BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti contohnya pada puskesmas, dimana pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya5.

PERBEDAAN HASIL EVALUASI PENGELOLAAN OBAT PUSKESMAS ISO DAN NON ISO KOTA SEMARANG TAHUN 2013

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serta memiliki satu Instalasi gudang farmasi kota (Dinkes Kota Solok, 2014).

EVALUASI KESESUAIAN PENGELOLAAN OBAT PADA PUSKESMAS DENGAN STANDAR PENGELOLAAN OBAT YANG ADA DI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 SKRIPSI

54 Universitas Indonesia Efisiensi relatif..., RR. Retno Wulansari, FE UI, 2010.

PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENGELOLAAN OBAT

UPT. PUSKESMAS KLUNGKUNG I

PENGELOLAAN OBAT DI PUSKESMAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG

Perencanaan. Pengadaan. Penggunaan. Dukungan Manajemen

BAB 3 KONDISI UMUM PUSKESMAS DI KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Instalasi Farmasi Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Data hasil wawancara mengenai perencanaan obat di Instalasi Farmasi RSUD Pohuwato HASIL WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN. Puskesmas merupakan unit organisasi pelayanan kesehatan terdepan yang

TAHUN UPT PUSKESMAS PABUARAN Jl P.SUTAJAYA NO 129 LAPORAN TAHUNAN PENGELOLAAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

DWI UTAMI NUGRAHANI NAFTANI CHANDRA DINI AISYAH RIZQI MUFIDAH MUTIA FARIDA A.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen adalah suatu proses tahapan kegiatan yang terdiri atas

BAB 3 KERANGKA PIKIR

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan oleh pemerintah dan / atau masyarakat (UU No.36, 2009).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

KEPUTUSAN KEPALA PUSKESMAS BEJEN NOMOR : TENTANG PERESEPAN, PEMESANAN, DAN PENGELOLAAN OBAT KEPALA PUSKESMAS BEJEN,

PHARMACY, Vol.13 No. 01 Juli 2016 ISSN SISTEM PENGELOLAAN OBAT DI PUSKEMAS DI KECAMATAN RAMBAH SAMO KABUPATEN ROKAN HULU - RIAU

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan

KEPUTUSAN KEPALA UPTD PUSKESMAS RAWAT INAP WATUMALANG NOMOR :.../.../.../2013 TENTANG PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENGELOLAAN OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengelolaan Sediaan Farmasi di Rumah Sakit. seleksi (selection), perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi

PHARMACY, Vol.08 No. 03 Desember 2011 ISSN

PERENCANAAN KEBUTUHAN OBAT

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Puskesmas rawat inap dan enam Puskesmas non rawat inap.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya

TUGAS DRUGS MANAGEMENT MAKALAH MEMAHAMI KUALITAS OBAT DAN DRUG ASSURANCE PENGELOLAAN OBAT DI PUSKESMAS

PEDOMAN WAWANCARA UNTUK PENANGGUNG JAWAB FARMAKMIN INSTRUMEN PENELITIAN MANAJEMEN PENYIMPANAN OBAT DI PUSKESMAS KECAMATAN JAGAKARSA TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DINAS KESEHATAN PUSKESMAS WONOMERTO Jalan Bantaran 853 Patalan Kecamatan Wonomerto, Telp. (0335) PROBOLINGGO 67253

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai kebutuhan. Untuk itu

nasional. Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan

KEPUTUSAN KEPALA PUSKESMAS MUARA DELANG NOMOR : / / / SK / I / TENTANG PELAYANAN OBAT KEPALA PUSKESMAS MUARA DELANG,

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas menurut Permenkes No. 75 tahun 2014 adalah fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI PUSKESMAS TEGALSARI UPTD PUSKESMAS TEGALSARI Jl. KH syafa at No. 09 Telp (0333) Tegalsari

PEMERINTAH KABUPATEN PANDEGLANG DINAS KESEHATAN UPT PUSKESMAS CIBALIUNG JL. Raya Cimanggu- Cibaliung Km. 10 Desa Sukajadi Kab. Pandeglang Pos, 42285

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB IV PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia. Sehat mencantumkan empat sasaran pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi industri farmasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

KERANGKA ACUAN KERJA UNIT OBAT

BAB I PENDAHULUAN. Era global dikenal juga dengan istilah era informasi, dimana informasi telah

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Kebijakan Obat dan Pelayanan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dengan tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obatadalah sediaan atau paduan yang siap digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berupa data primer yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara bulan

