BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasca reformasi 1998,amandemen terhadap UUD 1945 merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan bagi Negara Indonesia pada waktu itu karena pada dasarnya konstitusi menurut K.C. Wheare, adalah resultante atau kesepakan politik lembaga yang berhak menetapkannya sesuai dengan situasi politik, sosial,ekononi, dan budaya ketika dibuat. 1 Oleh karena itu perubahan atau amandemen konstitusi (UUD 45) pasca reformasi tahun 1998 telah terjadi empat kali perubahan atau amandemen sesuai dengan kebutuhan dan situasi bangsa Indonesia semenjak tahun 1999-2002. 2 Seiring dengan amandemen konstitusi (UUD 1945) struktur ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan mendasar, Pasalnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga Negara tertinggi, MPR sebagai badan perwakilan (legislatif) kedudukannya sejajar dengan lembaga negara (tinggi) lainnya. MPR sejajar dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), 1 Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta, Rajawali Pers. hal 188. 2 Perubahan pertama di sahkan pada tanggal 19 Okober 1998, kedua di sahkan 18 Agustus 2000,ketiga di sahkan 10 November 2001 dan ke empat di sahkan 10 Agustus 2002. Perubahan pertama terkait dengan pembatasan kekuasaan presiden dan penguatan kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif. Perubahan kedua meliputi masalah wilayah Negara dan pembagian pemerintah daerah, penyempurnaan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci Hak Asasi Manusia. Perubahan ke tiga mencakup ketentuan tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan Negara dan hubungan antar lembaaga Negara, dan ketentuan-ketentuan tentang pemilihan umum. Perubahan ke empat mencakup ketentuan tentang kelembagaan Negara dan hubungan antar lembaga Negara, pengahapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan dan aturan tambahan. Luthfi Widagdo Eddyono, 2010, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, hal 3. 1
Presiden dan Wakil Presiden, MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), bahkan kedudukan MPR sejajar dengan KY (Komisi Yudisial) sebagai lembaga Negara. 3 Terdapat beberapa cabang kekuasan di Indonesia meliputi: cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dari cabang-cabang kekuasaan ini mempunyai peran dan fungsinya masing-masing. Lembaga-lembaga Negara yang kewenangannya ditentukan dalam UUD Negara RI 1945 atau disebut sebagai lembaga tinggi negara yaitu, Presiden dan Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 4 MPR secara kelembagaan atau kedudukannya dalam struktur lembaga ketetnegaraan mengalami perubahan secara signifikan dari sebelum dan pasca amandemen UUD Negara RI 1945, dimana sebelum amandemen MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sesuai dengan risalah sidang BPUPKI yang diterbitkan oleh sekretariat Negara RI 1998, dalam pidatonya pada rapat besar BPUPKI tanggal 11 juli 1945 atau sebelum terbentuknya panitia perancang UUD RI 1945 Yamin mengemukakan istilah majelis permusyawaratan rakyat (MPR), 5 yang mana dalam forum itu Yamin tidak dapat sanggahan bahkan mendapat sambutan tepuk tangan pada akhir pidatonya yang dapat ditafsirkan 3 Sri Soemantri Martosoewignjo, 2008, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, dalam Siti Sundari Rangkuti Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti, Surabaya, Airlangga Press, hlm. 197 4 Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 44 5 Risalah Sidang Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI),dan Panitia Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 28 mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1988,hal. 201-203, dalam Dr. Anwar C. SH., MH, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Malang,Intrans Publishing, Hal 156 2
oleh anggota BPUPKI sebagai persetujuan atas pidato Yamin. Gagasan Yamin dirumuskan dalam Rancangan UUD Pasal 1 ayat (2) 6, yang dimana komposisi anggota didalamnya terdiri dari gabungan Dewan Perwakilan Paerah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sejalan dengan RUUD, konsekuensi dari kedudukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945 kekuasaan dalam Negara terbagi secara verikal yang berpuncak pada MPR sebagai lembaga tertinggi Negara. Istilah MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, termasuk Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA sebagai lembaga tinggi Negara tidak dikenal dalam konstitusi, istilah ini awalnya muncul dari analisis akademik terhadap hubungan kelembagaan Negara dan barulah memiliki dasar hukum setelah tertuang dalam TAP MPR RI No. VI/MPR/1973 Tentang Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga Tinggi Negara, selanjutnya dalam TAP MPR