BAB II URAIAN TEORITIS. komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social

dokumen-dokumen yang mirip
Konsep dan Model-Model Analisis Framing. Dewi Kartika Sari, S.Sos., M.I.Kom

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Digital Communications Award for Social Media Presence pada News Overview

BAB II KAJIAN PUSTAKA

peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. analisis isi, dengan model analisis framingnya model Zhongdang Pan dan

09Ilmu. Analisis Framing. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB III METODE PENELITIAN. selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. 1

BAB III METODE PENELITIAN. menyeluruh dan dengan cara deksripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Media massa sebagai penyedia informasi, dewasa ini semakin. memegang peran yang penting dalam kehidupan politik.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II URAIAN TEORITIS. ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan

BAB III METODE PENELITIAN. yang bersifat menjelaskan, menggambarkan atau menuturkan dan menafsirkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendapatkan informasi dari luar dirinya. Berbagai upaya dilakukan oleh

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan istilah analisis bingkai merupakan salah satu bentuk alternatif dari

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionis. Menurut Bogdan dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. yang menggunakan metode analisis framing dari Zhongdang Pan dan Gerald

09ILMU. Modul Perkuliahan IX. Metode Penelitian Kualitatif. Metode Analisis Framing. Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm KOMUNIKASI.

BAB III METODE PENELITIAN. oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi

EPILOG (ditujukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Analisis Framing)

BAB I PENDAHULUAN. diberitakan di berbagai media massa. Pemberitaan Kisruh APBD DKI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi merupakan sebuah penyimpangan. Dalam DSM IV. (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder/ buku acuan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V PENUTUP A. Temuan

BAB II LANDASAN TEORI

Bab III. Metodologi Penelitian. diciptakan melalui tayangan program Minta Tolong di RCTI.

BAB III METODOLOGI. lukisan secara sitematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat

13 ZHONGDANG PAN DAN GERALD M. KOSICKI

BAB I PENDAHULUAN. Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konvensional, diantaranya adalah breaking news, yang merupakan berita singkat yang

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan dengan mengamati teks online

BAB III METODELOGI PENELITIAN. kondisi empirik objek penelitian berdasarkan karakteristik yang dimiliki. 25

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. persepsi mengenai bagaimana sosok pria dan wanita. Dengan demikian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat makna teks yang

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. negara hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama pemerintah Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SIMULATOR SIM SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pemilihan kepala daerah selalu menjadi peristiwa menarik terutama bagi masyarakat di

BAB 1 PENDAHULUAN. konstruksionis, realitas bersifat subjektif, relitas dihadirkan oleh konsep subjektif

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. konstruksi media dalam pemberitaan adalah model framing yang dikemukakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

CITRA HOMOSEKSUAL DALAM MEDIA MASSA ONLINE NASIONAL (Analisis Framing tentang Citra Homoseksual dalam Tempo.co dan Republika Online)

KONSTRUKSI BERITA PERKOSAAN OLEH SITOK SRENGENGE DI MEDIA ONLINE TEMPO DAN REPUBLIKA

KONTROVERSI MISS WORLD 2013 DI MEDIA

BAB III METODE PENELITIAN. jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalamdalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. telah menciptakan peradaban manusia itu sendiri yang berganti-ganti tapi semakin

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdahulu ini mengemukakan hasil penelitian lain yang relevan dalam pendekatan

KONSTRUKSI MEDIA TERHADAP REALITAS PEMBERITAAN PEMILIHAN CALON GUBERNUR DKI, JOKO WIDODO DI HARIAN UMUM SOLOPOS BULAN FEBRUARI-MEI 2012

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

LOGO Oleh: Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dunia sudah memasuki era informasi dimana informasi menjadi sebuah kebutuhan

CITRA HOMOSEKSUAL DALAM MEDIA MASSA ONLINE NASIONAL (Analisis Framing tentang Citra Homoseksual dalam Tempo.co dan Republika Online)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. ini terjadi di Jalan Thamrin Jakarta. Peristiwa Bom Thamrin ini mengejutkan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian bab-bab terdahulu, pada bab ini akan disajikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Berikut beberapa teori yang relevan dengan penelitian ini:

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma menurut Harmon dalam Octavia adalah cara mendasar untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Wardi Bahtiar dalam bukunya Metodologi Penelitian Dakwah. kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya 26.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa saat ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan media massa sangat erat kaitannya dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Media massa dinilai mempunyai peranan yang besar dalam. menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa manusia. peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya.

