PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KECEPATAN PADA KUDA PACU SULAWESI UTARA

dokumen-dokumen yang mirip
Jurnal zootek ( zootek journal ) Vol 34 No 2: (Juli 2014) ISSN

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam

BAB I PENDAHULUAN I.1.

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

HERITABILITAS KECEPATAN LARI DAN TINGGI BADAN ANAK KUDA PACU UMUR 2 TAHUN DENGAN METODE KORELASI DALAM KELAS (INTRACLAS CORELATION)

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. laktasi 2 sebanyak 100 ekor, laktasi 3 sebanyak 50 ekor, dan laktasi 4 sebanyak 40

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Kuda memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia sehari-hari.

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

NILAI PEMULIAAN. Bapak. Induk. Anak

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati

beban maupun angkutan, seperti yang dilakukan oleh masyarakat dahulu. Bahkan di kota-kota tertentu sampai saat ini masih mengandalkan ternak kuda seba

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO

BAHAN DAN METODE. Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini yaitu catatan kadar lemak susu sapi perah FH laktasi 1

METODOLOGI PENELITIAN

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

HASIL DAN PEMBAHASAN. tetas dan ruang penyimpanan telur. Terdapat 4 buah mesin tetas konvensional dengan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

III MATERI DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitan ini menggunakan catatan produksi susu 305 hari dari

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi,

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini menggunakan catatan reproduksi sapi FH impor

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Lokasi penelitian dilakukan di Nusantara Polo Club bertempat di kawasan

PENDAHULUAN. Domba merupakan ternak ruminansia kecil dan termasuk komoditas. Kelompok Ternak Palasidin sebagai Villa Breeding Center yang

PENDAHULUAN. atau kuda Sandelwood Pony, hasil perkawinan silang kuda poni lokal (grading

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tabel.1 Data Populasi Kerbau Nasional dan Provinsi Jawa Barat Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2008

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

I PENDAHULUAN. Kuda merupakan mamalia ungulata yang berukuran paling besar di

I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai simbol status sosial pada kebudayaan tertentu. Seiring

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ripitabilitas dan MPPA Sapi Perah FH di BBPTU HPT Baturraden...Deriany Novienara

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

BAB II METODE ANALISIS DATA. memerlukan lebih dari satu variabel dalam membentuk suatu model regresi.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis

BAB 2 LANDASAN TEORI. digunakan sebagai konsep statistik pada tahun 1877 oleh Sir Francis Galton. Dia

RIPITABILITAS SIFAT KEMAMPUAN KUDA PACU INDONESIA MEMPERTAHANKAN KECEPATAN BERLARI

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

TINJAUAN PUSTAKA Kuda

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

L a j u P e r t u m b u h a n D o m b a L o k a l 1

HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

PENDUGAAN NILAI RIPITABILITAS DAN DAYA PRODUKSI SUSU 305 HARI SAPI PERAH FRIES HOLLAND DI PT. ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (UPBS)

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Analisis Deskriptif Tinggi Pundak dan Panjang badan dengan panjang langkah Trot kuda delman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

MATERI DAN METODE. Tabel 2. Jumlah Kuda yang Diamati Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin

Transkripsi:

55 PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KECEPATAN PADA KUDA PACU SULAWESI UTARA Pendahuluan Kuda pacu Indonesia merupakan ternak hasil silangan antara kuda lokal Indonesia dengan kuda pacu Thoroughbred yang telah beradaptasi dengan baik di lingkungan Indonesia. Banyak dipelihara dan dikembangbiakkan untuk dilombakan. Kuda tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi berupa keuntungan nyata dalam bentuk perolehan hadiah karena prestasi yang berhasil diraih dan telah menjadi budaya sebagian masyarakat pecinta kuda di Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam Permentan No.35/Permentan/OT.140/8/2006 (Pordasi 2003), mengenai pengembangan ternak lokal Indonesia menempatkan kuda pacu sebagai salah satu target utama sumberdaya lokal yang menjadi simbol kebanggaan sekaligus daya tarik pariwisata bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Upaya pemuliaan untuk meningkatkan kemampuan berlari kuda lokal Indonesia perlu ditingkatkan melalui metode seleksi yang tepat dan terarah sehingga karakteristik sifat kecepatan yang dimiliki kuda lokal Indonesia dapat dipertahankan atau lebih ditingkatkan. Salah satu parameter genetik yang diperlukan untuk program seleksi performa kuda pacu adalah repitabilitas kecepatan dan ketahanan berlari. Kecepatan lari adalah sifat yang dominan untuk kuda pacu yang secara kuantitatif menurut Martojo (1992) dapat diukur pada seekor ternak yang dapat dimanfaatkan untuk menyelidiki apakah sifat tersebut memiliki kecenderungan untuk berulang pada pengukuran berikutnya dimasa yang akan datang. Perulangan sifat dapat menggambarkan apakah sifat yang diamati merupakan suatu ekspresi genetik atau bukan. Analisis pendugaan nilai repitabilitas dilakukan untuk menduga adanya kecenderungan pengulangan suatu sifat yaitu pengukuran perbedaan keragaman antar data yang berulang dari setiap catatan produksi setiap individu kuda yang sama. Keragaman suatu sifat mempengaruhi nilai dugaan repitabilitas sifat tersebut, semakin beragam data maka semakin rendah nilai repitabilitas dan sebaliknya. Noor (2008) menyatakan, bahwa repitabilitas merupakan suatu pengukuran kesamaan suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama, sedangkan menurut Tolley et al. (1983), Pallawaruka (1999) menyatakan, bahwa repitabilitas adalah ukuran

