ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

STRATEGI PENINGKATAN MUTU PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA SITTI BULKIS BANDJAR

PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

Rumusan dan Penentuan Prioritas Strategi Program Pemberdayaan Ekonom i Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kota Bengkulu

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAPPEDA Planning for a better Babel

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

RPJMD KABUPATEN LINGGA BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan

PENDAHULUAN Latar Belakang

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Upaya Pemberantasan Kemiskinann Masyarakat Pesisir MEMBERI NELAYAN KAIL, BUKAN UMPANNYA

III METODE PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Dalam Angka Tahun 2006, Tual.

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Penelitian

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia. Hai ini mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. beruntung (disadvabtaged groups), seperti orang miskin, orang dengan kecacatan,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah

PADA MUSRENBANG RKPD KABUPATEN BANGKA

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

III. METODOLOGI KAJIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

BAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan

PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia istilah keluarga sejahtera baru dirumuskan oleh pemerintah

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

Rencana Strategis

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

BAB I PENDAHULUAN. Trilogi pembangunan yang salah satunya berbunyi pemerataan pembangunan

Teruskan. Visi dan Misi

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3 METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah

Transkripsi:

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini Bogor, Mei 2008 Syarif Iwan Taruna Alkadrie C225010341

ABSTRAK SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE. Analisis Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Pesisir Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan FREDIAN TONNY. Sumberdaya Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Kabupaten Sambas masih sangat besar. Namun pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang. Sumberdaya ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat menunjukkan kondisi telah terjadi over fishing terhadap sumberdaya Pelagis Kecil, Udang dan Molusca. Alokasi optimum untuk sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih mampu memberikan manfaat yang lebih besar daripada kondisi aktual yang terjadi Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada Tahun 2001 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP), hal ini dibuktikan Sub sektor perikanan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kabupaten Sambas dan menduduki urutan ketiga dari lima sektor pertanian. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan altenatif kebijakan pembangunan untuk pengembangan Program PEMP di Kabupaten Sambas.Tujuan Spesifik dari penelitian ini adalah untuk Mengkaji kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pesisir dan laut Kabupaten Sambas, Mengevaluasi kinerja pelaksanaan Program PEMP di Kabupaten Sambas dan Menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi (mendukung dan menghambat) status kinerja Program PEMP Kabupaten Sambas. Pengumpulan data dengan metode Primer dan sekunder, sedangkan sedangkan teknik pengumpulannya dengan kuisioner, wawancara terarah dan observasi. Menganalisis data dengan RAPFISH yang kemudian dilanjutkan dengan Multi-dimensional Scalling (MDS). Sumberdaya Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Kabupaten Sambas masih sangat besar. Namun pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang. Berdasarkan rata-rata nilai total lima elemen kinerja Program PEMP Kabupaten Sambas, hasil analisis MDS meunjukkan bahwa kinerja program secara menyeluru mencapai 68,27 atau tergolong baik, yang berarti kinerja Program PEMP telah berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Rincian hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kinerja untuk elemen kelembagaan program PEMP sebesar 79,85, Pengelolaan Koperasi LEPP-M3 adalah 78,35, Kapasitas Pemanfaat Program 68,32 dan persepsi pemangku kepentingan 65,66 sehingga tergolong Baik.

Sedangkan nilai kinerja elemen Kemitraan sebesar 49,16 tergolong Cukup. Nilainilai kinerja keempat elemen pertama mencerminkan bahwa berdasarkan input, proses, dan outputnya, program PEMP telah terlaksana cukup baik. Sebaliknya nilai elemen kinerja yang terakhir walaupun digolongkan cukup menunjukkan bahwa pada masa mendatang pelaksanaan program PEMP masih harus disempurnakan dan diintensifkan

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip Sebagian atau seluruh karya ulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Tesis Nama NIM : ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS : Syarif Iwan Taruna Alkadrie : C225010341 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Disetujui : Komisi Pembimbing Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS Ketua Ir. Fredian Tonny, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof.Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus : Tanggal Ujian : 26 Mei 2008

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Sambas dengan luas wilayah 6.395,70 km2 atau 639.570 ha (4,36% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat), merupakan wilayah Kabupaten yang terletak pada bagian pantai barat paling utara dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Panjang pantai ± 128,5 km. Berbatasan dengan Negara Malaysia sehingga memiliki nilai strategis. Kabupaten Sambas memiliki potensi perikanan yang relatif besar. Daerah ini karena berbatasan langsung dengan Perairan Natuna Laut Cina Selatan. yang meupakan wilayah pengelolaan perikanan Indonesia yang masih potensial dikembangkan dengan potensi lestari Perairan Natuna Laut Cina Selatan per tahun 23.250 ton (DKP Kabupaten Sambas 2005). Luas laut pengelolaan sejauh ± 4 mil mencapai 1.467,86 km 2 (Lapan 2003). Sementara untuk hutan mangrove, daerah ini memiliki hutan mangrove seluas ± 7.720 km 2 (Disbuntan Kabupaten Sambas 2004). Produksi perikanan tangkap sebesar 15.702,72 Ton/tahun dan perikanan budidaya sebesar 718,2 Ton/tahun (DKP Kabupaten Sambas 2005). Potensi Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Sambas sampai saat ini baru dimanfaatkan sebesar 35,94% dari total sumberdaya yang ada. Potensi ikan pelagis besar sejumlah 66.080 ton/tahun hingga saat ini yang dimanfaatkan baru 53,21% yakni sejumlah 35.160 ton/tahun, sedangkan potensi ikan pelagis kecil sejumlah 621.500 ton/tahun baru dimanfaatkan 33,07% yakni sejumlah 205.530 ton/tahun dan potensi ikan demersal 334.800 ton/tahun baru dimanfaatkan 16,34% yakni 54.690 ton/tahun (BRKP-DKP dan P3O LIPI di acu dalam Dahuri 2003). Nilai ini menunjukkan bahwa peluang pengembangan perikanan di Kabupaten Sambas masih sangat besar. Berdasarkan besarnya potensi Sumberdaya Perikanan presentase pemanfaatannya maka Pemerintah mendorong peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut sebagai salah satu upaya pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut salah satunya dengan cara pelaksanaan Program PEMP. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan

2 kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003). Kabupaten Sambas menjadi salah satu daerah sasaran PEMP yang dimulai sejak tahun 2001 sampai saat ini. Pada awalnya, program PEMP digagas untuk mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian masyarakat pesisir, yang difokuskan pada penguatan modal melalui perguliran (revolving fund) Dana Ekonomi Produktif (DEP). Namun selama 6 tahun pelaksanaan Program PEMP yang diimplementasikan secara nasional telah mengalami beberapa perubahan dan diversifikasi usaha. Pembentukan kelembagaan dan perubahan-perubahan sistem semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara holistik dan sistematik sesuai dengan pinsip pemberdayaan, helping the poor to help themselves (DKP 2006). Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada Tahun 2001 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP), hal ini dibuktikan Sub sektor perikanan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kabupaten Sambas dan menduduki urutan ketiga dari lima sektor pertanian. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Penerapan Program PEMP di Kabupaten Sambas yang mengacu Program PEMP secara Nasional apakah sudah sesuai dengan kondisi Sumber daya Alam dan kondisi faktual yang ada di lapangan, yang paling penting sebenarnya dalam menjalankan Program PEMP adalah strategi yang tepat yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sambas yang cukup strategis, dimana berbatasan langsung dengan Negara Malaysia dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Maka hal yang paling penting dalam penelitian ini bagaimana alternatif kebijakan pengembangan Program PEMP di Kabupaten Sambas..

3 1.2 Rumusan Masalah Perairan laut Pemangkat memiliki Sumberdaya Perikanan yang baru dimanfaatkan sebesar 35,94% dari total Sumberdaya yang ada, sehingga pengelolaan Sumberdaya Perikanan di arahkan pada peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut. Salah satu upaya peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan adalah dengan Program PEMP. Namun pemanfaatan peluang ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang, apakah sudah melewati effort optimum atau belum. Program PEMP merupakan program yang dibuat secara nasional yang diimplementasikan di beberapa daerah Indonesia secara serentak. Padahal permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir antara satu wilayah dengan wilayah lain belum tentu sama. Masyarakat pesisir di Kabupaten Sambas memiliki kelebihan, kelemahan, peluang dan ancaman yang berbeda dan tidak bisa disamakan pada daerah-daerah penerima Program PEMP lain, sehingga mengakibatkan tidak optimalnya pencapaian tujuan program PEMP. Untuk itu agar dapat mengelola dan memanfaatkan Sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal, setiap daerah membutuhkan pendekatan program yang berbeda pula. Program PEMP disusun untuk mencapai sejumlah sasaran dan tujuan yang akan dicapai melalui suatu alur proses yang direncanakan dengan input yang diharapkan mampu mendorong pencapaiannya sebagai sebuah perencanaan. Permasalahannya apakah perencanaan yang dibuat sudah sesuai dengan kondisi Sumberdaya manusia dan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Sambas. Program PEMP di Kabupaten Sambas telah berjalan sejak Tahun 2001 kemudian tahun 2003, 2004 dan tahun 2006 kembali mendapatkan Program PEMP dalam bentuk dana bergulir. Dari perjalanan tersebut sudahkah evaluasi dilaksanakan terhadap kemajuan selama Program PEMP berlangsung. Program PEMP di Kabupaten Sambas telah berjalan selama 6 tahun dan dalam kurun waktu tersebut mendapatkan program selama 4 tahun, melihat sudut pandang Program PEMP dari sisi pengambil kebijakan dan stakeholder terkesan tidak dalam satu sudut pandang. Sehingga sering terjadi konflik baik itu antar

