BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman atas asas null and void yang belum begitu tepat tersebut

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Dalam Bab ini, sesuai dengan judulnya, Penulis mengemukakan suatu

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN.

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

A. Pengertian Perjanjian. C. Unsur-unsur Perjanjian. B. Dasar Hukum Perjanjian 26/03/2017

BAB II TINJAUAN TENTANG KONTRAK, KEBATALAN DAN PEMBATALAN KONTRAK SERTA KONSEP PENYALAHGUNAAN KEADAAN

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat dapat menghasilkan suatu peristiwa-peristiwa tersebut dapat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN APABILA TERJADI PEMBATALAN PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

PERJANJIAN PENYERAHAN BENDA BERGERAK YANG TERIKAT LEASING SEBAGAI JAMINAN HUTANG

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KONSINYASI. dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

DAFTAR PUSTAKA. Buku. Hernoko, Yudha, Agus, Hukum Perjanjian Asas Proporsionallitas Dalam Kontrak Komersil, Kencana, Jakarta, 2010.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

KONTRAK SEBAGAI KERANGKA DASAR DALAM KEGIATAN BISNIS DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA. Abbas Salim, 1985, Dasar-Dasar Asuransi (Principle Of Insurance) Edisi Kedua, Tarsito, Bandung.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu. mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya.

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. A. Pengertian Umum Tentang Perjanjian. kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Rumusan tersebut membawa

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempromosikan produknya. perjanjian itu sah, diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI YANG DILAKUKAN DEBITOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN SEPEDA MOTOR ARTIKEL. Diajukan Oleh : DODY PEBRI CAHYONO

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB I PENDAHULUAN. CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm

BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.

BAB II PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Asas asas perjanjian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

DAFTAR PUSTAKA. A. Pittlo, 1978, Pembuktian dan Daluarsa, Terjemahan M. Isa Arif, PT Intermasa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

ANALISIS YURIDIS ATAS PEMBATALAN PERJANJIAN KERJASAMA EVENT ORGANIZER

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB II PELAKSANAAN KONTRAK SEWA MENYEWA RUMAH BERJANGKA PENDEK BAGI PEKERJA KONTRAK DI KOTA BATAM

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Bagi

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

DAFTAR PUSTAKA. dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, Abdulkadir Muhammad., Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002.

BAB I PENDAHULUAN. diperhatikan oleh para pengusaha untuk mengembangkan usahanya. kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA SEBAGAI SUATU PERBUATAN HUKUM

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemahaman atas asas null and void yang belum begitu tepat tersebut terlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah ini. Meskipun terdapat dalam klausula Perjanjian No. 2 tersebut klausula bahwa apabila suatu syarat tidak terpenuhi maka kedua belah pihak bersepakat agar perjanjian yang mereka buat itu null and void, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak menyadari akan sepakat (consent) apa yang telah mereka sepakati bersama itu. Demikian pula dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan perjanjian tersebut. Akibatnya, sejak penandatanganan Perjanjian No. 2 hingga penyusunan penelitian dan penulisan karya tulis ini, telah timbul berbagai kesulitan dan permasalahan yang seharusnya tidak perlu ada di Kota Salatiga. Beberapa permasalahan yang Penulis maksudkan tersebut antara lain dapat dikemukakan dibawah ini: Masih saja ada semacam keyakinan bahwa ada hak-hak yang timbul dari Perjanjian No. 2 di atas. Misalnya, Hak Guna Bangunan (HGB) masih diyakini dipegang oleh PT. Matahari Mas Sejahtera, namun tidak dioptimalkan. Persoalan tidak hanya mengenai HGB tersebut saja, akan tetapi bagaimana Pemerintah Kota Salatiga dapat mengoperasikan Pasaraya II karena yakin bahwa Perjanjian No. 2 masih ada. Demikian pula juga menyelesaikan permasalahan 1