56 kekuatan hubungan yang konsisten dan realistis antara nilai ukuran fenotipik yang berulangulang dari suatu sifat dalam populasi. Pendugaan nilai repitabilitas untuk sifat kecepatan dan sifat ketahanan berlari dilakukan pada populasi kuda pacu yang ada di Minahasa dengan menggunakan data performa fenotipik perlombaan berupa catatan waktu lari dari kuda pacuan selama 11 tahun (1998 s/d 2009) dari perlombaan yang diselenggarakan oleh organisasi berkuda Indonesia atau disingkat PORDASI. Data dari individu-individu kuda dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan umur. Perhitungan nilai repitabilitas kecepatan dan ketahanan berlari menggunakan data kecepatan yang diperoleh dari informasi waktu tempuh dan jarak lomba. Nilai kecepatan lari seekor kuda diperoleh dengan membagi jarak lomba terhadap waktu tempuh. Hintz (1980) menyatakan bahwa waktu tempuh mengindikasikan jumlah detik yang dibutuhkan seekor kuda untuk menyelesaikan lomba, dan merupakan parameter yang paling sering digunakan. Menururt Ekiz dan Kocak (2007) menyatakan bahwa waktu tempuh adalah satu-satunya pengukuran kecepatan dan ukuran kuantitatif yang tepat untuk mengevaluasi secara genetik performa lari pada kuda. Materi dan Metode Analisis Data Data yang telah ditabulasikan tersebut diolah lebih lanjut untuk mendapatkan hubungan korelasi fenotipik dengan menggunakan rumus Pearson (Steel & Torrie 1995) antara kecepatan lari dan ketahanan berlari. Nilai repitabilitas diperoleh dari hasil analisis ragam (ANOVA) yang diolah lebih lanjut berdasarkan metode analisis ragam melalui program SAS 9.1, sedangkan pendugaan nilai repitabilitas dilakukan dengan model rancangan percobaan berdasarkan rumus Becker (1985) yaitu: Y ik = µ + α i +e ik Keterangan: Y ik = pengukuran ke-k pada individu ke-i µ = nilai tengah umum α i = pengaruh individu ke-i e ik = pengaruh lingkungan tak terkontrol dan atribut deviasi genetik individu

57 Tabel 19 Tabel analisis ragam Sumber Keragaman Derajat Bebas JK KT KT yang Diharapkan AntarIndividu n- 1 JKw KTw + k 1 Antar Pengamatan dalam Individu m-n Jke Kte Total m- 1 JKT Keterangan : n= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, = KTw, = KTe, koefisien k 1 =, = kuadratjumlah ulangan Pendugaan nilai repitabilitas dihitung dengan rumus (Becker 1985): = 2 2 2 e dan Keterangan : R k 1 = repitabilitas = ragam kecepatan pacu/ ketahanan berlari antara individu-individu yang diamati = ragam kecepatan pacu/ ketahanan lari berdasarkan pengukuranpengukuran dalam individu yang diamati = kuadrat tengah kecepatan pacu/ ketahanan berlari = kuadrat tengah individu yang diamati = jumlah pencatatan atau ulangan Pengujian kesamaan antara dua populasi dihitung dengan Uji-t (2 sampel) menggunakan rumus: t = ((X 1 - X 2 ) - 0) / s Keterangan : X 1 = rataan populasi sampel 1 X 2 = rataan populasi sampel 2 s = standar deviasi sampel 0 = perbedaan antara rataan populasi