4 instansi maupun di antara lembaga PEMP lainnya. Disini persepsi penentu kebijakan (baik kalangan legislatif maupun eksekutif), masyarakat maupun stakholder terkait masih beragam. Dari keragaman sudut pandang tentang Program PEMP ini apakah menjadi faktor pendukung atau penghambat dalam pelaksanaannya. Mempertimbangkan permasalahan diatas, maka perlu juga diketahui bagaimana kinerja Kelembagaan PEMP yang mencakup Dinas Kelautan dan Perikanan, LEPP-M3, Konsultan Manajemen (KM), Tenaga Pendamping Desa (TPD), Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) dan kemitraan serta persepsi Stakholder. Dimensi atau elemen ini penting dan merupakan hal yang dapat menjawab dinamika bekerjanya aspek-aspek dalam Program PEMP, seperti input, proses dan outputnya. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan altenatif kebijakan pembangunan untuk pengembangan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. Tujuan Spesifik dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengkaji kondisi sumberdaya Perikanan dan sumberdaya manusia pesisir dan Perairan Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. 2. Mengevaluasi kinerja pelaksanaan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. 3. Menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi (mendukung dan menghambat) status kinerja Program PEMP Kecamatan Pemangkat. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan terhadap pengembangan program PEMP di Kecamatan Pemangkat yang akan datang. Selain itu juga dapat memberi informasi terhadap masalah yang berkaitan dengan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Perikanan Sumberdaya perikanan bukan satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa bagi sektor-sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan dan keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah sistem, sumberdaya perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut (Dahuri 2004). Hal ini terkait dengan premise bahwa sumberdaya perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamik di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks ruang (space) dan karakteristik. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional. Namun demikian, pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara komprehensif tetap diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine policy) menjadi salah satu prasyarat di mana, dalam konteks platform ini, sumberdaya perikanan menjadi salah satu indikator utamanya. Sementara itu, dalam hal struktur pengelolaan, Hanna (1999) mengindentifikasi bahwa tidak ada bentuk terbaik dari struktur pengelolaan sumberdaya perikanan. Selalu ada kesenjangan (tradeoffs) antara stabilitas dan fleksibilitas, antara otoritas dan keterwakilan, antara sosial dan individu, dan lain sebagainya. Dalam teori kebijakan, fungsi utama dari struktur pengelolaan sumberdaya perikanan adalah adanya stabilitas dan konsistensi dari pengambilan keputusan ketika sistem atau kondisi senatiasa harus adaptif terhadap perubahan (Nohria 1994). Dalam konteks ini maka struktur yang baik bagi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah struktur yang stabil dalam konteks representasi,

6 distribusi autoritas pengambilan keputusan dan informasi serta mampu memberikan batas yang jelas antara advisory roles dan decision roles. Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles (2001), paling tidak ada dua makna dalam hal ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissezfaire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang. Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan sumberdaya perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles (2001) seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) sumberdaya perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola (governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia. Charles (2001) memperingatkan bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks sumberdaya perikanan budidaya. Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah established harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsi limited entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan sumberdaya perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right)

7 harus mempertimbangkan "kepada siapa hak tersebut diberikan". Oleh karena itu, definisi nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku sumberdaya perikanan dalam rejim open access. Pengetahuan nelayan terhadap Sumberdaya tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan komunitas sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan dari sisi komunitas seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti yang disampaikan oleh Charles (2001), terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya "perusahaan", dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. 2.2 Gambaran Umum Tentang PEMP Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pemberdayaan masyarakat mendapatkan perhatian yang sangat besar yang dituangkan dalam bentuk kebijakan nasional. Melalui program kompensasi pengurangan subsidi BBM, diluncurkan bantuan dana ekonomi produktif untuk beberapa bidang yang dikelola oleh departemen terkait. Pada Departemen Kelautan dan Perikanan, salah satu bentuk program kompensasi melalui peluncuran dana ekonomi produktif

8 dikemas dalam bentuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarkat Pesisir (PEMP) yang dimulai sejak tahun 2001. Secara umum, PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas melalui sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003), Sedangkan secara khusus, PEMP bertujuan untuk: 1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang didampingi dengan pengembangan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat pesisir. 2. Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha utnuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan. 3. Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkaungan. 4. Memeperkuat kelembangaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam mendukung perkembangan wilayahnya. 5. Mendorong terwujudnya mekanisme manajemen pembangunan yang partisipasif dan transparan dalam kegiatan masyarakat. Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan kelautan, yang kurang berdaya dalam peningkatan/penguatan usahanya. PEMP bukan bersifat hadiah, melainkan pemberdayaan sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan menyentuh sebagian besar masyarakat pesisir yang menjalankan jenis usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut serta usaha lain yang terkait. Program ini menggunakan model pengembangan usaha yang bersifat perguliran /revolving yang dilakukan setelah ada keuntungan dan usaha kelompok telah kuat. Pinjaman modal melalui dana ekonomi produktif masyarakat yang diterima oleh sasaran

9 wajib untuk dikembalikan agar terjadi perguliran kepada masyarakat pesisir lainnya yang membutuhkan serta terpilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Model pengembangan PEMP disajikan pada Gambar 1 Identifikasi : (Potensi dan Permasalahan) SDA & SDM Kegiatan Usaha Perikanan Sarana dan Prasarana Kelembagaan Sosial Ekonomi Kebijakan Pemerintah Analisis Data Penyusunan Program Pengembangan Implementasi Program : Program Ekonomi Program Sosial Program Lingkungan dan Infrastruktur Pemilihan Peserta Pelatihan Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi Pelaksanaan Kegiatan Sosial, Lingkungan & Fasilitas Penguatan Kelembagaan Sosial Ekonomi Sosialisasi Program Pendamping Monitoring dan Evaluasi Gambar 1. Model Pengembangan PEMP(DKP 2003)