RI No.III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara, yang secara tegas menyebut MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, dan lembaga lainnya sebagai lembag tinggi Negara. Sebelum amandemen UUD RI 1945 kewenangan MPR sangatlah luas seperti yang termaktub dalam Pasal 3 juncto Pasal 37 UUD RI 1945 yang asli (sebelum perubahan) dinyatakan MPR berwenang: 7 a. Menetapkan Undang-undang Dasar b. Mengubah Undang-undang Dasar 6 Lihat Pasal 1 ayat (2) RUUD kerja panitia kecil perancang UUD berbunyi: Souvereiniteit berada di tangan rakyat, yang dilakukan sepenuhnya dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Rakyat 7 Pasal 3 juncto Pasal 37 UUD RI 1945 yang asli (sebelum perubahan) 3
c. Memilih Presiden dan/atau wakil Presiden, dan d. Mentapkan garis-garis besar haluan Negara (GBHN). Dari sekian kewenangan MPR diatas yang sangat menarik untuk diperhatikan ialah yang terkait dengan menetapkan garis-garis besar haluan Negara, karena dari kewenangan diatas MPR memangku kewenangan yang sangat luas dan berdampak luas khususnya dalam hal mengeluarkan peraturan dalam bentuk ketetapan atau lebih populer disebut TAP MPR. keweangan itu diberikan untuk memberikan pedoman kerja dan panduan penyusunan program kerja bagi presiden dalam melaksanakan tugasnya, garis-garis besar haluan Negara itu diperlukan karena pedoman atau haluan-haluan kebijakan bernegara yang ditentukan dalam UUD RI 1945 terlalu ringkas atau sederhana, oleh karena itu disamping haluan-haluan yang telah di tetapkan dalam konstitusi masih diperlukan haluan-haluan Negara yang lebih jelas diluar UUD RI 1945 8, pertimbangan yang demikian haluan-haluan Negara yang dimaksud perlu dituangkan dalam ketepan-ketetapan yang mengatur dengan daya ikat yang efektif. Berdasarkan kedudukan MPR (sebelum perubahan UUD RI 1945) lebih tinggi dari pada presiden dan dewan perwakilan rakyat, maka produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR dianggap lebih tinggi dalam hal ini TAP MPR/S lebih tinggi kedudukannya dari pada undang-undang baik dalam justifikasi formal semisal dengan dikeluarkannya memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966 yang kemudian dikukuhkan oleh MPRS dengan Ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/ 1966 Tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan 8 Jimly Asshiddiqie. 2006. Perihal undang-undang. Jaksiarta.Konstitusi Pers. hal. 48 4
Peraturan Perundangan dan oleh MPR dengan Ketetapan MPR No.V/ MPR/ 1973 dan Lampiran II tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut terdiri dari: 9 a. UUD 1945 b. Ketetapan MPRS / MPR c. Undang-Undang dan perpu d. PP e. Keputusan Presiden f. Peraturan Menteri, instruksi menteri dan lain-lain Pada hierarki di atas tampak bahwa UUD 1945 menempati posisi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan, hal ini berkaitan dengan kedudukan dan fungsi UUD 1945 sebagai konstitusi negara.kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangyang sederajat dengan Undang-Undang. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut saling mensubordinasi dalam artian bahwa peraturan perundang-undangan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya (Lex superiori derogat lex inferiori). 10 Penyusunan hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan itu semata-mata dalam rangka menyingkronkan atau menghindari konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Dengan hal itu, peraturan perundang-undangan diharapkan akan berjalan sesuai dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang- 9 Ni matul Huda, 2010, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persda, Hal. 46 10 Prinsip ini telah dipositifkan dalam Pasal 7 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa kekuatan hukum peraturan perundangundangan adalah sesuai dengan hierarki, sedangkan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2004 tersebut makna dari hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundangundangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 5
undangan tersebut. Makna asas hukum lex superiori derogate lex inferiori, dalam ajaran mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan mengandung beberapa prinsip, antara lain: 11 1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menjadi landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah; 2. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau berlandaskan hukum dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 3. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat; dan 5. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama maka peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih umum. Dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan, landasan konstitusional memegang peranan yang sangat penting dan strategis karena konstitusi merupakan hukum dasar suatu bangsa.kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar suatu bangsa atau negara maka secara hierarki semua peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Negara haruslah dari dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Meskipun bersifat hierarkis, bukan berarti dalam hal perumusan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau merupakan rincian teknis dari peraturan perundang-undangan yang berada persis di atasnya. 11 Ni matul Huda.Hukum Tata op cit. hal. 46 6
Dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang menyempurnakan terhadap TAP MPR sebelumnya yaitu Ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/ 1966 mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan, tetapi tidak mengubah kedudukan TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan yaitu tetap dibawah UUD 1945 diatas undang-undang. Pada dasarnya TAP MPR atau MPRS yang bersifat mengatur itu juga mempunyai kedudukan sebagai hukum konstitusi karena dibuat dan ditetapkan oleh lembaga yang sama dengan yang menetapkan undang-undang dasar, oleh karena itu sebenarnya adanya ketetapan MPR atau MPRS sebagai produk hukum yang mengatur (regeling) merupakan bentuk penafsiran MPR atas UUD RI 1945 yang dikenal sangat ringkas. 12 Perubahan lainnya yang berpengaruh terhadap format ketatanegaraan adalah tentang tata urutan peraturan perundang-undangan. Seiring dengan pasang surut eksistensi Ketetapan MPR/ MPRS dalam hierarki peraturan perundangundang sebelum dan sudah amandemen, yang mana sebelum amandemen TAP MPR/MPRS selalu tercantum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan tetapi pada pasca amandemen berdasarkan perintah aturan tambahan pasal 1 Undang-Undang Dasar RI 1945 yang berbunyi : 13 Majlis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS dan TAP MPR untuk diambil putusan pada siding Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003 12 Jimly Asshiddiqie, Perihal undang.. op cit.hal. 50 13 Lihat pasal 1 aturan tambahan UUD Negara RI tahun 1945( perubahan keempat tahun 2002) 7
Berdasarkan perintah aturan tambahan pasal 1 Undang-Undang Dasar RI 1945 diatas maka Majelis Permusyawatan Rakyat mengeluarkan peraturan dalam bentuk ketetapan yaitu TAP MPR No.1/MPR/ 2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 merupakan ketetapan MPR pengunci dari seluruh Ketetapan MPRS dan MPR. Dari hasil peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 yang terdiri dari 139 buah TAP MPRS Atau TAP MPR, banyak TAP MPR yang dicabut atau dinyatakan tidak berlaku, dan sebagian masih dinyatakan masih berlaku sesuai dengan substansi TAP MPR itu yang masih dianggap penting dan harus menjadi sumber hukum formal dan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan semisal TAP MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, TAP MPR tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sampai terbentuknya undang-undang yang terkait, 14 dan TAP MPR lainnya yang masih dinyatakan berlaku. 14 Hajriyanto Y thohari, Tap MPR Harus Jadi Sumber Hukum Formal. http://www.jurnas.com/news/54908/hajriyanto_:_tap_mpr_harus_jadi_sumber_hukum_forma l/1/nasional/politik, Diakses pada tanggal 26 maret 2012 pukul 17:16 WIB 8
Pasca amandemen UUD RI 1945, keberadaan TAP MPR / MPRS telah mengalami pasang surut atau inkonsistensi dalam tata urutan perundangundangan, dimana TAP MPR / MPRS tidak lagi menjadi bagian dari hierarki perundang-undangan karena jenisnya yang bukan bersifat mengatur, Seperti hierarki atau tata urutan perundang-undangan berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); b. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemintah Pengganti Undang- Undang (Perpu); c. Peraturan Pemerintah (PP); d. Peraturan Presiden (Perpres);dan e. Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan TAP MPR di masukkan kedalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu: 15 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR); c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah Provinsi;dan f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Keberadaan TAP MPR / MPRS didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak 15 Lihat Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan peraturan perundangundangan. 9