lainnya, seperti lahan kosong di sekitar Pasaraya II yang seharusnya dimanfaatkan sebagai lahan parkir masih bertitik tolak dari adanya Perjanjian No. 2. Tak pelak, di mata Ilmu Hukum hal semacam ini merupakan suatu ilegalitas. Masalah berikut adalah, tersendatnya pembangunan Pasaraya II dalam hal perizinan. Masalah perizinan tersebut muncul karena dinilai bertentangan dengan Peraturan Presiden No. 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Pasar Modern masih bertitik tolak dari kesadaran bahwa Perjanjian No. 2 masih ada. Semua hal atau permasalahan yang Penulis angkat dari pendekatan koran di atas menunjukan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan (stake holders) masih berkeyakinan seolah-olah masih ada Perjanjian No. 2 dan addendumnya, dan melahirkan hak, namun secara yuridis Perjanjian tersebut sudah null and void. Apa sesungguhnya yang telah menjadi sebab meskipun, seperti telah Penulis katakan bahwa secara yuridis Perjanjian No. 2 sudah null and void tetapi para stake holders masih berpikir bahwa Perjanjian No. 2 dan addendumnya masih ada? Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Penulis memilih judul sebagaimana telah di kemukakan di atas. Menurut Subekti, suatu perjanjian, yang tidak memenuhi syarat obyektif, (hal tertentu atau causa yang halal), dapat mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum (Null and void). 1 Berkaitan dengan asas atau kaedah hukum yang baru saja Penulis kemukakan di atas, menurut Subekti, dalam hal yang demikian, secara yuridis batal demi hukum artinya dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada 1 Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, 1979, Jakarta, hal., 22-23. 2

pula perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan. 2 Selain pengertian asas, atau kaedah null and void seperti yang telah dikatakan oleh Subekti di atas, ada juga yang mengatakan kebatalan atau pembatalan perjanjian menurut Pasal KUHPerdata. Pengertian kebatalan atau pembatalan perjanjian menurut pihak-pihak selain Subekti itu adalah sebagai berikut: Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus di anggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan perjanjian dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Batal mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara (vorm) yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang. Juga batal mutlak adalah suatu perjanjian, yang causanya bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (open bare orde). 3 Selain itu tentang pengertian batal demi hukum juga diberikan berdasar pada alasan kebatalannya. Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perikatan kecuali oleh hakim. Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian dirumuskan dalam Pasal 2 Ibid., hal., 22. 3 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, 2003, Jakarta, hal., 182. 3

1332 sampai Pasal 1334 (KUHPerdata) diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 (KUHPerdata) yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal, atau sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Seperti telah dibahas sebelumnya, dengan tidak adanya suatu hal tertentu (subject certain), yang terwujud dalam kebendaan yang telah disepakati, (obyek dalam suatu perjanjian), maka jelas perjanjian tidak pernah ada. Karenanya, tidak pernah pula terbit perikatan di antara para pihak (yang bermaksud membuat perjanjian tersebut). Perjanjian demikian adalah kosong (null) adanya. 4 Selain itu ada juga definisi tentang null and void berdasarkan kriteriakriteria seperti perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil. Dalam Perjanjian demikian tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian formil batal demi hukum. 5 Ahli hukum memberikan perngertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya kesepakatan para pihak mematuhi formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum. 6 hal., 151. 4 W. Prodjodikoro., 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011 5 Ibid., hal., 151. 6 Herlien Budiono., Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bhakti, 2009, hal., 47-48. 4

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman 7 dan Herlien Budiono 8 sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti. 9 Kriteria selanjutnya adalah perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, juga berakibat batal demi hukum. Artinya ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak bisa disimpangi. 10 Sedangkan menurut kriteria syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi null and void karena syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu. Dengan kata lain, perjanjian yang null 7 Mariam Darus Badrulzaman., Perikatan pada Umumnya, dalam buku berjudul Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung 2001, hal., 79-80. 8 Herlien Budiono Elly Erawati, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010, hal., 8. 9 Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, Cetakan V, Jakarta, 1978, hal., 19. 10 Herlien Budiono Elly Erawati, Op.Cit hal., 13. 5