10 Sedangkan struktur kelembagaan PEMP disajikan pada Gambar 2 Instansi Terkait Departemen Kelautan dan Perikanan Dinas Propinsi BAPEDDA Dinas Kota/Kabupaten Konsultan Manajemen Kota/Kabupaten CAMAT Mitra Desa : Aparat Desa Tokoh Masyarakat/ Agama KCD/PPL DKP LEPP-M3 : Wakil KMP Profesional Kelompok A Kelompok B Mitra Pengembangan : Pengusaha Lembaga Keuangan Perguruan Tinggi Pendamping (TPD) KMP1 KMP2 KMP3 KMP N Gambar 2. Struktur Kelembagaan PEMP(DKP 2003) 2.3 Kinerja PEMP Penelitian tentang PEMP telah dilakukan oleh Khasanahturodhiyah (2002) di Kecamatan WonokertoKabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Pada penilitian ini, digunakan istilah KUB (Kelompok Usaha Bersama) untuk kelompok pemanfaat dana ekonomi produktif program PEMP, sedangkan pada struktur kelembagaan PEMP kelompok tersebut dikenal dengan istilah KMP (kelompok masyarakat pemanfaat), maka dalam penulisan hasil penelitian ini digunakan istilah KMP. Beberapa kendala dan permsalahan dalam pelaksanaan program PEMP di Kecamatan Wonkerto Kabupaten Pekalongan (Khasanaturodhiyah 2002), yaitu :

11 1. Mundurnya pelaksanaan sosialisasi di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. 2. Data dari desa-desa yang tersedia kurang lengkap maka perlu adanya pengumpulan dari berbagai sumber. 3. Pandangan masyarakat yang terbentuk sekarang ini menganggap bahwa bantuan dari pemerintah merupakan sebuah bantuan cuma-cuma dan tidak perlu dikembalikan. 4. Terlambatnya terbentuknya KMP mengakibatkan pelaksanaan pelatihan untuk semua KMP mundur dari waktu yang ditentukan. 5. Kurangnya pengetahuan KMP tentang pemilihan kapal, modifikasi teknologi dan pentingnya cool box (kotak pendingin). 6. Pada saat penelitian, kemampuan KMP dalam menguasai materi relatif lambat dikarenakan tingkat pendidikan rata-rata rendah. Pada penelitian ini juga diukur tingkat partisipasi peserta program PEMP dengan indikator yang digunakan adalah (1) kemauan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa waktu maupun tenaga dalam melaksanakan program PEMP, (2) hak masyarakat untuk ikut menentukan arah dan tujuan program yang dilaksanakan di Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan, dan (3) kemauan masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan hasil program (Khasanaturodhiyah2002). Tingkat partisipasi KMP Pedagang terhadap PEMP di Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah yang tergolong partisipasi tinggi sebanyak 57,1%, partisipasi sedang sebanyak 28,5% dan partisipasi rendah sebanyak 14,2% (jumlah responden 28 orang). Factor-faktor yang secara nyata mempengaruhi tingkat partisipasi tersebut adalah jumlah tanggungan keluarga, status penduduk, pendidikan dan kondisi rumah. Sedangkan pada KMP Nelayan, 43,7% berpartisipasi tinggi, 37,5% berpartisipasi sedang dan 18,7% berpartisipasi rendah (jumlah responden 16 orang). Faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi tingkat partisipasi ini adalah status penduduk, pendidikan, pendapatan dan kondisi rumah (Khasanaturodhiyah 2002). Bantuan PEMP yang diberikan belum mampu memberikan surplus produksi yang dapat digunakan untuk akumulasi modal bagi produksi yang dapat digunakan untuk akumulasi modal bagi proses perdagangan dan pengolahan ikan dan hanya cukup memenuhi

12 kebutuhan sehari-hari. Sebanyak 70,3% responden menyatakan bahwa omset per hari mereka tetap. Pengembalian pinjaman juga tidak lancar (ada pinjaman yang macet) karena adanya pedagang yang mendapat musibah (anggota keluarga sakit). Sutomo (2003) menyatakan pelaksanaan program PEMP tahun anggaran 2001 di Kabupaten Banggai-Sulawesi Tengah belum mencapai hasil yang optimal. Hasil evaluasi keberhasilan pencapaian indikator kinerja pelaksana PEMP diperoleh : Bupati = 63%, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan = 60%, Pimbagpro = 60%, Tenaga Pendamping Desa = 55%, KM Kabupaten = 65%, Mitra Desa = 46%, KMP = 79% dan Lembaga EkonomiPengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) = 20%. Hal ini disebabkan oleh pengelolah program tidak memahami dengan baik konsep pembedayaan masyarakat pesisir. Disamping itu, mereka yang pernah malakukan pelanggaran belum pernah mendapat tindakan nyata atas pelanggaran yang mereka lakukan seperti pada program KUT sehingga aktor-aktor proyek di daerah semakin berani melakukan pelanggaran. Hasil evaluasi terhadap pencapaian kinerja tahapan kegiatan diklasifikasikan menjadi 6 kategori, yaitu input (masukan), process (pelaksanaan), output (keluaran), outcome (hasil), benefit (manfaat) dan impact (dampak). Indikator kinerja input yang digunakan adalah sumberdaya manusia, kelembagaan, sosialisasi, modal usaha yang diterima, pelatihan, tenaga pendamping desa (TPD) dan konsultan. Indikator process adalah pemilihan lokasi dan kelompok sasaran, penyaluran bantuan, penyusunan rencana kegiatan, pengawasan dan pelaporan. Indikator output adalah keragaan produksi, yaitu produksi primer dan sampingan. Indikator outcome adalah pendapatan dan perguliran dana ekonomi produktif. Indikator benefit adalah pendapatan agregat dan pemerataan inter wilayah dan Indikator impact adalah dampak positif dan negatif program secara umum (Sutomo 2003). Penelitian ini menunjukkan pencapaian kinerja input = 48%, process = 59%, output = 16% serta Oucomet/benefit/Impact = 0%. Hal ini disebabkan oleh kurang diperhatikannya dampak positif suatu proyek di daerah dan administrasi yang rapi masih lebih diutamakan dari pada hasil dari suatu proyek. Ini berarti PEMP Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah hanya berjalan pada tahap awal