dimasukkan kedalam hierarki peraturan perundang-undangan akan tetapi, di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perubahan atas Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan justru di masukkan kembali kedalam hierarki peraturan perundang-undangan, oleh karena di masukkannya TAP MPR / MPRS dalam hierarki perundang-undangan itulah banyak menimbulkan pertanyaan dan perdebatan mengingat MPR secara kelembagaan tidak lagi mempunyai kewenangan konstitusional mengeluarkan peraturan dalam bentuk ketetapan yang sifatnya mengatur (regeling) pasca amandemen ketiga UUD Negara RI Tahun 1945, yang mana MPR hanya memiliki kewenangan antara lain: 16 MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik presiden dan/atau wakil presiden, dan dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Udang Dasar Berdasarkan kewenangan yang disebutkan diatas MPR masih memiliki kewenangan mengeluarkan beberapa ketetapan yang sifatnya tidak mengatur yang masih tetap bisa di pertahankan, semisal MPR dapat saja menetapkan: 17 a. Ketetapan MPR yang merupakan baju hukum naskah perubahan UUD 1945 sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 37 UUD 1945; b. Ketetapan MPR yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah resmi sebagai Presiden sejak pengucapan sumpah / janji jabatannya di hadapan siding MPR, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUD 1945; 16 Pasal 3Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.perubahan ketiga. 10 november tahun 2001 17 Jimly Asshiddiqie, 2010.Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, JakartaTimur, Sinar Grafika, hal. 274 10
c. Ketetapan MPR yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (3) jo Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945; dan d. Ketetapan MPR yang menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Keberadaan TAP MPR / MPRS dalam hieraki peratutan perundangundangan dimuat dalam bebrapa peraturan mulai dari TAP MPRS, TAP MPR dan Undang-undang, semisal dalam Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, Tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan-undangan Republik Indonesia, Dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, akan tetapi pasca dibentuknya undang-undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merevisi dan mengganti Tap MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka TAP MPR /MPRS tidak lagi dimsukkan kedalam hierarki peraturan perundang undangan, dan pada dasarnya itu sesuai dengan MPR secara kelembagaan yang tidak lagi memiliki kewenangan konstitusional mengeluarkan produk hukum dalam bentuk ketetapan yang bersifat regeling, seperti yang diatur dalam pasal 3 UUD 1945, namun dalam pasal 7 undang-undang No. 12 tahun 2011 TentangPembentukan Peraturan perundangundangan perubahan atas undang-undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimasukkan kembali kedalam hierarki peraturan perundang-undangan, padahal di tinjau dari kewenangan konstitusionalnya MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan dalam ketetapan seperti yang diatur dalam pasal 3 ayat (1,2 dan 3) UUD 11
RI 1945, oleh karena itu penulis sangat tertarik dalam penulisan hukum ini mengangkat judul Analisis Yuridis Normatif Keberadaan TAP MPR Dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Kedudukan dan Kewenangan Konstitusional MPR. B. Rumusan Masalah : Untuk memperjelas permasalahan dalam penulisan hukum ini, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Apakah urgensi keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundangundangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari kewenangan konstitusional MPR? 2. Apakah konskuensi yuridis keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap sistem tata perundang-undangan di Indonesia? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui urgensi keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari kewenangan konstitusional MPR. 2. Untuk mengetahui konskuensi yuridis keberadaan TAP MPR dalam hierarki 12
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap sistem tata perundang-undangan di Indonesia. D. Manfaat Penulisan Berdasarkan tujuan penulisan hukum di atas, maka penulis mengklasifikasikan manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Bagi penulis, selain sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana penulisan hukum ini merupakan sarana pembelajaran dan pengembangan pikiran serta usaha untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam hal keilmuam hukum. 2. Bagi ilmu Pengetahuan Diharapkan dapat memberikan dan menambah ilmu pengetahuan sehingga dapat memberikan konstribusi informasi dalam wacana dan pengetahuan hukum ketatanegaraan, lebih-lebih memberikan sumbangsih dalam informasi dan implementasi dalam hukum ketatanegaraan di Indonesia. 3. Bagi Masyarakat Bagi masyarakat penulisan hukum ini didasarkan atas harapan sosial dan ilmiah. Selain itu penulisan hukum ini diharapkan dapat 13
memberikan informasi tentang urgensi keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang- Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan ditinjau dari kewenangan konstitusional MPR dan konskuensi yuridis keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundangundangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap sistem tata perundang-undangan di Indonesia. E. Metode Penulisan 1. Pendekatan Masalah Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam menyusun penulisan hukum ini adalah metode yuridis normatif. Yuridis normatif adalah bentuk penelitian hukum yang melihat hukum sebagai norma khususnya yang berkaitan dengan urgensi keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang- Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan ditinjau dari kewenangan konstitusional MPR dan konskuensi yuridis terhadap sistem tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. 2. Jenis Bahan Hukum Langkah-langkah yang diambil untuk melakukan penulisan ini adalah menggunakan bahan kajian berupa: 14
a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan.bahanbahan hukum primer terdiri perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penulisan ini bahan hukum primer terdiri dari: 1. Pancasila; 2. UUD 1945 dan UUD Negara RI 1945; 3. Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 4. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 5. Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD); 6. TAP MPR No.1/MPR/ 2003 TentangPeninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002; 7. TAP MPR RI No.III/MPR/1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara; dan 15
8. TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, Tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan hukum yang sangat erat kaitannya dengan masalah yang di kaji seperti pendapat ahli atau sarjana hukum, buku-buku referensi, surat kabar, media internet, jurnal hasil penulisan atau hasil seminar, maupun dokumen dan serta keterangan-keterangan lainnya yang mendukung kajian penulisan hukum ini. c. Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan-bahan hukum yang merupakan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan insklopedia. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang dipergunakan untuk menggali dan mengumpulkan bahan hukum yang dibutuhkan melalui library research (studi kepustakaan). Penelusuran bahan hukum tersebut dengan melakukan pencarian ke beberapa perpustakaan di perguruan tinggi di Jawa Timur, antara lain di Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Brawijaya dan Universitas Airlangga, dan browsing internet, website. 4. Analisa Bahan Hukum Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan konten analisis yang mana permasalahan hukum yang diatur oleh undang-undang akan dikaji dan dianalisa dengan teori-teori dan kaidah-kaidah hukum, 16
sehinngga dapat menjawab permasalahan dengan obyektif, ilmiah, dan dapat dipertanggung jawabkan, dan yang menjadi keharusan analisis yang diuji dengan norma-norma dan kaidah-kaidah hokum ialah hal yang bekaitan dengan urgensi keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari kewenangan konstitusional MPR dan konskuensi yuridis terhadap sistem tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan sikripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tersusun secara berurutan. Mulai Bab I samapai dengan Bab IV, secara garis besar diuraikan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan. BAB II TINJUAN PUSTAKA Berisi tentang tinjauan umum yang berkiatan dengan urgensi keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundangundangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 17
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditinjau dari kewenangan konstitusional MPR dan konskuensi yuridis terhadap sistem tata peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu di antaranya: konsepsi Negara hukum, teori pemisahan kekuasaan yang akan diurai dalam konsep kekuasaan, Teori mengenai kedaulatan membentuk Undang-Undang Keputusan (Beschikking), teori hierarki perundang-undanganatau tata urutan peraturan perunsdang-undangan, dan teori-teori lain yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di bahas. BAB III PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan menguraikan apa yang menjadi pembahasan dari objek kajian yang berkaitan dengan urgensi keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ditinjau dari kewenangan konstitusional MPR dan konskuensi yuridis terhadap sistem tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. BAB IV PENUTUP Berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saransaran yang perlu disampaikan mengenai permasalahan urgensi keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan 18
yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ditinjau dari kewenangan konstitusional MPR dan konskuensi yuridis terhadap sistem tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. 19