barang yang dihasilkan negara itu pun meningkat (ekspor negara itu meningkat). Dari grafik perbandingan ekspor dan nilai tukar di atas, kita dapat melihat bahwa secara garis besar hubungan antara nilai tukar rupiah-dolar Amerika Serikat dengan volume ekspor CPO Indonesia pun menunjukkan hubungan serupa. Saat rupiah mengalami tren depresiasi (nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat meningkat), volume ekspor CPO pun mengalami tren peningkatan. Hal itu terlihat dari pergerakan kedua variabel ini yang sejajar. 3.4. Harga Minyak Bumi Gambar 3.7 US$/barrel Harga Minyak Bumi di Pasar Dunia 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 - Jan-01 May-01 Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Bulan Sumber: International Monetary Fund, www.imf.org/external/np/res/commod/index.asp 27

Sepanjang tahun 2001 hingga 2006, harga minyak bumi di pasar dunia menunjukkan tren peningkatan. Slope kenaikan harga yang cukup tajam terjadi saat memasuki tahun 2004. Bahkan, hingga saat studi penelitian ini dibuat, harga minyak bumi di pasar dunia pun masih terus mengalami peningkatan. Kondisi tersebut dipicu oleh jumlah permintaan yang cukup besar di pasar dunia, sedangkan kuantitas yang ditawarkan tidak cukup besar dan berfluktuasi. Harga minyak bumi yang terus melonjak tentunya berdampak pada perubahan kuantitas ataupun harga komoditas substitusi minyak bumi. Dalam hal ini, perdagangan komoditas minyak kelapa sawit yang menjadi salah satu sumber energi alternatif diperkirakan turut terpengaruh. 3.5. Perkembangan Pasar Minyak dan Lemak Dunia Kebutuhan minyak dan lemak di pasar dunia terpenuhi oleh 13 sumber minyak nabati yang terdiri dari minyak kedelai (soybean oil), minyak biji bunga matahari (sunflowerseed oil), minyak biji kapas (cottonseed oil), minyak kanola (rapeseed oil), minyak kacang tanah (groundnut oil), minyak kelapa sawit (palm oil), minyak inti sawit (palm kernel oil), minyak wijen (sesameseed oil), minyak kelapa (coconut oil), minyak biji jarak (castorseed oil), minyak jagung (corn oil), minyak zaitun (olive oil), dan minyak biji rami (linseed oil); dan 4 sumber minyak dan lemak hewani, seperti minyak ikan (fish oil), mentega (butter), tallow, dan lemak babi (lard). Dengan karakteristik dan struktur kimia yang hampir serupa, minyak-minyak nabati tersebut memiliki kegunaan yang sama di berbagai industri, baik industri pangan ataupun nonpangan. Sifat substitusi inilah yang menyebabkan jumlah permintaan atau harga masing-masing minyak nabati saling berpengaruh satu sama lain di pasar dunia. Untuk itu, studi penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai 28

perkembangan minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari yang merupakan salah satu substitusi CPO sebagai minyak nabati. Kebutuhan akan minyak dan lemak dunia sebagian besar terpenuhi oleh hasil produksi minyak kedelai, minyak kelapa sawit, dan minyak kanola, yang masing-masing pada tahun 2001 berkontribusi sebesar 23.6%, 20.3%, dan 11.6% terhadap total produksi minyak dan lemak dunia. Sedangkan minyak biji bunga matahari menempati urutan keempat dengan kontribusi sebesar 7%. Memasuki tahun 2004, produksi minyak kelapa sawit lebih unggul dari produksi minyak kedelai yang mengalami penurunan di tahun tersebut. Kekeringan yang terjadi di Brazil bagian selatan dan Argentina menjadi penyebab utama penurunan produksi minyak kedelai saat itu, mengingat kedua negara tersebut berperan sebagai produsen minyak kedelai terbesar dunia setelah Amerika Serikat. Peningkatan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia akibat pertambahan luas areal dan jumlah produsen di sektor perkebunan kelapa sawit pun turut mendorong terjadinya selisih ini. Namun secara keseluruhan, pertumbuhan produksi minyak dan lemak dunia mencapai rata-rata pertumbuhan sebesar 4.01% per tahun, seperti yang terlihat pada tabel 3.6 berikut. Di lain pihak, antara tahun 2001 hingga 2005 jumlah konsumsi minyak dan lemak dunia terus mengalami pertumbuhan yang positif dengan tingkat pertumbuhan tertinggi sebesar 5.4% pada tahun 2005. Meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara diperkirakan menjadi salah satu faktor pemicu pertumbuhan ini. Terlebih lagi, beberapa jenis minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak kelapa sawit dan minyak kanola memiliki kegunaan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi yang semakin langka di tengah permintaan dunia yang begitu tinggi. Akibatnya, permintaan akan minyak nabati tersebut menjadi semakin meningkat. 29

