ESTIMASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DARI CITRA SATELIT MULTI SENSOR DAN MULTI TEMPORAL DI TELUK JAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

ix

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

BAB III METODE PENELITIAN

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

Gambar 1. Diagram TS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA

MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

Pola Spasial dan Temporal Total Suspended Solid (TSS) dengan Citra SPOT di Estuari Cimandiri, Jawa Barat

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

BAB III DATA DAN METODOLOGI

Gambar 1. Satelit Landsat

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

DAFTAR ISI Halaman INTISARI... Ii ABSTRACT... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR PERSAMAAN...

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

KATA PENGANTAR Pemetaan Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Bintan Timur Kepulauan Riau.

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

ESTIMASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DARI CITRA SATELIT MULTI SENSOR DAN MULTI TEMPORAL DI TELUK JAKARTA Oleh: Ajeng Fiori Sagita C64104076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: ESTIMASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DARI CITRA SATELIT MULTI SENSOR DAN MULTI TEMPORAL DI TELUK JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini. Bogor, Agustus 2009 AJENG FIORI SAGITA C64104076 ii

RINGKASAN AJENG FIORI SAGITA. Estimasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari citra satelit multi sensor dan multi temporal di Teluk Jakarta. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan SAM WOUTHUYZEN. Penelitian dengan topik estimasi klorofil-a dan suhu permukaan laut di Teluk Jakarta bertujuan untuk membuat algoritma empiris estimasi klorofil-a dan suhu permukaan laut. Metode yang digunakan adalah dengan mengkorelasikan berbagai bentuk rasio kanal citra satelit dengan nilai in situ kualitas air. Citra yang digunakan adalah Landsat-7 ETM+ dan Terra ASTER. Kombinasi rasio kanal yang digunakan untuk mengestimasi klorofil-a dari Landsat-7 ETM+ yaitu rasio kanal 3 (0.63-0.69µm) banding kanal 1 (0.45-0.52 µm). Sedangkan dari satelit Terra ASTER menggunakan kanal 3 (0.78-0.86 µm). Algoritma empiris estimasi klorofil-a antara lain: 1. Musim Timur citra Landsat-7 ETM+: rad kanal 3 rad kanal 3 ( 3 ) = 31.169 rad kanal 1 2 41.648 + 14.189 rad kanal 1 2. Musim Timur citra Terra ASTER: ( 3 ) = 0.035(rad kanal 3) 2 0.318(rad kanal 3) + 1.336 3. Musim Peralihan 2 citra Landsat-7 ETM+: rad kanal 3 rad kanal 3 ( 3 ) = 47.692 rad kanal 1 2 53.655 + 15.309 rad kanal 1 Koefisien determinasi klorofil-a in situ dengan klorofil-a hasil estimasi musim timur Landsat-7 ETM+, musim timur Terra ASTER dan musim peralihan 2 Landsat-7 ETM+ berturut-turut sebesar 0.669; 0.683; dan 0.609. Estimasi SPL menggunakan panjang gelombang termal infra merah. Landsat-7 ETM+ menggunakan kanal 6 (10.40-12.50 µm) dan Terra ASTER menggunakan kanal 13(10.25-10.95 µm). Algoritma empiris estimasi SPL yaitu: 1. Musim Timur citra Landsat-7 ETM+: ( ) = 0.0373( 62) 2 + 0.7715( 62) + 20.0145 2. Musim Timur citra Terra ASTER: ( ) = 0.7025( 13) 2 12.0714( 13) + 81.3179 3. Musim Peralihan 2 citra Landsat-7 ETM+ : ( ) = 32.65( 62) 2 577( 62) + 2578 Koefisien determinasi SPL in situ dengan SPL estimasi Musim Timur Landsat-7 ETM+, Musim Timur Terra ASTER dan Musim Peralihan 2 Landsat-7 ETM+ berturut-turut sebesar 0.012; 0.039 dan 0.6. Hasil validasi menunjukkan bahwa algoritma empiris untuk mengestimasi SPL pada Musim Timur dari Landsat-7 ETM+ maupun Terra ASTER tidak dapat digunakan. Kondisi tersebut dimungkinkan karena data yang digunakan dalam pembuatan algoritma tersebut sedikit sehingga tidak dapat menggambarkan kondisi perairan Teluk Jakarta secara merata. Kata kunci: klorofil-a, suhu permukaan laut, Terra ASTER, Landsat-7 ETM+, Teluk Jakarta iii

ESTIMASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DARI CITRA SATELIT MULTI SENSOR DAN MULTI TEMPORAL DI TELUK JAKARTA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: Ajeng Fiori Sagita C64104076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Hak cipta milik Ajeng Fiori Sagita, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya

Judul Penelitian : ESTIMASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DARI CITRA SATELIT MULTI SENSOR DAN MULTI TEMPORAL DI TELUK JAKARTA Nama Mahasiswa : Ajeng Fiori Sagita Nomor Pokok : C64104076 Disetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DAA, DEA NIP. 19561103 198503 1 003 Dr. Ir. Sam Wouthuyzen M.Sc. NIP. 19560512 198103 1 008 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Indra Jaya NIP. 19610410 198601 1 002 Tanggal lulus : 18 Agustus 2009

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas anugerah, rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi dengan judul Estimasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari citra satelit multi sensor dan multi temporal di Teluk Jakarta dapat selesai. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu prasyarat kelulusan program sarjana. Saya mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DAA, DEA. dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Alm. Bapak Mochamad Fadjar, Ibu Novi Maulina dan keluarga yang telah mencurahkan perhatian, kasih sayang, dan dukungan serta kepada Keluarga besar ITK khususnya angkatan 41 atas bantuan, dukungan dan persahabatannya. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk menuju suatu yang lebih baik, semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Bogor, Agustus 2009 Ajeng Fiori Sagita vii

UCAPAN TERIMAKASIH Saya mengucapkan terimakasih atas selesainya penulisan skripsi kepada: (1) Allah SWT atas segala rahmat, anugerah dan rizki-nya yang melimpah. (2) Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DAA, DEA. yang memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan dalam pengerjaan skripsi maupun semasa pengajaran kuliah. (3) Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. yang memberikan bimbingan, ilmu pengetahuan selama pengerjaan dan penulisan skripsi. (4) Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si. selaku dosen penguji sidang skripsi. (5) Dr. Ir. Henry M. Manik, MT. selaku koordinator program studi ITK FPIK- IPB. (6) P2O-LIPI (Pusat Penelitian Oseanografi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) atas izin penggunaan data untuk penelitian. (7) Alm Bpk. Mochamad Fadjar yang telah mengasihi saya sampai di ujung usianya, Ibu Novi Maulina atas doa dan dukungan serta Kakak Fiara Indriana dan Mochamad Ivan Fiagerando atas doa dan perhatian. (8) Acta Withamana S.Pi atas bantuan dan dukungannya. (9) Keluarga besar ITK khususnya angkatan 41. (10) Pihak-pihak yang tidak dapat ditulis satu persatu yang telah membantu. Semoga amal ibadah diterima dan dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT, amin. Ajeng Fiori Sagita viii

