Indah Pada Waktunya Dari jendela kamarnya Tyas menatap bulan purnama yang sedang bersinar dengan indahnya di atas langit kota Jakarta. Bahkan cahaya bulan yang terang tersebut tidak dapat mengusir kegundahan dalam hatinya. Pikirannya beralih pada kejadian di kampus pagi tadi. Cie..cie ada yang beda nih dengan kutu buku kita hari ini. Pake lip gloss ya? Bajunya baru nih. Wih udah pinter dandan loh.. suara riuh teriakan Fani, sang seleb kampus, membahana di koridor kampus. Ah yang bener Fan? Mana..mana coba kita liat serempak anggota gengnya yang terdiri dari 5 cewekcewek dengan dandanan menor menatap Tyas yang sedang berjalan melewati koridor menuju ke kelas. Dua dari antaranya menghadang Tyas dan mengangkat wajahnya, meneliti dirinya dengan seksama. Iya nih, kayaknya ada yang nyoba-nyoba dandan nih. Pake baju baru segala. Tapi gimana ya, sekali jelek ya tetap aja jelek. Kayaknya udah nggak ada harapan deh. Terima nasib aja deh Tyas. Kalau memang udah jelek ya nggak usah macem-macem, tambah aneh deh kayaknya.
Wah, nggak nyangka deh ternyata kalian semua pada suka dengan dandanan ku. Kalo mau nanti aku ajarin ya. Tyas membalas ejekan mereka dengan muka polos tak bergeming. Sudah berulang kali ia menghadapi kejadian demikian sehingga rasanya sudah seperti sarapan pagi baginya. Gile, udah pintar ngebales loh sekarang. Makasih aja deh kalo mesti ngikut trend seperti elo Tyas. Lo belajar darimana gaya begitu? Pasti dari nyokap ya. Wah, kalo model anaknya gini, gimana nyokapnya ya. Huah..ha..ha.. Tyas terdiam. Meskipun sudah terbiasa dengan dirinya yang diperolok, akan tetapi kekesalannya muncul karena kali ini nyokapnya juga diikutsertakan. Apa-apaan sih Fan? Perasaan Tyas nggak ngeganggu kalian. Kenapa sih pada reseh? Sebelum sempat membalas, tiba-tiba terdengar suara Grace, sang ketua tingkat menegur Fani dan temantemannya. Wah..wah sekarang ada backingnya loh. Iya deh, takut deh. Yuk, kita cabut gals. Males gue nongkrong di sini, lama-lama bisa sakit mata. sekali lagi terdengar suara cempreng Fani mengajak temen-temennya pergi meninggalkan Tyas. 2
Makasih ya Grace. Nggak apa-apa kok Tyas. Tapi elo jangan mau diperlakukan seenaknya gitu dong. Sekali-kali lo harus coba membela diri. Em aku nggak pengen ribut-ribut Grace. Kalau aku bela diri, pasti akan lebih panjang dan memalukan. Kalo dijawab seadanya, mungkin mereka akan cape sendiri. Kasian kan udah teriak-teriak, nggak dapet respons yang heboh. Iya juga sih. Tapi gue masih gemes aja sama mereka. Nggak ada kerjaan banget sih. Ah sudahlah, masuk kelas yuk, kuliah udah mau mulai nih. Tyas bergegas mengikuti langkah Grace menuju kelas. --- Hmmphhhhh Tyas menghela nafas panjang, mencoba mengusir kegundahan hatinya mengingat kejadian yang menyebalkan tersebut. Meskipun ia mencoba tidak menanggapi kejadian pagi tersebut, tapi sebenarnya semuanya berbekas di dalam 3
hatinya. Bukan cuma sekali Fani memperolok dirinya dan bukan hanya Fani yang memperolok dirinya. Sebenarnya sudah sejak dari SMA ia sering menerima penghinaan tersebut. Ia mengalihkan pandangannya dari keindahan rembulan menuju sosok yang terlihat di cermin besar di hadapannya. Seraut wajah yang balas menatapnya di cermin itu memang tidak bisa dikatakan cantik. Mungkin jelek memang kata yang tepat untuk menggambarkan sosok yang terlihat di cermin tersebut. Kaca mata tebal bertenggar di hidungnya membuat dirinya benar-benar terlihat seperti kutu buku. Giginya yang tidak rata sehingga harus memakai kawat gigi semakin mengukuhkan cap itik buruk rupa pada dirinya. Dahulu ia pernah mencoba untuk memakai contact lens akan tetapi terjadi iritasi yang membuatnya tidak berani untuk meneruskan pemakaian contact lens. Akan halnya dengan kawat gigi, masih kurang lebih 4 bulan lagi baru ia bisa melepaskan kawat giginya dengan asumsi pertumbuhan giginya sudah normal dan tidak bertumpuk lagi. Bahkan jika sekiranya ia tidak memakai kaca mata dan kawat gigi, sosok yang terlihat di cermin tersebut belum tentu terlihat cantik. Menurut kata orang bijak, setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan harusnya kita memfokuskan diri pada 4