Tabel 3.6 Perkembangan Produksi Minyak dan Lemak Dunia, Tahun 2001-2005 (ribu ton) 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata No Minyak/Lemak Produksi % Produksi % Produksi % Produksi % Produksi % Pertumbuhan 1 Palm Oil 23941 20.3% 25221 20.9% 28082 22.4% 30890 23.4% 33499 24.0% 8.8% 2 Palm Kernel Oil 2935 2.5% 3017 2.5% 3331 2.7% 3567 2.7% 3924 2.8% 7.6% 3 Soybean Oil 27781 23.6% 29799 24.8% 31291 25.0% 30723 23.3% 33491 24.0% 4.9% 4 Cottonseed Oil 4048 3.4% 4181 3.5% 4006 3.2% 4414 3.3% 5022 3.6% 5.8% 5 Groundnut Oil 5037 4.3% 5230 4.3% 4505 3.6% 4746 3.6% 4503 3.2% -2.5% 6 Sunflower Oil 8196 7.0% 7647 6.4% 8970 7.2% 9410 7.1% 9705 6.9% 4.7% 7 Rapesseed Oil 13696 11.6% 13320 11.1% 12659 10.1% 14905 11.3% 16023 11.5% 4.4% 8 Corn Oil 1960 1.7% 2022 1.7% 2015 1.6% 2015 1.5% 2117 1.5% 2.0% 9 Coconut Oil 3515 3.0% 3132 2.6% 3286 2.6% 3060 2.3% 3227 2.3% -1.8% 10 Olive Oil 2761 2.3% 2654 2.2% 2849 2.3% 3055 2.3% 2887 2.1% 1.3% 11 Castor Oil 515 0.4% 440 0.4% 419 0.3% 492 0.4% 543 0.4% 2.1% 12 Sesame Oil 741 0.6% 828 0.7% 780 0.6% 834 0.6% 839 0.6% 3.4% 13 Linseed Oil 646 0.5% 632 0.5% 596 0.5% 635 0.5% 628 0.4% -0.6% Total Minyak Nabati 95772 81.3% 98123 81.5% 102789 82.0% 108746 82.4% 116408 83.3% 14 Butter 6096 5.2% 6300 5.2% 6275 5.0% 6484 4.9% 6678 4.8% 2.3% 15 Tallow 8153 6.9% 8063 6.7% 8025 6.4% 8239 6.2% 8181 5.9% 0.1% 16 Fish Oil 1132 1.0% 954 0.8% 984 0.8% 1070 0.8% 998 0.7% -2.6% 17 Lard 6720 5.7% 6948 5.8% 7210 5.8% 7363 5.6% 7543 5.4% 2.9% Total Lemak 22101 18.7% 22265 18.5% 22494 18.0% 23156 17.6% 23400 16.7% Total Minyak dan Lemak 117873 120388 125283 131902 139808 4.0% Sumber: Oil World Monthly 2005 dalam Kondisi Terkini Pasar Global Minyak Sawit, diolah 30

Adapun pertumbuhan konsumsi minyak dan lemak tertinggi di periode tersebut terjadi pada Cina, yang merupakan negara berpenduduk terbesar dan perekonomian terbesar kedua di dunia, dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi minyak dan lemak sebesar 7.9% per tahun atau mencapai 25.650 ribu ton di tahun 2005. Pertumbuhan ini menjadikan Cina sebagai konsumen terbesar, mengalahkan Uni Eropa yang di tahun 2002 masih menduduki peringkat pertama, seperti yang digambarkan pada grafik di atas. Dari sini dapat dilihat bahwa konsumsi minyak dan lemak dalam jumlah besar memang dilakukan oleh negara-negara berpenduduk besar seperti Amerika Serikat, India, dan juga Commonwealth of Independent States (negara-negara pecahan Uni Soviet). Akan tetapi dari analisa data yang ada, dapat ditelaah lebih lanjut bahwa negara-negara penghasil minyak nabati itu sendiri, seperti Malaysia dan Indonesia, menunjukkan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun yang juga cukup besar, yaitu 6.2% dan 4.8%. Hal itu diperkirakan terjadi karena penyerapan hasil produksi di pasar domestiknya semakin meningkat seiring perkembangan industri hilir dari minyak nabati yang dihasilkan di masing-masing negara. Gambar 3.8 Volume (000 Ton) 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 Negara Konsumen Utama 17 Minyak dan Lemak Dunia (Volume 000 Ton) 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Cina EU Amerika Serikat India CIS Sumber: Malaysian Palm Oil Board dalam Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2005, diolah 31