58 Keragaman Sifat Kecepatan Lari Hasil dan Pembahasan Kecepatan lari kuda pacu baik pada jantan maupun betina yang dijelaskan pada Tabel 20 menunjukan kecenderungan peningkatan kecepatan seiring pertambahan umur kuda. Hasil ini didukung oleh pernyataan Hintz (1980) yang menyatakan bahwa bahwa umur puncak performa pacu pada kuda Thoroughbred di Amerika umumnya setelah mencapai usia dewasa. Performa pacu seekor kuda menurut Ojala et al. (1987) dinilai dari seberapa cepat seekor kuda mampu berlari pada jarak tertentu yang diukur berdasarkan waktu yang dibutuhkan (detik) sejak start sampai mencapai garis finish pada jarak yang ditentukan, seperti 600 m, 800 m, 1000 m dan seterusnya. Tabel 20 Rataan kecepatan lari (m/detik) kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur Jenis Kelamin Umur (tahun) 2 3 4 >4 Kecepatan (m/det) ± sd 15.030 a ± 0.724 15.076 ± 0.521 15.220 ± 0.700 15.280 ± 0.813 cv (%) 4.82 3,46 4.6 5.32 individu 38 51 40 39 Kecepatan (m/det) ± sd 15.203 b ± 0.634 15.118 ± 0.509 15.271 ± 0.718 15.349 ± 0.675 cv (%) 4.17 3.37 4.7 4.4 individu 40 48 36 27 Rataan Kecepatan (m/det) ± sd 15.096 ± 0.514 15.244 ± 0.704 15.308 ± 0.758 cv (%) 3.41 4.62 4.95 individu 99 76 66 Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0.05); cv= koefisien keragaman. Kuda pacu betina umur empat tahun memiliki koefisien keragaman tertinggi walaupun secara keseluruhan koefisien keragaman baik kuda jantan maupun betina masih dalam kategori rendah yaitu: 3.37 5.32%. Hasil uji-t pada Lampiran 6a dan 6b, menunjukkan

59 bahwa kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina pada umur empat tahun tidak berbeda kemungkinan disebabkan sifat kecepatan pada kuda tidak banyak dipengaruhi oleh faktor perbedaan jenis kelamin ataupun umur, melainkan oleh ekspresi genotip akibat adanya seleksi. Kuda yang dilombakan pada setiap umur adalah hasil silangan bertingkat sampai generasi ketiga (G-3) dan keempat (G-4), diduga terdapat pengaruh tekanan silang dalam yang tinggi sehingga menyebabkan penurunan keragaman genotip. Faktor lain yang dapat menjadi bahan pertimbangan adalah penggunaan jumlah pejantan yang relatif sedikit sehingga gen-gen yang mengekspresikan sifat kecepatan semakin terfiksasi pada gen-gen yang berasal dari sumber yang sama. Kemungkinan adanya pengaruh lingkungan yang semakin kecil, karena setiap kuda yang dipacu pada umur tiga tahun telah memasuki umur dewasa dan telah menjalani jenis latihan yang hampir seragam, sehingga rataan kecepatan berlari yang semakin seragam merupakan bentuk dari ekspresi genotip setiap kuda. Umumnya kuda pacu baru mulai disertakan dalam pacuan ketika berumur dua tahun dimana banyak ditemukan kuda dengan performa keragaman kecepatan lari yang baik, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ekiz dan Kocak (2007) bahwa umur dua tahun merupakan umur pertama atau umur awal kuda pacu Thoroughbred turut serta dalam pacuan resmi, karena pada usia tersebut menurut Baker (2002) setiap kuda umumnya baru melewati program pelatihan, perkembangan perototan yang optimum, pemberian pakan dan manajemen yang sempurna dengan adanya pengaruh emosional antara individu kuda dengan joki atau pelatih. Islami (2006) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu berprestasi. Pelatih berpengalaman memiliki kemampuan menilai kelebihan dan kekurangan seekor kuda untuk kemudian menentukan bentuk latihan yang sesuai dengan kondisi kuda. Adanya perbedaan performa pacu antara kuda jantan dan betina pada umur dua tahun didukung oleh Ekiz dan Kocak (2007) yang menyatakan bahwa kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina umur dua tahun berbeda. Dijelaskan oleh Hintz (1980) bahwa faktor umur dan jenis kelamin mempengaruhi penampilan lari kuda pacu Thoroughbred, sedangkan faktor lingkungan lainnya seperti umur pejantan, musim saat ternak dilahirkan, lama bunting induk dan urutan kelahiran tidak mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Perbedaan performa puncak kuda pacu dalam penelitian ini diduga karena kuda pacu Indonesia merupakan hasil persilangan kuda Sumba dengan kuda Thoroughbred, yang telah