kelebihan dan bukannya kekurangan kita. Tapi kalau aku, mmmm, kenapa yang terlihat hanya kekurangan? Kirakira apa ya kelebihan yang aku miliki? Yah, mungkin kalau mau dicoba fokus pada kelebihan ya, lebih jelek, bukan kurang cantik. Lebih kuper, bukan kurang supel, atau. Stop..stop Tyas, kenapa sih harus terus menerus menyindir diri sendiri? Terdengar bisikan malaikat putih dalam dirinya. Tyas menghela nafas panjang dan mencoba tersenyum, berusaha menghilangkan mendung kelabu dalam hatinya. Apa yang salah dengan diriku? Jika memang bisa memilih, pastilah tidak ada yang memilih dilahirkan jelek. Kenyataannya memang aku jelek, tapi apakah jelek itu mengganggu kenyamanan orang-orang? Mengapa mereka tidak henti-hentinya mengingatkanku pada kejelekan diriku? Tidak bisakah mereka membiarkan aku? Tanpa harus mendengar cemoohan mereka, aku sudah cukup menderita setiap kali melihat sosokku di cermin. Belum lagi ejekan mereka terhadap Mama. Kalau cuma aku yang diejek, itu sudah santapan sehari-hari, tapi mereka menyinggung Mama. Mama Kenangannya akan sosok Mama sering membuatnya tersenyum bahagia bercampur rasa pedih. Akhir-akhir ini kenangan itu mulai memudar sehingga ia 5
berusaha lebih kuat lagi untuk mengingat setiap detik yang dihabiskannya bersama Mama. Sesaat, kenangan akan Mama yang menyenandungkan lagu yang membuainya tidur saat masih kecil dulu menyeruak ke dalam ingatannya. Tyas menghirup udara malam mencoba untuk mengingat dan merasakan wewangian yang selalu dipakai ibunya kala itu akan tetapi keharuman tersebut tidak dapat dikenangnya. Ketidakmampuannya untuk mengingat detail tersebut membuat Tyas larut kembali dalam kesedihan dan kali ini kesedihannya terasa sangat menusuk hati karena ia merasakan kehilangan yang sangat pedih. Mama..Mama, mengapa engkau meninggalkan aku secepat itu? Tanpa Mama, tidak ada yang menghiburku, tidak ada yang membelaku serta mendengarkan ceritaku. isak tangis Tyas terdengar lirih di keheningan malam itu. Tok..tok. Terdengar ketukan lembut di pintu kamarnya diiringi dengan suara lembut seorang lelaki. Tyas belum tidur? Papa mendengar suara tangisan dari dalam kamarmu? Ada masalah? 6
Tyas bergegas menghentikan isakannya dan menyeka air mata dari pipinya. Tidak apa-apa Pa. Tyas sudah mau tidur kok. Mungkin suara yang Papa dengar tadi suara dari radio. Tyas memang sedang mendengarkan cerita dari radio. Syukurlah kalau tidak ada apa-apa. Sudah malam Nak, cepat tidur ya. Iya Pa. Papa juga tidur yang nyenyak ya. Teguran Papa membangunkan Tyas dari kesedihannya. Ia membayangkan Papanya yang bekerja keras untuk membiayai sekolahnya sekaligus berusaha menjadi orang tua tunggal menggantikan figur Mama sejak Mama meninggal 10 tahun yang lalu. Tanpa mengeluh ia membesarkan Tyas dan tidak pernah berkehendak untuk menikah lagi. Tyas malu karena telah sempat menyesali kehidupannya. Seharusnya ia bersyukur karena masih memiliki seorang ayah yang sangat mencintai dirinya. Seharusnya ia bersyukur karena Tuhan telah memberikan kesehatan dan kehidupan yang baik padanya. Dalam doa malamnya sebelum tidur ia meminta pengampunan dari Tuhan. Maafkan aku Tuhan karena menyesali keadaan diriku. Aku bersyukur karena Engkau memberikan ayah yang baik yang telah membesarkan aku dengan penuh kasih 7
sayang. Aku juga bersyukur karena Engkau telah menjaga diriku dan memberikan kesehatan yang berlimpah. Berikanlah aku hati yang besar untuk menerima dan menghargai diriku sendiri, juga untuk mengampuni mereka yang telah memperlakukan aku dengan tidak adil. ---- 8