13 pelaksanaan dan kinerja program semakin buruk pada kegiatan selanjutnya. Beberapa faktor yang menyeababkan program ini tidak berjalan dengan baik adalah moralitas pelaksana, fasilitas yang diberikan tidak digunakan secara optimal dan modal sosial seperti kepercayaan dan solidaritas kurang dimiliki oleh KMP ( Sutomo 2003). Penelitian Cahyadinata (2005) menyebutkan bahwa DEP PEMP di Kota Bengkulu belum mampu meningkatkan skala usaha masyarakat dan masih ada anggota KMP yang tidak berusia produktif, tidak memiliki pengalaman dan tidak memiliki hari kerja sehingga pengembalian pinjaman hanya 21% dari DEP dan bunga serta perguliran DEP hanya 10% dari pengembalian. Akibat tingkat pengembalian yang rendah, LEPP-M3 dan Mitra Kelurahan tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk menjalankan tugasnya. Meskipun demikian, DEP PEMP yang diterima oleh anggota KMP dapat meningkatkan pendapatan yang diindikasikan oleh berpengaruh nyatanya jumlah pinjaman terhadap pendapatan. Setiap peningkatan jumlah pinjaman sebesar Rp 1, akan meningkatkan pendapatan anggota KMP sebesar Rp 0,04 per bulan. Berdasarkan analisis SWOT dan MAHP, alternative pendekatan program PEMP adalah peningkatan skala usaha masyarakat, pembinaan masyarakat pesisir (program pendampingan), peningkatan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. 2.4 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan demikian memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat untuk bertahan, dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa keberdayaan masyarakat yang tinggi adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik, seperti: kekeluargaan, kegotongroyongan, dan

14 kebhinekaan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selaras dengan pendapat tersebut, Jim Ife (1995) mengemukakan bahwa empowerment means providing people with the resources, opportunities, knowledge, and skill to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and effect of their community. Akhirnya Kartasasmita (1996) menyimpulkan bahwa, upaya yang amat pokok dalam rangka pemberdayaan masyarakat adalah peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta akses terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti: modal, teknologi, informasi dan pasar. Menurut Jim Ife (1995) dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep power ( daya ) dan konsep disadvantaged ( ketimpangan ) Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep power dapat ditelusuri dari empat sudut pandang/perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan poststrukturalis. 1. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis, adalah suatu proses untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan dengan tindakan politik, memahami bagaimana bekerjanya sistem (aturan main), dan sebagainya. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bersaing sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan kelompok atau individu bagaimana bersaing di dalam peraturan (how to compete wthin the rules). 2. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitist adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi dan mencari perubahan pada elitis.

15 Masyarakat menjadi tak berdaya karena adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya. 3. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentukbentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat, seperti: masalah kelas, gender, ras atau etnik. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pembebasan, perubahan struktural secara fundamental, menentang penindasan struktural. 4. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang aktivitas aksi; atau pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan dari pada suatu usaha aksi. Ketidakberdayaan masyarakat yang disebabkan oleh ketiadaan daya (powerless) perlu ditemu-kenali. Jim Ife (1995) mengidentifikasi beberapa jenis daya yang dimiliki masyarakat yang dapat digunakan untuk memberdayakan mereka, antara lain: 1. Power terhadap pilihan pribadi, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan pribadi atau kesempatan untuk hidup lebih baik. 2. Power terhadap pendefinisian kebutuhan, yaitu mendampingi masyarakat untuk merumuskan kebutuhannya sendiri. 3. Power terhadap kebebasan berekspresi, yaitu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk bebas berekspresi dalam bentuk budaya publik. 4. Power terhadap institusi, yaitu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pendidikan, kesehatan, keluarga, keagamaan, sistem kesejahteraan sosial, struktur pemerintahan, media dan sebagainya.