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

PUSKESMAS KECAMATAN KEBON JERUK

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran sangat strategis dalam

BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 menyatakan bahwa. upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. 1 Rumah sakit Permata Medika adalah rumah sakit tipe C di

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pemerintah telah menetapkan pola dasar pembangunan yaitu. pembangunan mutu sumberdayamanusia(sdm) di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maupun yang tidak periodik. Ada yang harus diperbaharui (updated) yang perlu

Penyimpanan Obat. Standar penyimpanan obat yang sering di gunakan adalah sebagai berikut :

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi pemacu organisasi pelayanan kesehatan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanannya. Seperti contohnya pada puskesmas, dimana pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelayanan kesehatan yang dikembangkan di suatu wilayah harus dijaga kualitas dan mutunya supaya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut, di tengah tingginya tingkat kompetisi antar instansi pelayanan kesehatan, puskesmas sebagai lini terdepan harus mampu bersaing, dalam meningkatkan kualitas pelayanannya secara berkesinambungan (Depkes RI, 2009). Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan di puskesmas mengharapkan pelayanan yang berkualitas, tidak hanya menyangkut kesembuhan penyakit secara fisik tetapi juga menyangkut kepuasan terhadap petugas dalam memberikan pelayanan. Upaya peningkatan kualitas dan mutu dalam penyelenggaraan pelayanan puskesmas salah satunya dapat melalui penerapan standar ISO. Standar ISO adalah Sistem Manajemen Mutu (SMM) yang dikenal dengan nama ISO 9001:2008, ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional. Hingga kini di Kota Semarang memiliki lima puskesmas yang telah mendapat sertifikat ISO 9001:2008 yaitu Puskesmas Bangetayu, Halmahera, Kedungmundu, Mijen dan Ngesrep (Dinkes Kota Semarang, 2011). Puskesmas yang telah menerapkan standar ISO, atau disebut juga puskesmas bersertifikasi ISO merupakan puskesmas yang memiliki standar sistem manajemen mutu,

dimana sistem manajemen mutu tersebut selalu dinilai apakah dibakukan, dijalankan, dimonitor, dievaluasi dan diperbaiki terus-menerus (Suardi, 2004). Manfaat yang dapat dirasakan puskesmas dengan adanya sertifikasi ISO adalah terciptanya lingkungan kerja yang lebih teratur sehingga berdampak pada peningkatan kepuasan pasien terhadap pelayanan puskesmas (ISO 9001, 2008). Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil penelitian Lasa., dkk (2012) bahwa tingkat kepuasan pasien terkait dengan pelayanan yang diberikan puskesmas mengenai ketersediaan obat, pelayanan petugas, dan sarana puskesmas bersertifikasi ISO menunjukkan nilai 94,34% lebih tinggi dibandingkan dengan puskesmas non ISO sebesar 89,25%. Kepuasan pasien yang semakin tinggi terhadap pelayanan puskesmas, pada akhirnya berimbas pada lebih tertujunya masyarakat terhadap puskesmas sebagai tempat pilihan utama pemeriksaan kesehatan. Salah satu yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien adalah pelayanan obat. Pelayanan obat yang memuaskan dapat terjadi apabila ketersediaan obat tercukupi sesuai kebutuhan pasien. Tercukupi tersebut berarti cukup dalam jumlah dan jenis, serta tersedia setiap saat dengan mutu terjamin sehingga obat dapat diberikan kepada pasien saat itu juga. Pelayanan obat tersebut dapat memuaskan apabila didukung pengelolaan obat yang efektif dan efisien. Supaya pengelolaan obat dapat berjalan efektif dan efisien, maka diperlukan petugas pengelola obat yang berkompeten, serta didukung dengan lingkungan kerja yang kondusif, dan sarana yang memadai (Klausul ISO 9001, 2008). Kebutuhan obat untuk pasien yang disediakan tidak sepenuhnya tercukupi, merupakan salah satu kendala yang masih ditemukan di puskesmas. Kendala tersebut dapat disebabkan karena adanya kekosongan obat, obat kadaluwarsa dan kerusakan obat. Seperti yang ditunjukkan pada hasil penelitian Al Hijrah., dkk (2013) bahwa pada puskesmas terkadang mengalami kekurangan jumlah obat yang dibutuhkan karena jumlah tidak sesuai permintaan akibatnya terjadi kekosongan obat, selain itu penyimpanan obat yang dilakukan oleh

puskesmas juga belum memenuhi standar penyimpanan gudang obat, sehingga sering terjadi obat rusak sebelum digunakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian mengenai Perbandingan Evaluasi Pengelolaan Obat pada Puskesmas Bersertifikasi ISO dan Non ISO Kota Semarang Periode Januari-Desember 2013, yang diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi instansi terkait untuk meningkatkan kualitas pelayanan sesuai standar yang ditetapkan. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana gambaran pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013? 2. Bagaimana hasil evaluasi pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013? 3. Bagaimana perbandingan hasil evaluasi pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013? 1. Tujuan umum C. Tujuan Penelitian Mengevaluasi pengelolaan obat di puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013 berdasarkan indikator yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui gambaran pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013. b. Mengetahui evaluasi pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013.

