Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

dokumen-dokumen yang mirip
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

VARIABILITAS MUSIMAN CLOUD GROUND LIGHTNING DAN KAITANNYA DENGAN POLA HUJAN DI WILAYAH JAWA (SUDI KASUS BANDUNG DAN SEMARANG)

POSITRON, Vol. VI, No. 2 (2016), Hal ISSN:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI POLA SAMBARAN PETIR CLOUD TO GROUND (CG) TAHUN 2014 DI WILAYAH PROVINSI ACEH

KARAKTERISTIK PETIR DARI AWAN KE BUMI DAN HUBUNGANNYA DENGAN CURAH HUJAN

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017)

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Frekuensi Sebaran Petir pada Kejadian Hujan Ekstrem di Stasiun Meteorologi Citeko... (Masruri dan Rahmadini)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Hujan Lebat pada tanggal 7 Mei 2016 di Pekanbaru

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dengan jarak penjalaran beberapa kilometer. Pelepasan arus listrik diawali dengan

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI KECAMATAN KRUI SELATAN KABUPATEN PESISIR BARAT LAMPUNG (Studi Kasus Tanggal 11 Oktober 2017)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Jakarta

Angin Meridional. Analisis Spektrum

ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS KELISTRIKAN ATMOSFER (STUDI KASUS : HILANGNYA PESAWAT AIRASIA QZ8501)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI PUTING BELIUNG DI DESA BRAJAASRI KEC.WAY JEPARA KABUPATEN LAMPUNG TIMUR (Studi Kasus Tanggal 14 Nopember 2017)

PENENTUAN NILAI AMBANG BATAS AWAN KONVEKTIF PADA PRODUK SWWI MENGGUNAKAN DATA RADAR CUACA DI WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM (BANJIR) DI KEC.NGARAS KABUPATEN PESISIR BARAT (study kasus tgl 09 Nopember 2017)

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

KATA PENGANTAR. Buletin ini berisi data rekaman Lightning Detector, menggunakan sistem LD-250 dan software Lightning/2000 v untuk analisa.

ANALISA PERGERAKAN SIKLON TROPIS STAN DAN SIKLON TROPIS YVETTE DAN DAMPAKNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI SUMBAWA BESAR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH mm) DI LOMBOK TENGAH 15 SEPTEMBER 2016

Gambar 1. Peta Lintasan Siklon Tropis Dahlia ( Sumber :

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

LAPORAN KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI WILAYAH DKI DAN TANGERANG TANGGAL 15 MARET 2009

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

ANALISIS SEBARAN PETIR CLOUD TO GROUND (CG) DI WILAYAH JABODETABEK PADA TAHUN 2016

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

IDENTIFIKASI PERUBAHAN DISTRIBUSI CURAH HUJAN DI INDONESIA AKIBAT DARI PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN DI YOGJAKARTA, SEMARANG, SURABAYA, PROBOLINGGO DAN MALANG

ANALISIS CUACA EKSTRIM NTB HUJAN LEBAT TANGGAL 31 JANUARI 2018 LOMBOK BARAT, LOMBOK UTARA, DAN LOMBOK TENGAH Oleh : Joko Raharjo, dkk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk sebagai salah satu wilayah yang berada di daerah

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

LIGHTNING. Gambar 1. Antena storm tracker (LD 250 antenna). Gambar2. Layout lightning/2000 v5.3.1

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN KENCANG DI PRAMBON SIDOARJO TANGGAL 02 APRIL 2018

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi pada musim hujan disaat langit memunculkan kilatan cahaya sesaat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI PUTING BELIUNG(WATERSPOUT) DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU (Studi Kasus Tanggal 23 Oktober 2017)

2 BAB II TEORI DASAR

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

ANALISIS CURAH HUJAN SAAT KEJADIAN BANJIR DI SEKITAR BEDUGUL BALI TANGGAL 21 DESEMBER 2016

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

Musim Hujan. Musim Kemarau

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

Gambar 4 Diagram alir penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS EKSTRIM DI KECAMATAN ASAKOTA ( TANGGAL 4 dan 5 DESEMBER 2016 )