60 beradaptasi membentuk bangsa baru berdasarkan analisis keragaman yang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata serta nilai koefisien keragaman yang rendah. Kecenderungan peningkatan kecepatan lari kuda pacu pada umur diatas tiga tahun menyebabkan semakin sedikit individu kuda yang mampu berkompetisi sehingga hanya kuda yang memiliki penampilan kecepatan yang tinggi yang terseleksi untuk disertakan dalam perlombaan pacuan. Kuda-kuda yang berpenampilan kurang baik dengan sendirinya tidak dapat lolos kualifikasi lomba dan tidak diminati sehingga hanya kuda juara saja yang terseleksi dan bernilai tinggi atau layak untuk dijadikan pejantan atau induk betina. Kecepatan lari kuda pacu jantan ditemukan terbesar pada kelompok umur empat tahun, dan hal ini sesuai dengan pernyataan Hintz (1980) bahwa puncak performa pacu kuda jantan Thoroughbred di Amerika berada pada umur empat tahun. Dijelaskan lebih lanjut bahwa puncak performa pacu kuda Thoroughbred betina di Amerika dicapai pada umur 2 3 tahun. Kecepatan lari tertinggi kuda pacu betina pada penelitian ini baru tercapai pada umur empat tahun. Perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor genetik maupun faktor lingkungan seperti manajemen reproduksi, program pelatihan dan manajemen pakan. Hal ini dapat diamati pada Tabel 21 yang menyajikan nilai ragam genetik dan lingkungan untuk sifat kecepatan lari kuda pacu Indonesia pada berbagai kelompok umur. Tabel 21 Nilai dan sifat kecepatan lari kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur Umur (Tahun) ( ) ( ) 2 0.193 0.144 0.084 0.183 3 ( + ) 0.049 0.127 4 ( + ) 0.235 0.084 >4 ( + ) 0.126 0.148 Keterangan: =Kuadrat Tengah antara Individu, = Kuadrat Tengah antara Pengamatan dalam Individu, = Ragam Genetik, = Ragam Lingkungan Tetap, = Ragam Lingkungan Sementara Pada umur dua tahun pengaruh genetik kecepatan lari pada kuda pacu jantan lebih tinggi dibandingkan kuda pacu betina, sedangkan pengaruh lingkungan sementara ditemukan tinggi pada kuda pacu betina. Pada umur tersebut walaupun rataan kecepatan lari kuda betina

61 lebih tinggi, ditemukan bahwa kuda pacu jantan memiliki potensi genetik kecepatan lari lebih besar dibanding kuda betina. Hasil ini membuktikan bahwa kuda jantan yang memiliki kecepatan lari yang tinggi adalah bentuk ekspresi gen-gen dominan dari sifat kecepatan yang berpotensi untuk dijadikan pejantan unggul (Tolley et al. 1983). Menurut Baker (2002), tidak semua kuda dapat menurunkan sifat-sifat unggulnya pada keturunannya, hanya kuda yang memiliki potensi genetik unggul yang dapat dijadikan pejantan. Pengaruh lingkungan sementara pada kuda pacu betina lebih besar dibandingkan kuda pacu jantan, mengindikasikan bahwa kuda pacu betina akan lebih menunjukkan penampilan terbaiknya apabila dilatih dan dipelihara pada lingkungan yang mendukung seperti manajemen pemberian pakan yang optimal saat menjelang lomba (Parakkasi 1986). Graham-Thiers dan Kronfeld (2005) menyatakan bahwa untuk mempertahankan ukuran otot seekor kuda memerlukan tambahan makanan berupa asam amino meskipun hanya melakukan sedikit exercise. Kontinuitas pacuan merupakan salah satu faktor yang menunjang kemampuan kuda pacuan untuk beradaptasi dan tampil sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Repitabilitas Kecepatan Lari Berdasarkan Tabel 22 diperoleh nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu yang diturunkan dari kelompok kuda pacu umur 3, 4 dan lebih dari 4 tahun yang berdasarkan hasil statistik uji-t menunjukkan perbedaan yang tidak nyata untuk jenis kelamin kecuali pada umur dua tahun. Tabel 22 Nilai Repitabilitas Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (Tahun) Jenis Kelamin R ± S.E. 2 0.573 ± 0.140 3 4 >4 0.315 ± 0.206 + 0.278 ± 0.138 + 0.737 ± 0.042 + 0.460 ± 0.095 Keterangan : R= nilai repitabilitas, S.E.= standard error

