BAB III SUMBER HUKUM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Pengantar Ilmu Hukum Materi Sumber Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani Ridwan

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN


PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

HAK UJI MATERIIL DI BAWAH UNDANG-UNDANG 1. Oleh: H. Ujang Abdullah, S.H., M.Si 2

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Pengujian Peraturan Daerah

SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA MAKALAH

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Tajuk Entri Bahan Pustaka Karya Perundang-undangan. di Perpustakaan Nasional RI. oleh : Suwarsih, MSi.

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

PEMBAHASAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER II TAHUN 2014/2015 MATA KULIAH HUKUM TATA NEGARA

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

SUMBER-SUMBER HUKUM dalam TATA HUKUM INDONESIA

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

HUKUM PERBANKAN INDONESIA

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian

ara urut ut UUD 1945 Hasil Amandemen

Susunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

BAB III GAMBARAN UMUM POLEMIK DALAM ORGANISASI ADVOKAT DAN DESKRIPSI SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG NO. 73/HK.01/IX/2015 TENTANG ADVOKAT

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

P U T U S A N. Perkara Nomor : 004/PUU-I/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SUMBER HUKUM TATA NEGARA

PUTUSAN Perkara Nomor: 004/PUU-I/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB III SUMBER HUKUM A. Pengertian Sumber Hukum Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. 1 Pada hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Istilah sumber menurut Sudikno Mertokusumo, sering digunakan dalam beberapa beberapa arti: : 1. Sebagai asas hukum, yaitu sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, dsb. 2. Menunjukkan sumber hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan yang sekarang berlaku, misalnya hukum Prancis, hukum Romawi, hukum Islam, dan lain-lain. 3. Sebagai sumber berlakunya, yaitu yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum, misalnya penguasa dan masyarakat. 4. Sebagai sumber darimana hukum itu dapat diketahui, misalnya dokumendokumen, undang-undang, batu bertulis, daun lontar, dsb. 1 CST Kansil & Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 32. 43

44 5. Sebagai sumber terbentuknya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum. 2 B. Macam-macam Sumber Hukum 1. Sumber Hukum Materiil Sumber hukum materiil yaitu sumber hukum yang menentukan isi hukum yang mengikat semua orang. Sumber hukum ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum dan yang ikut menentukan sumber hukum. 3 Utrecht mengatakan bahwa sumber hukum materiil adalah perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion), kondisi sosial ekonomi masyarakat, hasil penelitian ilmiah, tradisi, agama dan moral, perkembangan internasional, keadaan geografis dan politik hukum. 4 2. Sumber Hukum Formil Sumber hukum formil, yaitu sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, dikenal dan ditaati. Di sinilah suatu kaidah mendapatkan kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan. 2 Shinta Dewi Rismawati, Mengenal Seluk Beluk Hukum, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005), hlm. 96. 3 Sudikto Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 63. 4 Shinta Dewi, Op.cit, hlm. 98

45 Dengan demikian sumber hukum merupakan causa efficient dari hukum, karena sumber hukum formillah yang menentukan bentuk dan sebab terjadinya suatu peraturan atau kaidah hukum itu berlaku efektif di masyarakat. 5 Macam-macam sumber hukum formal di Indonesia, antara lain : 6 1. Undang-undang: Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. Menurut Buys, undang-undang ini mempunyai dua arti, yakni: 1) Undang-undang dalam arti formal, ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen). 2) Undang-undang dalam arti materiil, ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk. 2. Kebiasaan (Custom) Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan beruangulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. Menurut pasal 15 Algemene Van Wetgeving Voor Indonesia (AB): 5 Ibid, hlm. 99. 6 CST Kansil & Christine ST. Kansil, Op.cit, hlm. 32-37.