c. Mengetahui perbandingan hasil evaluasi pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil evaluasi pengelolaan obat diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO dalam meningkatkan mutu dan efektivitas pengelolaan obat. 2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan obat secara efektif dan efisien. E. Tinjauan Pustaka 1. Puskesmas di Kota Semarang Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas maka tanggung jawab pembagian wilayah kerja harus memperhatikan keutuhan konsep wilayah seperti desa, kelurahan dan RW (Menkes RI, 2014). Masyarakat lebih memilih puskesmas sebagai tempat pengobatan karena biaya lebih terjangkau daripada rumah sakit. Selain itu, adanya puskesmas berpengaruh bagi masyarakat dengan alasan jarak dekat dengan tempat tinggal dan obat-obat yang cukup tersedia.

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat. Kecamatan sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup di dalam lingkungan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Menkes RI, 2004). Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut adalah (Menkes RI, 2004) : a. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya b. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya c. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan, dan keterjangkauan pelayanan kesehatan d. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga, dan masyarakat, serta lingkungannya Sampai saat ini, Kota Semarang memiliki tiga puluh tujuh (37) puskesmas yang tersebar di enam belas (16) kecamatan. Puskesmas dibantu oleh puskesmas pembantu (pustu) dan puskesmas keliling (pusling). Sebanyak sebelas (11) puskesmas memiliki rawat inap, sedangkan dua puluh enam (26) lainnya merupakan rawat jalan. Kota Semarang memiliki lima (5) puskesmas yang sudah memiliki sertifikasi ISO 9001:2008, diantaranya yaitu Puskesmas Bangetayu, Halmahera, Kedungmundu, Mijen dan Ngesrep. Daftar Puskesmas Kota Semarang dapat dilihat pada tabel I berikut (Dinkes Kota Semarang, 2011).

Tabel I. Daftar Puskesmas Induk Kota Semarang No Kecamatan Puskesmas 1 Semarang Tengah 1.Poncol 2.Miroto 2 Semarang Utara 3.Bandarharjo 4.Bulu Lor 3 Semarang Timur 5.Halmahera 6.Bugangan 7.Karangdoro 4 Semarang Selatan 8.Pandanaran 9.Lamper Tengah 5 Semarang Barat 10.Karangayu 11.Lebdosari 12.Manyaran 13. Krobokan 14.Ngemplak Simongan 6 Gayamsari 15.Gayamsari 7 Candisari 16.Candi lama 17.Kagok 8 Gajah Mungkur 18.Pegandan 9 Genuk 19.Genuk 20.Bangetayu 10 Pedurungan 21.Tlogosari Wetan 22.Tlogosari Kulon 11 Tembalang 23.Kedungmundu 24.Rowosari 12 Banyumanik 25.Ngesrep 26.Padangsari 27.Srondol 28.Pudak Payung 13 Gunungpati 29.Gunungpati 30.Sekaran 14 Mijen 31.Mijen 32.Karang Malang 15 Ngaliyan 33.Tambak Aji 34.Purwoyoso 35.Ngaliyan 16 Tugu 36.Mangkang 37.Karanganyar

2. Pengelolaan Obat Pengelolaan obat adalah suatu rangkaian kegiatan yang meliputi aspek perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan, pencatatan dan pelaporan obat (Menkes RI, 2008). Tujuan pengelolaan obat adalah untuk menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu, dan bermanfaat serta terjangkau oleh masyarakat. Pengelolaan obat di puskesmas dibawah pengelolaan Dinas Kesehatan Kota melalui Instalasi Farmasi Kota (Depkes RI, 2007). a. Perencanaan Obat Perencanaan adalah dasar kegiatan untuk menentukan kebutuhan obat dengan baik. Penentuan kebutuhan obat yang menyangkut pemilihan jenis obat harus menggunakan perkiraan jumlah kebutuhan persediaan tiap jenis obat. Penentuan pemilihan kebutuhan obat harus berpedoman pada daftar obat esensial nasional, standar terapi, dan macam penyakit di wilayah puskesmas tertentu dengan mengutamakan obatobat generik (Seto dkk., 2012). Tujuan perencanaan obat adalah untuk (Depkes RI, 2007) : 1) Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah obat sesuai dengan kebutuhan 2) Meningkatkan efisiensi penggunaan obat 3) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional Proses perencanaan obat dimulai dari data laporan pemakaian dan lembar permintaan obat (LPLPO) yang disampaikan puskesmas ke Instalasi Farmasi Kota (IFK) yang selanjutnya oleh IFK dikompilasi menjadi rencana kebutuhan obat di kota (Depkes RI, 2007). Ketepatan dan kebenaran data dari puskesmas akan berpengaruh terhadap ketersediaan obat secara keseluruhan di kota. Perencanaan kebutuhan obat di puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh pengelola obat (Kemenkes RI, 2010).