62 Nilai repitabilitas suatu sifat ditentukan oleh faktor genetik (aditif, dominan dan epistasis) dan faktor lingkungan baik permanen maupun sementara (Noor 2008). Kisaran nilai repitabilitas kecepatan lari pada kelompok kuda pacu umur empat tahun dan kelompok kuda pacu jantan umur dua tahun yang diperoleh mendekati pernyataan Martojo (1992) yaitu 60 80% yang oleh Noor (2008) bahwa nilai repitabilitas diatas 40% termasuk dalam kategori tinggi. Secara umum nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu pada penelitian ini berkisar antara sedang sampai tinggi. Repitabilitas kecepatan lari tertinggi ditemukan pada umur empat tahun mengindikasikan bahwa pada umur tersebut daya pengulangan sifat kecepatan lari berkorelasi tinggi satu sama lain dengan kata lain pada umur tersebut kuda pacu telah dapat mengekspresikan potensi genetik dengan baik sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Daya pengulangan sifat kecepatan lari ditemukan lebih tinggi pada kuda jantan umur dua tahun yang menunjukkan bahwa kuda jantan dapat mengekspresikan potensi genetiknya lebih cepat daripada kuda betina (Tolley et al. 1983). Diduga faktor fisiologis hormonal perbedaan jenis kelamin dan pertumbuhan memberikan pengaruh terhadap perbedaan penampilan lari (Ojala 1987). Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa hormon androgen bertanggungjawab terhadap perkembangan tulang dan otot pada ternak jantan secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan lari. Daya pengulangan sifat kecepatan lari kelompok kuda pacu umur lebih dari empat tahun cenderung menurun walaupun masih dikategorikan tinggi. Penurunan ini kemungkinan disebabkan mulai berkurangnya pengaruh lingkungan sementara yang ditandai juga dengan besar pengaruh genetik dan lingkungan yang hampir seimbang dan menghasilkan ekspresi sifat kecepatan lari yang lebih stabil Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya. Noor (2008) menyatakan bahwa contoh variasi lingkungan tetap akan mempengaruhi nilai repitabilitas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa lingkungan tetap ini dapat mengubah kondisi ternak dan berpengaruh selama ternak hidup. Pada penelitian ini, lingkungan tetap yang dapat mempengaruhi kecepatan lari kuda pacu adalah latihan dan pacuan. Perolehan nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu pada penelitian ini sedikit diatas dari pernyataan Ekiz dan Kocak (2007) pada kuda Thoroughbred di Turki (0.28 0.40). Hal ini mengindikasikan bahwa kuda pacu Indonesia memiliki daya pengulangan dan pewarisan sifat kecepatan lari yang lebih tinggi daripada kuda Thoroughbred, meskipun kecepatan lari kuda pacu Indonesia lebih rendah.

63 Noor (2008) menyatakan bahwa nilai repitabilitas yang tinggi menandakan ternak mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama setiap tahun, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi (atau terendah) secara konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai repitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Macrejowski & Zieba 1982). Keragaman Sifat Mempertahankan Kecepatan Lari Hasil uji-t (Lampiran 7a dan 7b) untuk penurunan dan peningkatan nilai kecepatan antara kuda jantan dan betina pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil ini karena diduga kuda yang dipacu berada pada kelompok umur, ukuran tubuh yang seragam serta jarak tempuh lari dalam kategori pendek sampai sedang sehingga perbedaan jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang berbeda. Umumnya saat berada di lintasan pacuan, baik kuda jantan maupun betina tidak dipisahkan dan berlari secara bersamaan. Jarak tempuh yang diambil sebagai data adalah 800, 1000, 1200, 1400, dan 1600 m yang oleh Moritsu et al. (1994) menyatakan bahwa jarak-jarak ini dikategorikan sebagai jarak tempuh sedang dan lebih lanjut dikatakan bahwa tidak ditemukan adanya pengaruh yang nyata pada kuda Thoroughbred yang berada di Jepang yang lari pada jarak tempuh 1200 m, kecuali pada jarak 1800 m. Hal yang sama didukung oleh hasil penelitian Polak (2008) dan Richard dan Touvais (2007) yang tidak mendapatkan adanya perbedaan yang nyata dari faktor jenis kelamin. Tabel 23 menyajikan data kemampuan kuda dalam mempertahankan kecepatan yang mengalami peningkatan kecepatan atau percepatan berlari pada lintasan berjarak 1200, 1400 dan 1600 m. Tabel 23 Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan 1600 meter No 1 2 3 4 5 6 7 8 8 19 22 29 33 59 74 82 Nomor Kuda Jarak Tempuh 1200-1400 m 1200-1600 m Detik 0.0036 0.0006 0.0038 0.0016 0.0026 0.0004 0.0039 0.0004 0.0007 0.0006 0.0010 0.0022 0.0024 0.0009 0.0113 0.0046 Rataan 0.0021 0.0027 0.0015 0.0021 0.0006 0.0016 0.0017 0.0079 Rataan 0.0037 0.0014 0.0025 0.0027(sd)