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 Kondisi fisik Teluk Jakarta... 3 2.2. Kualitas Perairan... 3 2.3 Curah hujan... 7 2.4 Arus... 8 2.5 Seston... 8 2.6 Aplikasi penginderaan jauh untuk deteksi kualitas air... 9 2.6.1 Klorofil-a... 9 2.6.2 Suhu permukaan laut (SPL)... 12 2.7 Satelit Landsat-7 ETM+... 13 2.8 Satelit Terra ASTER... 15 3. METODOLOGI PENELITIAN... 18 3.1 Lokasi penelitian... 18 3.2 Bahan dan Alat... 19 3.3 Metode pengambilan data in situ... 19 3.4 Metode pengolahan data... 20 3.4.1 Citra satelit... 21 3.4.2 Koreksi geometrik dan radiometrik... 22 3.4.3. Konversi DN ke radian... 22 3.4.4. Ekstraksi nilai radian... 24 3.4.5 Pembuatan algoritma empiris estimasi... 25 3.5 Analisis Data... 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 28 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a... 28 4.2 Validasi algoritma empiris estimasi klorofil-a... 32 4.3 Sebaran klorofil-a... 36 4.4 Pembuatan algoritma empiris SPL... 41 4.5 Validasi algoritma empiris estimasi SPL... 42 4.6 Sebaran SPL... 45 ix

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 48 5.1 Kesimpulan... 48 5.2 Saran... 48 DAFTAR PUSTAKA... 49 LAMPIRAN... 53 RIWAYAT HIDUP... 61 x

DAFTAR TABEL Halaman 1. Kisaran suhu musiman air Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu... 5 2. Karakteristik Satelit Landsat-7 ETM+... 15 3. Karakteristik Satelit Terra ASTER... 17 4. Jumlah stasiun pengambilan data in situ... 18 5. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian... 19 6. Nilai Lminimum dan Lmaksimum Landsat 7 ETM+... 23 7. Unit Conversion Coefficients setiap kanal VNIR dan TIR ASTER... 23 8. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian Landsat 7 ETM+ tanggal 21 Juni 2004 dan 23 Juli 2004... 28 9. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian ASTER tanggal 21 Juni 2004 dan 27 Juni 2004.... 29 10.Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian Landsat 7 ETM+ tanggal 9 September dan 1 Oktober 2006.... 29 xi

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a... 10 2. Peta lokasi penelitian dan pengukuran kualitas perairan di Teluk Jakarta... 18 3. Diagram alir pengolahan estimasi klorofil-a dan SPL... 21 4. Jendela piksel ekstraksi nilai radian... 24 5. Algoritma estimasi klorofil-a Musim Timur citra Landsat-7 ETM+ menggunakan data stasiun nomor ganjil.... 31 6. Algoritma estimasi klorofil-a Musim Timur citra Terra ASTER menggunakan data stasiun nomor ganjil.... 31 7. Algoritma estimasi klorofil-a Musim Peralihan2 citra Landsat-7 ETM+ menggunakan data stasiun nomor ganjil... 32 8. Perbandingan nilai klorofil-a estimasi dan in situ pada Musim Timur citra Landsat 7 ETM+ menggunakan nilai pada stasiun nomor genap.... 33 9. Perbandingan nilai klorofil-a estimasi dan in situ pada Musim Timur citra Terra ASTER menggunakan nilai pada stasiun nomor genap.... 33 10. Perbandingan nilai klorofil-a estimasi dan in situ pada Musim Peralihan 2 citra Landsat-7 ETM+ menggunakan nilai pada stasiun nomor genap... 34 11. Diagram plot nilai klorofil-a hasil estimasi dengan klorofil-a in situ (a) musim timur citra Landsat-7 ETM+ (b) musim timur citra Terra ASTER (c) musim peralihan 2 citra Landsat-7 ETM+... 35 12. Sebaran klorofil-a di Teluk Jakarta dari citra satelit Landsat 7 ETM+ (a) 21 Juni 2004 (b) 23 Juli 2004.... 36 13. Sebaran klorofil-a di Teluk Jakarta dari citra satelit Terra ASTER (a) 21 Juni 2004 (b) 27 Juni 2006... 37 14. Sebaran klorofil-a Teluk Jakarta dari citra satelit Landsat 7 ETM+ Musim Peralihan 2 (a) tanggal 9 September 2004 (b) 1 Oktober 2006.... 39 15. Algoritma estimasi SPL Musim Timur citra Landsat-7 ETM+... 41 16. Algoritma estimasi SPL Musim Timur citra Terra ASTER... 42 17. Algoritma estimasi SPL Musim Peralihan 2 citra Landsat-7 ETM+... 42 xii

18. Perbandingan nilai SPL estimasi dan in situ pada Musim Timur citra Landsat-7 ETM+... 43 19. Perbandingan nilai SPL estimasi dan in situ pada Musim Timur citra Terra ASTER... 43 20. Perbandingan nilai SPL estimasi dan in situ pada Musim Peralihan 2 citra Landsat-7 ETM+.... 44 21. Diagram plot nilai SPL estimasi dan in situ (a) musim timur citra Landsat-7 ETM+ (b) musim timur citra Terra ASTER (c) musim peralihan 2 citra Landsat-7 ETM+... 44 22. Sebaran SPL di Teluk Jakarta dari citra satelit Landsat-7 ETM+ (a) 9 September 2004 (b) 1 Oktober 2006... 46 xiii

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teluk Jakarta merupakan ekosistem perairan yang menyediakan berbagai produk dan jasa lingkungan bagi kehidupan manusia, seperti beranekaragam produk perikanan, potensi wisata bahari, pendidikan dan budaya, perdagangan, pelayaran, dan sebagainya sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi (Arifin, 2004). Pengembangan kegiatan industri yang tidak diikuti dengan pelestarian alam di wilayah Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu akan menimbulkan dampak menurunnya kualitas perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya. Penurunan kualitas perairan Teluk Jakarta disebabkan dua faktor utama, yaitu bertambahnya jumlah penduduk yang sangat cepat yang disertai pula pengembangan lahan tidak tertata baik di sekitar Kota Jakarta, dan di wilayah penyangga yaitu kota Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Wilayah Jabodetabek). Pertambahan penduduk dan segala aktivitas manusia menghasilkan bahan-bahan pencemar dan terdeposit di perairan Teluk Jakarta melalui 13 sungai. Salah satu dampak pencemaran adalah kematian massal ikan, rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang. Penurunan kualitas perairan Teluk Jakarta perlu selalu diawasi dan dipantau. Upaya pengawasan tersebut dapat dicapai dengan teknik penginderaan jauh yang lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pengambilan data konvensional (Ambarwulan, 2006). Penelitian mengenai kualitas air dengan membuat algoritma pendugaan kualitas air tersebut sudah mulai banyak dilakukan. Misal, Ambarwulan (2004) membuat estimasi suhu permukaan laut di Delta Mahakam dan di Delta Berau oleh Narieswari (2006). 1