Adapun pendekatan perencanaan perhitungan kebutuhan obat dapat dilakukan melalui dua metode yaitu metode konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan, dan waktu tunggu (lead time) (Kemenkes dan IAI, 2011). b. Permintaan Obat Permintaan adalah kegiatan dalam memenuhi kebutuhan puskesmas yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan dan kebutuhan obat. Permintaan obat dilakukan oleh puksesmas dengan mengajukan permohonan kepada Dinas Kesehatan Kota (DKK) (Seto dkk., 2012). Tujuan permintaan obat adalah memenuhi kebutuhan obat sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah kerjanya. Obat yang diperbolehkan untuk disediakan di puskesmas adalah obat esensial yang jenisnya ditentukan setiap tahun oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk kepada daftar obat esensial nasional (DOEN) (Menkes RI, 2006). Selain obat esensial, hanya obat generik yang dibolehkan tersedia di puskesmas sesuai dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri Kesehatan No:085 tahun 1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat generik di pelayanan kesehatan milik pemerintah (Kemenkes RI, 2010). Prosedur permintaan obat oleh puskesmas dimulai dengan mengajukan format laporan pemakaian dan lembar permintaan obat (LPLPO) dari Kepala Puskesmas kepada DKK melalui IFK, sedangkan permintaan dari sub unit pelayanan kesehatan ke Kepala Puskesmas dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO sub unit. Berdasarkan pertimbangan efisiensi ketepatan waktu penyerahan obat, Kepala DKK menunjuk IFK untuk menyerahkan obat secara langsung ke puskesmas. Permintaan obat di puskesmas dilakukan secara rutin sesuai jadwal yang disusun oleh DKK melalui IFK. Waktu

permintaan obat dilakukan setiap per-triwulan atau empat kali dalam setahun. Apabila kebutuhan meningkat sehingga terjadi kekosongan obat karena bencana atau kejadian luar biasa (KLB) dapat dilakukan permintaan khusus diluar jadwal rutin (Kemenkes RI, 2010). c. Penerimaan Obat Penerimaan adalah kegiatan dalam menerima obat-obatan yang diserahkan dari unit pengelola yang lebih tinggi kepada unit pengelola dibawahnya. Tujuan penerimaan agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh puskesmas (Kemenkes RI dan IAI, 2011). Proses penerimaan bertujuan untuk memastikan bahwa kiriman obat yang diterima benar, tidak rusak atau tidak mengalami perubahan selama transportasi. Penerimaan obat dilaksanakan oleh petugas pengelola obat atau petugas lain yang diberi kuasa oleh Kepala Puskesmas. Setiap penyerahan obat dari IFK kepada puskesmas akan dilaksanakan setelah disetujui oleh Dinas Kesehatan Kota (Kemenkes RI, 2010). Petugas penerima obat bertanggung jawab atas pemeriksaan fisik, penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan, dan penggunaan obat serta kelengkapan catatan yang menyertai. Petugas penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap obat yang diserahterimakan dari IFK meliputi kemasan, jenis, jumlah obat, dan bentuk sediaan obat sesuai dengan isi dokumen berupa Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) (Depkes RI, 2007). Petugas penerima dapat menolak apabila terdapat kerusakan obat, serta sudah kadaluwarsa atau mendekati tanggal kadaluwarsa supaya menghindari kemungkinan obat sudah kadaluwarsa sebelum digunakan oleh pasien (BPOM RI, 2012). Setiap penambahan obat dari penerimaan tersebut, dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat dan kartu stok (Kemenkes RI, 2010).