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA (Studi Kasus Tanggal 29 Desember 2017)

Deni Septiadi, Safwan Hadi Program Doktor Sains Kebumian FITB-ITB, Jl.Ganesha No.10 Bandung

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BAB II TEGANGAN LEBIH SURYA PETIR. dibangkitkan dalam bagian awan petir yang disebut cells. Pelepasan muatan ini

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

I. INFORMASI METEOROLOGI

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES DI DUSUN SORIUTU KECAMATAN MANGGALEWA KABUPATEN DOMPU ( TANGGAL 14 NOVEMBER 2016 )

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

I. INFORMASI METEOROLOGI

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Transkripsi:

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir. 212 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

Hubungan Aktivitas Petir Cloud-to-Ground (CG) dengan Curah Hujan di Bogor GILANG HAMZAH FANSURY DAN MUSA ALI MUSTOFA Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 1 Bandung, 4132 Email : gilang.hamzah.fansury@gmail.com ABSTRAK Petir merupakan proses pelepasan muatan listrik dengan arus yang sangat tinggi dan bersifat sangat singkat. Jenis petir Cloud-to-Ground (CG) merupakan jenis petir yang berdampak langsung terhadap aktivitas manusia. Bogor merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah intensitas petir tertinggi, dan juga memiliki intensitas curah hujan cukup tinggi di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan tujuan melihat hubungan antara aktivitas petir khususnya jenis petir CG dan curah hujan di wilayah Bogor. Data petir yang digunakan merupakan data Lightning Detector dan data curah hujan yang berasal dari pengamatan Stasiun BMKG. Perbandingan kedua data dilakukan uji korelasi metode Pearson atau Spearman, dan dilakukan perhitungan nilai rain-yield per flash (RYF). Hubungan antara aktivitas petir CG dengan curah hujan di wilayah Bogor pada penelitian ini menjelaskan bahwa intensitas jumlah sambaran petir CG memiliki hubungan yang erat dengan curah hujan dengan r =,756. Nilai RYF dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 5,9x1 9 kg/fl. Aktivitas petir di Bogor sendiri terjadi akibat adanya hujan konvektif yang terjadi. Kata kunci : Petir, petir cloud-to-ground (CG), curah hujan, korelasi. 1. Pendahuluan Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer bumi yang tidak dapat dicegah. Petir didefinisikan sebagai pelepasan muatan listrik dengan arus yang cukup tinggi dan bersifat sangat singkat yang biasanya terjadi pada saat awan Cumulunimbus (Cb) [1]. Dalam petir terdapat beberapa bentuk pelepasan muatan, yakni pelepasan muatan awanpermukaan tanah (Cloud-to-Ground) dan pelepasan muatan antar atau dalam awan (Inter/Intra Cloud) [2]. Pelepasan muatan dari awan-permukaan tanah (CG) merupakan jenis petir yang berdampak langsung terhadap aktivitas manusia. Sambaran petir dibagi atas sambaran langsung dan sambaran tidak langsung. Sambaran langsung adalah sambaran yang langsung ke benda atau obyek sambaran, sedangkan sambaran tidak langsung adalah sambaran melalui radiasi, konduksi atau induksi gelombang elektromagnetik petir [3]. [4] dijelaskan, pelepasan petir Cloud-to-Ground (CG) secara keseluruhan, biasanya terjadi dengan lintasan sepanjang beberapa kilometer dan berlangsung selama jangka waktu antara satu setengah dan satu detik. Setiap sambaran petir dapat berupa muatan positif atau muatan negatif, tergantung pada pergerakan awal muatan atau akhir dari pergerakan muatan tersebut, baik muatan positif maupun negatif. Berdasarkan penelitian mengenai polaritas sambaran petir, terdapat beberapa jenis perambatan sambaran petir CG, umumnya terdapat empat kategori, yaitu sambaran ke bawah bermuatan negatif, sambaran ke atas bermuatan negatif, sambaran ke bawah bermuatan positif, dan sambaran ke atas bermuatan positif [5]. Petir CG negatif (-) lebih umum daripada petir CG positif (+), karena awan biasanya bermuatan negatif di bagian dasar awan dekat dengan permukaan tanah, dan muatan positif berada di dekat bagian atas. Dalam konteks produksi samabran petir CG negatif berasosiasi dengan presipitasi konvektif dan CG positif berhubungan dengan anvil dan presipitasi statiform [6]. Proses terjadi petir diawali dengan pemisahan muatan positif dan negatif dalam awan atau udara karena adanya pergerakan vertikal di udara, bintik hujan atau es terpolarisasi melalui medan listrik di atmosfer, dan kristal positif naik sehingga puncak awan bermuatan positif, yang bermuatan negatif dan batu es berkumpul di lapisan tengah dan bawah awan sehingga membentuk muatan negatif [7]. Proses pemisahan muatan listrik dapat dijelaskan dengan teori termoelektrik dan teori induksi atau polarisasi [8]. Kajian aktivitas petir diawali oleh mekanisme pemisahan muatan dan proses fisis dalam awan yang terepresentasi dalam tiga taraf pertumbuhan awan yaitu cumulus, mature dan disipasi [9]. [6] Keganjilan 1