64 Peningkatan nilai kecepatan berlari atau nilai percepatan yang diperlihatkan pada Tabel 23 menunjukkan bahwa jarak yang ditempuh kuda yang dipacu hingga jarak 1600 meter pada penelitian ini belum menggambarkan kemampuan optimal kuda. Nilai peningkatan kecepatan berlari pada tiga jarak (1200, 1400 dan 1600 m) yang berbeda dari delapan ekor kuda yang diukur memiliki nilai paling tinggi 0.00794 detik oleh kuda no:8 dan yang terendah 0.000634 oleh kuda no:5. Dengan nilai rataan untuk jarak tersebut sebesar 0.0025 detik menggambarkan bahwa kuda ini mengalami peningkatan kecepatan sebesar 0.0025 detik pada setiap peningkatan jarak tempuh sebesar 200 meter. Semakin besar nilai peningkatan kecepatan berlari, menunjukkan bahwa kemampuan kuda tersebut semakin baik untuk pacuan jarak jauh. Peningkatan nilai kecepatan yang terjadi disebabkan kuda tersebut diduga masih mampu meningkatkan kecepatan berlarinya dengan jarak tempuh yang lebih jauh lagi. Peningkatan nilai kemampuan mempertahankan kecepatan berlari pada empat jarak yang berbeda (800,1200,1400 dan 1600 m) yang dijelaskan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa jarak yang ditempuh kuda yang dipacu hingga jarak 1600 m pada penelitian ini memiliki nilai peningkatan kecepatan tertinggi sebesar 0.00192 detik oleh kuda no:2 dan yang terendah 0.00084 oleh kuda no:4. Dengan nilai rataan untuk jarak tersebut sebesar 0.0012 detik menggambarkan bahwa kuda ini mengalami peningkatan kecepatan sebesar 0.0012 detik pada setiap peningkatan jarak tempuh sejauh 200 meter. Tabel 24 Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400 dan 1600m No 1 2 3 4 14 21 22 23 Nomor Kuda Jarak Tempuh 800-1200 800-1400 800-1600 Detik 0.00133 0.00088 0.00099 0.00184 0.00187 0.00205 0.00148 0.00186 0.00094 0.00093 0.00085 0.00075 Rataan 0.00107 0.00192 0.00143 0.00084 Rataan 0.00098 0.00137 0.00118 0.00118 0.00027(sd) Hasil pengamatan terhadap peningkatan kecepatan lari kuda yang dipacu pada berbagai jarak lintasan dengan penambahan jarak yang sama (200 m) menunjukkan bahwa kelompok kuda yang lari pada jarak lintasan sedang (1200 1600 m) cenderung memiliki kemampuan mempertahankan kecepatan dua kali lebih tinggi dibandingkan kelompok kuda yang dipacu pada jarak lintasan pacuan dari rendah sampai sedang (800 1600 m). Terdapat berbagai

65 macam kemungkinan untuk menjelaskan keadaan ini, salah satunya adalah faktor kelelahan (fatique) yang dipengaruhi oleh aspek nutrisi dan genetik tiap jenis atau bangsa kuda (Parakkasi 1986; Frape 2004). Tabel 25 menyajikan data kemampuan kuda dalam mempertahankan kecepatan yang mengalami penurunan kecepatan atau perlambatan berlari pada lintasan berjarak 1200, 1400 dan 1600 m. Tabel 25 Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan 1600 meter No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nomor Kuda 11 17 26 34 39 43 65 66 72 83 Jarak Tempuh (m) 1200-1400 1200-1600 Detik -0.00517-0.00384-0.00404-0.00246-0.00094-0.00149-0.00085-0.00132-0.00176-0.00131-0.00221-0.00218-0.00313-0.00151-0.00013-0.00118-0.00132-0.00120-0.00358-0.00339 Rataan -0.00450-0.00325-0.00121-0.00108-0.00154-0.00220-0.00232-0.00066-0.00126-0.00348 Rataan -0.00231-0.00199-0.00215 0.00130 (sd) Nilai negatif menunjukkan bahwa kuda pacu mengalami penurunan kecepatan pada jarak tempuh yang semakin jauh atau kuda mengalami perlambatan dalam berlari. Nilai rataan penurunan kecepatan lari terkecil (-0.00066 detik) dimiliki oleh individu kedelapan. Nilai ini menunjukkan bahwa kuda ini memiliki nilai penurunan kecepatan berlari sebesar 0.6 per 1000 detik untuk setiap peningkatan jarak sebesar 200 m. Kuda pertama memiliki nilai penurunan kecepatan yang terbesar yaitu (-0.00450) atau 0.45 per 100 detik sedangkan rataan kecepatan untuk kelompok kuda tersebut adalah: -0.00215 detik atau terjadi perlambatan sebesar 2.2 per 1000 detik. Rataan nilai kemampuan dalam mempertahankan kecepatan yang meurun atau perlambatan pada empat jarak lintasan (800, 1200, 1400 & 1600 m) disajikan pada Tabel 26.