Obat yang memerlukan penyimpanan atau pengamanan khusus, harus segera dipindahkan ke tempat penyimpanan yang sesuai. Nomor batch dan tanggal kedaluwarsa obat harus dicatat pada saat penerimaan untuk mempermudah penelusuran. Jika ditemukan obat diduga palsu, batch tersebut harus segera dipisahkan dan dilaporkan ke instansi berwenang (BPOM RI, 2012). d. Penyimpanan Obat Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan dan memelihara obat dengan cara menempatkan obat yang diterima pada tempat yang aman dari kerusakan dan pencurian. Kerusakan obat dapat disebabkan adanya gangguan fisik sehingga obat harus disimpan di gudang obat dengan ruang penyimpanan yang harus memenuhi persyaratan antara lain ruangan yang memadai, cepat dan mudah dalam pengambilan obat, serta penataan yang dapat terhindar dari kesalahan pengambilan obat sehingga dapat menjamin kestabilan obat (Seto dkk., 2012). Selain itu, terdapat beberapa kondisi penyimpanan obat yang harus diperhatikan antara lain obat harus disimpan terpisah dari produk selain obat dan terlindung dari paparan cahaya matahari; serta harus sesuai dengan persyaratan suhu dan kelembaban pada aturan penyimpanan. Perhatian khusus harus diberikan pada obat yang membutuhkan kondisi penyimpanan khusus (BPOM RI, 2012). Tata cara penyusunan obat dilakukan dengan penerapan sistem First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO). Sistem FEFO artinya obat yang tanggal kadaluwarsanya lebih awal harus dikeluarkan dahulu dari obat yang memiliki tanggal kadaluwarsa lebih lama, sedangkan FIFO artinya obat yang datang pertama kali harus dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang datang kemudian (Kemenkes RI dan IAI, 2011). Pencatatan obat di gudang obat dilakukan secara rutin di kartu stok setiap ada penerimaan dan pengeluaran obat. Kartu stok obat meliputi nama obat, jenis obat, kemasan, tanggal penerimaan dan pengeluaran, nomer dokumen penerimaan atau

pengeluaran, sumber asal obat atau kepada siapa obat dikirim, nomer batch, tanggal kadaluarsa, jumlah penerimaan, jumlah pengeluaran, sisa stok, dan paraf petugas yang mengerjakan. Pengecekan di gudang obat sesekali perlu dilakukan untuk menjaga mutu obat supaya tidak terjadi pembuangan obat secara percuma yang mengakibatkan berkurangnya stok obat. Mutu dan kondisi obat juga dipengaruhi oleh penempatan obat, oleh karena itu obat disimpan pada rak dan di atas pallet obat, serta tidak boleh diletakkan di lantai (Kemenkes, 2010). Stock opname perlu dilakukan secara berkala untuk menjaga akurasi persediaan stok. Perbedaan stok harus diselidiki sesuai dengan prosedur tertulis yang ditentukan untuk memeriksa ada tidaknya campur-baur, kesalahan keluar-masuk, pencurian, dan penyalahgunaan obat. Dokumentasi yang berkaitan dengan penyelidikan harus disimpan untuk jangka waktu yang telah ditentukan (BPOM RI, 2012). e. Distribusi Obat Distribusi atau penyaluran adalah kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat dari gudang obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub-sub unit pelayanan kesehatan (Kemenkes RI dan IAI, 2011). Sub unit antara lain unit pelayanan kesehatan di lingkungan puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan posyandu. Tujuan distribusi agar memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan di wilayah kerja puskesmas dengan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat serta mutu terjamin (Kemenkes RI, 2010). Obat-obatan yang telah dikeluarkan dari gudang obat harus segera dicatat dan dibukukan pada buku harian pengeluaran obat. Fungsi buku harian pengeluaran obat sebagai dokumen yang memuat semua catatan pengeluaran, baik mengenai data obat sehingga dapat diketahui jumlah obat, nomor dan tanggal yang dikeluarkan serta sub unit

penerima obat. Pencatatan ini sebagai dasar data untuk perencanaan dan pelaporan (Depkes RI, 2007). Alur disribusi dan pelaporan obat di puskesmas dapat dilihat pada gambar 1 berikut. Instalasi Farmasi Kota Puskesmas Gudang Obat SUPO Kamar Obat SUPO Kamar Suntik SUPO Puskesmas Pembantu SUPO Puskesmas Keliling Posyandu dll Gambar 1. Jalur Distribusi dan Pelaporan Obat di Puskesmas Keterangan: IFK = Instalasi Farmasi Kota SUPO = Sub Unit Pelayanan Obat = Distribusi = Pelaporan f. Penggunaan Obat Pengobatan yang rasional harus dilakukan pada saat tenaga medis berhadapan dengan pasien. Tenaga medis harus bisa menentukan diagnosis yang tepat dan memberikan terapi yang tepat pula. Komunikasi antara tenaga medis dengan pasien memegang peranan penting dalam farmakoterapi antara lain mengenai penyakit yang diderita, tindakan pengobatan, obat yang diperlukan, dan bagaimana cara penggunaannya. Pengobatan yang diberikan tenaga medis mengacu pada pedoman pengobatan dasar di puskesmas (Kepmenkes, 2008). Penggunaan obat yang tidak rasional dapat mengakibatkan