2 Landsat 7 ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) dan Terra ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer ) adalah contoh satelit sumberdaya alam dan lingkungan dengan resolusi spasial skala menengah. Terra ASTER merupakan sensor multiband thermal infrared pertama di dunia. Kehadiran Terra ASTER diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif sumber informasi selain citra satelit Landsat 7 ETM+ yang sejak Mei 2003 tidak dapat berfungsi dengan baik (Wouthuyzen, 2006; Prahasta, 2008). Sensor yang terdapat di kedua satelit tersebut dapat digunakan untuk memantau beberapa parameter kualitas perairan, seperti kecerahan perairan, konsentrasi klorofil-a. Adanya kanal pada gelombang infra merah jauh dapat pula dipakai untuk memantau suhu permukaan laut (SPL). Kajian tentang pemanfaatan citra satelit telah banyak digunakan untuk memantau Teluk Jakarta namun masih terbatas pada penggunaan satu data, sedangkan penggunaan multi temporal masih sedikit, apalagi pemanfaatan multi sensor. Oleh karena itu, pemantauan kualitas air dengan kajian multi sensor dan multi temporal perlu dilakukan. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan membuat algoritma untuk estimasi parameter kualitas perairan berupa konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) dengan menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ dan Terra ASTER dengan pendekatan empiris yang mengkorelasikan data in situ klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) di Teluk Jakarta dengan data perekaman citra pada hari dan jam yang hampir sama dengan pengambilan data in situ.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi fisik Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di bagian utara kota Jakarta merupakan teluk dangkal dengan rata-rata kedalaman 15 m dengan luas 514 km 2 dan dengan panjang garis pantai sekitar 72 km (Bukit, 1995 dalam Hendiarti et al., 2005). Secara geografis Teluk Jakarta dibatasi oleh Tanjung Krawang di sisi timur, Tanjung Pasir di sisi barat, Laut Jawa di sisi utara dan daratan kota Jakarta, Tangerang dan Bekasi di sisi selatan. Secara administratif, Teluk Jakarta terletak diantara 3 provinsi antara lain: Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat (Arifin, 2004). Terdapat 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, tiga diantaranya cukup besar yaitu Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Sungai Citarum serta 10 sungai kecil seperti Sungai Kamal, Cengkareng Drain, Angke, Karang, Ancol, Sunter, Cakung, Blencong, Grogol, dan Pasanggrahan (Wouthuyzen, 2006). 2.2. Kualitas Perairan Fitoplankton mengandung pigmen berupa klorofil. Pigmen ini menyerap cahaya matahari sebagai sumber energi untuk fotosintesis. Ada tiga macam klorofil yaitu klorofil-a, b dan c, diantara ketiga macam klorofil tersebut, klorofila merupakan bagian terpenting dalam proses fotosintesis dan dikandung oleh semua jenis fitoplankton yang masih hidup di laut (Nontji, 1987 dalam Prasasti et al., 2005). Pengukuran klorofil-a merupakan indikator biomassa fitoplankton secara tidak langsung. Untuk mengkonversi klorofil-a menjadi biomassa total plankton maka 3

4 harus dikalikan dengan rasio antara berat klorofil-a terhadap berat fitoplankton. Sebagai contoh, berat klorofil-a dan berat fitoplankton umumnya 1:1000, seandainya berat klorofil-a yang diukur 1µg, maka berat fitoplankton tersebut 1000 µg (Basmi, 2000). Perairan Indonesia dengan nilai klorofil yang tinggi hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan dan pengaruh masukan air sungai (Arinardi et al., 1996). Puncak kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta terjadi sebulan atau dua bulan setelah curah hujan tinggi, dan bulan-bulan berikutnya diikuti kelimpahan zooplankton (Arinardi et al., 1996). Arinardi (1995) mengatakan bahwa musim barat dengan curah hujan yang tinggi memberikan dampak yang besar terhadap kepadatan klorofil-a. Sebaran klorofil-a yang melebihi 5.0 mg/m 3 terlihat membujur mulai dari selatan Tanjung Pasir sampai ke Tanjung Gembong dengan sedikit lekukan di bagian teluk. Konsentrasi terpadat (lebih dari 7.5 mg/m 3 ) dalam musim ini terlihat di sekitar Kali Angke hingga Muara Baru dan Marunda hingga Kali Blencong. Pola sebaran dalam musim timur hampir seperti pada musim barat hanya dengan kepadatan yang lebih rendah, dalam musim peralihan konsentrasi klorofil-a relatif rendah dan sebaran terpadat hanya di sekitar Marunda hingga Kali Blencong. Suhu permukaan laut (SPL) di perairan Indonesia menunjukkan ciri khas perairan tropis yaitu umumnya relatif tinggi dengan perbedaan sebaran horisontal yang kecil. Perubahan suhu sepanjang tahun tergantung pada intensitas radiasi matahari, kecepatan angin, musim (curah hujan dan penguapan) serta asal massa air (Arinardi et al., 1996). Kondisi SPL di Teluk Jakarta mengalami dua kali nilai minimum dan dua kali nilai maksimum setiap tahunnya. Nilai minimum pada

5 bulan Februari disebabkan angin musim barat yang cukup keras, sedangkan nilai minimum pada bulan Agustus disebabkan penguapan yang relatif tinggi oleh pengaruh angin musim timur. Daerah SPL tinggi berada di sekitar wilayah pantai dan pesisir. SPL di Teluk Jakarta berkisar antara 25.6-32.3 C, dengan perbedaan suhu antara lapisan permukaan dan lapisan dasar berkisar antara 0.2-0.5 C (Praseno dan Kastoro, 1980). Pola sebaran suhu terdapat di sekitar lokasi pembangkit listrik Muara Karang, yang terdapat saluran buangan air pendingin turbin. (Purwoto et al., 1994 dalam Siswandono, 1995). Secara umum nilai suhu di sekitar PLTU Muara Karang berkisar antara 28.7-42.2 C yang disebabkan oleh limbah air panas PLTU Muara Karang. Sebaran limbah air panas pada musim peralihan dapat tersebar luas hingga mencapai jarak 1.700 m dari pantai. Suhu permukaan tercatat antara 28.3-35.5 C ketika beroperasi dengan kapasitas 300 MW dan 40.01 C pada kapasitas 700MW (Burhanuddin, 1993). Di bawah ini terdapat kisaran suhu di Teluk Jakarta (Tabel 1). Tabel 1. Kisaran suhu musiman air Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu Suhu C Musim Teluk Jakarta Kepulauan Seribu Kisaran Rata-rata Permukaan Dasar Barat 25.5-29.0 28.0 28.2-28.8 28.1-28.6 Peralihan II 29.1-30.6 29.8 29.0-30.2 28.4-29.6 Timur 28.7-30.2 29.3 28.1-28.6 28.1-28.6 Peralihan I 29.4-30.4 29.6 29.1-29.4 29.1-29.3 Sumber: (Laporan ANDAL Regional Reklamasi Pantura Jakarta, LPM ITB, 1999 dalam Astuti et al., 2009) Terlihat pada Tabel 1 di atas bahwa suhu di Teluk Jakarta cenderung naik pada musim peralihan 1 dan musim peralihan 2, namun suhu pada musim barat dan musim timur cenderung lebih rendah. Kandungan fosfat di permukaan perairan Teluk Jakarta memiliki nilai tertinggi sepanjang pantai bagian barat mencapai 0.60 µga/l, berangsur-angsur menurun di

6 sekitar Pelabuhan Tanjung Priok yang mencapai <0.20 µga/l dan meningkat kembali ke arah timur yakni di sekitar muara Sungai Citarum. Pada musim peralihan barat-timur, kandungan fosfat tertinggi terdapat di sepanjang pantai Teluk Jakarta bagian barat dan berangsur-angsur menurun ke arah laut. Kandungan fosfat di Teluk Jakarta pada musim barat berasal dari daratan yang terangkut oleh aliran sungai. Keadaan demikian masih berlangsung hingga musim peralihan barat-timur. Kadar fosfat di perairan Teluk Jakarta tidak menunjukkan adanya variasi musim, namun di beberapa tempat, khususnya di muara sungai pada musim peralihan timur-barat dan musim barat menunjukkan nilai yang tinggi. Pengaliran bahan organik dari darat sangat berperan dalam menentukan pola sebaran fosfat di perairan Teluk Jakarta (Ilahude, 1995). Kandungan nitrat di permukaan perairan Teluk Jakarta pada musim barat, kisaran tertinggi tersebar di sepanjang pantai dengan kisaran nilai 1.0 µga/l hingga 2.5 µga/l. Nilai tertinggi terdapat di sekitar Sungai Bekasi dan muara Sungai Tanjung Gembong. Pada musim peralihan barat-timur, musim timur dan musim barat, kandungan nitrat tertinggi bergeser ke arah timur dengan kisaran nilai 0.7 µga/l hingga >0.9 µga/l. Tingginya kandungan nitrat di sepanjang pantai pada musim barat, khususnya di depan muara-muara sungai, diperkirakan berasal dari daratan yang terangkut oleh sungai dan terpekatkan di sekitar muara sungai dan di sepanjang pantai selama musim penghujan. Seperti fosfat, kandungan nitrat di perairan Teluk Jakarta akan mencapai puncaknya pada musim barat khususnya di muara-muara sungai (Ilahude, 1995). Kandungan silikat di permukaan perairan Teluk Jakarta khususnya pada musim barat berkisar < 5.0 µga/l hingga > 27.0 µga/l, nilai kandungan silikat tertinggi