aktivitas petir terepresentasikan dalam masing-masing taraf, pada tahap cumulus, tidak ada elektifikasi petir yang terjadi. Pada tahap mature, elektrifikasi petir sangat kuat terjadi, biasanya diikuti oleh peningkatan sambaran petir CG khususnya CG negatif. Dan pada tahap disipasi, pelemahan elektrifikasi petir, diikuti sambaran petir CG positif. Aktivitas kelistrikan atmosfer sendiri menunjukkan adanya korelasi antara jumlah sambaran petir dan curah hujan [1] [11]. Dari sudut pandang spasial, sambaran petir awan ke tanah (CG) umumnya terjadi di daerah di mana curah hujan tinggi terjadi [12] Selain itu, [13] sambaran petir merupakan peristiwa yang berhubungan dengan curah hujan, jika sambaran petir dihasilkan oleh badai (storm) dimana sebanding dengan akumulasi curah hujan, maka tingkat sambaran petir dapat digunakan sebagai sarana untuk mengukur curah hujan. Berdasarkan peta isokronik level Indonesia dari tahun 1991-26, wilayah Bogor termasuk ke dalam kategori sangat tinggi [14]. Selain itu, wilayah Bogor memiliki intensitas curah hujan tahunan yang cukup tinggi yaitu antara 3-42 mm/tahun [15]. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui aktivitas petir yang terjadi wilayah Bogor khususnya petir CG dan hubungannya dengan curah hujan di Bogor. dilakukan sebagai analisis awal dalam melihat struktur data, mengekstrak nilai-nilai statistika yang berarti dan karakteristik lain yang terkandung dalam data [16]. Analisis regresi menguji sejauh mana korelasi antara parameter secara kuantitatif, dalam hal ini data kejadian petir CG dan data curah hujan baik secara harian dan bulanan. Dalam analisis hubungan aktivitas petir CG dengan curah hujan digunakan pula data kilat yang dibatasi dalam radius sekitar 1 km sekitar titik stasiun curah hujan, mengingat kondisi stasiun pengamatan yang dipakai hanya 1 titik curah hujan. Penelitian dengan pengambilan data petir dalam radius 1 km ini telah banyak dilakukan, [17] untuk mengetahui seberapa besar keterkaitan kejadian petir Intra-Cloud dan petir Cloud-to-Ground (CG) dengan awan, dilakukan pengambilan data petir dalam radius 1 km. Gambaran alur kegiatan disajikan dalam gambar 2.1 di bawah ini. Mulai Database Analisis Data : Analisis Timeseries Analisis Regresi Petir CG +Konversi Format data; Binary => ASCII +Pengambilan parameter yang diperlukan; time, lokasi, tipe petir. Ya Filter Data Tidak Ya Uji Normalitas Uji Korelasi Pearson Tidak Uji Korelasi Spearman Analisis Selesai Gambar 1.1. Daerah kajian studi, bintang merupakan titik stasiun pengamatan curah hujan, dan kotak (garis titik-titik) menunjukan radius 1 km. 2. Metodologi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Bogor dengan letak geografis berkisar dari 6 o 25 6 o 5 LS dan 16 o 3 17 o BT (Gambar 1.1). Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data yang bersumber dari BKMG dengan data dari alat ligtning detector selama 1 tahun (tahun 29). Dan data curah hujan selama 1 tahun (tahun 29) di wilayah Bogor, yang bersumber dari BMKG Citeko Bogor. Secara garis besar, penelitian dilakukan berdasarkan pembuatan database, analisis time series, analisis regresi dan juga analisis secara spasial dari sebaran petir yang terjadi. Analisis time series Gambar 2.1. Alur kegiatan penelitian. 2.1 Perhitungan Rain-Yield per Flash (RYF) Selanjutnya dalam analisis data yang dipakai dalam meninjau hubungan aktivitas petir CG dengan curah hujan, khususnya dalam analisis petumbuhan awan konvektif memakai rain-yield per flash (RYF/RPF) digunakan data petir dalam radius 1 km. Perhitungan RYF/RPF bertujuan untuk melihat tingkat hubungan curah hujan dengan aktivitas petir dalam suatu radius wilayah tertentu. [18] RYF dapat dirumuskan sebagai berikut : RYF (kg/fl) = RR / FRD x 1 7 RR adalah rainfall rate atau tingkat curah hujan (mm/yr), dan FRD adalah total lightning flash rate density atau densitas sambaran petir (fl/km 2 yr). 2

