PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

dokumen-dokumen yang mirip
LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

LANGKAH STRATEGIS PASKA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 TENTANG PENGUKUHAN HUTAN ADAT

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 05 TAHUN 1999 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

SURAT EDARAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR S.75/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG

Eksistensi Hutan Adat Dalam Pembangunan Kehutanan di Indonesia. Paska Putusan MK No. 35/PUU-X/2012

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

KEBIJAKAN NASIONAL PENETAPAN TANAH ADAT/ULAYAT

Kemajuan PENETAPAN KAWASAN HUTAN

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

Ringkasan Putusan. Philipus P. Soekirno

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XVI/2018 Eksistensi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB V PENUTUP. Nomor 25/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor 32/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012 dan UU Nomor 23 Tahun 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XIV/2016 Dualisme Penentuan Unsur Pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

PERUBAHAN KEBIJAKAN DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 ayat 1. Pendaftaran tanah adalah

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 004/PUU-I/2003

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

BAB IV PENUTUP. Alam Nomor : SK. 32/IV-SET/2015 tentang Zonasi Taman Nasional Siberut, Kabupaten

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUU-XV/2017 Kewenangan Menteri Keuangan Dalam Menentukan Persyaratan Sebagai Kuasa Wajib Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan

Oleh Oktaviaa Ester Pangaribuan,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIII/2015 Pengumuman Terhadap Hak Cipta Yang Diselenggarakan Pemerintah

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BEBERAPA CATATAN TENTANG NASKAH AKADEMIK RUU HAK ATAS TANAH DAN RUU PENGADILAN AGRARIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004).

Masyarakat Adat di Indonesia dan Perjuangan untuk Pengakuan Legal

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

ANOTASI PUTUSAN MK No. 45/PUU-IX/2011 MENGENAI PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS KAWASAN HUTAN DALAM PASAL 1 ANGKA 3 UU No. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Disampaikan dalam diskusi dan bedah buku Pokok-pokok Siklus APBN dan Dasar-dasar Praktek penyusunan APBN di Indonesia Jilid II

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 79/PUU-XIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana

Transkripsi:

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 2013

Ketentuan yang dimohonkan Pengujian Pasal yang diuji a. Pasal 1 angka (6) b. Pasal 4 ayat (3) c. Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat (3), ayat (4) d. Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Permohonan dikabulkan sebagian a. Pasal 1 angka (6) b. Pasal 4 ayat (3) c. Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat (3), ayat (4)

Putusan MK NOMOR 35/PUU-X/2012 pada intinya menghapus kata Negara dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999, sehingga berbunyi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Pasal 4 (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal 5 (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan hutan hak. (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf a, dapat berupa hutan adat. (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Pasal 67 (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal yang diuji dalam UU No. 41 Tahun 1999 Pasal UU No. 41 Tahun 1999 Amar Putusan MK Pasal 1 angka 6 Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pasal 1 angka 6 tidak mempunyai kekuatan hukum megikat, sehingga Pasal 1 angka 6 dimaksud menjadi: Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Pasal 4 ayat (3) Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal 5 ayat (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: Pasal 5 ayat (2) a.hutan negara, dan b.hutan hak Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat. Pasal 5 ayat (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. masyarakat hukum adat. Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang. Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tdak termasuk hutan adat. Ketentuan Pasal ini bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Ketentuan Pasal ini bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Pasal UU No. 41 Tahun 1999 Amar Putusan MK Pasal 5 ayat (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Tetap Pasal 67 ayat (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan UU Kehutanan mengandung substansi yang sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan. Oleh karena permohonan terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dikabulkan oleh MK, maka frasa sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) harus dimaknai Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-Undang. c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pasal 67 ayat (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pasal 67 ayat (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. tetap tetap

Tanggapan BPN terhadap putusan MK Dengan putusan MK NOMOR 35/PUU- X/2012 secara eksplisit mengakui keberadaan hutan adat yang berada di wilayah masyarakat hukum adat sehingga menjadi jelas batas-batas hutan yang dikuasai oleh Negara dan hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditindaklanjuti dengan penetapan masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya dengan peraturan daerah. Dalam rangka kepastian hukum mengenai wilayah masyarakat hukum adat, penetapan batas wilayah masyarakat hukum adat dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah.

Mekanisme Administrasi Terhadap Wilayah Masyarakat Adat Oleh BPN Berdasarkan PMNA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sesuai dengan peraturan tersebut, keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah dengan persyaratan: terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari; terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. (Pasal 2) Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam antara lain instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, kehutanan, pertambangan dan lain sebagainya (Pasal 5 ayat (1))

Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada tersebut dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. (Pasal 5 ayat (2)) Tata cara pengukuran dan pemetaan batas wilayah masyarakat hukum adat ke dalam peta dasar pendaftaran tanah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 tahun 1997.

Proses Pendaftaran Tanah dilakukan Perlu ada koordinasi terutama antara: Pemerintah Daerah; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; masyarakat hukum adat; Lembaga Swadaya Masyarakat; Badan Pertanahan Nasional ; dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam (antara lain instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan) sehingga penetapan hutan adat dan tanah ulayat masyarakat hukum adat dapat cepat dilakukan dan tidak menimbulkan permasalahan lebih lanjut dikemudian hari.

Langkah Strategis Pasca Putusan MK Melakukan inventarisasi Peraturan Daerah terkait Masyarakat Hukum Adat. Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama 12 K/L untuk Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia. Mempercepat penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang merupakan inisiatif DPR RI. Mempercepat penyelesaian RUU tentang Pertanahan. Berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri RI untuk mendorong Pemerintah Daerah segera mendata, melakukan penelitian dan mengukuhkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat beserta wilayah adatnya apabila memenuhi unsur.