7 terbatas di sepanjang pantai Teluk Jakarta bagian barat dan berangsur-angsur menurun ke arah laut yang lebih jeluk. Pada musim peralihan barat-timur nilai kandungan silikat berkisar antara < 5.0 µga/l hingga > 20.0 µga/l, nilai kandungan silikat tertinggi terdapat di sepanjang pantai Teluk Jakarta bagian timur. Pada musim timur, nilai kandungan silikat berkisar 2.5 µga/l hingga 5 µga/l, nilai tertinggi ditemukan sepanjang pantai Cilincing hingga Muara Gembong. Pada musim peralihan timur-barat, kandungan silikat meningkat berkisar 5.0 µga/l hingga 27.5 µga/l. Konsentrasi nilai kandungan silikat tertinggi pada musim peralihan timur-barat menempati perairan pantai Tanjung Priok hingga pantai Muara Baru dan berangsur-angsur menurun ke arah laut. Berdasarkan pola sebaran dan kisaran kandungannya diperkirakan kadar silikat di perairan Teluk Jakarta berubah sesuai dengan perubahan musim. Pada musim penghujan pada umumnya kandungan silikat akan meningkat dan mencapai puncaknya pada musim barat, demikian pula sebaliknya pada musim kemarau (musim timur) silikat akan mencapai nilai terendah (Ilahude, 1995). 2.3 Curah hujan Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh musim yang mempunyai kaitan erat dengan sistem tekanan udara tinggi dan tekanan udara rendah di atas benua Asia dan Australia. Bulan Desember, Januari dan Februari adalah musim dingin di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan sesuai dengan posisi matahari. Pada musim dingin ini, pusat tekanan udara tinggi terdapat di atas daratan Asia menuju Australia dan di Indonesia dikenal sebagai angin musim barat. Sebaliknya pada bulan Juni, Juli dan Agustus pusat tekanan udara tinggi terjadi di atas daratan Australia dan pusat tekanan udara rendah di

8 atas daratan Asia, sehingga di Indonesia berhembus angin musim timur. Untuk daerah di selatan khatulistiwa, musim barat biasanya mempunyai curah hujan yang tinggi sedang dalam musim timur, curah hujan sangat rendah. Curah hujan selain mempengaruhi kadar salinitas, juga kelimpahan plankton (terutama di perairan pantai) (Wyrtki, 1961 dalam Arinardi et al., 1996) 2.4 Arus Secara umum arus di Teluk Jakarta dipengaruhi adanya arus sungai, arus dari outlet PLTU dan angin. Di bagian permukaan pola arus hampir seluruhnya menuju ke arah lepas pantai, kecuali dari PLTU ke arah tengah. Pada bulan Mei 2004, arus cukup kuat yang bervariasi antara 4.4 cm/det 54.8 cm/det dengan nilai rata-rata kecepatan arus relatif lemah yaitu kurang dari 20 cm/det. Kecepatan arus maksimum cukup kuat yaitu lebih dari 50 cm/det yang dijumpai pada lapisan permukaan. Pada bulan Mei 2004, arus dominan ke arah tenggara terkecuali di daerah Cilincing dominan ke arah barat daya. Pada bulan Oktober 2004, nilai kecepatan arus di sekitar perairan Teluk Jakarta ini bervariasi antara 1.6 cm/det 48.8 cm/det. Nilai rata-rata kecepatan arus relatif lemah dengan nilai kurang dari 20 cm/det. Arah arus berbeda di setiap lokasi perairan dan secara umum di lapisan permukaan arah arus sepanjang Teluk Jakarta dominan menuju ke arah barat daya hingga barat laut (Razak, 2004). 2.5 Seston Seston adalah partikel-partikel yang melayang di dalam air dan terdiri dari komponen hidup serta mati. Komponen hidup meliputi fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi dan sebagainya. Komponen mati terdiri dari detritus organik yang

9 berasal dari jasad hidup dan partikel-partikel inorganik. Sebaran seston di laut dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari daratan melalui sungai dan dari udara. Perpindahan atau pergerakan seston terjadi karena proses pengendapan, adveksi, difusi dan resuspensi endapan dasar perairan sebagai akibat pengikisan. Di Teluk Jakarta, kadar seston sangat dipengaruhi oleh gelombang, arus musim dan curah hujan. Pada musim barat dan musim timur, hembusan angin yang kuat dan hampir terus menerus disertai hujan dalam musim barat mengakibatkan kadar seston cukup tinggi, yakni sekitar 7,0 mg/l. Pada musim barat, sebaran seston yang relatif padat (lebih dari 5,0 mg/l) terlihat mulai dari Tanjung Pasir sampai ke Tanjung Gembong sedangkan pada musim timur, pola sebarannya agak meliuk masuk ke arah barat daya teluk, terus meluas ke arah utara dan memanjang ke luar Teluk Jakarta. Pada musim peralihan barat-timur dan 2, sebaran padat seston tersebut (lebih dari 5,0 mg/l) umumnya sejajar dengan garis pantai dan hampir selalu berada di dalam Teluk sesuai dengan pola gerak arus (Arinardi, 1995). 2.6 Aplikasi penginderaan jauh untuk deteksi kualitas air Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan teknologi yang dapat mengidentifikasi, mengukur maupun menganalisis karakteristik dari objek tanpa kontak langsung (JARS, 1999). Dalam penelitian ini, parameter yang diamati adalah klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL). 2.6.1 Klorofil-a Menurut Parson et al. (1984) dalam Prasasti et al. (2005) dilihat dari segi fisiologis tumbuhan (fitoplankton), spektrum cahaya terpenting untuk tumbuhan

10 laut terdapat pada panjang gelombang 400-720 nm yang dikenal dengan PAR (Photosyntetically Available Radiation). Klorofil-a di laut dapat dideteksi pada panjang gelombang 0.45-0.65µm (JARS, 1999). Sifat spektral dari fitoplankton cenderung memiliki penyerapan dan pemantulan yang terbatas. Seluruh plankton menyerap kuat cahaya pada dua daerah di spektrum gelombang tampak karena adanya klorofil-a. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber: Maul (1985) dalam Prasasti et al. (2005) Gambar 1. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a Penyerapan maksimum pertama pada kisaran cahaya biru (400-500 nm) dengan puncak pada 443 nm, kedua pada kisaran cahaya merah (600-700 nm) dengan puncak di sekitar 680-685 nm. Klorofil-a memantulkan maksimum pada