16 5. Power terhadap sumberdaya, yaitu meningkatkan aksesibilitas dan kontrol terhadap aktivitas ekonomi. 6. Power terhadap kebebasan reproduksi, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam menentukan proses reproduksi. Ketidakberdayaan masyarakat selain disebabkan oleh faktor ketidak-adaan daya (powerless), juga disebabkan oleh faktor ketimpangan, antara lain: 1. Ketimpangan struktural antar kelompok primer, seperti: perbedaan kelas; antara orang kaya-orang miskin; the haves-the haves not; buruh-majikan; ketidaksetaraan gender; perbedaan ras, atau etnis antara masyarakat lokal-pendatang, antara kaum minoritas mayoritas, dan sebagainya. 2. Ketimpangan kelompok lain, seperti: masalah perbedaan usia, tuamuda, ketidakmampuan fisik, mental, dan intelektual, masalah gaylesbi, isolasi geografis dan sosial (ketertinggalan dan keterbelakangan). 3. Ketimpangan personal, seperti: masalah dukacita, kehilangan orangorang yang dicintai, persoalan pribadi dan keluarga. Dengan demikian untuk dapat merancang, melaksanakan dan mengevaluasi program pemberdayaan secara efektif, maka perlu memahami terlebih dahulu faktor apa sajakah yang menjadi akar permasalahan pengungsi, apakah terkait dengan faktor daya atau faktor ketimpangan, ataukah kombinasi keduanya. 2.4 Masyarakat Pesisir Dalam kenyataan, perbedaan masyarakat pesisir atau pemukiman sukar dibedakan karena sifat masyarakat yang memiliki mata pencaharian yang saling bertumpang tindih. Menurut Muluk (1996) klasifikasi masyarakat dapat dibedakan berdasarkan sifat mereka bermukim. Dengan kombinasi kiteria itu, masyarakat wilayah pesisir dapat dibagi kedalam : (a) Masyarakat nelayan, (b) masyarakat petani dan nelayan, (c) masyarakat petani (d) masyarakat pengumpul

17 atau penjarah (collector, foreger), (e) masyarakat perkotaan dan perindustrian dan (f) masyarakat tidak menetap /sementara atau (migratory). Dalam konteks masyarakat menurut Satria (2002) yaitu masyarakat desa terisolisasi (masyarakat pulau kecil). Komunitas kecil tersebut memiliki beberapa ciri : (1) mempunyai identitas yang khas; (2) terdiri dari jumlah penduduk dengan jumlah yang cukup terbatas sehingga saling mengenal sebagai individu yang berkepribadian; (3) bersifat beragam dengan diferensiasi terbatas; (4) kebutuhan hidup penduduknya sangat terbatas sehingga semua dapat dipenuhi sendiri tanpa bergantung pada pasar diluar. Selanjutnya dikatakan bahwa masyarakat pesisir yang berjenis desa pantai dan desa terisolasi dicirikan oleh sikap mereka terhadap alam dan manusia. Pada penelitian ini yang dimaksud masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir baik sebagai nelayan, pengolah maupun bakul/pedagang ikan dalam kegiatan usaha perikanan. Menurut Undang-undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan/budidaya binatang/tanaman air. Nelayan dibedakan nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau badan hukum yang dengan hak apapunberkuasa atas kapal/perahu yang dipdalam usaha perlukan dalam usaha penagkapan ikan di laut. Nelayan pekerja (buruh) yaiu semua orang yang sebagai satu kesatuan menyediakan tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut baik sebagai nakoda/pendega maupun sebagai pengoperasian alat tangkap. 2.5 Pendapatan Rumah Tangga Keluarga Nelayan adalah suatu keluarga yang kepala keluarga atau lebih anggota keluarga terlibat dalam proses produksi atau pengolahan hasil perikanan sebagai sumber pendapatan dan penghidupannya. Pendapatan rumah tangga dapat diketahui dengan menjumlahkan pendapatan keluarga dari semua sumber pendapatan dan pendapatan tersebut dapat beragam. Hal ini disebabkan disamping

18 kegiatan utama sebagai nelayan juga diupayakan kegiatan-kegiatan lain, seperti dagang, usaha jasa dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut Dahuri et al (2001) pada saat ini kira-kira 60 % dari nelayan di desa pantai rata-rata pendapatannya hanya berkisar anatara Rp. 35.000,00/kapita/bulan, jauh dibawah kebutuhan minimumnya. Untuk meningkatkan pendapatan agar kesejahteraan masyarakat pantai meningkat perlu usaha-usaha untuk menghadapi perusahaan yang dihadapi. Permasalahan masyarakat pantai memang kompleks, baik masalah kependudukan / sumberdaya manusia, permasalahan potensi alam daratan maupun masalah perairan sebagai lahan masyarakat mencari nafkah. 2.6 Kesejahteraan Menurut Dahuri (2000), bahwa tidak adanya akses ke sumber moral, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah alasan-alasan terjadinya kemiskinan. Alasan lain terkait dengan sifat sumberdaya pesisir. Selanjutnya dikatakan bahwa kemiskinan juga disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan dan berkembangnya kriminalitas. Alasan lain juga terkait dengan kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir., lemahnya perencanaan yang berakhir pada tumpang tindih berbagai sektor di suatu kawasan, dampak polusi dan kerusakan lingkungan. Kemiskinan juga terjadi karena prasarana pembangunan yang kurang di wilayah pesisir. Prasarana di wilayah pesisir memang sangat dibutuhkan, mengingat masyarakat hanya mampu memanfaatkan dan tidak mampu membangun atau mengadakannya. Batas baris kemiskinan yang dipergunakan oleh BPS dihitung berdasarkan nilai dari kebutuhan pokok minimum masyarakat. Angka tersebut secara reguler direvisi sesuai dengan laju kenaikan indeks harga barang kebutuhan pokok. Akan tetapi penggunaan indeks harga untuk menetapkan garis kemiskinan harus dilakukan pembobotan dengan adanya variasi indeks harga antara wilayah. Dengan demikian penggunaan nilai konsumsi riil setara dengan kebutuhan kalori

