BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan yang berguna untuk menyelamatkan kehidupan dan meningkatkan kualitas kesehatan. Akses terhadap obat, terutama obat esensial merupakan salah satu hak asasi manusia sesuai dengan salah satu tujuan dari kebijakan obat nasional (KONAS) tahun 2006 yaitu menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial, sehingga masyarakat memperoleh obat saat dibutuhkan pada tempat dan waktu yang tepat (Kementerian Kesehatan, 2006). Amanat undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Dengan demikian penyediaan obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah di semua level mulai dari tingkat pusat yaitu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI), tingkat provinsi yaitu Dinas Kesehatan Provinsi, tingkat kabupaten/kota yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Kementerian Kesehatan, 2009). 1
Berdasarkan Peraturan Presiden RI nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN), di dalam subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan dijelaskan bahwa pemerintah menjamin keamanan, khasiat, manfaat, mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan melalui pembinaan, pengawasan, pengendalian secara profesional, bertanggung jawab, independent, transparan, dan berbasis bukti ilmiah (Kementerian Kesehatan, 2012 a ). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah resmi dilaksanakan pada 1 Januari 2014. JKN merupakan perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas (Kementerian Kesehatan, 2014 a ). Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin peserta jaminan kesehatan agar dapat memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Untuk pelaksanaan sistem JKN di Indonesia dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang bertanggung jawab memastikan berjalannya jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai peserta jaminan. Dalam menjalankan sistem JKN harus ada kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan sebagai pemberi layanan kesehatan kepada peserta JKN. Fasilitas kesehatan dibedakan menjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). FKTP meliputi 2
Puskesmas, praktek dokter, dokter gigi, klinik pratama atau yang setara, dan rumah sakit kelas D atau yang setara (Kementerian Kesehatan, 2013 a ). Program JKN menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia dengan target sampai akhir tahun 2019 tidak ada lagi penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. BPJS Kesehatan terus melakukan berbagai upaya memperluas cakupan kepesertaan, salah satunya dengan menggandeng peran serta pemerintah daerah untuk memastikan warganya memperoleh jaminan kesehatan. Pemerintah Provinsi Aceh merupakan Pemerintah Provinsi pertama yang melaksanakan universal coverage di Indonesia melalui program Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA). Pengelolaan program JKRA oleh BPJS Kesehatan sendiri dimulai pada bulan Juni 2010 saat itu masih bernama PT. Askes. Integrasi JKRA ke JKN melalui BPJS Kesehatan per tanggal 31 Desember 2013, maka seluruh penduduk Aceh yang berjumlah 4,8 juta jiwa sudah ter-cover oleh program jaminan kesehatan (Prayogi, 2015). Pembangunan di bidang obat bertujuan untuk menjamin tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan dengan mutu terjamin, tersebar secara merata dan teratur, sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat. Pada era JKN, pemerintah menerapkan gate keeper concept dimana FKTP berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar, serta dapat berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya, dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan medik. Penyediaan obat di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) selayaknya disediakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) sehingga tenaga 3
kefarmasian yang berada di Puskesmas lebih fokus terhadap pemberian pelayanan kefarmasian kepada pasien, sedangkan tenaga kefarmasian yang berada di IFK lebih fokus kepada pengeloaan obat, sehingga diharapkan sistem kendali ketersediaan obat akan terjaga (Kementerian Kesehatan, 2012 b ). Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI mempunyai target indikator secara nasional terhadap ketersediaan obat pelayanan kesehatan dasar (PKD) selama 18 bulan di sarana kesehatan pemerintah, dimana target tahun 2013 sebesar 95% dan tahun 2014 sebesar 100%. Capaian target indikator ketersedian obat di tingkat nasional merupakan hasil rekapan laporan ketersediaan obat PKD dari 33 propinsi. Capaian target indikator ketersediaan obat PKD secara nasional dari tahun 2010 sampai tahun 2013 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,20% (Kementerian Kesehatan, 2014 b ). Provinsi Aceh mempunyai ketersediaan obat tahun 2013 sebesar 106,23% dari 23 IFK maka jika dibandingkan dengan target tahun 2013 yang sebesar 95% tingkat ketersediaan obat di Aceh mencapai 20,13 bulan, dan jika dibandingkan dengan target 2014 yang sebesar 100% dan peningkatan ketersediaan obat sebesar 2,20% maka tingkat ketersediaan mencapai 19,5 bulan di tahun 2014. Akan tetapi di tahun 2014 era JKN terjadi kekosongan obat di Kabupaten/Kota seperti yang dimuat di beberapa surat kabar online seperti di Serambi Indonesia (Bakri, 2014) yaitu pada bulan Juni 2014 terjadi kekosongan obat pada Puskesmas di Kabupaten Aceh Tamiang. Pada bulan September 2014 terjadi kekosongan obat pada Puskesmas di Kabupaten Aceh Utara (Agustina, 2014). Pada bulan Oktober 2014 terjadi kekosongan obat pada Puskesmas di 4
Kabupaten Aceh Selatan (Munizar, 2014), dan pada Puskesmas di Kabupaten Gayo Lues (Azl, 2014). Penerapan peraturan pemerintah nomor 41 tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah diharapkan organisasi pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan sudah berbentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT). Namun, saat ini bentuk organisasi IFK masih sangat beragam mulai dari Seksi, UPT, Gudang Farmasi Kabupaten/Kota (GFK). Masing-masing daerah kabupaten/kota mempunyai struktur organisasi dan kebijakan sendiri dalam pengelolaan obat. Hal ini membuka berbagai peluang terjadi perbedaan yang sangat mendasar di masingmasing kabupaten/kota dalam melaksanakan pengelolaan obat. Dengan adanya program JKN diharapkan kabupaten/kota maupun provinsi dapat menyeragamkan standar pengelolaan obat dalam hal mencukupi kebutuhan obatnya masing-masing melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi, karena pengelolaan obat membawa implikasi terhadap penerapan JKN (Kementerian Kesehatan, 2013 a ). Dari latar belakang permasalahan yang telah tersebut diatas, maka perlu kiranya untuk menganalisis pengelolaan obat pada era JKN, sehingga memberikan gambaran terhadap pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. 5