46 Kebiasaan tidaklah menimbulkan hukum, hanya kalau undang-undang menunjuk pada kebiasaan untuk diperlakukan. 3. Yurisprudensi : Adapun yang merupakan peraturan pokok yang pertama pada zaman Hindia-Belanda dahulu ialah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disingkat AB (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia). Menurut pasal 22 AB : de regter, die weigert regt te spreken onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid der wet kan uit hoofed van rechtswijgering vervolgd worden, yang mengandung arti, hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili. Dari ketentuan ini, jelas bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan satu perkara. Dengan demikian apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri. 4. Traktat (Treaty) Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (consensus) tentang suatu hal, maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian. Akibat perjanjian

47 ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada isi perjanjian yang mereka adakan itu. Perjanjian yang dibuat oleh dua negara (perjanjian antar negara) atau lebih mengenai persoalan-persoalan tertentu yang menjadi kepentingan yang bersangkutan 5. Doktrin Dalam yurisprudensi, terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar keputusannya, hakum sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya, apalagi jika seorang sarjana itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut. Pendapat ahli hukum terkemuka yang dijadikan dasar atau asas-asas penting dalam hukum dan penerapannya. 7 C. Bentuk dan Tata Urutan Sumber Hukum Positif Perundang-Undangan Republik Indonesia Untuk mengatur masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan umum seluruh rakyat, pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan negara yang biasanya disebut peraturan perundangan. Semua peraturan 7 Ibid, hlm. 37.

48 perundangan yang dikeluarkan pemerintah harus berdasarkan dan/atau melaksanakan Undang-undang Dasar dari Negara tersebut. Dengan demikian semua peraturan perundangan republik Indonesia dikeluarkan harus berdasarkan dan/atau melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Adapun bentuk-bentuk dan tata urutan perautran perundangan republic Indonesia sekarang ini berdasarkan UUD 1945 dan Ketetapan MRPS No. XX/MPRS/1966, sebagai berikut: 8 1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945); 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR); 3. Undang-undang (UU); 4. Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang (PERPU); 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; dan 7. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya. Tata urutan (hierarchie) peraturan perundangan tersebut di atas tidak dapat diubah atau dipertukarkan tingkat kedudukannya, oleh karena tata urutan peraturan perundangan disusun berdasarkan tinggi-rendahnya badan penyusun peraturan perundangan dan menunjukkan kepada tinggi-rendahnya tingkat kedudukan masing-masing perautran negara tersebut. Tata urutan peraturan perundangan dimaksudkan, bahwa peraturan perundangan yang 8 Kansil, Op.cit, hlm. 51.

49 lebih rendah tingkat kedudukannya tidak boleh bertentangan isinya dengan peraturan perundangan lain g lebih tinggi tingkat kedudukannya. 9 bahwa: Dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 10 Pada penjelasan pasal 7 Ayat (4) ditegaskan lagi bahwa peraturan yang diakui dalam ketentuan ini adalah: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau 9 Ibid, hlm. 51. 10 Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

50 pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 11 D. Hak Uji Materiil (Judicial Review) di Bawah Undang-undang Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman adalah merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, dalam melaksanakan tugasnya adalah kekuasaan yang mandiri, bebas dari pengaruh pemerintah (eksekutif), pengaruh pembuat undang-undang (legislatif) maupun pengaruh luar lainnya serta melakukan pengawasan tertinggi atas pelaksanaan peradilan sesuai dengan ketentuan UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 12 Menurut Tap MPR RI No. III/MPR/1978 Jo. UU No. 5 tahun 2004, Mahkamah Agung memiliki fungsi antara lain: 1. Fungsi mengadili, yaitu memeriksa dan memutus perkara permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, sengketa mengadili dan perampasan; 2. Fungsi menguji peraturan perundang-undangan (judicial review), yaitu untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi; 3. Fungsi pengaturan, yaitu mengisi kekosongan hukum; 11 Penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004. 12 Ujang Abdullah, Hak Uji Materi di Bawah Undang-undang, Materi Cakim Pengadilan Tata Usaha Negara, (Malang, 2006), hlm. 28.

51 4. Fungsi membina dan mengawasi Peradilan dan Hakim di bawahnya serta mengawasi Notaris dan Penasihat Hukum; 5. Fungsi memberi nasehat hukum kepada Presiden dalam pemberian dan penolakan grasi dan rehabilitasi serta memberi pertimbangan hukum ke Lembaga Tinggi Negara lainnya. 6. Fungsi administratif, yaitu mengelola administasi, keuangan dan organisasi itu sendiri. 13 Selain itu Mahkamah Agung mempunyai fungsi lain yang diatur oleh UU tersendiri, seperti menetapkan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum), pengawas Partai Politik (UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik), menyelesaikan perselisihan antar daerah dalam konteks otonomi (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan lain sebagainya. Judicial Review atau Hak Uji Materiil (disingkat HUM) pada prinsipnya adalah suatu hak atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Yudikatif untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. Hak uji materiil di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu: 1) Hak uji materiil atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (vide: UUD 1945 13 Ibid, hlm. 1.