11 gelombang cahaya hijau (500-600 nm), terutama pada kisaran 550 nm dan 600 nm (Kirk, 1983; Maul, 1985; Yentch, 1983 dalam Wouthuyzen, 2006). Ekstrand (1998) mengemukakan rasio kanal 3 (0.63-0.69 µm) dengan kanal 1 (0.45-0.52 µm) pada citra satelit Landsat TM baik untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a di perairan pesisir dan perairan tawar, karena kedua kanal tersebut sedikit dipengaruhi oleh sedimen tersuspensi. Han dan Jordan (2005) melakukan penelitian membuat algoritma untuk mengestimasi klorofil-a di Teluk Pensacola, Florida menggunakan citra satelit Landsat-7 ETM+. Teknik pembuatan algoritma yaitu dengan merasiokan kanalkanal citra tanggal 20 Mei 2002 dan mengkorelasikan dengan nilai pada 16 titik stasiun pengambilan data in situ klorofil-a, pada tanggal 14 dan 15 Mei 2002. Teluk Pensacola memiliki luas 373 km 2. Teluk tersebut sangat dipengaruhi 3 sungai besar yaitu Sungai Escambia, Blackwater, dan Yellow rivers. Hasil penelitian Han dan Jordan yaitu kombinasi rasio kanal 1 (0.45-0.52 µm) banding kanal 3 (0.63-0.69 µm) merupakan kombinasi rasio paling baik yang digunakan untuk mengestimasi klorofil-a, algoritmanya yaitu: Keterangan: log( _ ) = 9.5126 + 12.8315 log +1 log +3 log ETM+1 = logaritma nilai ETM+1 dengan proses COST model log ETM+3 = logaritma nilai ETM+3 dengan proses COST model (1) Persamaan 1 memiliki nilai R 2 sebesar 0.67. Nilai reflektansi pada kanal 1 dan kanal 3 menurun saat konsentrasi klorofil-a di laut meningkat. Meskipun nilai reflektansi kedua kanal tersebut mengalami penurunan, namun penurunan nilai reflektansi kanal 3 lebih cepat dari pada kanal 1.

12 Subagio (2006) bersama tim dari LAPAN dan Bakosurtanal melakukan percobaan pembuatan algoritma untuk mengestimasi konsentrasi klorofil-a di wilayah perairan Delta Berau, Kalimantan Timur dari citra satelit Landsat-7 ETM+. Algoritma tersebut adalah : Keterangan: log( _ ) = 0.2154 0.639 log 1 (2) 2 RTM1 adalah nilai radian pada kanal 1 RTM2 adalah nilai radian pada kanal 2. 2.6.2 Suhu permukaan laut (SPL) Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang mempunyai peran dalam kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Suhu merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui dan memahami peran lautan sebagai gudang penyimpanan bahang (heat reservoir). Radiansi yang diterima sensor infra merah termal dari perairan hanya berasal dari lapisan permukaan dengan ketebalan 0.1 mm. Walaupun demikian pada sebagian besar permukaan laut, kecuali perairan kutub, kedalaman 0-20 m merupakan lapisan percampuran (mix layer) dimana suhu cukup homogen (Robinson, 1985). Ambarwulan (2006) melakukan penelitian mengenai pendugaan SPL perairan Delta Mahakam dari citra satelit Landsat 7 ETM+ kanal 61 (low gain) dan kanal 62 (high gain) menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Gubbons et al. (1989) dalam Ambarwulan (2006). Hasil penelitiannya yaitu SPL pada Delta Mahakam tanggal 24 Mei 2003 dengan menggunakan kanal 61 berkisar antara 25-27 C, sedangkan 25-34 C dengan menggunakan kanal 62. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan karakteristik antara kedua kanal tersebut.

13 Narieswari (2006) melakukan penelitian mengenai estimasi suhu permukaan laut perairan Delta Berau menggunakan 5 kanal TIR (Thermal Infra Red) citra Terra ASTER. Penelitian ini membandingkan penggunaan dua metode perhitungan SPL, yaitu algoritma Alley & Nilsen (2001) dan algoritma Kishino (2002). Algoritma Alley & Nilsen menggunakan satu kanal berdasarkan suhu pancarannya (brightness temperature). Algoritma Kishino menggunakan semua nilai suhu pancaran dari kelima kanal. Perhitungan dengan algoritma Alley & Nielsen (single band), menunjukkan bahwa penggunaan kanal 13 menghasilkan SPL estimasi yang paling mendekati SPL in situ dibandingkan dengan menggunakan 4 kanal lainnya. Perhitungan dengan algoritma Kishino juga memberikan hasil nilai SPL yang mendekati SPL in situ dengan suhu maksimum mencapai 27 C. Pola sebaran suhu yang ditunjukkan dengan algoritma Alley & Nilsen hampir sama dengan pola yang ditunjukkan dengan algoritma Kishino. Adanya perbedaan antara SPL in situ dan SPL hasil estimasi disebabkan pengukuran SPL in situ pada bulan Agustus 2005 tidak bertepatan pada saat akuisisi citra satelit tanggal 18 Juni 2004. Hasil pengamatan visual yang dilakukan Gillespie et al. (1999) dalam Nichol (2005) juga menunjukkan kanal 13 pada satelit Terra ASTER, merupakan kanal yang paling baik karena memiliki noise yang kecil serta kontras suhu paling tinggi dibandingkan kontras suhu kanal TIR lainnya. 2.7 Satelit Landsat-7 ETM+ Satelit Landsat-7 ETM+ diluncurkan pada 15 April 1999. Satelit Landsat-7 ETM+ membawa jenis sensor baru, yaitu sensor Enhanced Thematic Mapper + (plus), sama seperti pada sensor TM (Thematic Mapper) yang memiliki 7 kanal,

14 pada sensor ETM+ ditambahkan kanal 8 (pankromatik) dengan resolusi spasial 15 meter. Sejak 31 Mei 2003 sensor mengalami kegagalan pada salah satu bagian instrumen yang disebut Scan Line Corrector (SLC) sehingga sejak 14 Juli 2003 data yang diambil berada dalam kondisi SLC-off mode. Sebagian data yang hilang tersebut masih dapat diisi dengan menggunakan citra lama sebelum Mei 2003 dengan menggunakan histogram matching yang disebut citra Landsat-7 ETM+ SLC-on mode (Wouthuyzen, 2006; Satellite Imagery Corporation; 2008). Luas sapuan Landsat-7 ETM+ sebesar 185 km 2, memberikan kemampuan satelit ini untuk meliput areal yang luas (GeoCommunity, 2008). Landsat-7 ETM+ memiliki 8 spektral kanal, mulai dari kanal tampak sampai kanal infra merah termal. Pada kanal tampak (visible) dan infra merah pendek (0.45-1.75 µm) memiliki resolusi spasial 30 meter, sedangkan pada kanal infra merah termal jauh (10.40-12.50 µm) memiliki resolusi spasial 60 meter. Resolusi spasial paling tinggi terletak pada kanal 8 (pankromatik) dengan panjang gelombang 0.52-0.90 µm, yaitu 15 meter. Landsat-7 ETM+ memiliki kisaran spektral biru (0.45-0.52 µm) yang tidak terdapat pada Terra ASTER. Tidak seperti pada citra Terra ASTER memiliki 5 kanal infra merah jauh, sedangkan Landsat-7 ETM+ hanya memiliki 1 jenis kanal infra merah jauh (TIR) yaitu kanal 6 yang terbagi atas low gain dan high gain. Citra Landsat-7 ETM+ melewati pada pukul 10:00 waktu setempat. Satelit tersebut berorbit sirkular dan sinkron dengan matahari (sun synchronous). (GeoCommunity, 2008). Masing-masing kanal citra Landsat-7 ETM+ memiliki karakteristik. Karakteristik Landsat 7 dapat dilihat pada Tabel 2.