2.2 Analisis Regresi Dalam analisis regresi, digunakan terlebih dahulu uji normalitas yang bertujuan untuk menyelidiki bahwa data yang didapatkan terdistribusi normal atau tidak, dan selanjutnya hasil dari uji ini di pakai untuk memenuhi persyaratan uji korelasi. Pada penilitian ini uji normalitas dilakukan dengan cara Kolmogorov- Smirnov (untuk sampel lebih dari 5) dan Shapiro- Wilk (untuk sampel kurang dari 5). Pengujian dilakukan dengan menggunakan software statistik berdasarkan pada uji Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk. Dengan normalitas dipenuhi jika hasil uji signifikan untuk suatu taraf signifikansi (α) tertentu α>,5. Selanjutnya uji korelasi data yang merupakan teknik menganalisa hubungan yang bertujuan untuk mengukur kekuatan hubungan antar dua variable atau lebih dengan skala-skala tertentu. Teknik pengukuran korelasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik korelasi pearson (data harus terdistribusi normal) dan korelasi spearman (salah satu data atau keduanya tidak terdistribusi normal). Dalam uji korelasi, kedua variabel memiliki hubungan jika nilai taraf signifikansi (α) kurang dari,5. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Curah Hujan di Bogor Dari hasil pengolahan data curah hujan harian pada tahun 29, total kejadian curah hujan pada tahun 29 di wilayah Bogor sebesar 3321,8 mm. Berdasarkan curah hujan bulanan pada tahun 29, secara umum curah hujan di Bogor memiliki tipe pola hujan monsunal (Gambar 3.1). (mm) 7. 6. 5. 4. 3. 2. 1.. Bulan Gambar 3.1 Curah hujan bulanan pada tahun 29. Pada komposit curah hujan setiap jam pada tahun 29, curah hujan tertinggi terjadi dari pukul 11.- 18. WIB, dengan curah hujan maksimum terjadi pada pukul 16. WIB sebesar 34,1 mm. Selain itu, terjadi pula peningkatan curah hujan pada pukul 7. WIB sebesar 9,2 mm dan pukul 21. WIB sebesar 12,6 mm. Ditunjukkan pada gambar 3.2 di bawah ini. Ch (mm) 4. 35. 3. 25. 2. 15. 1. 5.. Waktu Lokal(WIB) Gambar 3.2. Komposit curah hujan setiap jam pada tahun 29. 3.2. Petir Cloud-to-Ground (CG) di Bogor Berdasarkan data petir pada tahun 29, wilayah bogor memiliki jumlah sambaran petir sebesar 7836 sambaran petir Cloud-to-Ground (CG). Dengan total sambaran CG negatif sebesar 586 sambaran ( 75 %) dan CG positif sebesar 1976 sambaran (25%). Pada jumlah sambaran petir CG bulanan pada tahun 29. Maksimum sambaran petir CG terjadi pada bulan Mei sebesar 1357 sambaran dengan persentase CG total 17% (CG negatif 19%, dan CG positif 13%), dan minimum terjadi pada bulan September sebesar 5 sambaran dengan persentase petir CG total,1% (CG negatif dan CG positif sebesar,1%). Dari sebaran petir CG sepanjang tahun 29 untuk setiap jamnya terlihat dominasi petir CG negatif dibandingkan petir CG positif dengan rentang puncak CG terjadi antara 13.-17. WIB sebagaimana diperlihatkan pada gambar 3.3. Sepanjang tahun 29 terjadi 2 puncak sambaran petir, yaitu pada pukul 15. WIB dan pada pukul 17. WIB. Jumlah 14 12 1 8 6 4 2 Total CG CG - CG + 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1111213141516171819221222324 Gambar 3.3. Komposit setiap jam kejadian petir total CG sepanjang tahun 29. Pada gambar 3.3 terlihat pola yang diberikan antara petir CG negatif dan CG positif terlihat sama. Dari hasil uji korelasi menggunakan metode Spearman, didapatkan korelasi sebesar,913. Dengan korelasi yang kuat antara CG positif dan CG negatif, nantinya dalam penelitian ini CG total diasumsikan dapat menggambarkan dan mengggantikan pola yang ada pada petir CG negatif dan CG positif. 3