BAB III METODE PENELITIAN. diasuh oleh lukman hakim ditabloid Posmo dalam membingkai dan

FRAMING BERITA GAYUS TAMBUNAN DI SURAT KABAR MEDIA INDONESIA DAN REPUBLIKA

ANALISIS FRAMING BERITA DEMONSTRASI MAHASISWA SEMARANG TERKAIT KENAIKAN HARGA BBM PADA TV BOROBUDUR

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian Dewasa ini, media adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II URAIAN TEORITIS. teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah

III. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Media Massa dan Konstruksi Sosial Realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192). Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).

Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca. 3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.

Gambar 2. Proses Konstruksi Sosial Media Massa (Sumber: Bungin, 2008: 204) P r o s e s S o s i a l S i m u l t a n Eksternalisa Objektivasi Internalisasi M E D I A M A S S A - Objektif - Subjektif - Inter Subjektif Realitas Terkonstruksi: - Lebih Cepat - Lebih Luas - Sebaran Merata - Membentuk Opini Massa - Massa Cenderung Terkonstruksi - Opini Massa Cenderung Apriori - Opini Massa Cenderung Source Message Channel Receiver Effect Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas. Untuk itu, peneliti menggunakan paradigma ini sebagai pandangan dasar untuk melihat bagaimana Tempo.co dan Republika Online memaknai, memahami dan

kemudian membingkai citra kaum homoseksual ke dalam bentuk teks berita. II.2 Berita, Bahasa dan Konstruksi Realitas Kejadian atau peristiwa yang menghasilkan fakta sangat banyak. Tetapi, tidak semua peristiwa tersebut dapat ditulis dan dikategorikan sebagai sebuah berita jurnalistik. Karena itu, berita pada dasarnya adalah peristiwa yang sudah ditentukan sebagai berita. Ia bukan peristiwa itu sendiri. Elemen utama yang dipakai dalam mengkonstruksi realitas adalah bahasa. Bahasa yang digunakan bisa berbentuk verbal seperti kata-kata lisan dan tulisan maupun nonverbal seperti gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, tabel dan lain-lain. Pemilihan kata, struktur bahasa, cara penyajian, serta penampilan secara keseluruhan sebuah teks dapat menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus akan menghasilkan makna tertentu darinya, termasuk pemilihan kata-kata tertentu yang secara efektif mampu memanipulasi konteks (Ibnu Hamad, Media Massa dan Konstruksi Realitas, Majalah Pantau edisi 06/Oktober-November 1999, hal. 53-58). Kata atau bahasa, dalam wacana linguistik, diberi pengertian sebagai sistem symbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer (berubah-ubah) dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Sobur, 2001:42). Dengan analisis struktur logika dari bahasa yang dikembangkan dan penggunaan kata-kata dalam mengonstruksi realitas, dapat ditebak makna dan citra yang hendak dikembangkan media. Sebab, pilihan kata tertentu dapat menuliskan realitas tidak sekadar berurusan dengan teknis jurnalistik, tetapi juga sebagai politik bahasa (Eriyanto, Politik Pemberitaan, Majalah Pantau, Edisi 09/Tahun 2000. hal. 80-89).