15 Tabel 2. Karakteristik Satelit Landsat-7 ETM+ Orbit Sun synchronous Ketinggian 700-737 km (705 km di khatulistiwa) Sudut inklinasi 98.2 ±0.15 Resolusi temporal 16 hari Jarak lintasan di khatulistiwa 172 km Periode orbit 98.9 menit Kanal Resolusi Domain Spasial Spektral (µm) (m) Keterangan Kanal biru. Penetrasi maksimum pada air berguna untuk batimetri pada air dangkal, 1 (Biru) 0.45-0.52 30 untuk membedakan antara tanah dan vegetasi dan tipe-tipe pohon (daun gugur dan daun jarum) 2 (Hijau) 0.52-0.60 30 Kanal hijau. Untuk mengukur puncak reflektansi warna hijau. Dapat digunakan untuk membedakan vegetasi. 3 (Merah) 0.63-0.69 30 Kanal Merah. Untuk membedakan daerah absorpsi klorofil, membedakan spesies tanaman. 4 (NIR) 0.76-0.90 30 Kanal Infra Merah Dekat. Berguna untuk menentukan kandungan biomassa, deskripsi tubuh air dan kelembaban tanah. 5 (SWIR) 1.55-1.75 30 Kanal Infra Merah tengah I. Dapat mengindikasikan kandungan tanaman dan tanah, membedakan salju dan awan. 6 (TIR) 10.40-12.50 60 Kanal infra merah termal. Citra malam hari berguna untuk pemetaan termal dan untuk perkiraan kelembaban tanah. 7 (SWIR) 2.08-2.35 30 Kanal Infra merah tengah II. Untuk mengklasifikasi vegetasi, perbedaan kelembaban tanah dan pemetaan suhu Pankromatik (8) 0.52-0.90 15 Sumber: Satellite Imagery Corporation, 2008; GeoCommunity, 2008 permukaan. Kanal pankromatik (citra hitam putih). Dengan resolusi yang tinggi dan kemampuan pendeteksian yang tinggi. 2.8 Satelit Terra ASTER ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) merupakan salah satu instrumen observasi yang ada pada satelit Terra. Satelit ini diluncurkan pada 18 Desember 1999 atas kerjasama Jepang dan Amerika Serikat dalam memecahkan persoalan yang menyangkut sumber daya alam dan

16 lingkungan. Satelit ini memiliki orbit sinkron dengan matahari (sun-synchronous) dengan waktu orbit 30 menit di belakang satelit Landsat. Terra ASTER memiliki 14 spektral kanal, mulai dari kanal tampak sampai kanal infra merah termal dan memiliki resolusi spasial serta resolusi radiometrik yang cukup tinggi. Instrumen ASTER terdiri dari tiga subsistem yang berbeda yaitu VNIR (Visible and Near Infrared), SWIR (Shortwave Infrared) dan TIR (Thermal Infrared). Karakteristik untuk instrumen ASTER dapat dilihat pada Tabel 3. VNIR digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan jarak dari level cahaya tampak hingga infra merah dekat dengan 3 kanal. Kanal 3N (Normal) dari VNIR dapat dikombinasikan dengan 3B (3 backward) yang dihasilkan dari perekaman perbedaan sudut pandang sebesar 23.5 relatif terhadap arah nadir teleskop menjadi DEM (Digital Elevation Model). SWIR memiliki resolusi spasial 30 meter dan terbagi atas 6 kanal gelombang pendek infra merah. Penggunaan radiometer ini memungkinkan menerapkan Terra ASTER untuk mengidentifikasi jenis batu dan mineral serta untuk mengamati gejala bencana alam seperti gunung berapi yang masih aktif. TIR memiliki resolusi spasial 90 meter dan terbagi atas 5 kanal pada spektrum inframerah termal. Jika dibandingkan dengan sensor ETM satelit Landsat 7, ASTER memiliki jumlah kanal lebih banyak dengan kisaran spektral yang lebih sempit untuk setiap kanalnya (Sulyantara dan Widipaminto, 2003). Citra hasil perekaman Terra ASTER tersedia dalam beberapa kelas, yaitu: (1) Level 1 A. Citra sudah dilengkapi dengan beberapa koefisien geometrik dan kalibrasi radiometrik, tetapi koefisien tersebut belum diaplikasikan dalam data.

17 (2) Level 1 B Citra telah dikoreksi geometrik dan terkalibrasi radiometrik berdasarkan koefisien yang tersedia dalam level 1A. (3) Citra olahan 2A02, 2A03V, 2A03S, 2B01V, 2B01S, 2B01T, 2B03, 2B04, 2B05V, 2B05S, 3A01, 4A01 (Digital Terrain Model - DTM) Tabel 3. Karakteristik Satelit Terra ASTER Orbit Sun synchronous Waktu perekaman 10:30±15 menit (am) Ketinggian 705 km di khatulistiwa Sudut inklinasi 98.3 ±0.15 Resolusi temporal 16 hari Jarak lintasan di khatulistiwa 172 km Periode orbit 98.88 menit Subsistem Kanal Kisaran Spektral (µm) Resolusi Spasial (m) Resolusi Radiometrik 1 (Hijau) 0.52-0.60 2 (Merah) 0.63-0.69 VNIR 3N 0.78-0.86 3B 0.78-0.86 4 1.600-1.700 5 2.145-2.185 6 2.185-2.225 SWIR 7 2.235-2.285 8 2.295-2.365 9 2.360-2.430 10 8.125-8.457 11 8.457-8.825 TIR 12 8.925-9.275 13 10.25-10.95 14 10.95-11.65 Sumber: ERSDAC, 2003 15 8-bit 30 8-bit 90 12-bit

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi penelitian Lokasi penelitian terletak di perairan Teluk Jakarta, mencakup area dengan koordinat 106 36 26.805 107 4 33.146 BT dan 5 53 24.124 6 9 51.142 LS (Gambar 2). Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengukuran kualitas perairan di Teluk Jakarta. Jumlah titik stasiun pengambilan data in situ pada setiap tanggal berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Sebaran titik pengambilan data in situ klorofil-a dan SPL digambarkan pada Gambar 2. Tabel 4. Jumlah stasiun pengambilan data in situ Tanggal Jumlah stasiun 21 Juni 2004 58 23 Juli 2004 27 9 September 2004 53 27 Juni 2006 18 1 Oktober 2006 19 18

19 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data in situ dan citra satelit, diperoleh dari P2O-LIPI (Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) (Tabel 5). Perekaman citra dilakukan pada tanggal yang sama dengan pengambilan data in situ. Pengambilan data in situ dilaksanakan ± 2-3 jam dari waktu lintasan citra di atas Teluk Jakarta, yaitu sekitar pukul 08:00-13:00. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat komputer; piranti lunak Idrisi Andes dan beberapa piranti lunak penginderaan jauh lainnya; serta piranti lunak aplikasi pengolah teks dan statistika. Tabel 5. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian Bahan Citra Satelit Data in situ Tanggal Landsat Terra Sumber Klorofil-a SPL 7 ETM+ ASTER 21 Juni 2004 P2O-LIPI 23 Juli 2004 - - P2O-LIPI 9 September 2004 - P2O-LIPI 27 Juni 2006 - - P2O-LIPI 1 Oktober 2006 - P2O-LIPI Peta Lingkungan Pantai Indonesia Bakosurtanal Alat Perangkat komputer Spesifikasi Intel core 2 duo Idrisi Andes serta beberapa piranti lunak Piranti lunak penginderaan jauh lainnya; dan piranti lunak untuk aplikasi pengolah teks dan statistika. Keterangan: = ketersediaan data 3.3 Metode pengambilan data in situ Pengambilan dan pengolahan data in situ dilakukan oleh tim dari P2O-LIPI. Pengambilan data SPL diukur menggunakan digital termometer dan CTD, namun karena hanya ada satu buah CTD maka data suhu hanya dapat diambil pada