CG Total (% dari Total) 16 14 12 1 8 6 4 2 CG Total Akumulasi CG Gambar 3.4. Komposit setiap jam sepanjang tahun 29, kotak (garis titik-titik) merupakan fase matang pada awan. Untuk menganalisis pertumbuhan awan pada fase matang menggunakan parameter petir CG, maka dibuat grafik kumulatif harian selama 24 jam sepanjang tahun 29 sebagaimana diperlihatkan pada gambar 3.4. Terjadi peningkatan jumlah CG secara signifikan di atas pukul 13. WIB yang mengindikasikan awal fase matang (Mature) pada awan dan berlangsung hingga 4 jam (pukul 17. WIB). Lamanya fase matang sampai dengan proses terdisipasinya awan (fase lenyap) menunjukkan kuatnya konvektivitas yang terjadi [16]. Tabel 3.1. Hasil uji distribusi normal dan uji korelasi bulanan antara petir CG dan curah hujan tahun 29. Uji distribusi normal Uji korelasi Metode Kolmogorov-Smirnov Pearson Hasil,174.589 Selang Kepercayaan (α>,5) (α<,5) 3.3. Hubungan Petir CG dan Curah Hujan di Bogor 12 1 Berdasarkan pola bulanan petir CG dan curah hujan sepanjang tahun 29 kejadian petir CG maksimum terjadi pada bulan Mei, dan minimum terjadi pada bulan September. Korelasi yang diberikan dengan metode Pearson antara petir CG dan curah hujan lebih baik dibandingkan sebelumnya yaitu sebesar,589 (CG positif r=,872 dan CG negatif r=,65) (Tabel 3.1). Tabel 3.2. Kumulatif variasi harian per-periode antara petir CG dengan curah hujan padatahun 29. Parameter Harian (% dari total) Pagi Siang Sore Malam (6-12) (12-18) (18-) (-6) Curah Hujan 15,5 54,5 21,7 8,2 Petir CG 2,8 6,8 33,8 2,7 Pada pola distribusi harian (setiap jam) kejadian petir CG dan curah hujan yang ditunjukkan pada gambar 3.5. Meskipun terjadi dua puncak aktivitas petir CG, namun hanya satu sel awan yang teridentifikasi 8 6 4 2 Akumulasi CG (% dari Total) menimbulkan curahan. Kejadian petir CG dan curah hujan puncak kejadianya terjadi pada sore hari setelah terjadi insolasi maksimum atau sekitar pukul 13.- 17. WIB. Berdasarkan pembagian kategori waktu (Tabel 3.2), kejadian petir CG dan curah hujan dominan pada pukul 12.-18. WIB. % dari Total 16. 14. 12. 1. 8. 6. 4. 2.. Petir CG Gambar 3.5. Komposit setiap jam petir CG dan curah hujan sepanjang tahun 29. Proses terjadinya aktivitas petir CG ini menggambarkan tipe badai guruh termal yang terjadi sebagai akibat proses pemanasan permukaan (Konveksi). Selain itu, karena daerah wilayah Bogor bearada di wilayah pegunungan, sehingga terdapat faktor orografi yang membuat hujan semakin lebat. Untuk mendapatkan analisis pertumbuhan awan lebih lanjut dilakuan overlay kumulatif petir CG dengan curah hujan. Tabel 3.1. Hasil uji distribusi normal dan uji korelasi harian (setiap jam) antara petir CG dan curah hujan tahun 29. Uji distribusi normal Uji korelasi Metode Kolmogorov-Smirnov Pearson Hasil,.756 Selang Kepercayaan (α>,5) (α<,5) Pada gambar 3.6 fase matang terjadi pukul 13.- 16. WIB karena adanya peningkatan petir CG secara tajam, kemudian setelah itu dilanjutkan dengan fase disipasi yang ditunjukkan dengan penurunan titik balik CG. 12 1 CG 8 % (dari total) 6 4 2 Gambar 3.6. Akumulatif kejadian petir CG dan curah hujan setiap jam pada tahun 29, kotak (garis titiktitik) mengindikasikan fase matang (Mature) pada awan. 4

Lamanya fase matang sampai dengan proses terdisipasinya awan (lenyap) menunjukkan kuatnya konvektivitas yang terjadi, artinya di wilayah bogor kuatnya konvektivitas selama tahun 29 berlangsung selama 3 jam. Dari komposit harian setiap jam antara kejadian petir CG dengan curah hujan didapatkan nilai korelasi dengan metode Spearman sebesar,756 (CG positif r=,765 dan CG negatif r=,746) (Tabel 3.3). Berdasarkan komposit variasi musiman petir CG dan curah hujan selama periode bulan DJF yang merupakan periode bulan basah, puncak kejadian curah hujan terjadi pada pukul 13.-16. WIB, meskipun tidak jarang terjadi curahan sekitar pukul 7.-11. WIB. Diikuti dengan puncak kejadian CG (%dari total) 25. 2. 15. 1. 5.. CG (a) 12. 1. 8. 6. 4. 2.. (%dari total) (b) 25. CG 14. 2. 2. CG 2. 12. 15. 15. 1. 15. 8. 1. 1. 1. 6. 5. 4. 5. 5. 2..... (c) (d) Gambar 3.7. Komposit variasi musiman antara petir CG dengan curah hujan selama tahun 29, dimana (a) Bulan Desember, Januri, dan Februari (DJF), (b) Bulan Maret, April, dan Mei (MAM), (c) Bulan Juni Juli, dan Agustus (JJA), (d) Bulan September, Oktober, dan November (SON). CG (%dari total) 3. 25. (%dari total) CG (%dari total) CG (%dari total) 2. 15. 1. 5.. 25. CG 2. 15. 1. 5.. 16. (%dari total) (%dari total) petir CG petir CG yang berlangsung dari pukul 13.- 18. WIB. Berdasarkan persentase curahan hujan terbanyak selama tahun 29 terjadi pada periode bulan basah (DJF) yaitu sebesar 41.2 % dari total curah hujan dan persentase petir CG total sebesar 32,35 % (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Prosentase kejadian petir CG dan curah hujan. Parameter CG (%) Jenis Musim DJF MAM JJA SON + 1.34 7.29 2.56 5.3-22.1 3.42 5.77 16.58 Total 32.35 37.71 8.33 21.61 (%) 41.2 29.91 6.94 21.95 Periode DJF merupakan fase dimana terjadinya penguatan monsun barat yang ditandai dengan posisi matahari di selatan, yang mengakibatkan jawa berpotensi memperoleh massa udara lembab Asia [19]. Umunya hujan di pagi dan malam hari sedikit menghasilkan petir CG diakibatkan oleh adanya angin musim yang mengarah dari laut ke darat, dan angin tersebut berlawanan dengan arah angin gunung pada malam hari. Pada periode MAM yang merupakan fase melemahnya monsun Asia. Puncak curah hujan berlangsung dari pukul 14.-16. WIB, dan kejadian petir CG puncaknya terjadi dari pukul 16.- 17. WIB. Proses elektrifikasi tertinggi CG terjadi pada periode MAM dengan presentase CG sebesar 37,71% serta presentase curah hujan = 29,9%. Tingginya elektrifikasi petir CG diakibatkan oleh proses pemaksaan masa udara dengan kejenuhan masa udara yang lebih, yang dipengaruhi oleh efek topografi di wilayah Bogor. Pada periode bulan JJA yang merupakan periode menguatnya monsun timur atau yang biasa sering disebut periode bulan kering, merupakan kondisi terlemah frekuensi kejadian petir CG maupun curah hujan dengan persentase petir CG total sebesar 8,33 % dan persentase curah hujan sebesar 6,94 % dari total curah hujan pada tahun 29. Curah hujan yang terjadi 5