Kata-kata yang dipakai dapat membatasi seseorang untuk melihat perspektif lain, menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa, dan mengarahkan khalayak untuk memahami suatu peristiwa. Seperti apa yang diungkapkan Kenneth Burke, kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak dan mengarahkan pada cara berpikir serta keyakinan tertentu, tetapi juga membatasi persepsi khalayak dan mengarahkan pada cara berpikir serta keyakinan tertentu. Menurut Deddy Mulyana dalam tulisannya berjudul Teori Liberalisasi dan Media Massa yang diterbitkan Majalah Pantau Edisi 06/Oktober-November tahun 1999, ada beberapa praktik pemakaian bahasa yang bisa ditelaah. Pertama, penghalusan kata atau makna (eufemisme). Realitas buruk bisa kembali menjadi halus dengan pemakaian kata-kata ini. Hal ini membuat khalayak tidak melihat kenyataan yang sebenarnya, seperti pemecatan menjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kenaikan harga menjadi penyesuaian harga. Kedua, pengasaran bahasa (disfemisme) yang membuat realitas menjadi kasar. Penggunaan kata ini biasanya dipakai untuk menyebut tindakan petani, buruh dan rakyat bawah sebagai pencaplokan, penyerobotan dan penjarahan. Bahasa ini akan menggambarkan bahwa mereka melakukan hal yang illegal dan anarkis. Ketiga, penggunaan labelisasi (labeling), merupakan pemakaian kata-kata ofensif pada idividu atau kelompok dengan segala aktivitasnya dengan tujuan mensifati atau menjuluki objek. Pada akhirnya, labelisasi ini

dapat memengaruhi pikiran khalayak dan membentuk citra tertentu. Missal, menyebut kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan sebutan kelompok separatis. Media massa, pada dasarnya tidak mereproduksi tetapi menentukan realitas melalui kata-kata tertentu. Pemaknaan terhadap realitas dilakukan media melalui pemilihan dan pendefinisian fakta, selain penggunaan bahasa dalam menuliskan berita. Proses pemilihan fakta didasarkan pada asumsi bahwa wartawan memiliki sense of news serta perspektif dalam melihat peristiwa, sehingga dapat menentukan apa yang dipilih dan apa yang dibuang. Proses ini dengan sendirinya akan mengakibatkan penghilangan atas bagian tertentu dari realitas serta penonjolan pada bagian lain (Saripudin dan Hasan, 2003:20). II.3 Analisis Framing Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2001: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media.

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2001: 162). Menurut Robert M Entman, framing dijalankan media dengan melakukan dua hal: seleksi isu dan penonjolan atau penekanan aspekaspek tertentu dari realitas/isu. Media menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan berbagai strategi wacana, antara lain penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, baik di depan atau di belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi dan lain-lain. Poses ini, menurut Entman melibatkan reporter di lapangan, gatekeeper (redaktur di desk bersangkutan, redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi dan pemimpin redaksi), hingga pihak-pihak lain. Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya (Eriyanto, 2002: 13). Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yan dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah

definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial, menurut Robert M. Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan. Definisi lain tentang framing dikemukakan oleh Gamson dan Modgliani. Mereka berpendapat bahwa frame adalah cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana (Gamson dan Modigliani, 1989: 3). Gamson mengandaikan wacana media terdiri dari sejumlah package interpretif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana. Package adalah gugusan ide-ide yang memberi petunjuk mengenai isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan wacana yang terbentuk. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk memaknai pesan yang disampaikan serta untuk menafsirkan pesan yang ia terima. Package tersebut dibayangkan sebagai struktur data yang mengorganisir sejumlah informasi sehingga dapat mengindikasikan posisi atau kecendrungan politik dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan makna-makna di balik isu atau peristiwa yang sedang

dibicarakan. Keberadaan package dalam suatu wacana berita ditunjukkan oleh keberadaan ide yang didukung oleh perangkat wacana seperti metaphor, depiction, catchphrase, exemplars dan virsual image. Semuanya mengarah pada ide atau pandangan tertentu, masing-masing kelompok berusaha menarik dukungan publik. Dengan mempertajam kemasan (package) tertentu dari sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau sesuai dengan kebenaran versi mereka. Pan dan Kosicki (1991: 5-7) menyatakan framing dapat dipelajari sebagai suatu strategi untuk memproses dan mengkonstruksi wacana berita atau sebagai karakteristik wacana itu sendiri. Proses framing berkaitan erat dengan rutinitas dan konvensi profesional jurnalistik. Proses framing tidak dapat dipisahkan dari strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam presentasi media. Dengan kata lain, proses framing merupakan bagian integral dari proses redaksional media massa. Dominasi sebuah frame dalam wacana berita bagaimanapun berkaitan dengan proses produksi berita yang melibatkan unsur-unsur seperti reporter, redaktur dan lain-lain. Dalam konteks ini, seperti dijelaskan oleh Gamson, pekerja media menuangkan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri serta memfrase dan mengutip sumber berita tertentu. Di saat yang sama, mereka membuat retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu (Gamson dan Modigliani, 1989:3). Berdasarkan hal-hal tersebut, framing yang berbeda akan menghasilkan berita yang