66 Tabel 26 Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400 dan 1600 meter No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Nomor Kuda 17 20 34 37 43 46 54 58 78 Jarak Tempuh 800-1200 800-1400 800-1600 Detik -0.00097-0.00134-0.00102-0.00106 0.00003-0.00040-0.00070-0.00075-0.00015-0.00120-0.00131-0.00080-0.00077-0.00050-0.00112-0.00241-0.00071-0.00116-0.00210-0.00139-0.00111-0.00171-0.00225-0.00125-0.00402-0.00219-0.00226 Rataan -0.00111-0.00048-0.00053-0.00110-0.00080-0.00143-0.00154-0.00174-0.00282 Rataan -0.00128 0.00072(sd) Kuda yang mengalami penurunan kecepatan berlari pada lintasan berjarak 800, 1200, 1400 dan 1600 m. Rataan kecepatan penurunan kemampuan berlari pada kelompok kuda yang dipacu pada empat lintasan dengan jarak yang berbeda adalah -0.00128 atau terjadi perlambatan sebesar 1.2 per 1000 detik. Rataan nilai penurunan kecepatan terkecil pada kuda no: 2 (-0.00048), sedangkan nilai penurunan terbesar pada kuda no: 9 (-0.00282). Dari kedua data penurunan kecepatan berlari pada tiga dan empat jarak lintasan yang tertera pada Table 25 dan 26, terlihat bahwa ada kecenderungan kelompok kuda yang menempuh empat lintasan mengalami perlambatan hampir dua kali lebih rendah dibandingkan penurunan kecepatan pada kelompok kuda yang menempuh tiga lintasan. Fenomena ini memiliki kesamaan pola pada kelompok kuda yang mengalami peningkatan kecepatan yang memperkuat asumsi terjadinya kelelahan apabila jenis atau bangsa kuda tertentu dipacu pada jarak tempuh yang lebih jauh. Penurunan nilai kecepatan berlari seiring bertambahnya jarak tempuh sudah lazim terjadi pada kuda pacu. Hal ini berkaitan dengan keadaan fisiologi dari masing-masing kuda. Richard et al. (2000) menyatakan bahwa faktor pembatas dari performa berlari kuda tergantung pada panjang lintasan yang ditempuh kuda. Pada saat berlari, energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot berasal dari perombakan glukosa dimana perombakan tersebut terbagi menjadi dua tahap yaitu anaerobik dan aerobik. Kemampuan berlari kuda juga dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah lingkungan. Menurut Buttram et al.

67 (1988) pengaruh lingkungan permanen pada performa berlari adalah faktor nutrisi, cidera, pemilik dan pelatih. Repitabilitas Sifat Mempertahankan Kecepatan Lari Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa nilai repitabilitas suatu sifat akan ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat sementara. Keragaman nilai suatu sifat mempengaruhi nilai dugaan repitabilitas, semakin beragam data, maka nilai repitabilitas semakin rendah dan sebaliknya. Nilai pendugaan repitabilitas kemampuan mempertahanklan kecepatan berlari dijelaskan pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai repitabilitas kemampuan kuda pacu dalam mempertahankan kecepatan berlari pada selisih jarak yang berbeda Sifat Berlari R ± SE Selisih Jarak (meter) Penurunan Kecepatan Peningkatan Kecepatan 0.77 ± 0.10 0.59 ± 0.12 0.63 ± 0.21 0.34 ± 0.28 1200,1400 dan 1600 800, 1200,1400 dan 1600 800, 1000,1200 dan 1400 1200,1400 dan 1600 Keterangan: R= nilai repitabilitas; SE= standard error Nilai repitabilitas untuk sifat kemampuan mempertahankan kecepatan berlari yang diperlihatkan pada Tabel 27 tergolong dalam ketegori sedang hingga tinggi. Pada kuda yang mengalami penurunan kecepatan, pendugaan nilai repitabilitasnya termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 0.77, 0.59 dan 0.63 masing-masing untuk jarak lintasan yang berbeda. Nilai tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik lebih banyak memberikan pengaruh dibandingkan dengan faktor lingkungan, walaupun nilai dari kemampuan mempertahankan berlari bernilai negatif (kuda mengalami perlambatan) (Tolley et al. 1983). Nilai repitabilitas peningkatan kecepatan kuda berlari termasuk dalam repitabilitas sedang yaitu 0.342 ± 0.279. Nilai ini menunjukkan bahwa pada sifat peningkatan kecepatan berlari, pengaruh dari lingkungan masih cukup tinggi dibandingkan dengan pengaruh genetiknya (Tolley et al. 1983). Buttram et al. (1988b) melalui hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengaruh dari lingkungan permanen sangat nyata terjadi pada jarak tempuh yang semakin jauh. Galat baku untuk estimasi repitabilitas kuda yang mengalami