dihasilkan oleh udara lembab yang berasal dari laut Jawa dan konvektivitas didaratan (lembah) ke arah pegunungan. Namun karena suplai massa udara yang minim, sehingga tidak ada aliran massa udara lembab ke atas akibat fluks radiasi yang minim. Pada periode SON yang merupakan fase transisi menuju monsun barat dengan labilitas yang cukup kuat sehingga memungkinkan awan berada pada fase matang dengan kuatnya konvektivitas yang lebih lama dari periode sebelumnya. Pada periode ini, kuatnya konvektivitas berlangsung selama 3 jam dari pukul 12.-15. WIB. Puncak kejadian petir CG terjadi pada pukul 15. WIB, sedangkan untuk curah hujan terjadi dari pukul 12.-16. WIB. 3.4. Hubungan Aktivitas Petir CG dengan Curah Hujan pada Radius 1 km dari titik stasiun Pengamatan Curah Hujan Dari hasil pengolahan data, selama tahun 29 sambaran petir CG total terjadi sebanyak 267 sambaran, dengan sambaran CG negatif sebesar 1854 (71%) dan sambaran CG positif sebesar 753 (29%). Selanjutnya, berdasarkan pola bulanan petir CG dan curah hujan sepanjang tahun 29 kejadian petir CG maksimum terjadi pada bulan Mei, dan minimum terjadi pada bulan September. Korelasi yang diberikan dengan metode Pearson antara petir CG dan curah hujan lebih baik dibandingkan sebelumnya yaitu sebesar,715 (CG positif r=,927 dan CG negatif r=,58). Dari komposit harian setiap jam antara kejadian petir CG dengan curah hujan didapatkan nilai korelasi dengan metode Spearman sebesar,881(cg positif r=,858 dan CG negatif r=,88). Kejadian petir CG berlangsung selama maksimum pada pukul 13.- 16. WIB dengan kuatnya konvektivitas pada awan selama 3 jam (Gambar 3.8). 25 % dari total 2 15 1 5 Petir CG Gambar 3.8. Komposit setiap jam petir CG dan curah hujan sepanjang tahun 29 dalam radius 1 km dari titik stasiun curah hujan, kotak (garis titiktitik) menunjukkan kuatnya konvektivitas di awan pada tahap matang. 3.5. Analisis Rain-Yield per Flash (RYF) Berdasarkan perhitungan Rain-Yield per Flash (RYF), didapatkan nilai dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 5,9x1 9 kg/fl untuk radius 1 km dari titik stasiun pengamatan curah hujan. Menurut [2], nilai RYF dapat mengidikasikan sebuah area, misalkan, untuk nilai RYF sebesar ~1 8 kg/fl untuk wilayah Amerika Serikat yang berupa daratan yang luas (continental). Untuk nilai RYF sebesar ~1 9 kg/fl untuk wilayah rezim curah hujan di kepulauan samudera (island ocean). Dan untuk nilai RYF sebesar ~1 1 kg/fl untuk rezim wilayah tropis samudera (island tropical). Dari hasil perhitungan, nilai RYF pada penelitian ini, wilayah Bogor menunjukkan wilayah rezim curah hujan di kepulauan samudera, dan mendekati untuk wilayah rezim tropis samudera. Hujan konvektif dan aktivitas petir CG merupakan dua efek yang terkait dalam kejadian badai. Aktivitas CG sendiri tidap dapat secara langsung membedakan hujan antara konvektif dan statiform. Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba untuk membandingkan kejadian hujan secara konvektif dan statiform dari hubungan antara aktivitas petir CG dengan curah hujan dengan mengambil contoh aktivitas yang menggambarkan hujan konvektif dan statiform selama tahun 29. Dari nilai rain-yield per flash (RYF), didapatkan nilai RYF untuk hujan konvektif sebesar 6,33x1 9 kg/fl sedangkan untuk hujan statiform nilai RYF sebesar 4,42x1 9 kg/fl. 2 % dari total % dari total 15 1 5 5 4 3 2 1 (a) (b) Gambar 3.9. (a) Menunjukkan hujan konvketif yang dilihat dari pola curah hujan harian terjadi setelah proses konvektif, (b) Menunjukkan hujan statiform yang dilihat dari pola curah hujan yang merata selama sehari. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan curah hujan petir CG curah hujan Petir CG Dari hasil pengolahan data curah hujan bulanan pada tahun 29, kejadian curah hujan di Bogor 6