berkurangnya persediaan yang menyebabkan beberapa pasien tidak dapat diobati sebagaimana mestinya (McMahon dkk., 1995). Penggunaan obat dikatakan rasional jika tepat penggunaan dan memenuhi persyaratan antara lain memenuhi kriteria tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat pasien, tepat informasi, waspada terhadap efek samping, dan cost effectiveness serta pendekatan POR (penggunaan obat rasional) yaitu penerapan konsep obat esensial, penggunaan obat generik, dan promosi penggunaan obat rasional. Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medik, baik menyangkut ketepatan jenis, dosis, dan cara pemberian obat. Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah penting yang menimbulkan dampak cukup besar dalam penurunan mutu pelayanan kesehatan dan peningkatan anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk obat. Dampak negatif yang dapat terjadi berupa dampak klinik misalnya terjadinya efek samping dan resistensi kuman, dampak ekonomi (biaya mahal tidak terjangkau), serta dampak sosial (ketergantungan pasien terhadap intervensi obat) (Kemenkes RI, 2010). g. Pencatatan dan Pelaporan Obat Pencatatan dan pelaporan obat merupakan rangkaian kegiatan dalam penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan, dan digunakan puskesmas atau sub unit pelayanan lainnya (Kemenkes RI dan IAI, 2011). Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah sebagai bukti bahwa kegiatan telah dilakukan serta dapat digunakan sebagai sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian, perencanaan kebutuhan, dan pembuatan laporan. Puskesmas bertanggung jawab atas penatalaksanaan pencatatan dan pelaporan obat yang tertib dan lengkap serta tepat waktu untuk mendukung pelaksanaan seluruh pengelolaan obat (Kemenkes RI, 2010).

Sarana administrasi obat yang digunakan untuk pencatatan dan pelaporan obat di puskesmas adalah (Depkes RI, 2007) : 1) Kartu stok obat Kartu stok obat digunakan untuk mencatat mutasi obat berupa penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kadaluwarsa di gudang obat. Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan pengadaan distribusi dan sebagai pembanding terhadap keadaan fisik obat dalam tempat penyimpanannya. 2) Laporan pemakaian dan lembar permintaan obat (LPLPO) Laporan pemakaian dan lembar permintaan obat digunakan sebagai bukti pengeluaran obat dari IFK, bukti penerimaan obat di puskesmas, surat permintaan/pemesanan obat dari puskesmas kepada DKK dan IFK, serta sebagai bukti penggunaan obat di puskesmas. Data pelaporan obat yang dikumpulkan oleh puskesmas diperoleh dari data LPLPO. Data LPLPO tersebut merupakan kompilasi dari data LPLPO sub unit pelayanan obat dan kartu stok. LPLPO yang dibuat oleh petugas puskesmas harus tepat data, tepat isi dan dikirim tepat waktu serta diarsipkan dengan baik. LPLPO dibuat tiga rangkap yakni diberikan ke DKK, IFK, dan arsip puskesmas itu sendiri. Periode pelaporan dilakukan secara periodik setiap awal bulan tanggal 10 (Kemenkes RI, 2010). Kegiatan pencatatan dan pelaporan data obat di puskesmas antara lain dilakukan di (Kemenkes RI, 2010) : 1) Gudang puskesmas Obat yang diterima di gudang atau dikeluarkan dari gudang, dicatat dalam buku penerimaan obat, pengeluaran obat, dan kartu stok. 2) Kamar obat