Di pasar dunia, permintaan akan komoditas CPO sendiri mengalami perubahan yang cukup cepat. Hal ini terlihat dari perubahan yang cukup besar pada jumlah impor CPO yang dilakukan oleh beberapa negara pada satu dekade terakhir. Cina, misalnya, mengalami peningkatan jumlah impor lebih dari 100% antara tahun 2001 hingga 2005. Dengan ini, Cina menjadi negara pengimpr CPO terbesar dunia, mengungguli India yang berada di tingkat kedua. Selain karena keduanya merupakan negara besar yang berpenduduk sangat banyak, konsumsi CPO yang begitu besar ini diakibatkan karena banyaknya pengembangan biodiesel dengan bahan baku CPO dilakukan di negara itu. Hal itu juga dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa seperti Belanda, Jerman, dan Italia. Tabel 3.7 Negara Pengimpor Utama Minyak Kelapa Sawit Dunia Tahun 1995-2005 Volume ('000/Ton) Country 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 China, P.R. 1.595 1.370 1.860 1.373 1.347 1.764 2.120 2.660 3.353 3.851 4.350 EU 1.738 1.867 2.045 2.142 2.287 2.419 3.019 3.370 3.593 3.945 4.534 Pakistan 1.122 1.104 1.144 1.114 1.052 1.107 1.325 1.300 1.468 1.432 1.675 Egypt 353 385 367 408 511 524 525 611 678 702 765 India 863 1.254 1.469 1.672 3.257 3.650 3.492 3.461 4.067 3.451 3.326 Japan 351 361 370 357 365 373 393 415 428 466 492 Malaysia 38 15 31 66 165 57 166 371 473 713 555 Turkey 201 171 241 174 166 208 283 260 352 347 424 South Korea 156 184 197 152 172 200 226 215 213 217 235 Myanmar 305 235 280 248 225 202 200 153 227 268 290 USA 102 125 135 116 143 165 171 219 211 274 376 Bangladesh 39 109 177 93 107 226 380 436 481 644 843 Indonesia 55 109 93 19 4 7 7 17 10 13 12 South Africa 128 147 145 140 169 168 217 237 242 266 270 Saudi Arabia 164 160 193 182 211 201 212 275 266 236 295 Kenya 177 171 209 187 214 216 218 239 240 300 329 Ex USSR 58 51 110 103 152 192 393 454 508 592 706 Other 3.012 2.952 3.166 2.699 3.423 3.544 4.230 4.684 4.984 6.235 6.931 TOTAL 10.457 10.770 12.232 11.245 13.970 15.223 17.577 19.377 21.794 23.952 26.408 Sumber: Malaysian Palm Oil Board dalam Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2005 Di sisi lain, peningkatan yang terjadi pada penawaran CPO di pasar dunia tidaklah sebesar peningkatan yang terjadi pada permintaannya. Pertumbuhan penawaran dalam 32

sepuluh dekade terakhir hanya sebesar 119%, padahal pertumbuhan permintaan mencapai 153%. Apabila kondisi ini terus terjadi, dikhawatirkan nantinya akan terjadi peningkatan harga CPO di pasar dunia. Tabel 3.8 Negara Produsen Utama Minyak Kelapa Sawit Dunia Tahun 1995 2005 Volume ('000/Ton) Country 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Malaysia 7.810 8.386 9.069 8.320 10.554 10.842 11.804 11.909 13.355 13.976 14.962 Indonesia 4.220 4.540 5.380 5.100 6.250 7.050 8.080 9.370 10.530 12.350 13.600 Nigeria 660 670 680 690 720 740 770 775 785 790 800 Colombia 353 410 441 424 500 524 548 528 527 632 662 Cote d'ivoire 300 280 259 269 264 278 205 240 220 270 260 Thailand 316 375 390 475 560 525 625 600 640 668 685 Papua New Guinea 225 272 275 210 264 336 329 316 326 345 350 Ecuador 178 188 203 200 263 218 228 241 247 263 298 Costa Rica 90 109 119 105 122 137 150 128 155 195 195 Honduras 76 76 77 92 90 101 130 126 158 170 178 Brazil 75 79 80 89 92 108 110 118 129 142 160 Venezuela 34 45 54 44 60 70 52 55 41 63 66 Guetamala 22 36 50 47 53 65 70 86 85 87 90 Others 852 820 869 855 833 873 883 900 913 958 1.020 TOTAL 15.211 16.286 17.946 16.920 20.625 21.867 23.984 25.392 28.111 30.909 33.326 Sumber: Malaysian Palm Oil Board dalam Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2005 33