19 untuk hidup normal kiranya dapat diaplikasikan sebagai dasar menentukan garis kemiskinan seperti yang diperkenalkan oleh Sajogyo (1996). Klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) menurut Sajogyo (1977), didasarkan pada nilai pengeluaran perkapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu : (1) Miskin, apabila nilai perkapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah kota. (2) Miskin, sekali, apabila pengeluaran pekapita per tahun lebih rendah dari setara 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota. (3) Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg untuk daerah kota. Aspek lain yang juga penting dalam menganalisis kesejahteraan rumah tangga, menurut BPS (2001) berdasarkan pada data kependudukan, kesehatan, pendidikan, fertilitas, pengeluaran rumah tangga, kriminalitas serta perumahan dan lingkungan. Karakteristik social ekonomi penduduk yang lebih spesifik dikumpulkan berdasarkan : (a) Konsumsi/Pengeluaran/Pendapatan (b) Kesehatan, pendidikan, Perumahan dan Pemukiman, dan (c) Sosial Budaya, Kesejahteraan Rumah Tangga, Kriminalitas.

20 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Wilayah Pesisir Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Kecamatan Pemangkat dipilih sebagai lokasi penelitian karena kecamatan ini selalu mendapatkan Program PEMP sejak tahun 2001 hingga tahun 2006. Waktu penelitian selama 3 bulan yang dibagi dalam 2 tahap. Tahap I adalah tahap pengambilan data primer selama bulan April Mei 2007. Tahap II adalah pengambilan data sekunder dan dilanjutkan analisis data pada bulan Mei hingga Agustus 2007. Gambar 3. Lokasi Penelitian.

21 3.2 Kerangka Konseptual Penelitian Pengelolaan sumberdaya perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional. Besarnya potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Sambas belum mampu mengangkat kehidupan ekonomi masyarakat pesisirnya. Kegiatankegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan ini bukan semata-mata terkendala masalah pembiayaan/dana tetapi juga mencakup faktor sumber daya manusia/ nelayan yang tidak terampil menggunakan teknologi penangkapan ikan serta jumlah armada yang masih sedikit. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Sambas (2003) hanya terdapat 26 kapal motor penangkap ikan dengan bobot > 50 GT. Sementara kapal motor berbobot 0 5 GT yang dominan digunakan nelayan Kabupaten Sambas (435 buah). Beberapa kajian tentang masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan, di berbagai wilayah Indonesia telah memberikan Gambaran yang jelas bahwa persoalan kerawanan sosial-ekonomi, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, kelembagaan sosial yang lemah, serta kesulitan akses modal usaha, teknologi dan pasar. Merupakan masalah-masalah serius yang perlu diatasi. Masyarakat pesisir yang berjumlah 16.420.000 jiwa hidup dan tersebar pada 8.090 desa pesisir. Mereka terdiri atas kelompok nelayan 4.015.320 jiwa, pembudidaya perairan 2.671.400 jiwa, dan kelompok sosial lainnya 9.733.280 jiwa. Persentase yang hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 32% atau 5.254.400 jiwa, dari total masyarakat pesisir (Direktorat PMP 2006). Kabupaten Sambas merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang memiliki desa pesisir hampir 40% dari total luas daerahnya, yaitu meliputi Kecamatan Selakau (292,50 km 2 ), Pemangkat (193,75 km 2 ), Jawai (287,50 km 2 ), Paloh (1.148,84 km 2 ) dan Telok Keramat (741,10 km 2 ). Dari kelima kecamatan tersebut dihasilkan produksi perikanan tangkap sebesar 15.702,72 ton/tahun dan perikanan budidaya sebesar 718,2 ton/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas 2005).

22 Sejak terpilih sebagai daerah penerima dana Program PEMP pada tahun 2001, pemerintah daerah Kabupaten Sambas dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan, menyalurkan dana program PEMP dengan penekanan pada penanggulangan masalah setempat. Karena itu, kucuran dana dari LEPP-M3 difokuskan pada pembelian/pembuatan kapal penangkap ikan. Sebagian lain dimanfaatkan sebagai modal usaha dan pembelian alat penangkap ikan baru (LEPP-M3 Kabupaten Sambas 2003). Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada tahun 2001 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP). Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Penerapan Program PEMP di Kabupaten Sambas yang mengacu Program PEMP secara nasional apakah sudah sesuai dengan kondisi sumberdaya alam dan kondisi faktual yang ada di lapangan, yang paling penting sebenarnya dalam menjalankan Program PEMP adalah strategi yang tepat yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sambas. Untuk lebih memudahkan memahami kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

23 Masyarakat Pesisir Potensi dan Kondisi Sumberdaya Pesisir Kendala & Pola Pemanfaatan Sumberdaya Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Dana/Lembaga pembiayaan SDM Teknologi Mitra Program PEMP Analisis Kinerja Strategi & Kebijakan Pelaksanaan PEMP Gambar 4. Kerangka Pemikiran Pendekatan Studi 3.3 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer dikumpulkan dari seluruh stakeholder yang menjadi sasaran evaluasi secara langsung. Proses untuk mendapatkan data primer ini melalui teknik wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuisioner dan observasi langsung ke lapangan.