52 Amandemen ke-3 Pasal 24 C ayat I Jo. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat I huruf a); 2) Hak Uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah Undang-Undang (seperti: Peraturan Pemerintah, Kepufusan Presiden, Peraturan Daerah, dll.) terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung (vide: UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 Ayat 1 Jo. UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 Pasal 31, Jo. Peraturan Mahkamah Agung / PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun l999, terakhir dengan PERMA No. 1 tahun 2004). 14 Menurut Perma No. 1 tahun 2004 pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap peraturan perandang-undangan yang lebih tinggi. E. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung dalam Memutus Perkara Perdata Secara konstitusional, berdasarkan pasal 5 jo. Pasal 20 UUD 1945, negara Indonesia menganut paham kedaulatan legislative (legislative sovereignty). Bila bertitik tolak dari kedaulatan legislatif ketentuan pasal 5 dan 14 Ibid, hlm.

53 pasal 20 UUD 1945, pada dasarnya MA bukan badan atau cabang kekuasaan negara yang diberi kekuasaan dan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan karena kekuasaan dan kewenangannya sebagai kekuasaan kehakiman (judicial power) menurut pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the law and justice). Dengan demikian, pada prinsipnya MA memiliki kewenangan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, melaksanakan ketentuan perundangundangan yang dibuat oleh DPR dan Presiden/ Pemerintah. Namun, MA dan badan peradilan itu hanya dapat dibenarkan melakukan penafsiran untuk mencari dan menemukan makna atau memperluas dan mengelastiskan pengertian, apabila ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak jelas maknanya, rumusannya keliru, atau mengandung ambiguitas. Penafsiran boleh dilakukan melalui metode penafsiran sejarah legislatif untuk mengetahui dan menemukan apa yang dikehendaki legislatif. 15 Kategori Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) penjelasan pasal 7 ayat (4) Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturan agar tetap dapat ditegakan interactive between social change and law development. Patokan atau ruang lingkup batasan kewenangan MA membuat peraturan, pada penjelasan umum: 15 Ibid., h. 165.

54 Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. a. Peraturan Mahkamah Agung Bersifat Pelengkap (Complementary) Peraturan Mahkamah Agung bersifat pelengkap atau penyempurna terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Oleh karena itu dilarang atau tidak dibenarkan membuat PERMA yang membuat kebijakan umum, yang tidak ada sandaran dan kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan DPR (legislatif) dan Presiden / Pemerintah (eksekutif). b. Tujuannya untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum 1) Mengisi kekurangan hukum Keadaan kekurangan hukum sering dijumpai dalam bidang hukum acara (processrecht, law of procedure), sebagai contoh: penangkapan pelaku teroris, yang secara prosedur hanya menggunakan data dari intel dan proses penangkapannya yang lama menggunakan formulasi hukum dari KUHP, terjadi kekurangan hukum. 2) Mengisi kekosongan hukum Biasanya tindakan kekosongan hukum ini dalam bidang hukum acara, yang sama sekali tidak mengatur teknis peradilan, padahal sangat dibutuhkan. Sebagai missal PERMA No. 1 Tahun 1956, untuk mengisi kekosongan hubungan antara pengadilan perdata dan pengadilan pidana. PERMAS NO. 1 Tahun 1959, untuk mengisi kekosongan mengenai pembayaran biaya perkara kasasi. PERMA No.

55 1 Tahun 1963 untuk mengisi kekosongan permohonan kasasi maupun risalah kasasi yang dapat diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama. c. PERMA diperlukan bagi kelancaran jalannya keadilan Ditinjau dari faktor urgensi, pembuatan PERMA sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum, betul-betul diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Kapan saja terjadi kekuranglancaran jalannya peradilan yang ditimbulkan oleh kekurangan atau kekuasaan atau kekosongan hukum yang berlaku, MA harus segera meresponnya dengan jalan membuat PERMA yang mendalam dan komperehensif. 16 16 Ibid., h. 167.