and void seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat atau void ab initio. Pasal 1265 KUH Perdata mengatur syarat batal seperti telah dikemukakan di atas itu dengan menyebut bahwa: suatu syarat batal adalah yang bila di penuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila yang dimaksudkan terjadi. 11 I.G. Rai Widjaya mengatakan apabila unsur syarat objektif ada yang tidak terpenuhi (suatu hal tertentu atau suatu sebab yang legal), akibat hukumnya adalah null and void atau dalam bahasa Belanda nietig verklaard. Artinya, sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak pernah ada perikatan. Karena tidak pernah lahir perjanjian, tidak ada akibat hukum apapun sehingga tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan gugatan atau penuntutan. 12 Selanjutnya batal demi hukum atau batal dengan sendirinya adalah apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 KUH Pedata Angka (3) dan (4) jis. 1335, 1337, 1339 KUH Pedata), sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum (nietig). Dengan demikian makna pembatalan lebih 11 Ibid., hal., 13-14. 12 I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak Contract Drafting dan Praktik Kesaint Blanc, Bekasi Timur, 2004, hal., 54. 6

mengarah pada proses pembentukan kontrak (penutupan kontrak). Akibat hukum pada pembatalan kontrak adalah pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan kontrak, atau void ab initio. 13 Secara konsepsual yuridis, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan (voidable). Terakhir ini yaitu voidable, terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu yang diketahui terjadi apabila salah satu unsur subjektif tidak terpenuhi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kata sepakat diantara para pihak yang mengikatkan dirinya dan memiliki kecakapan dalam membuat suatu perikatan. Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif sebagaimana sudah dikemukakan di atas, maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perizinannya atau yang menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. 14 Dari sini saja sudah dapat diketahui bahwa perjanjian yang dibuat tidak memenuhi salah satu persyaratan subyektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu pihak apabila diketahuinya. Misalnya kalau pihak yang tidak cakap menurut hukum. Selanjutnya persetujuan kedua belah pihak (kesepakatan), harus diberikan secara bebas. 13 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hal., 264. 14 Subekti, 1979. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal., 22-24. 7

Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, atau tidak ada freedom of contract, yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan. Dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis). Jadi, bukan paksaan badan (fisik). Berikutnya kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Mengenai penipuan, apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar (misrepresentation) disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Agus Yudha Hernoko 15 dan I.G Rai Widjaya 16 juga menyatakan bahwa ada dua persyaratan yang menentukan sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata). Persyaratan tersebut adalah persyaratan subjektif dan persyaratan objektif. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka akibatnya ialah bahwa dengan tidak terpenuhinya persyaratan subjektif (kesepakatan dan kecakapan) para pihak maka perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak melalui pengadilan. Secara prinsip suatu pejanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan (voidable) jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihakpihak tertentu. Pihak-pihak ini tidak hanya dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini di luar pembatalan atas perjanjian tersebut 15 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, Catatan No. 11 hal., 264. 16 I.G.Rai Widjaya, Catatan No. 10 hal., 55. 8

dapat terjadi, baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah prestasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat tersebut dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, ketentuan Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti sebelum perjanjian dibuat. Memerhatikan alasan-alasan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan pembatalan perjanjian, secara garis besar, alasan pembatalan perjanjian dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar, pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Alasan-alasan tersebut, seperti telah diuraikan di atas sering kali disebut dengan alasan subyektif. Pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan karenanya tidak membawa akibat apapun bagi pihak ketiga. Walau demikian, untuk melindungi kepentingan kreditor, dalam perikatan dengan debitor dan agar ketentuan Pasal 1131 Jo. Pasal 1132 KUHPerdata dapat dilaksanakan sepenuhnya, maka dibuatlah ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata yang lebih dikenal dengan Actio Paulina. 17 Pembatalan tidak mutlak (relatief) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu. Pembatalan tidak mutlak dapat dibagi menjadi dua macam: Pertama, pembatalan tidak mutlak atas kekuasaan sendiri (nietig serta van rechtswegenietig). Para hakim diminta supaya menyatakan batal, misalnya dalam hal perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa (lihat pasal 1446 KUHPerdata). Kedua, pembatalan belaka oleh hakim (vernitigbaar), yang putusannya harus 17 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Catatan No. 2 hal., 172-180. 9

berbunyi; membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan atau penipuan (lihat pasal 1449 KUH Perdata). Perbedaan nyata yang dikatakan pihak-pihak di atas diadakan oleh KUH Perdata antara dua macam pembatalan ini dapat dilihat dari kata-kata yang terpakai dalam Pasal 1446 dan 1449 KUH Perdata. Pasal 1446 mengatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan di situ, dapat dinyatakan batal atas suatu tuntutan. Tuntutan ini dapat dilakukan secara gugatan atau dalam suatu perlawanan (exceptie). Sedangkan Pasal 1449 dikatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan di situ, hanya dapat dibatalkan atas suatu gugatan (rechtsvordering). 18 Dalam Perjanjian No. 2 dan addendum yang menjadi satuan amatan dari penelitian ini, nampaknya pemahaman perbedaan konsepsi null and void dengan konsep dapat dibatalkan (voidable) kurang dipahami secara tepat oleh para pihak dan stake holders. Hal itulah yang melatarbelakangi penelitian dan penulisan karya tulis ini. 1.2. Rumusan Masalah Apa akibat yuridis dari batal demi hukum Pejanjian Kerja Sama Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya dan Pusat Pertokoan Salati 18 W. Prodjodikoro, Catatan No. 3 hal., 196-197. 10

1.3. Tujuan Penelitian Mengenai tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui apa penyebab timbul permasalahan dalam Pejanjian Kerja Sama Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs menjadi Pasaraya Salatiga. 1.5. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan di sini adalah penelitian hukum (legal research) dengan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (konseptual approach), dan pendekatan kasus (cases study). Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi untuk menjawab isu hukum atau permasalahan penelitian. 19 Pendekatan konseptual mengkaji konsep-konsep dan teori-teori yang berkembang di bidang hokum perdagangan internasional yang relevan dengan permasalahan penelitian. Penulis hendak menemukan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum yang mengatur mengenai jaminan dalam bentuk deposito terhadap documentary credit dalam perdagangan Internasional. 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal., 97. 11

2. Sumber Hukum Sumber-sumber hukum penelitian ini meliputi bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder. a. Bahan hukum primer, yaitu Perundang-Undangan yang merupakan kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara. 20 Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Bahan Hukum Sekunder yang terutama adalah buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang memiliki kualifikasi tinggi. 21 3. Unit Amatan dan Unit Analisis Adapun satuan amatan penelitian ini adalah: Surat Perjanjian kerjasama No. 2 tahun 1991 tentang peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru dan kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya dan Pusat Pertokoan Salatiga. Addendum Pertama Perjanjian Kerja Sama No. 2 tahun 1991 tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya Salatiga dan Pusat Pertokoan Salatiga, antara Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera 20 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, hal., 142. 21 Ibid. 12

Cabang Surakarta, No. 2 tahun 1992; Addendum Kedua Perjanjian Kerja Sama No. 2 tahun 1991 tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya Salatiga dan Pusat Pertokoan Salatiga, antara Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta, No. 1 tahun 1993; addendum ketiga Perjanjian Kerja Sama No. 5/perj/VI/1995 Pemerintah Kotamadya Dati II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya I dan Pasaraya II Salatiga. Sedangkan Satuan analisis Penelitian ini adalah Bagaimana asas null and void dalam Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta. Dalam rangka mempertajam analisis, maka suatu studi perbandingan (comparative studies) antara Perjanjian No. 2 dan addendum perjanjian tersebut di atas juga dibandingkan dengan perjanjian sejenis yang juga diadakan di Kota Salatiga. Perjanjian tersebut adalah: Surat Perjanjian Kerja Sama No. 1/1991 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha dalam Rangka Pembangunan Taman Sari Plaza (saat ini dikuasai oleh Matahari Department Store), di Kota Salatiga dan addendum perjanjian tersebut. 22 22 Semua satuan amatan ini Penulis gambarkan dengan lengkap dan rinci dalam Bab III Hasil Penelitian dan Analisis untuk selanjutnya dianalisis dalam Bab yang sama. Apabila perlu dokumen yang relevan akan dilampirkan dalam Lampiran Skripsi ini. Lihat lampiran I. 13