Pandangan dan Sikap Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Atas Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Perusakan Hutan Laksanakan Penataan Kehutanan Menyeluruh, dan Batalkan Rencana Pengesahan RUU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan Publik mesti mewaspadai RUU Pemberantasan Perusakan Hutan yang kini tengah dikebut pembahasannya oleh DPR RI. Keberadaan RUU ini dikhawatirkan bukannya menjadi solusi perbaikan sektor kehutanan, malah berpotensi menambah masalah baru. Berikut ini pandangan dan sikap DKN atas RUU tersebut. Keberadaan RUU P2H ini dianggap tidak mendesak untuk segera disahkan dan tidak menjawab persoalan yang terjadi di sektor kehutanan. Yang dibutuhkan masyarakat kehutanan saat ini adalah memperbaiki Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dengan mengakomodir kepentingan masyarakat yang turun temurun memelihara hutan serta melakukan penindakan hukum atas kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh perusahaan dengan tegas. 1. Sekilas Pandangan DKN Dalam Garis Besar Haluan Kerja DKN (2011-2016), DKN meminta pemerintah untuk segera mempersiapkan revisi UU No. 5 tahun 1990 dan UU nomor 41 tahun 1999, dan mencari titik temu dualisme kebijakan kehutanan-pertanahan. Pendirian DKN jelas, masalah status tanah di kehutanan merupakan inti permasalahan yang perlu dituntaskan. Bukan membuat UU baru yang justru mengkriminalisasikan masyarakat di sekitar hutan. Bagi DKN, dewasa ini ada sejumlah momentum penting untuk membenahi kebijakan kehutanan, antara lain: (1) Tindak lanjut NKB 12 kementerian dan lembaga negara tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan, yang ditandatangani 11 Maret 2013, di bawah supervisi KPK dan UKP4; (2) Menunggu hasil Judicial Review UU Kehutanan oleh masyarakat adat di Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan status tanah adat yang berada di kawasan hutan; (3) Prolegnas yang sudah menjadwalkan revisi UU Kehutanan 41 No 1999, dan kelompok masyarakat sipil telah memberikan masukan; dan (4) Tim Kerja Tenure Kehutanan, yang melibatkan masyarakat sipil sesuai SK Menhut 122/2012 sedang bekerja membenahi kebijakan kehutanan yang berkaitan dengan status 30 ribuan desa baik masyarakat lokal dan masyarakat adat di kawasan hutan. Secara khusus, DKN mengingatkan pembahasan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, bisa menambah carut marut konstruksi hukum di negeri ini. Jika diteruskan dengan substansi yang sama, bukan menjawab permasalahan pembenahan tata kelola hutan, 1
justru makin mengkriminalisasi masyarakat, dengan memposisikan mereka sebagai perambah, pencuri dan lain-lain. Sebab, fakta di lapangan sekitar 30 ribu desa ada di kawasan hutan dan belum mendapatkan kejelasan status (Sirait, 25/4/13). Dalam catatan Kartodihardjo (2013), pihak yang tergantung secara langsung dengan sumberdaya hutan bukan hanya masyarakat adat tetapi lebih luas juga masyarakat lokal sebagai warga negara rentan yang seringkali tidak menjadi perhatian khusus dalam pelaksanaan pembangunan. Keberadaan masyarakat adat/lokal ini secara formal/legal berada di dalam kawasan hutan negara, namun sejauh ini tidak mendapat sentuhan kebijakan karena Pemerintah tidak pernah melakukan tata batas antara hutan adat dan hutan negara. Yang dilakukan Pemerintah adalah membatasi batas-batas izin usaha, batas luar kawasan hutan serta batas fungsi hutan. Dalam situasi demikian ini, masyarakat adat/lokal dipersaingkan secara bebas dengan usaha-usaha besar untuk saling mempertahankan wilayahnya. Sangat ironi, karena usaha besar diberi legalitas melalui izin usaha hingga puluhan juta hektar, sedangkan masyarakat adat/lokal meskipun prosedurnya terdapat dalam UU No 41/1999, namun hingga saat ini Peraturan Pemerintah mengenai hal itu belum ada. Lebih lanjut, pelaksanaan kebijakan yang tidak adil tersebut setiap saat dapat menjadi pemicu konflik, apalagi kalau pelaksanaan UU H2P ini juga hanya akan memperhatikan bukti-bukti sah/legal atas lahan-lahan dan hutan masyarakat adat/lokal, yang tentunya bukti itu di sebagian besar lokasi tidak ada (Kartodihardjo, 7/4/13). Sementara itu, dalam catatan Kamar Masyarakat DKN, terdapat sejumlah fakta yang mestinya menjadi perhatian para pembentuk kebijakan. Sejumlah fakta yang dimaksud mencakup: (1) Kekerasan yang menimpa masyarakat di pinggir hutan di Pulau Jawa dinilai sudah sangat memprihatinkan; (2) Selama kurun waktu 1998 hingga 2011, tercatat 73 orang mengalami luka-luka dan 34 lainnya meninggal dunia akibat operasi hutan; (3) Di Jawa saat ini terdapat sekitar 4.500 desa yang letaknya berada di di dalam dan sekitar hutan; (4) Bahwa dalam operasi hutan lestari, Perhutani dan aparat keamanan seringkali melakukan manipulasi keadaan; (5) Bahwa operasi hutan lestari seringkali berdampak pada polemik perijinan pengelolaan hutan; (6) Bahwa operasi hutan lestari mengakibatkan polemik hukum antara negara dengan masyarakat ; (7) Bahwa perjanjian kerjasama internasional tentang kehutanan seringkali merugikan posisi masyarakat; (8) Bahwa selama kurun waktu 1,5 tahun tidak ada proses pembahasan RUU P2H di DKN, ini menandakan tidak adanya transparansi yang telah dilakukan oleh kamar pemerintah. Jika RUU P2H ini disahkan, dikhawatirkan kekerasan terhadap masyarakat adat/lokal dan petani hutan akan terus bertambah. Oleh karena itu, perwakilan masyarakat yang tergabung di DKN menyatakan, sikap sebagai berikut : (1) Protes terhadap parlemen dan Kamar Pemerintah DKN yang telah menyembunyikan proses pembahasan RUU P2H; (2) Menolak pengesahan RUU P2H menjadi UU, dan (3) Akan mengajukan Judicial Review terhadap MK jika RUU P2H ini tetap disahkan (Septivianto, 7/4/13). 2. Sekilas Pandangan Daerah Dalam merespon rencana pengesahan RUU P2H ini, pendapat dari daerah tentu penting untuk menjadi bahan pertimbangan. Dilaporkan dari Papua, bahwa Ketua Komisi A 2
DPRP Papua, Ruben Magai, Rabu (3/4/13) menolak tegas RUU PPH. Menurut Magai, RUU ini hanya untuk kepentingan investor terutama asing. Negara ingin kesekian kali mengorbankan masyarakat adat demi kepentingan investor. Kami sudah tahu itu. Kami justru meminta semua UU tentang pengelolaan hutan dan klaim negara atas tanah-tanah adat orang Papua segera dicabut, katanya. Selain itu, protes juga datang dari Sulawesi. RUU PPH dinilai lebih memihak perusahaan besar yang mendapat izin dari pemerintah ketimbang masyarakat di sekitar atau dalam kawasan hutan. Rahman Dako, aktivis lingkungan, Rabu (3/4/13) mengatakan, di Gorontalo, masih banyak desa-desa di sekitar kawasan hutan hingga akan gampang terjerat dengan UU ini jika disahkan. Dalam RUU ini, masyarakat sekitar dan dalam kawasan tidak mempunyai kawasan hutan hak. Rakyat mengambil hasil hutan di kawasan hutan hak yang tidak diatur oleh RUU Pemberantasan Perusakan Hutan. Untuk perusahaan besar berizin, banyak beroperasi di hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. UU ini hanya akan mengkriminalisasi masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan, namun melindungi perusahaan-perusahaan besar, katanya. Dari Jawa Barat juga datang suara kritis atas RUU P2H ini. RUU ini dinilai berpotensi banyak merugikan berbagai pihak, terutama masyarakat adat yang sudah bertahun-tahun tinggal dan menggantungkan hidup dari hutan. Di tengah upaya menerbitkan RUU PPH ini, tahun lalu pemerintah justru melepaskan 12,3 juta hektar kawasan hutan atas nama pembangunan. Kita sejak awal tegas menolak RUU ini. Bukan berarti tidak memiliki kepedulian dan komitmen terhadap perbaikan lingkungan hidup. Justru di dalam RUU ini ada beberapa hal sangat merugikan, kata Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar (Mongabay Indonesia, 4/4/13). 3. Sekilas Pandangan Masyarakat Sipil Merujuk hasil analisis terhadap substansi RUU P2H yang dilakukan oleh Koalisi Anti Mafia Hutan dan/atau Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan (2013) terdapat sejumlah kritik substansial. Di antara hal-hal kritis substansial yang terkandung di dalam RUU ini, meliputi: (1). Politik hukum pembahasan RUU P2H; (2) RUU P2H bukan kebutuhan mendesak; (3) RUU P2H menambah tumpang tindih peraturan di bidang sumberdaya alam; (4) Ketidakpahaman pembentuk UU terhadap legal drafting; (5) RUU P2H mengacaukan sistem hukum pidana; (6) Tidak sinkron antara satu ketentuan dengan ketentuan lain di dalam RUU P2H; (7) Ketidakjelasan definisi mengenai beberapa istilah dalam RUU ini dan pengaturan pasal-pasalnya (8) Irasionalitas sanksi dalam RUU P2H; (9) RUU P2H bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi; (10) Penggunaan diskresi tanpa alasan yang ketat, dan (11) Problem kapasitas perancang dan pembasas RUU P2H. Hal-hal khusus yang bersifat kelemahan dari RUU P2H ini, menurut Koalisi Anti Mafia Hutan, setidaknya terdapat 5 (lima) persoalan yang dapat diindentifikasikan dalam proses perancangan dan pembahasan RUU P2H, yakni: (1) Permasalahan yang ingin disasar oleh RUU P2H tidak jelas; (2) RUU P2H masih mengalami persoalan pada sebagian struktur pengelompokkan dan penataurutan norma; (3) RUU P2H terlalu banyak memberikan diskresi tanpa disertai koridor yang ketat; (4) Secara tidak langsung, sebagian substansi RUU P2H mengkonfirmasi problem kapasitas perancang dan pembahas RUU P2H 3
dalam mengidentifikasi, memilah, dan mengkategorikan fakta atau perbuatan yang hendak diatur; dan (5) Selain problem kapasitas, perancang dan pembahas RUU absen dalam merinci beberapa pasal yang melengkapi kewajiban dua pihak yang akan saling berinteraksi. RUU P2H dinilai bermasalah baik dari aspek formil (pembentukannya) maupun aspek materiil (subtansi). Subtansi RUU P2H yang ada jika nantinya disahkan akan memberikan dampak yang sangat krusial dan tidak menguntungkan bagi masyarakat maupun upaya kelestarian hutan seperti: (1) mengkriminalisasi masyarakat adat dan lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan; (2) tidak menghentikan degradasi hutan dan ketidakjelasan implementasi; (3) tidak akan mampu memulihkan kerusakan hutan; dan (4) berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan. Oleh karena itu, RUU P2H harus dibatalkan karena bermasalah baik dari aspek formil (pembentukannya) maupun aspek materiil (subtansi). RUU P2H ini dinilai tidak mendesak keberaannya dan tidak menjawab persoalan yang terjadi di sektor kehutanan. 4. Sikap Resmi DKN Setelah mengkaji dengan seksama sejumlah pandangan, baik dari kalangan internal DKN, dan suara dari jaringan kerja di daerah, serta pandangan umum yang disampaikan koalisi masyarakat sipil, berikut ini sikap resmi Dewan Kehutanan Nasional (DKN) atas eksistensi RUU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H); 1. Mendesak DPR RI untuk segera membatalkan rencana pengesahan RUU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H), dan segera melakukan proses evaluasi substantif terhadap draft RUU yang ada dengan melibatkan secara aktif para pihak yang terkait dan publik secara luas; 2. Mendesak Pemerintah untuk segera menyiapkan draft revisi UU tentang Kehutanan yang secara substansi mengakomodir berbagai tuntutan dan dinamika yang terjadi dalam eksistensi kehutanan secara komprehensif di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara secara keseluruhan; 3. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera menyusun rencana strategis dan aksi implementasi Ketetapan MPR RI No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dengan mengedepankan kepentingan keadilan agraria, penyelesaian konflik, dan pemulihan lingkungan/ekologi; 4. Mendorong Pemerintah, khususnya 12 kementerian dan lembaga yang telah menandatangani NKB tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan (tertanggal 11 Maret 2013) untuk segera melaksanakan rencana aksinya, dengan melibatkan masyarakat, agar segera diperoleh kepastian mana kawasan hutan dan non-hutan; 5. Mendorong Mahkamah Konsitusi untuk segera menerbitkan keputusan tentang hasil judicial review yang dilakukan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat agar segera diperoleh kejelasan mengenai status hukum dan kepastian hak-hak masyarakat adat atas hutan dan kekayaan alamnya; 4
Demikian pandangan dan sikap resmi Dewan Kehutanan Nasional (DKN) yang ditempatkan sebagai bagian dari saran dan masukan bagi perbaikan kebijakan kehutanan nasional agar lebih adil, lestari dan mensejahterakan segenap bangsa Indonesia. Jakarta, 8 April 2013 Dewan Kehutanan Nasional (DKN) T e r t a n d a Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Presidium) Kontak: 0811193383; E-mail: hkartodihardjo@yahoo.com; Website: www.dkn.or.id Catatan: Padangan dan Sikap DKN ini telah dikonsultasikan dan mendapat persetujuan dari Presidium DKN dan disampaikan secara resmi dalam rapat dengar pendapat yang digelar DPR RI pada hari Senin, 8 April 2013. Dalam hal ini, DKN diwakili oleh Martua T. Sirait sekaligus sebagai juru bicara DKN dalam RDP tersebut. 5