Setiap hari jumlah obat yang dikeluarkan kepada pasien dicatat pada buku catatan pemakaian obat harian. LPLPO dan permintaan obat ke gudang obat dibuat berdasarkan catatan pemakaian harian dan sisa stok. 3) Kamar suntik Obat-obat yang akan digunakan setiap harinya dimintakan ke gudang obat. Pemakaian obat dicatat pada buku penggunaan obat suntik dan menjadi sumber data untuk permintaan tambahan obat. 4) Puskesmas keliling, puskesmas pembantu, tempat perawatan dan ruang pertolongan gawat darurat Tiap pengeluaran obat dicatat di buku catatan pemakaian obat harian. 3. Indikator Pengelolaan Obat di Puskesmas Pengelolaan obat secara khusus harus dapat menjamin tersedianya kebutuhan obat dengan jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan, terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien, terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu baik, pendistribusian yang efektif, terpenuhinya kebutuhan obat, tersedianya kualifikasi sumber daya manusia yang tepat serta penggunaan obat secara rasional. Agar dapat tercapainya tujuan tersebut, untuk menentukan tingkat keberhasilan pengelolaan obat maka kinerja pelayanan kefarmasian diukur dengan indikator pengelolaan obat di puskesmas. Indikator tersebut merupakan jenis data berdasarkan sifat/gejala/keadaan yang dapat diukur dan diolah secara mudah dan cepat dengan tidak memerlukan data lain dalam pengukurannya (Kemenkes RI, 2010). Indikator yang digunakan pada pengelolaan obat di puskesmas adalah indikator berdasarkan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 yaitu:

a. Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN Jenis obat yang tersedia di puskesmas diseleksi berdasarkan daftar obat esensial nasional (DOEN) yang terbaru agar tercapai prinsip efektivitas dan efisiensi. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap perencanaan. Nilai ideal sebesar 100%. b. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di puskesmas harus sesuai dengan kebutuhan populasi artinya harus sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah puskesmas. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap perencanaan. Nilai ideal sebesar 100%. c. Tingkat ketersediaan obat Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di puskesmas harus sesuai dengan kebutuhan. Jumlah obat yang disediakan di gudang minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap perencanaan. Nilai ideal sebesar 100%. d. Ketepatan permintaan obat Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di puskesmas harus sesuai dengan kebutuhan populasi artinya sesuai dalam jumlah dan jenis obat untuk pelayanan kesehatan di puskesmas. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap permintaan. Nilai ideal sebesar 100%. e. Persentase dan nilai obat rusak atau kadaluwarsa Terjadinya obat kadaluwarsa mencerminkan ketidaktepatan permintaan, kurang baiknya sistem distribusi, kurangnya pengamanan mutu dalam penyimpanan obat atau perubahan pola penyakit. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap penyimpanan. Nilai ideal sebesar 0%.

f. Ketepatan distribusi obat Jenis obat yang didistribusikan sesuai dengan metode imprest untuk menjaga stok tetap dengan total jenis obat yang didistribusikan pada sub unit pelayanan. Metode imprest adalah stok tetap dengan jumlah relatif kecil di sub unit pelayanan kesehatan. Nilai ideal sebesar 100%. g. Persentase bobot rata-rata perbedaan dari variasi persediaan Sistem pencatatan stok yang tidak akurat akan menyebabkan kerancuan untuk melihat obat kurang atau obat berlebih. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap pencatatan dan pelaporan. Nilai ideal sebesar 0%. h. Persentase rata-rata waktu kekosongan obat Persentase rata-rata waktu kekosongan obat menggambarkan kapasitas sistem permintaan dan distribusi dalam menjamin kesinambungan suplai obat. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap perencanaan. Nilai ideal sebesar 0%. i. Persentase obat yang tidak diresepkan Obat yang tidak diresepkan akan menyebabkan terjadinya kelebihan obat, sehingga perlu dilakukan komunikasi antara pengelola obat dengan pengguna obat agar tidak terjadi hal seperti ini. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap penggunaan. Nilai ideal sebesar 0%. j. Persentase penulisan resep obat generik Penggunaan obat generik merupakan satu keharusan bagi sektor pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat puskesmas pada tahap penggunaan. Nilai ideal sebesar 100% (WHO, 1999).

4. International Organization for Standardization (ISO) 9001:2008 Pelayanan kesehatan berstandar ISO adalah pelayanan yang menggunakan standar sistem manajemen mutu yang digunakan untuk menilai apakah sistem manajemen mutu dibakukan, dijalankan, dimonitor, dievaluasi, dan diperbaiki terus menerus; sedangkan pelayanan yang tidak berstandar ISO 9001:2008 adalah pelayanan yang tidak menggunakan standar sistem manajemen mutu (Suardi, 2004). ISO bukan merupakan suatu standar produk karena dalam ISO 9000 adalah standar Sistem Manajemen Mutu (SMM) dan bukan berisi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk atau jasa sehingga tidak dapat untuk menginspeksi suatu produk terhadap standar-standar produk. ISO hanya merupakan standar sistem manajemen kualitas (Gaspersz, 2006). Seri ISO 9000 telah mengalami beberapa kali perubahan. ISO 9000:1994 (tahun 1994) berganti menjadi seri ISO 9001:2000 (tahun 2000) dan pada tahun 2008 telah direvisi menjadi ISO 9001:2008. Seri ISO 9000:1994 dikelompokkan menjadi ISO 9001, ISO 9002, ISO 9003, dan ISO 9004. Masing-masing pengelompokan tersebut merupakan model sistem mutu yang berbeda-beda yaitu sebagai berikut (Suardi, 2004) : a. ISO 9001:1994 adalah model sistem mutu untuk desain, pengembangan, produksi, pengantaran jasa, instalasi dan purna jual b. ISO 9002:1994 adalah model sistem mutu untuk pengembangan, produksi, pengantaran jasa, instalasi dan purna jual c. ISO 9003:1994 adalah model sistem mutu untuk pengujian dan inspeksi akhir d. ISO 9004:1994 adalah pedoman penerapan Sistem Manajemen Mutu Tahun 2000 terjadi penggabungan ISO 9001, ISO 9002, dan ISO 9004 edisi tahun 1994 menjadi ISO 9001:2000 yang berisi empat persyaratan yaitu tanggung jawab

manajemen, manajemen sumber daya, manajemen proses dan pengukuran, serta analisis peningkatan (Suardi, 2004). Revisi selanjutnya dikeluarkan pada tahun 2008 yang dikembangkan untuk mengklarifikasi persyaratan yang terdapat pada ISO 9001:2000 dan untuk menyesuaikan dengan ISO 14001:2004 (Sistem Manajemen Lingkungan). ISO 9001:2008 tidak mengeluarkan persyaratan tambahan bahkan tidak juga mengganti persyaratan yang terdapat pada ISO 9001:2000 (ISO 9001, 2008). Fokus pasien merupakan salah satu dari sepuluh komponen unsur manajemen utama pada puskesmas bersertifikasi ISO 9001:2008 (Tjiptono dan Diana, 2003), sedangkan fokus pelayanan pasien pada puskesmas non ISO 9001:2008, terdiri dari enam prinsip yang harus dilakukan. Enam prinsip tersebut meliputi kepemimpinan, pendidikan, perencanaan, review, komunikasi, serta penghargaan dan pengakuan (Tjiptono, 2006). Kota Semarang memiliki lima puskesmas yang sudah bersertifikasi ISO diantaranya Puskesmas Bangetayu, Halmahera, Kedungmundu, Mijen, dan Ngresep. Menurut Dinas Kesehatan Kota Semarang, puskesmas dengan standar ISO merupakan puskesmas yang memiliki sejumlah pelayanan dan fasilitas medis yang setara dengan Rumah Sakit Daerah. Beberapa standarisasi yang harus dipenuhi dalam menerima sertifikat ISO antara lain mutu pelayanan puskesmas yang menyangkut sumber daya manusia dan standar kinerja puskesmas dalam memberi pelayanan kesehatan. F. Landasan Teori Tujuan sertifikasi ISO adalah untuk memberikan jaminan kualitas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan sehingga dapat meningkatkan kepuasan pasien di puskesmas, meningkatkan citra puskesmas, dan meningkatkan daya saing antar instansi pelayanan kesehatan.

Puskesmas bersertifikasi ISO sudah memiliki pengelolaan obat yang baik, hal ini ditunjukkan pada Puskesmas Sukmajaya Kota Depok yang memperoleh standar manajemen ISO 9001:2008. Puskesmas Sukmajaya memiliki dokumen yang lebih lengkap dan akurat sehingga kemungkinan kesalahan kecil dalam pelaporan (Dinkes Kota Depok, 2012). Berdasarkan kenyataan sekarang ini, bahwa pengelolaan obat di puskesmas bersertifikasi ISO biasanya tertata rapi didukung dengan perlengkapan fasilitas dan peralatan untuk obat yang memadai seperti tersedianya tempat dan alat untuk peracikan obat, tempat penyimpanan obat yang sesuai dengan persyaratan, serta pencatatan yang tertib dan baik sehingga mudah dimonitor. Berbeda dengan puskesmas non ISO yang biasanya mempunyai perlengkapan fasilitas dan peralatan yang tidak cukup memadai seperti yang ditunjukkan pada Puskesmas Kampala Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai pada tahun 2011, dimana dari hasil penelitian Mangindara., dkk (2012) menunjukkan pengelolaan obat, salah satunya pada tahap penyimpanan tidak memenuhi standar karena tidak memiliki fasilitas gudang obat yang baik. G. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesimpulan mengenai: a. Gambaran pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013. b. Hasil evaluasi pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013. c. Perbandingan hasil evaluasi pengelolaan obat pada puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO Kota Semarang periode Januari-Desember 2013.