68 penurunan kecepatan memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan standar eror kuda yang mengalami peningkatan kecepatan. Nilai standar eror yang cukup tinggi untuk kuda yang mengalami peningkatan kecepatan menunjukkan estimasi repitabilitas yang kurang akurat. Hal ini diduga terjadi akibat jumlah sampel kuda yang mengalami peningkatan kecepatan pada jarak tempuh yang semakin jauh hanya sedikit, untuk itu perlu dilakukan penelitian berikutnya dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar dapat mewakili sebuah populasi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi sifat mempertahankan kecepatan berlari antara lain lingkungan dari dalam tubuh ternak. Lingkungan dalam tubuh ternak meliputi kemampuan kuda dalam mempergunakan cadangan energinya pada saat berlari, dan mental dari masing-masing individu kuda. Cadangan energi berkaitan dengan pakan yang diberikan sebelum kuda pacu berlomba (Parakkasi 1986; Frape 2004). Menurut McBane (1993) kuda pacu membutuhkan kurang lebih 14% kandungan protein untuk memenuhi kecukupan energinya. Kuda pacu dapat juga diberikan supplement seperti minyak jagung yang kaya akan sumber energi untuk mensuplai kebutuhan saat berada di arena pacuan (Vogel 1995; Frape 2004). Faktor lingkungan eksternal meliputi manejemen pemeliharaan, iklim, pola latihan serta joki dan pelatih. Menurut hasil penelitian Wilson (1991), berat badan joki juga berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan kuda untuk mencapai garis finish. Islami (2007) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu yang berprestasi. Pelatih yang baik dan berpengalaman akan sangat mengenali kuda yang akan dilatih dan menetapkan pola latihan yang tepat bagi kuda tersebut. Hal ini akan mempengaruhi kondisi kuda pada saat di arena pacuan. Nilai repitabilitas dapat ditingkatkan, menurut Martojo (1992) untuk meningkatkan nilai repitabilitas dapat dilakukan dengan mengupayakan lingkungan (manajemen pemeliharaan, kandang, pemberian pakan) yang seseragam mungkin antar individu. Simpulan 1. Kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan umur dimana rataan kecepatan tertinggi ditemukan pada kelompok umur empat tahun. 2. Kemampuan dalam mempertahankan kecepatan lari kuda pacu lebih dipengaruhi oleh pengaruh genetik, yaitu terdapat kelompok kuda yang mengalami peningkatan kecepatan

69 yang baik digunakan sebagai kuda pacuan jarak jauh dan kelompok kuda yang mengalami penurunan kecepatan lari, lebih tepat untuk diseleksi menjadi kuda pacu jarak dekat atau sprinter. 3. Repitabilitas sifat kecepatan lari kuda pacu pada berbagai tingkatan umur dikategorikan sebagai repitabilitas sedang sampai tinggi, dimana nilai pendugaan repitabilitas kecepatan lari tertinggi (0.74) ditemukan pada umur empat tahun sebagai ekspresi potensi genetik kuda pacu berkecepatan tinggi. 4. Repitabilitas sifat mempertahankan kecepatan lari kuda pacu pada berbagai jarak lintasan dikategorikan sebagai repitabilitas sedang sampai tinggi, dimana nilai pendugaan repitabilitas yang tinggi (> 0.5) didapati pada sifat penurunan kecepatan, sedangakan sifat peningkatan kecepatan termasuk dalam kategori sedang ( 0.2 s/d 0.4).