20 lintasan sebelah kanan atau kiri saja. Pengukuran data kualitas perairan tidak dapat diukur langsung di lapangan. Sampel air laut diambil dari lapisan permukaan sebanyak 1000 ml di setiap stasiun. Sampel tersebut ditempatkan pada botol plastik yang kemudian disimpan pada sebuah kotak tertutup rapat yang diberi potongan es batu. Konsentrasi klorofil-a diukur dengan satuan mg/m 3 di laboratorium P20-LIPI dengan menggunakan 500 ml sampel air laut yang disaring melalui sebuah filter fiber-glass (glass-fiber Filter) GF/C. Klorofil-a yang tersangkut pada filter kemudian di ekstraksi menggunakan 8-10 ml aseton 90% selama 20-24 jam. Sampel kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2000-2500 RPM, dan dibaca menggunakan Turner Fluorometer Model 450. Prosedur pengukuran klorofil-a mengikuti metoda baku Strickland dan Parson (1972) (Wouthuyzen, 2006). 3.4 Metode pengolahan data Berdasarkan Suyarso (1995) pembagian musim di perairan Teluk Jakarta dibagi 4 bagian yaitu musim barat (bulan Desember-Februari), musim peralihan 1 (bulan Maret-Mei), musim timur (bulan Juni-Agustus), dan musim peralihan 2 (bulan September-November). Berdasarkan data yang tersedia (Tabel 5), pembuatan algoritma estimasi klorofil-a dan SPL dibagi menjadi dua, yaitu musim timur dan musim peralihan 2. Proses pengolahan data digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 3. Subsub bab selanjutnya menjelaskan diagram alir pengolahan estimasi klorofil-a dan SPL.

21 Citra satelit Terra ASTER : Koreksi geometrik; (Landsat-7 ETM sudah terkoreksi) Koreksi radiometrik (histogram adjustment) Konversi DN ke radian Ekstraksi nilai piksel radian berdasarkan metode jendela piksel (3x3/5x5/9x9) Data in situ klorofil-a dan SPL Pembuatan algoritma empiris estimasi klorofil-a musim timur klorofil-a musim peralihan 2 SPL musim timur SPL musim peralihan 2 Validasi Validasi Validasi Validasi Sebaran klorofil-a musim timur Sebaran klorofil-a musim peralihan 2 Sebaran SPL musim timur Sebaran SPL musim peralihan 2 Gambar 3. Diagram alir pengolahan estimasi klorofil-a dan SPL 3.4.1 Citra satelit Citra satelit yang digunakan yaitu Landsat 7 ETM+ dan Terra ASTER. Pada citra Landsat-7 ETM+, kanal yang digunakan untuk estimasi klorofil-a yaitu kanal 1 (0.45-0.52 µm), kanal 2 (0.52-0.60 µm), dan kanal 3 (0.63-0.69 µm), sedangkan untuk estimasi SPL menggunakan kanal 62 (high gain).

22 Pada citra Terra ASTER, kanal yang digunakan untuk estimasi klorofil-a yaitu kanal 1 (0.52-0.60 µm), kanal 2 (0.63-0.69 µm) dan kanal 3 (0.78-0.86 µm), sedangkan untuk estimasi SPL menggunakan satu kanal infra merah jauh yaitu kanal 13 (10.25-10.95 µm). 3.4.2 Koreksi geometrik dan radiometrik Citra Landsat-7 ETM+ yang digunakan sudah terkoreksi geometrik. Citra Terra ASTER yang tersedia adalah citra level 1A yang belum terkoreksi geometrik dan radiometrik, namun di dalam metadata terdapat koefisien koreksi (Prahasta, 2008). Koreksi menggunakan piranti lunak ENVI 4.5 dengan menggunakan data dan info yang ada di metadata. Proses koreksi radiometrik pada penelitian ini dilakukan secara sederhana. Koreksi radiometrik untuk citra Landsat 7 ETM+ maupun Terra ASTER dengan metode histogram adjustment yang secara matematis adalah sebagai berikut (Prahasta, 2008) : Keterangan: DN akhir = DN awal K (3) DN akhir = bilangan digital yang sudah terkoreksi, DN awal = bilangan digital piksel-piksel kanal citra yang belum terkoreksi, K = Bias (offset) pada piksel-piksel kanal citra yang belum terkoreksi, asumsi nilai DN terkecil pada citra. 3.4.3. Konversi DN ke radian Konversi nilai DN (digital number) ke nilai radian dengan satuan Watt/(m 2 /micrometer/steradians) pada citra Landsat 7 ETM+ dengan persamaan : = + ( ) (4)

23 Keterangan persamaan (4): rad= Nilai radian (Watts/m 2 sr m) DN= Digital Number pada setiap kanal Lmin= Nilai L minimum Lmax= Nilai L maksimum Nilai Lmin dan L max masing-masing kanal dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Lminimum dan Lmaksimum Landsat 7 ETM+ Kanal Lmin Lmax 1-6.20 191.600 2-6.40 196.500 3-5.00 152.900 4-5.10 241.100 5-1.00 31.060 61 0.00 17.040 62 3.20 12.650 7-0.350 10.800 8-4.70 243.100 Sumber: Metadata Landsat 7 ETM+ Konversi DN (digital number) menjadi nilai radian pada citra Terra ASTER dengan persamaan: Keterangan: = ( 1) (5) rad= Nilai radian (Watts/m 2 sr m) DN= Digital Number pada setiap kanal UCCband= Unit Conversion Coefficients (watts/meter 2 /steradian/micrometer)/dn (Tabel 7) Tabel 7. Unit Conversion Coefficients setiap kanal VNIR dan TIR ASTER Kanal UCC 1 0.6760000 2 0.7080000 3 0.8620000 10 0.0006882 11 0.0006780 12 0.0006590 13 0.0005693 14 0.0005225 Sumber: Metadata Terra ASTER

24 Sejak piranti lunak ENVI 4.2 diluncurkan, nilai DN (digital number) secara otomatis berubah menjadi nilai radian (W/(m 2 µm sr)). Oleh karena itu proses di atas tidak dilakukan. 3.4.4. Ekstraksi nilai radian Ekstraksi nilai radian pada Landsat untuk kanal 1-3 (resolusi spasial 30 meter) dan kanal 61 dan 62 (resolusi spasial 60 meter) menggunakan jendela piksel berukuran 5x5 piksel dengan titik tengah jendela piksel tersebut adalah titik koordinat stasiun pengambilan data in situ. Penggunaan metode jendela piksel karena bias alat GPS (Global Positioning System) yang digunakan pada pengambilan data in situ sebesar 25 100 meter (Wouthuyzen, 29 Juni 2009 komunikasi pribadi). Nilai radian tersebut dihitung nilai rata-ratanya. Perhitungan nilai rata-rata radian dilakukan pada seluruh titik stasiun pengambilan data. Gambar 4 menunjukkan ilustrasi ekstraksi nilai radian dengan jendela 5x5 piksel. a 1 a 2 a 3 a 4 a 5 a 6 a 7 a 8 a 9 a 10 a 11 a 12 TITIK STASI- UN a 14 a 15 a 16 a 17 a 18 a 19 a 20 a 21 a 22 a 23 a 24 a 25 Gambar 4. Jendela piksel ekstraksi nilai radian