24 Data sekunder berupa dokumen atau referensi yang relevan dengan Program PEMP seperti Laporan Keuangan LEPP-M3, kelengkapan administrasi lembaga, data statistik perikanan kabupaten Sambas serta kondisi geografis, demografis dan sosial ekonomi masyarakat yang didapat dari instansi pemerintah setempat. Tabel 1. Jenis dan sumber data penelitian No Aspek Jenis Data Sumber Data A Perikanan Jumlah produksi perikanan PPI Pemangkat Jenis dan jumlah alat tangkap Sarana dan Prasarana perikanan PPI Pemangkat/ DKP Kab. Sambas Pemanfaat Perikanan Sumberdaya Literatur B 1. 2 3 4 5 6 7 Sosial Demografi Demografi Pekerjaan Utama Pendidikan Kesehatan Ekonomi Keagamaan Transportasi/te le-komunikasi Jumlah Penduduk, Kepadatan, Umur, Pertumbuhan dan Penyebaran Penduduk. Pekerjaan Utama penduduk, Banyaknya Rumah Tangga (RTP) Pertanian persektor. Jumlah fasilitas sekolah TK, SD, SMTP dan SMTA per Kecamatan/desa Jumlah dokter, tenaga medis, dukun beranak dan fasilitas kesehatan perkecamatan/desa Jumlah fasilitas perekonomian; Bank, pasar, toko/warung, koperasi Per kecamatan/desa. Jumlah fasilitas keagamaan; mesjid, langgar/surau, gereja, vihara dll.per kecamatan/desa Panjang jalan, keadaan jalan, kedaan sarana tranportasi darat dan laut, Jaringan telepon dan listrik per Kecamatan/desa. Laporan keuangan BPS Susenas, BPS Diknas, BPS Dinkes, BPS Kecamatan Dalam Angka Kecamatan Dalam Angka Dinas Kimprasda, Bappelitbangda, Kecamatan Dalam Angka Laporan Tahunan LEPP-M3 C LEPP-M3 Rekapitulasi administrasi Akta Pendirian LEPP-M3

25 3.4 Teknik Pengambilan Contoh Teknik sampling dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling) pada nelayan-nelayan yang menerima program PEMP. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan rumus Slovin (Sevilla dalam Umar 2002) sebagai berikut : n = N 1 + N e 2 dimana : n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = Sampling error Masyarakat yang medapatkan penyaluran Kredit dari Koperasi LEPP-M3 sebanyak 317 orang. Jumlah sampel yang diamati 23,173 (dibulatkan 23 orang). 3.5 Teknik Pengumpulan Data (1). Kuesioner (wawancara Terstuktur). Kuesioner merupakan alat yang memuat himpunan pertanyaan yang dibuat secara terstruktur sebagai alat bantu dalam mengekplorasi dan mengumpulkan data/informasi melalui wawancara. Penyusunan dan penggunaan kuesioner ini mengacu pada kebutuhan data/indikator untuk setiap elemen yang akan diukur, serta berdasarkan sasaran stakeholder yang diwawancarai. Penggunaan Kuesioner akan digunakan bagi anggota KMP dan bukan KMP. (2). Wawancara Terarah. Pola wawancara yang dilakukan merupakan wawancara dua arah (dialogis) dimana penulis sebagai pewawancara dan stakeholder sebagai orang yang diwawancarai. Meskipun Topik wawancara dengan teknik seperti ini berpotensi memperluas cakupanya, namun pewawancara sudah dilengkapi dengan poin-poin (guide question) yang akan diwawancarakan dan didiskusikan. Wawancara dititikberatkan pada sejumlah key person dari lembaga/stakeholder sasaran seperti : Kepala Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Sambas, Kepala LEPP-M3, Ketua KMP, dan sejumlah key person lainnya.

26 (3). Observasi. Kegiatan ini untuk melihat secara langsung kondisi faktual yang terbangun dilapangan serta memperluas lingkup pengamatan terhadap subyek yang dinilai (faktor atau dinamika yang mempengaruhi kinerja). Observasi merupakan teknik dalam melakukan verifikasi (cross check) terhadap data dan informasi yang dihimpun dari wawancara yang dilakukan. Kegiatan observasi dapat dikembangkan untuk melihat secara langsung hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi sehari-hari masyarakat yang menjadi sasaran Program PEMP. 3.6 Analisis Data Untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil penelitian sebelumnya dan data primer yang diperoleh melalui pengamatan lapangan dan wawancara maupun data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Demikian pula kondisi dan potensi sumber daya alam dianalisis secara deskriptif. Rapfish (Rapid Appraissal For Fisheries) ádalah teknik yang dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada. Yang merupakan analisis untuk mengevaluasi secara Multidisipliner. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan Multi-Dimensional Scaling (MDS). MDS sendiri pada dasarnya merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Secara umum, analisis Rapfish dimulai dengan mereview atribut dan mendifnisikan yang akan dianalisis. elemen kinerja yang menjadi penekanan untuk dinilai adalah sebagai berikut : 1. Kelembagaan Program PEMP (DKP, LEPP-M3, KM, TPD, Bank Pelaksana, KMP) Indikator : a. Kemantapan organisasi pelaksana program b. Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam program PEMP