berbeda pula apabila wartawan memiliki frame yang berbeda dalam memandang suatu peristiwa dan menuliskan pandangannya itu ke dalam sebuah berita atau artikel. Analisis framing sebagai pengembangan lebih lanjut dari analisis wacana, banyak meminjam perangkat operasional analisis wacana. Pan dan Kosicki mengklasifikasikan perangkat framing ke dalam empat kategori yaitu struktur, sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris. Struktur sistaksis mengacu pada pola penyusunan kata atau frase menjadi kalimat. Ini ditandai dengan struktur piramida terbalik dan pemilihan narasumber. Keberadaan struktur sintaksis dalam sebuah berita menggiring khalayak kepada sebuah perspektif tertentu dalam memandang sebuah peristiwa. Struktur skrip mengacu pada tahapan-tahapan kegiatan dan komponen dari sebuah peristiwa. Secara umum, teks berita terdiri dari 5W dan 1H (what, who, where, when dan how). Kehadiran struktur skrip dalam sebuah berita bisa memberi kesan bahwa berita tersebut unit yang relative independen, karena menyajikan informasi yang lengkap dari sebuah peristiwa, mulai dari awal, klimaks, karakter dan emosi manusia. Struktur tematik adalah susunan hierarki dengan sebuah tema sebagai inti yang menghubungkan sejumlah subtema, yang pada gilirannya dihubungkan dengan elemen-elemen pendukung. Struktur tematik ini terdiri dari ringkasan dan bagian utama. Ringkasan biasanya

dipresentasikan melalui headline, lead, atau kesimpulan. Sedangkan bagian utama merupakan tempat di mana bukti-bukti pendukung disajikan, baik berupa peristiwa itu sendiri, latar belakang informasi atau kutipankutipan. Struktur retoris menggambarkan pilihan gaya yang dibuat oleh jurnalis sehubungan dengan efek yang mereka harapkan dari sebuah peristiwa terhadap khalayak. Mereka menggunakan perangkat framing untuk menggambarkan observasi dan interpretasi mereka sebagai sebuah fakta atau untuk meningkatkan efektivitas sebuah berita. Analisis framing tidak melihat presentasi media sebagai sesuatu yang bebas nilai. Akan ada selalu ada faktor-faktor yang memengaruhinya. Seperti yang dikemukakan oleh Pan dan Kosicki, it accepts both assumptions of the rule-governed nature of the text formation and the multidimensional conception of news text that will allow for cognitive shortcuts in both news production and comsumption (Pan dan Kosicki, 1993: 58) Asumsi dasarnya adalah bahwa teks media bukanlah suatu cermin realitas seperti yang diasumsikan secara naïf selama ini; teks media mengangkat versi-versi realitas yang tergantung pada posisi sosial dan kepentingan serta tujuan-tujuan pihak yang memproduksi teks media tersebut (Fairclough, 1995: 104). Fairclough mengandaikan wacana sebagai representasi fakta, pengaturan pihak yang terlibat, serta relasinya

senantiasa diiringi beroperasinya ideologi, pemaknaan yang melayani kekuasaan. Framing media sedikit banyak akan memengaruhi penilaian khalayak terhadap sebuah realitas. Di samping itu, proses framing dapat menghasilkan gambaran tentang suatu realitas yang berbeda dengan kondisi objektifnya. Hal ini dikarenakan pihak-pihak yang berkompetensi di media dengan frame masing-masing selalu berusaha memenangkan wacana yang dianggap benar menurut versinya masing-masing. II. 4 Homoseksualitas Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang: heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997: 207). Istilah homoseksual paling sering digunakan untuk menggambarkan perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial. Hawkin (dalam Kaplan, 1997: 208) menulis bahwa istilah gay dan lesbian dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi kelompok sosial yang memiliki label sama. Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak

mengidentifikasi diri mereka sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada: 1. Orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama. 2. Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender. 3. Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual dan ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual.