KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN HORTIKULTURA DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

I. PENDAHULUAN. mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996).

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) TANAH ANDEPTS PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN KACANG TANAH DI KEBUN PERCOBAAN KWALA BEKALA USU

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN PANGAN (JAGUNG) DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN PANGAN (UBI KAYU) DI KEBUN PERCOBAAN USU KWALA BEKALA

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN INDUSTRI (KOPI) DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut

EROSI DAN SEDIMENTASI

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE

Erosi. Rekayasa Hidrologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN KARO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utama, yaitu sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dan sebagai matriks

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB II LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENENTUAN NILAI FAKTOR TANAMAN KACANG PANJANG DAN MENTIMUN DENGAN METODE PETAK KECIL DAN USLE PADA TANAH ANDEPTS DI KEBUN KWALA BEKALA USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible). Selain itu,

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai adalah suatu daerah atau wilayah dengan

TINJAUAN PUSTAKA. unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN LANGKAT

Teknik Konservasi Waduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak awal kehidupan manusia, sumberdaya alam sudah merupakan

commit to user BAB I PENDAHULUAN

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di DAS Hulu Mikro Sumber Brantas, terletak di Desa

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

PRAKTIKUM RSDAL VI PREDIKSI EROSI DENGAN METODE USLE DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO

MENENTUKAN LAJU EROSI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

METODOLOGI PENELITIAN

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

BAB III LANDASAN TEORI. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut : R=.(3.1) : curah hujan rata-rata (mm)

RINGKASAN DISERTASI. Oleh : Sayid Syarief Fathillah NIM 06/240605/SPN/00217

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

TINJAUAN PUSTAKA. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa)

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off).

Transkripsi:

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN HORTIKULTURA DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU) SKRIPSI Oleh: CORY MEILIANY BR. SURBAKTI DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN HORTIKULTURA DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU) SKRIPSI Oleh: CORY MEILIANY BR. SURBAKTI 050308025/TEKNIK PERTANIAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Sumono, MS Ketua Ir.Edi Susanto, M.Si Anggota DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009

Judul Skripsi : Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Penggunaan Lahan Hortikultura (Jeruk) di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu ) Nama : Cory Meiliany Br. Surbakti NIM : 050308025 Departemen : Teknologi Pertanian Program Studi : Teknik Pertanian Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing (Prof. Dr. Ir. Sumono, MS) Ketua (Ir. Edi Susanto, M.Si) Anggota Mengetahui, (Ir. Saipul Bahri Daulay, M. Si) Ketua Departemen Teknologi Pertanian Tanggal Lulus :

ABSTRAK CORY MEILIANY BR. SURBAKTI : Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Penggunaan Lahan Hortikultura di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu), dibimbing oleh SUMONO dan EDI SUSANTO. Pengalihfungsian lahan hutan menjadi lahan budidaya pertanian di bagian hulu DAS Wampu khususnya di Sub DAS Lau Biang telah mengakibatkan masalah peningkatan laju erosi di DAS tersebut. Untuk itu dilaksanakan penelitian di lahan tanaman hortikultura (jeruk) pada bulan April-Juli 2009 dengan menggunakan metode USLE dan metode Petak Kecil dengan mengambil 10 kecamatan untuk pengambilan sampel. Parameter yang diamati adalah jenis tanah, kedalaman efektif tanah, permeabilitas tanah, kadar C-organik tanah, tekstur tanah, struktur tanah, kemiringan lereng dan curah hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalihfungsian lahan menjadi lahan tanaman hortikultura (jeruk) berpengaruh terhadap besarnya erosi yang terjadi. Rata-rata erosi yang terjadi menurut metode prediksi sebesar 361,794 ton/ha.thn dan pengukuran erosi dengan metode petak kecil diperoleh laju erosi 20,299 ton/ha.thn lebih kecil dibandingkan dengan metode USLE. Kata kunci : Erosi tanah, Erosi yang Ditoleransikan, Tingkat Bahaya Erosi. ABSTRACT CORY MEILIANY BR. SURBAKTI: The Study of Erosion Hazard Level (TBE) on Horticulture Land at Sub DAS Lau Biang (Headwaters of DAS Wampu), supervised by SUMONO and EDI SUSANTO. The transferring of function of forest land into agriculture at the headwaters of DAS Wampu, especially at Sub DAS Lau Biang has resulted in the increase of erosion rate at this DAS. Therefore, research was carried out at the orange crop area in April-July 2009 using the USLE and small square methods by taking 10 subdistricts for sampling. The observed parameters were the kind of soil, the effective depth of soil, soil permeability, soil C-organic content, soil texture, soil structure, slope and rainfall. The results showed that the transferring of function of forest land into orange crop affected the amount of erosion. The average of erosion that occured according to the predictive method was 361,794 ton/ha.year, and according to small squares method was 20,299 ton/ha.year that was smaller than the USLE method. Keywords: Soil Erosion, Tolerable Erosion, Erosion Hazard Level. i

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 23 Mei 1987 dari ayah Drs. Konsep Surbakti dan ibu Srie Mory Br. Bangun. Penulis merupakan putri sulung dari tiga bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri I Medan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA). Selain itu penulis juga pernah aktif pada Kegiatan Mahasiswa Kristen (KMK). Penulis juga merupakan asisten praktikum Erosi dan Bangunan Pencegah pada tahun 2009. Pada tanggal 16 Juli sampai dengan 15 Agustus 2008, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di pabrik pengolahan kopi CV. Prima Harapan yang beralamat di Jalan Kongsi No. 278 A, Mariendal, Medan. ii

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Penggunaan Lahan Tanaman Hortikultura di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS sebagai Ketua Pembimbing dan Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si sebagai Anggota Komisi Pembimbing serta kepada yang telah membimbing dan memberikan masukan berharga kepada penulis mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai skripsi ini diselesaikan. Khusus untuk Bapak Ahmad Syofyan, SE di Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser yang telah banyak memberi bantuan selama penelitian. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar di Program studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, serta semua rekan mahasiswa yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat. Medan, Desember 2009 Penulis iii

DAFTAR ISI Hal. ABSTRAK... i ABSTRACT... i RIWAYAT HIDUP... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Rumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 4 Kegunaan Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Umum Pengelolaan DAS... 6 Kondisi Umum DAS Wampu... 10 Erosi dan Sedimentasi pada Suatu DAS... 15 Faktor Yang Mempengaruhi Erosi... 19 Faktor iklim... 19 Faktor tanah... 20 Faktor topografi... 22 Faktor vegetasi... 24 Faktor manusia dan tindakan konservasi... 25 Tingkat Bahaya Erosi... 26 Tanaman Hortikultura... 27 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian... 30 Bahan dan Alat Penelitian... 30 Metode Penelitian... 30 Pengamatan lapangan... 31 Laju erosi yang dapat ditoleransikan (T)... 31 Pengukuran erosi dengan metode petak kecil... 32 Prediksi erosi dengan metode USLE... 34 Faktor erosivitas hujan (R)... 34 Faktor erodibilitas tanah (K)... 35 Faktor topografi (LS)... 36 Faktor vegetasi (C) dan faktor manusia/tindakan konservasi (P)... 36 Tingkat bahaya erosi... 38 Parameter Penelitian... 38 Pelaksanaan Penelitian... 39 iv

v HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Sub DAS Lau Biang Bagian Hulu DAS Wampu... 41 Pengukuran Erosi Tanah di Lahan Tanaman Hortilkultura (Jeruk) di Sub DAS Lau Biang 42 Erosi ditoleransikan (T) pada lahan tanaman hortikultura (jeruk)... 42 Erosi pada lahan tanaman hortikultura (jeruk) Sub DAS Lau Biang... 43 Pengukuran erosi tanah dengan metode Petak Kecil... 43 Prediksi erosi dengan metode USLE... 46 Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Tanaman Hortikultura (Jeruk).. 49 Penilaian Faktor-Faktor Erosi... 51 Faktor erosivitas hujan (R)... 51 Faktor erodibilitas tanah (K)... 52 Faktor topografi (LS)... 56 Faktor vegetasi (C) dan faktor manusia/tindakan konservasi (P)... 58 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 60 Saran... 61 DAFTAR PUSTAKA... 62 LAMPIRAN... 65 Hal.

DAFTAR TABEL No. Hal. 1. Luas wilayah kecamatan, kabupaten dan kota DAS Wampu... 12 2. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang... 13 3. Kelas kemiringan lereng di kawasan DAS Wampu... 13 4. Jenis dan luas penggunaan lahan di setiap Sub DAS Wampu... 14 5. Nilai faktor kedalaman tanah pada berbagai jenis tanah... 32 6. Kode struktur tanah... 36 7. Kode permeabilitas profil tanah... 36 8. Nilai faktor (C) untuk berbagai tipe pengelolaan tanaman... 37 9. Nilai faktor (P) untuk berbagai tindakan konservasi tanah... 37 10. Kriteria tingkat bahaya erosi... 38 11. Nilai erosi yang ditoleransikan (T) pada lahan tanaman jeruk... 42 12. Data petak kecil pada lahan tanaman Jeruk... 43 13. Nilai tingkat bahaya erosi (TBE) pada lahan tanaman jeruk... 48 14. Nilai erosivitas hujan di Sub DAS Lau Biang... 50 15. Nilai kandungan partikel tanah (M) pada lahan tanaman jeruk... 53 16. Nilai C-organik (a) pada lahan tanaman jeruk... 54 17. Nilai topografi (LS) pada tanaman jeruk... 55 18. Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi (P)... 56 vi

DAFTAR GAMBAR No. Hal. 1. Laju deforestasi versus laju rehabilitasi... 7 2. Penampang petak kecil dan kolektor... 33 vii

DAFTAR LAMPIRAN No. Hal. 1. Flowchart pengukuran laju erosi metode USLE... 65 2. Flowchart pengukuran laju erosi metode petak kecil... 66 3. Data curah hujan di Tiga Pancur... 67 4. Data curah hujan di Barus Jahe... 68 5. Data curah hujan di Merek... 69 6. Data curah hujan di Tiga Panah... 70 7. Data curah hujan di Sumber Jaya... 71 8. Data curah hujan di Sinabung... 72 9. Tabel nilai erosivitas hujan... 73 10. Tabel nilai erodibilitas tanah pada lahan tanaman jeruk... 74 11. Tabel nilai erosi (A) lahan tanaman jeruk... 75 12. Data hasil analisis tanah pada lahan tanaman jeruk... 76 13. Gambar petak kecil di lapangan... 77 14. Gambar proses permeabilitas... 78 15. Data permeabilitas pada lahan tanaman jeruk... 79 16. Peta administrasi... 80 17. Peta jenis tanah... 81 18. Peta kelas lereng... 82 19. Peta penutupan dan penggunaan lahan... 83 viii

PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumber daya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun. Dari definisi di atas, maka dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tata guna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air 1

2 dan transport sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya bentuk keterkaitan daerah hulu-hilir seperti tersebut di atas maka kondisi suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumber daya alam termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan (Marwah, 2001). Sub DAS Lau Biang merupakan bagian hulu dari DAS Wampu yang mencakup wilayah Kecamatan Dolok Silau dan Silimakuta di Kabupaten Simalungun, serta wilayah Kecamatan Merek, Tiga Panah, Simpang Empat, Kabanjahe, Berastagi, Barus Jahe, Payung, Dolat Rakyat, Merdeka, Namanteran, Tiga Binanga, Munthe, Tiganderket, dan Kuta Buluh di Kabupaten Karo, dan sebagian wilayah Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deli Serdang, serta sebagian wilayah Kecamatan Salapian dan Sei Bingei di Kabupaten Langkat. Luas wilayah Sub DAS Lau Biang sekitar 95.552,095 Ha atau sekitar 22,95% dari total luas wilayah DAS Wampu (410.715 Ha). Selain Sub DAS Lau Biang, Sub DAS lainnya di DAS Wampu adalah Sub DAS Wampu Hulu seluas 204.680 Ha (49,83%), Sub DAS Sei Bingei seluas 79.047 Ha (19,25%), dan Sub DAS Wampu Hilir seluas 32.738 Ha (7,97%) (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Permasalahan umum di DAS Wampu yang menyebabkan berbagai bencana alam, diantaranya Banjir Bandang di Sub DAS Wampu Hulu Sub-Sub DAS Bahorok pada November 2003 yang lalu adalah akibat banyaknya penggarapan-penggarapan liar yang menyebabkan banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu, sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir. Pola usaha tani yang kurang mengikuti kaidah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang di Kabupaten Simalungun dan Karo dengan komoditi utama tanaman pangan dan hortikultura. Sedangkan pada bagian

3 hilir terjadi penyempitan dan pendangkalan sungai khususnya di Sub DAS Wampu Hilir dan Sub DAS Sei Binge di Kabupaten Langkat dan Kota Binjai (Misran, 2008). Khusus di Sub DAS Lau Biang, penggunaan lahan dominannya justru untuk pertanian lahan kering seluas 85,06% dari luas Sub DAS tersebut, sementara untuk hutan hanya 11,43% (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Hutabarat (2008) menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama penyebab degradasi DAS di Indonesia yaitu : (1) keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah dan topografi) yang rentan terjadi erosi, banjir, tanah longsor, dan kekeringan; (2) iklim, terutama curah hujan yang tinggi dan potensial dapat menimbulkan daya rusak terhadap hamparan lahan/tanah, yang menyebabkan erosivitas yang tinggi; dan (3) aktivitas manusia dalam pemanfaatan/penggunaan lahan/hutan yang melampaui daya dukung wilayah/lingkungan dan atau tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani, serta sikap mental orang-orang yang tidak bertanggung jawab (memiliki moral hazard) terutama dalam menggarap/alih fungsi hutan menjadi lahan budidaya atau untuk penggunaan lainnya. Kemampuan tanah yang rendah dalam menyerap dan menyimpan air, bukan hanya menyebabkan tanaman akan mudah kekeringan pada musim kemarau, tetapi juga menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan tanah (run off) pada musim hujan menjadi lebih banyak dan akan menyebabkan lapisan tanah akan lebih banyak terkikis akibat erosi. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa bagian hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang) yang seharusnya merupakan kawasan konservasi, justru menjadi kawasan budidaya terutama untuk komoditi tanaman pangan (jagung, padi gogo,

4 umbi-umbian), hortikultura (sayuran, buah-buahan), dan tanaman industri (kopi, cacao, dan kemiri). Sementara agroteknologi yang dikembangkan belum sepenuhnya, bahkan dapat dikatakan sangat minimal, dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air, dan kawasan ini memiliki curah hujan yang tinggi dengan jenis tanah andosol yang rentan terhadap erosi serta kondisi relief yang bergelombang hingga bergunung dengan luas penggunaan lahan pertanian kering yang mencapai 85% dengan mengusahakan tanaman pangan dan tanaman hortikultura (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Berkaitan dengan hal tersebut akan dilakukan penelitian guna mendapatkan informasi sejauh mana tingkat bahaya erosi yang terjadi pada penggunaan lahan di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang). Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dapat dijadikan dasar dalam penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar laju erosi yang masih dapat ditoleransikan pada penggunaan lahan tanaman hortikultura di Sub DAS Lau Biang. 2. Bagaimana tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi pada penggunaan lahan tanaman hortikultura di Sub DAS Lau Biang. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghitung laju erosi yang dapat ditoleransikan (T) dan besarnya tingkat bahaya erosi (TBE) di Sub DAS Lau Biang pada lahan tanaman hortikultura.

5 Kegunaan penelitian 1. Sebagai bahan dasar bagi penulis untuk menyusun skripsi yang merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. 2. Sebagai informasi bagi pihak yang berkepentingan tentang tingkat bahaya erosi pada penggunaan lahan tanaman hortikultura, khususnya di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang).

TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Umum Pengelolaan DAS Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2006). Berbicara tentang pengelolaan DAS, maka tidak akan terlepas dari permasalahan pengelolaan hutan, meskipun seluruh titik di muka bumi ini merupakan bagian dari DAS. Seperti diketahui bahwa luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 120,35 juta Ha atau 63% dari luas daratan, dan terdiri dari hutan konservasi 20,50 juta Ha, hutan lindung seluas 33,50 juta Ha, dan hutan 6

7 produksi seluas 66,35 juta Ha. Dari luas kawasan hutan tersebut kondisi kawasan yang tidak berhutan terjadi deforestasi seluas 30,83 juta Ha atau 25,6% dari luas kawasan hutan. Tercatat laju deforestasi pada tahun 2000 hingga 2005 mencapai 1,08 juta Ha/tahun (Gambar 1). Kawasan hutan yang kritis semakin meningkat karena laju deforestasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan laju rehabilitasi yang hanya 500 ribu Ha/tahun (Hutabarat, 2008). = Luas (Ha) = Tahun Gambar 1. Laju deforestasi versus laju rehabilitasi (Hutabarat, 2008) DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS sering kali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan

8 rangkaian proses alami daur hidrologi (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2006). Peran daerah hulu dalam menjamin kelangsungan ekonomi sumber daya dan konservasi keanekaragaman hayati (bio-diversity) secara sistem hidrologi dan ekologi tidak dapat diabaikan. Dengan pertimbangan tersebut, maka menurut Pasaribu (1999), DAS dapat dimanfaatkan secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah hulu dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi (preservation), reservasi (reservation), dan konservasi (conservation). Dengan demikian menunjukkan bahwa daerah hulu dan hilir suatu DAS mempunyai keterkaitan biofisik yang direpresentasikan oleh daur hidrologi dan daur unsur hara. Adanya keterkaitan biofisik tersebut, DAS dapat dimanfaatkan sebagai satuan perencanaan dan evaluasi yang logis terhadap pelaksanaan programprogram pengelolaan DAS. Berdasarkan rumusan yang dihasilkan dari lokakarya Pengelolaan DAS yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1995, maka ada 3 hal yang dianggap penting untuk diperhatikan dalam upaya pengelolaan DAS, yaitu : 1. Bahwa pengelolaan DAS merupakan bagian penting dari kegiatan pembangunan di Indonesia, khususnya dalam rangka pemanfaatan sumber daya hutan, tanah, dan air, sehubungan dengan perlindungan lingkungan. 2. Pada dasarnya pengelolaan DAS bersifat multi disiplin dan lintas sektoral sehingga keterpaduan (integrated) mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal.

9 3. Dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu diterapkan azas Integrated Watershed Management Plan. Untuk itu dalam setiap rencana pemanfaatan DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan memperhatikan kejelasan keterkaitan antar sektor pada tingkat regional/wilayah dan nasional serta kesinambungannya. Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan untuk melaksanakan amanat Kabinet Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Seperti diketahui terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, 60 DAS merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong prioritas III dalam upaya penanggulangan/rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat kritis seluas 6.890.567 Ha dan 23.306.233 Ha merupakan lahan kritis (Darori, 2008). Begitu luasnya lahan kritis di kawasan DAS yang menyebabkan terjadinya DAS kritis, maka pengelolaan kawasan berdasarkan konsep DAS mutlak diperlukan. Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pembangunan berkelanjutan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mendayagunakan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan keselarasan, keserasian, keseimbangan antara sumber daya manusia, dalam memanfaatkan sumber daya buatan dan sumber daya alam serta mengupayakan kelestarian fungsi sumber daya alam dalam jangka panjang (Nasution, 2008). Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya

10 hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2006). Kondisi Umum DAS Wampu Secara geografis Daerah Aliran Sungai Wampu terletak antara 02º58 51-04º36 00 Lintang Utara dan 97º48 03-98º38 50 Bujur Timur dengan luas sekitar 410.714,75 Ha atau 4107,15 Km² (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Sedangkan menurut administratif terletak di Kabupaten Langkat, Karo, Deli Serdang, Simalungun, dan Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka - Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Lau Renun dan DTA Danau Toba - Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Belawan, Deli, Percut dan Ular - Sebelah Barat berbatasan dengan provinsi NAD (Misran, 2008; BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu dengan luas 410.714,75 Ha tersebut terbagi ke dalam 4 (empat) wilayah Sub DAS yaitu:

11 (a). Sub DAS Wampu Hulu seluas 204.679,85 Ha (49,83%) (b). Sub DAS Sei Bingei seluas 79.046,91 Ha (19,25%) (c). Sub DAS Wampu Hilir seluas 32.737,53 Ha (7,97%) (d). Sub DAS Lau Biang seluas 94.250,45 Ha (22,95%). (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Wilayah kecamatan yang termasuk ke dalam DAS Wampu meliputi : - 16 kecamatan di Kabupaten Karo - 11 kecamatan di Kabupaten Langkat - 2 kecamatan di Kabupaten Deli Serdang - 2 kecamatan di Kabupaten Simalungun - 5 kecamatan di Kota Binjai (Tabel 1). Sementara wilayah kecamatan yang masuk ke dalam Sub DAS Lau Biang sebanyak 19 kecamatan dengan luas wilayah masing-masing sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

12 Tabel 1. Luas wilayah kecamatan, kabupaten dan kota DAS Wampu. Kabupaten/Kecamatan Luas Wilayah Ha % Kabupaten Karo: 1. Barus Jahe 9548,74 2,32 2. Berastagi 2341,99 0,57 3. Dolat Rakyat 2042,32 0,50 4. Kabanjahe 4311,29 1,05 5. Lau Baleng 3026,28 0,74 6. Mardingding 12808,45 3,12 7. Merdeka 2540,34 0,62 8. Merek 12130,48 2,95 9. Munthe 7901,31 1,92 10. Namanteran 7698,06 1,87 11. Payung 3071,95 0,75 12. Kuta Buluh 23457,62 5,71 13. Tiga Binanga 6333,69 1,54 14. Tiganderket 12247,33 2,98 15. Tiga Panah 9516,64 2,32 16. Simpang Empat 7281,31 1,77 Jumlah 126257,80 30,73 Kabupaten Langkat: 1. Bahorok 103357,41 25,17 2. Binjai 2918,01 0,71 3. Hinai 3791,08 0,92 4. Kuala 21379,31 5,21 5. Salapian 48314,93 11,76 6. Secanggang 12985,46 3,16 7. Sei Bingei 33029,15 8,04 8. Selesai 16468,91 4,01 9. Tanjung Pura 6969,22 1,70 10. Wampu 6225,41 1,52 11. Stabat 4894,16 1,19 Jumlah 260333,10 63,39 Kota Binjai: 1. Binjai Barat 1236,61 0,30 2. Binjai Kota 429,99 0,10 3. Binjai Selatan 3033,75 0,74 4. Binjai Timur 766,49 0,19 5. Binjai Utara 540,74 0,13 Jumlah 6007,58 1,46 Kabupaten Simalungun: 1. Dolok Silau 4933,66 1,20 2. Silima Kuta 6872,22 1,67 Jumlah 11805,88 2,87 Kabupaten Deli Serdang: 1. Kutalimbaru 6265,20 1,53 2. Sunggal 45,21 0,01 Jumlah 6310,41 1,54 Jumlah 410714,75 100,00 Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)

13 Tabel 2. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang Kecamatan Luas (Ha) % dari luas Sub DAS Lau Biang 1. Silimakuta 6872,220 7,29 2. Dolok Silau 4933,664 5,23 3. Merek 12130,468 12,87 4. Barus Jahe 9548,745 10,13 5. Tiga Panah 9516,642 10,10 6. Kabanjahe 4311,296 4,57 7. Dolat Rakyat 2042,315 2,17 8. Berastagi 2341,986 2,48 9. Simpang Empat 7281,310 7,73 10. Merdeka 2366,886 2,51 11. Namanteran 7523,418 7,98 12. Munthe 7901,312 8,38 13. Payung 3071,953 3,26 14. Tiganderket 9283,204 9,85 15. Kuta Buluh 2863,562 3,04 16. Tiga Binanga 2185,782 2,32 17. Kutalimbaru 1,374 0,001 18. Salapian 24,847 0,03 19. Sei Bingei 49,473 0,05 Luas Sub DAS Lau Biang 95552,095 100,00 Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008) Dari segi kemiringan lereng, bentuk lahan dominan di DAS Wampu adalah agak curam hingga sangat curam (kemiringan > 26%) seluas 282.179,86 Ha atau 68,7% dari luas DAS Wampu. Bentuk kemiringan lereng lainnya berikut luasnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kelas kemiringan lereng di kawasan DAS Wampu Lereng (%) Bentuk Lahan Ha % < 2 Datar 30851,025 7,51 2 8 Landai 27809,410 6,77 9-15 Bergelombang 67114,834 16,34 16-25 Berbukit 2759,617 0,67 26-40 Agak curam 104853,056 25,53 41-60 Curam 77465,902 18,86 > 60 Sangat curam 99860,902 24,31 Jumlah 410714,747 100,00 Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008) Jenis dan penggunaan lahan di setiap Sub DAS dalam kawasan DAS Wampu disajikan pada Tabel 4.

14 Tabel 4. Jenis dan luas penggunaan lahan di setiap Sub DAS dalam kawasan DAS Wampu No Sub Das Penggunaan Lahan Ha %/Kec. 1 Lau Biang Belukar 1062,491 1,05 Danau/air 152,338 0,13 Hutan tanaman industri 1617,986 1,13 Hutan lahan kering sekunder 11869,586 10,30 Pemukiman 482,023 0,54 Pert. lahan kering campur semak 315,966 0,85 Pertanian lahan kering 80169,822 85,06 Sawah 415,763 0,60 Terbuka 314,261 0,33 95.552,095 100,00 2 Sei Bingei Belukar 2706,732 3,42 Hutan lahan kering sekunder 12589,229 15,93 Pemukiman 3605,944 4,56 Perkebunan 11830,809 14,97 Pert. lahan kering campur semak 30411,443 38,47 Pertanian lahan kering 15494,856 19,60 Rawa 20,249 0,03 Sawah 1711,881 2,17 Terbuka 675,768 0,85 79046,911 100,00 3 Wampu Hilir Belukar 2199,217 6,72 Hutan belukar/rawa 5111,674 15,61 Hutan mangrove sekunder 18,732 0,06 Pemukiman 1222,289 3.73 Perkebunan 4234,642 12,94 Pert. lahan kering campur semak 7914,319 24,17 Pertanian lahan kering 5960,24 18,21 Rawa 261,864 0,80 Sawah 1529,18 4,67 Tambak 3753,854 11,47 Terbuka 531,517 1,62 32737,528 100,00 4 Wampu Hulu Belukar 9883,575 4,83 Danau/air 7,167 0,004 Hutan lahan kering primer 40837,661 19,95 Hutan lahan kering sekunder 63941,95 31,24 Pemukiman 389,488 0,19 Perkebunan 24605,028 12,02 Pert. lahan kering campur semak 43683,562 21,34 Pertanian lahan kering 17639,344 8,62 Sawah 2444,487 1,19 Terbuka 1247,592 0,61 204679,854 100,00 Total DAS Wampu 410714,747 Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)

15 Permasalahan khusus di DAS Wampu antara lain adalah (1) banyaknya penggarapan-penggarapan liar di era reformasi, sehingga banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu saat ini, sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir; (2) pola usaha tani yang kurang mengikuti kaidah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang (tanaman hortikultura) Kabupaten Karo; (3) pada bagian hilir DAS adalah terjadinya penyempitan dan pendangkalan sungai di Sub DAS Wampu Hilir, Sub DAS Bingei Kabupaten Langkat dan Kota Binjai (Misran, 2008). Erosi Dan Sedimentasi Pada Suatu DAS Erosi adalah proses terkikisnya dan terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah oleh media alami yang berupa air (air hujan). Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi disebut sedimen. Sedangkan sedimentasi (pengendapan) adalah proses terangkutnya/terbawanya sedimen oleh suatu limpasan/aliran air yang diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti seperti pada saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut (Arsyad, 2000). Erosi dan sedimentasi merupakan proses penting dalam pembentukan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) serta memiliki konsekuensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS tersebut. Erosi dan sedimentasi secara alami akan mempengaruhi pembentukan landscape suatu DAS dan sebaliknya bentuk dan kondisi fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sedimentasi (Linsley, dkk, 1996). Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi atau erosi normal dan erosi yang dipercepat. Erosi geologi (erosi normal) juga disebut erosi

16 alami merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi pada keadaan lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses geologi meliputi terjadinya pembentukan tanah di permukaan bumi secara alami. Dalam hal ini erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah. Oleh sebab itu, hanya erosi dipercepat inilah yang menjadi perhatian konservasi tanah. Dalam pembahasan selanjutnya, istilah erosi yang dipergunakan menggambarkan erosi dipercepat yang disebabkan oleh air (Rahim, 2003; Arsyad, 2000). Adapun faktor-faktor alam yang mempengaruhi erosi adalah erodibilitas tanah, karakteristik landscape dan iklim. Akibat dari adanya pengaruh manusia dalam proses peningkatan laju erosi seperti pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan/atau pengelolaan lahan yang tidak didasari tindakan konservasi tanah dan air menyebabkan perlunya dilakukan suatu prediksi laju erosi tanah sehingga bisa dilakukan suatu manajemen lahan. Manajemen lahan berfungsi untuk memaksimalkan produktivitas lahan dengan tidak mengabaikan keberlanjutan dari sumber daya lahan (As-syakur, 2008). Erosivitas hujan merupakan faktor alami yang hampir tidak mungkin untuk dikelola, sedangkan erodibilitas tanah dapat diperbaiki dengan meningkatkan/menjadikan kemantapan agregat tanah yang ideal melalui penambahan bahan amelioran seperti bahan organik. Kemiringan dan panjang

17 lereng serta faktor vegetasi dan pengelolaan tanah merupakan faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran permukaan serta menurunkan laju dan jumlah erosi (Agus dan Widianto, 2004; Arsyad, 2006). Untuk mempertahankan kelestarian sumber daya tanah, secara teoritis proses penghanyutan tanah (erosi) harus seimbang dengan pembentukan tanah. Suatu kedalaman tertentu harus dipelihara agar terdapat cukup air yang tersimpan dan unsur hara serta tempat berjangkarnya tanaman. Oleh karena itu perlu ditetapkan berapa erosi dari sebidang tanah yang masih dapat dibiarkan (permissible erossion) di bawah suatu sistem pengelolaan tertentu. Dalam penetapan batas erosi yang masih dapat dibiarkan adalah perlu diingat bahwa tidaklah mungkin menurunkan laju erosi menjadi nol dari tanah-tanah yang diusahakan untuk pertanian, terutama pada tanah-tanah yang berlereng (Alibasyah, 1996). Menurut Asdak (2004), dalam sistem hidrologi karakteristik daerah aliran sungai terkait dengan unsur-unsur seperti iklim, jenis tanah, tata guna lahan dan topografi. Di antara faktor-faktor tersebut, faktor tata guna lahan, panjang dan kemiringan lereng dapat direkayasa manusia. Hal ini tercermin dalam rumus USLE (Universal Soil Loss Equation) oleh Wischmier dan Smith (1978). Prediksi erosi pada sebidang tanah dapat dilakukan menggunakan model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (Arsyad, 2000) yang diberi nama Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan persamaan sebagai berikut: A = R. K. L. S. C. P... (1)

18 dimana: A R = banyaknya tanah tererosi (ton/ha/thn) = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan tingkat erosi hujan tahunan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I 30 ). K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per tingkat erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 22,1 m (72,6 kaki) terletak pada lereng 9 %, tanpa tanaman. L = faktor panjang lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22,1 m (72,6 kaki) di bawah keadaan yang identik. S = faktor kecuraman lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9 % di bawah keadaan yang identik. C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang identik tanpa tanaman. P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik.

19 Saifuddin Sarief (1980) dalam bukunya yang berjudul Beberapa Masalah Pengawetan Tanah dan Air, penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan pengikisan dan penghanyutan tanah menggunakan metode pengukuran besarnya tanah yang terkikis dan aliran permukaan (run-off) untuk satu kali kejadian hujan. Metode ini disebut Pengukuran Erosi Petak Kecil, metode ini ditujukan untuk mendapatkan data-data sebagai berikut : 1. Besarnya erosi 2. Pengaruh faktor tanaman 3. Pemakaian bahan pemantap tanah (soil conditioner) 4. Pemakaian mulsa penutup tanah, dan 5. Pengelolaan tanah Dengan berpegangan pada pendapat Konhke dan Bertrand (1959) bahwa petak kecil yang biasanya berbentuk persegi panjang dipergunakan untuk mendapatkan besarnya pengikisan dan penghanyutan yang disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor tertentu untuk suatu tipe tanah dan derajat lereng tertentu (Kartasapoetra, 1990). Faktor Yang Mempengaruhi Erosi 1. Faktor Iklim Di daerah beriklim basah, faktor iklim yang menyebabkan terdispersinya agregat tanah, aliran permukaan dan erosi adalah hujan (Sinukaban, 1986). Air yang jatuh menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi, selanjutnya sebahagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas infiltrasi).

20 Besarnya hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh karena itu, besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik per satuan luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air yaitu millimeter. Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu seperti per hari, per bulan, per tahun atau per musim. 2. Faktor tanah Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbedabeda. Kepekaan erosi tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan. Menurut Arsyad (2000), beberapa sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah, sedangkan kepekaan tanah terhadap erosi yang menunjukkan mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh berbagai sifat fisika tanah. Tekstur adalah ukuran tanah dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer bagian mineral tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti seperti pasir dan pasir berkerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi dan jika tanah tersebut dalam, erosi dapat diabaikan. Tanah-tanah bertekstur pasir halus juga mempengaruhi kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, butir halus akan mudah terangkut. Tanah-tanah yang mengandung liat

21 dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Struktur adalah ikatan butir primer ke dalam butiran sekunder atau agregat. Terdapat dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya dengan erosi. Pertama adalah sifat-sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi dan yang kedua adalah adanya bahan pengikat bahan pengikat butir-butir primer sehingga terbentuk agregat yang mantap. Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran permukaan, peningkatan infiltrasi dan pemantapan agregat tanah. Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah permeabilitas lapisan tersebut. Permeabilitas dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler dan permeabel kurang

22 peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah. Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan keseluruhan sifat-sifat tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya. Menurut Hudson (1992), kepekaan erosi didefinisikan sebagai mudah tidaknya tanah untuk tidak tererosi, sedangkan menurut Arsyad (2000), kepekaan tanah didefinisikan sebagai erosi per satuan tingkat erosi hujan untuk suatu tanah dalam keadaan standar. Kepekaan erosi tanah menunjukkan besarnya erosi yang terjadi dalam ton tiap Ha tiap tahun tingkat erosi hujan, dari tanah yang terletak pada keadaan baku (standar). Tanah dalam standar adalah tanah yang terbuka tidak ada vegetasi sama sekali terletak pada lereng 9 % dengan bentuk lereng yang seragam dengan panjang lereng 72,6 kaki atau 22 m. Nilai faktor kepekaan erosi tanah yang ditandai dengan huruf K, dinyatakan dalam persamaan berikut: K= A/R,.... (2) dengan arti lambang huruf K adalah nilai faktor kepekaan erosi suatu tanah, A adalah besarnya erosi yang terjadi dari tanah pada petak standar (ton/ha/tahun), dan R adalah EI 30 tahunan. 3. Faktor Topografi Jika keadaan lereng di lapangan tidak sama dengan baku, maka faktor panjang lereng dan kemiringan lereng harus dikembalikan pada keadaan baku, yaitu panjang lereng 22 m dan kemiringan lereng 9 % dengan persamaan berikut : 2 ( 0,00138) S + 0,00965 + 0, 0138 LS = L S... (3) dengan arti lambang huruf L adalah lereng dalam meter, S adalah persen kemiringan lereng dalam keadaan baku.

23 Lereng yang lebih curam, selain memerlukan tenaga dan biaya yang lebih besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya pengaturan air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu, lereng-lereng dengan bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lereng-lereng pada kemiringan yang sama, tetapi mempunyai bentuk yang tidak seragam dan pendek. Pada lereng yang panjang dan seragam, air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di lereng bawah sehingga makin besar kecepatannya daripada di lereng bagian atas. Akibatnya tanah lereng bagian bawah mengalami erosi lebih besar daripada lereng bagian atas. Sebaliknya, lereng yang panjang dan tidak seragam biasanya diselingi oleh lereng datar dalam jarak pendek. Akibatnya aliran air yang terkumpul di lereng bawah tidak begitu besar dan erosi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan lereng yang panjang dan seragam (Arsyad, 1989). Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100 % sama dengan kecuraman 45º. Selain dari memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air. Dengan makin curamnya lereng, jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan dua kali lebih curam, banyaknya erosi 2 sampai 2,5 kali lebih besar (Sinukaban, 1986). Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai suatu titik air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dengan kemiringan lereng

24 berkurang demikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng. Dengan demikian, lebih banyak air yang mengalir akan makin besar kecepatannya di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada di bagian atas. Akibatnya adalah tanah-tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin tinggi mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula (Wischmeier and Smith, 1978). 4. Faktor Vegetasi Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, (d) pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (e) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air berkurang (Arsyad, 2000). Pola pertanaman dan jenis tanaman yang dibudidayakan sangat berpengaruh terhadap erosi dan aliran permukaan karena berpengaruh terhadap penutupan tanah dan produksi bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap tanah. Menurut FAO (1965) dikut ip oleh Sinukaban (1986) pergiliran tanaman terutama dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah lainnya, merupakan cara konservasi tanah yang sangat penting. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada tanah untuk mengimbangi periode pengrusakan tanah akibat penanaman tanaman budidaya secara terus-menerus. Keuntungan dari

25 pergiliran tanaman adalah mengurangi erosi karena kemampuannya yang tinggi dalam memberikan perlindungan oleh tanaman, memperbaiki struktur tanah karena sifat perakaran, dan produksi bahan organik yang tinggi. 5. Faktor Manusia atau Tindakan Konservasi Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa usaha-usaha konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Kegiatan pengendalian erosi meliputi : (1) pengembangan model (metode) prediksi erosi, dan (2) penelitian untuk mengkaji untuk mencari dan/atau mengkaji teknik pengendalian erosi. Metode (model) prediksi yang paling banyak dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia adalah USLE (Universal Soil Loss Equation). Dalam rangka pengembangan model tersebut Puslitbangtanak telah melakukan beberapa penelitian untuk mendapatkan nilai faktor-faktor R (erosivitas hujan), K (erodibilitas tanah), C (vegetasi dan pengelolaan tanaman) dan P (konservasi tanah). Hasil penelitian ini sering digunakan untuk menginventarisasi tingkat bahaya erosi dan perencanaan penggunaan lahan serta pemilihan alternatif teknik konservasi tanah (Dariah, dkk, 2005). Teras adalah suatu bangunan pengawetan tanah dan air secara mekanis yang dibuat untuk memperpendek lereng dan atau memperkecil kemiringan, dan merupakan suatu metode pengendalian erosi dengan membangun semacam

26 saluran lebar melintang lereng tanah. Pengelolaan lahan dengan kontur tanah pertanian selalu dikombinasikan dengan teras. Fungsi teras adalah mengurangi panjang lereng, karena itu mengurangi sheet dan riil, mencegah terbentuknya gully, dan menahan aliran permukaan di daerah kurang hujan. Berdasarkan fungsinya, teras dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu : teras intersepsi (interseption terrace), dan teras diversi (diversion terrace). Pada teras intersepsi, aliran permukaan ditahan oleh saluran yang memotong lereng, sedangkan pada teras diversi berfungsi untuk mengubah arah aliran sehingga tersebar ke saluran lahan dan tidak terkonsentrasi ke suatu tempat. Menurut bentuknya teras dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu teras kredit, teras guludan, teras datar, teras bangku, teras kebun dan teras individu (Hardjoamidjojo dan Sukandi, 2008). Tingkat Bahaya Erosi Batas toleransi erosi adalah batas maksimal besarnya erosi yang masih diperkenankan terjadi pada suatu lahan. Besarnya batas toleransi erosi dipengaruhi oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim, dan permeabilitas tanah. Evaluasi bahaya erosi merupakan penilaian atau prediksi terhadap besarnya erosi tanah dan potensi bahayanya terhadap sebidang tanah. Evaluasi bahaya erosi ini didasarkan dari hasil evaluasi lahan dan sesuai dengan tingkatannya. Menurut Arsyad (2000) evaluasi bahaya erosi atau disebut juga tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan erosi tanah yang dapat ditoleransikan (tolerable soil loss). Untuk mengetahui kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat diketahui dari tingkat bahaya erosi dari lahan tersebut.

27 Tanaman Hortikultura Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu, penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan, dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000). Hortikultura berasal dari kata hortus (= garden atau kebun) dan colere (= to cultivate atau budidaya). Secara harfiah istilah hortikultura diartikan sebagai usaha membudidayakan tanaman buah-buahan, sayuran dan tanaman hias (Janick, 1972 ; Edmond et al., 1975). Sehingga hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari budidaya buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Sedangkan dalam GBHN 1993-1998 selain buah-buahan, sayuran dan tanaman hias, yang termasuk dalam kelompok hortikultura adalah tanaman obat-obatan. Pemanfaatan lahan kering pada lahan pertanian umumnya ditentukan atas dasar kemiringan dan ketinggian lahan di atas permukaan laut. Lahan berkemiringan 0-15% kiranya cocok untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura secara intensif, lahan kemiringan 15-25 % ditempuh pertanian tanaman pangan dan hortikultura yang dikombinasikan secara baik dengan tanaman kehutanan dan perkebunan, lahan berkemiringan >25 % kiranya hanya cocok untuk kehutanan dan perkebunan (Sukartiko, 1988). Selanjutnya dari segi

28 ketinggian lahan permukaan laut disebutkan bahwa lahan di bawah 1000 m, macam-macam tanaman menjadi lebih bervariasi antara tanaman semusim dan tanaman tahunan, di atas ketinggian 1000 m di atas permukaan laut, tanaman pertanian yang cocok untuk dikelola terbatas pada jenis sayuran dan tanaman industri seperti tembakau dan tanaman obat-obatan serta hutan lindung. Usaha tani lahan kering tanaman pangan dan hortikultura pada dataran tinggi sering dilakukan pada lahan-lahan dengan bentuk wilayah berbukitbergunung dengan lereng di atas >15 %. Penerapan usaha konservasi tanah dan air yang murah yang dapat diterapkan masyarakat perlu dilakukan untuk menekan laju erosi yang mengangkut lapisan atas tanah dan mengakibatkan merosotnya produktivitas tanah (Mulyani, dkk, 2003). Secara rampat lahan yang baik untuk pengembangan lahan hortikultura ialah berelief datar atau sedikit landai. Lahan yang terlalu miring tidak terlalu cocok karena biasanya miskin hara (kecuali yang tanahnya terbentuk dari endapan abu volkan) dan memerlukan penterasan untuk pengendalian erosi. Tanah yang baik untuk pengembangan hortikultura ialah tanah alluvial asal jangan terlalu berpasir atau berbatu dan bebas banjir. Pemilihan tapak penanaman yang baik berkenaan dengan suhu dan curah hujan (Terra, 1948). Tanaman hortikultura merupakan tanaman yang biasanya ditanami beberapa kali dalam setahun, misalnya sayur-sayuran, sehingga frekuensi penanamannya lebih sering dilakukan. Lahan akan lebih mudah tererosi akibat seringnya lahan ditanami. Oleh sebab itu dibutuhkan konservasi tanah agar lahan tetap produktif. Pengolahan tanah merupakan komponen penting dalam kegiatan usaha tani, khususnya usaha tani tanaman semusim. Pengolahan tanah utamanya