25 Perhitungan nilai radian rata-rata (a mean ) dengan titik tengah titik stasiun dengan jendela 5x5 piksel adalah: = 1 + 2 + + 25 25 (6) Proses yang sama dilakukan untuk citra Terra ASTER dengan jendela 9x9 piksel untuk kanal 1 kanal 3 (resolusi 15 meter) dan jendela 3x3 piksel untuk kanal 13 (resolusi 90 meter). 3.4.5 Pembuatan algoritma empiris estimasi Percobaan pembuatan algoritma empiris estimasi menggunakan titik stasiun bernomor ganjil. Pembuatan algoritma estimasi dengan menggunakan pendekatan empiris yaitu mengkorelasikan nilai radian citra satelit dengan data in situ klorofil-a atau SPL pada koordinat titik stasiun pengambilan data dan tanggal yang sama. Persamaan yang dicobakan yaitu regresi linear: = + ; eksponensial: = ( ) ; power: = ; polinomial (orde 2) : = 2 + + ; polinomial (orde 3): = 3 + 2 + +. Variabel x adalah nilai radian citra setiap kanal atau rasio kanal (contoh kanal biru/kanal merah), sedangkan y adalah nilai konsentrasi klorofil-a atau nilai SPL pada koordinat dan tanggal yang sama. Setelah melalui percobaan pembuatan algoritma, bentuk dasar persamaan yang paling baik adalah polinomial (orde 2): = 2 + +. 3.5 Analisis Data Analisis data untuk validasi menggunakan titik stasiun bernomor genap. Algoritma empiris yang telah dihasilkan selanjutnya diaplikasikan pada citra untuk digunakan dalam mengestimasi klorofil-a maupun dengan SPL. Selanjutnya nilai hasil estimasi tersebut divalidasi dengan nilai in situ.

26 Perhitungan validasi pada nilai-nilai titik stasiun pengambilan data bernomor genap. Analisis yang dilakukan antara lain: (1) Untuk mengetahui hasil estimasi cukup baik atau tidak, dilakukan uji beda nilai tengah. Adapun hipotesis yang dilakukan: H 0 :µ 1 = µ 2 H 1 : µ 1 µ 2 µ 1 = nilai tengah kualitas air (klorofil-a atau SPL) data in situ µ 2 = nilai tengah kualitas air (klorofil-a atau SPL) hasil estimasi dari citra Bila t hitung >t tabel, pada selang kepercayaan 95% maka tolak H 0, apabila t hitung < t tabel maka keputusannya terima H 0 (Walpole, 1995). Apabila hasil hipotesis terima H 0 maka nilai kualitas air in situ tidak berbeda nyata dengan nilai kualitas air data hasil estimasi, dan algoritma tersebut dapat digunakan. (2) Perhitungan RMS error (Root mean square error) (Anonymous, 2007): RMS error = ( 1)2 +( 2) 2 + +( ) 2 (7) Keterangan: bias= nilai in situ nilai estimasi n = jumlah data (3) Untuk melihat keeratan hubungan antara nilai data in situ dan hasil estimasi dipergunakan koefisien korelasi momen hasil kali Pearson (Pearson correlation). Bila r mendekati +1, hubungan antara kedua peubah tersebut kuat, maka terdapat korelasi yang tinggi diantara keduanya. Sebaliknya jika r mendekati nol, hubungan linear keduanya sangat lemah (Walpole, 1995). Rumusnya adalah sebagai berikut : = =1 =1 =1 2 =1 2 =1 2 =1 =1 2 (8)

27 R= r 2 (9) Keterangan : r= koefisien korelasi n=jumlah data R=koefisien determinasi =1 =1 = jumlah peubah x =jumlah peubah y 2 =1 =jumlah kuadrat peubah x 2 = jumlah kuadrat peubah y =1

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan nilai RMS error adalah nilai bias dihitung dengan nilai pada stasiun nomor genap. Algoritma yang bercetak tebal adalah algoritma yang digunakan. Algoritma yang dipilih untuk digunakan memiliki nilai R (koefisien determinasi) tertinggi diantaranya, juga memiliki nilai RMS error paling kecil. Tabel 8. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian Landsat 7 ETM+ tanggal 21 Juni 2004 dan 23 Juli 2004. No Rasio Kanal Radian Persamaan R RMS error 1 K1 = 0.027 2 1.452 + 19.978 0.176 0.621 2 K2 = 0.027 2 1.375 + 17.890 0.267 0.595 3 K3 = 0.018 2 0.640 + 5.800 0.474 0.631 4 K1/(K1+K2+K3) = 640.850 2 494.560 + 95.709 0.549 0.489 5 K2/(K1+K2+K3) = 2272.20 2 + 1632.50 292.490 0.122 0.692 6 K3/(K1+K2+K3) = 670.330 2 341.780 + 43.785 0.633 0.526 7 K1/K2 = 41.260 2 91.614 + 51.115 0.367 0.594 8 K1/K3 = 9.882 2 29.704 + 22.557 0.604 0.467 9 K2/K3 = 19.282 2 55.819 + 40.508 0.550 0.526 10 K2/K1 = 38.722 2 68.588 + 30.618 0.363 0.597 11 K3/K1 =.. +. 0.617 0.452 12 K3/K2 = 67.702 2 94.758 + 33.313 0.594 0.512 Keterangan: K1= kanal 1 (0.45-0.52 µm) K2= kanal 2 (0.52-0.60 µm) K3= kanal 3 (0.63-0.69 µm) 28

29 Tabel 9. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian ASTER tanggal 21 Juni 2004 dan 27 Juni 2004. No Rasio Kanal Radian Persamaan R RMS error 1 K1 = 0.025 2 0.330 + 1.685 0.521 0.553 2 K2 = 0.017 2 0.089 + 0.612 0.562 0.426 3 K3 =.. +. 0.568 0.394 4 K1/(K1+K2+K3) = 46.898 2 41.414 + 9.784 0.133 0.669 5 K2/(K1+K2+K3) = 73.990 2 36.106 + 4.889 0.176 0.606 6 K3/(K1+K2+K3) = 29.348 2 15.489 + 2.832 0.016 0.707 7 K1/K2 = 2.592 2 7.861 + 6.514 0.202 0.663 8 K1/K3 = 0.781 2 2.781 + 3.111 0.113 0.726 9 K2/K3 = 2.638 2 + 6.601 3.175 0.050 0.685 10 K2/K1 = 4.253 2 5.389 + 2.354 0.146 0.669 11 K3/K1 = 0.959 2 0.876 + 0.939 0.040 0.669 12 K3/K2 = 2.162 2 + 3.152 0.189 0.051 0.688 Keterangan: K1= kanal 1 (0.52-0.60 µm) K2= kanal 2 (0.63-0.69 µm) K3= kanal 3 (0.78-0.86 µm) Tabel 10. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian Landsat 7 ETM+ tanggal 9 September dan 1 Oktober 2006. No Rasio Kanal Radian Persamaan R 2 RMS error 1 K1 = 0.001 2 0.152 + 4.426 0.035 0.656 2 K2 = 0.013 2 0.659 + 8.389 0.637 0.651 3 K3 = 0.016 2 0.547 + 4.759 0.533 0.630 4 K1/(K1+K2+K3) = 408.300 2 342.200 + 71.930 0.640 0.419 5 K2/(K1+K2+K3) = 452.400 2 287.700 + 45.660 0.483 0.502 6 K3/(K1+K2+K3) = 1065.000 2 490.500 + 56.670 0.526 0.452 7 K1/K2 = 17.700 2 43.810 + 27.310 0.597 0.441 8 K1/K3 = 8.726 2 30.940 + 27.580 0.622 0.418 9 K2/K3 = 25.330 2 + 69.360 46.430 0.158 0.506 10 K2/K1 = 20.830 2 32.900 + 13.210 0.610 0.434 11 K3/K1 =.. +. 0.655 0.416 12 K3/K2 = 148.60 2 + 214.200 76.200 0.166 0.503 Keterangan: K1= kanal 1 (0.45-0.52 µm) K2= kanal 2 (0.52-0.60 µm) K3= kanal 3 (0.63-0.69 µm)