terdapat pengaruh dari monsun. Pada komposit curah hujan harian (setiap jam), curah hujan terakumulasi terjadi dari pukul 11.-18. WIB, dengan curah hujan maksimum terjadi pada pukul 16. WIB. Ini mengindikasikan hujan yang terjadi di Bogor merupakan hujan konvektif. Kejadian Petir Cloud-to-Gorund (CG) selama tahun 29 sebanyak 7836 sambaran, dan dominan oleh petir CG negatif dengan persentase sebesar 75% dan CG positif 25 %. Dari distribusi sambaran secara spasial, wilayah Bogor bagian selatan memiliki konsentrasi terbanyak dibandingkan wilayah lainnya. Dari aktivitas petir CG harian (setiap jam) terjadi dari pukul 13.-16. WIB. Pola ini sesuai dengan pola curah hujan pada setiap jamnya. Hubungan antara aktivitas petir CG dengan dengan pola kumulatif harian selama tahun 29 di wilayah Bogor, memiliki korelasi sebesar r=,756 (CG negatif r=,746, dan CG positif r=,765). Apabila dikerucutkan hasilnya lebih baik dalam radius 1 km dari titik stasiun pengamatan curah hujan didapatkan sebesar r=,881(curah hujan dengan CG positif r=,858 dan dengan CG negatif r=,88). Nilai Rain-Yield per Flash (RYF) dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 5.9x1 9 kg/fl untuk radius 1 km dari titik stasiun pengamatan curah hujan. Dan nilai RYF untuk hujan konvektif sebesar 6,33x1 9 kg/fl lebih tinggi dibandingkan untuk hujan statiform nilai RYF sebesar 4,22x1 9 kg/fl. Dari hubungan antara aktivitas petir CG dengan curah hujan, petir CG yang terjadi di Bogor merupakan petir yang diakibatkan oleh hujan konvektif dengan kuatnya konvektivitas berlangsung selama 3 jam. 4.2. Saran Dalam menganalisis kejadian petir CG dengan curah hujan, perlu dimasukkan data curah hujan lebih dari satu titik (minimal 3 titik curah hujan), sehingga nantinya dapat dibuat peta isohyet yang kemudian dapat dilihat hubungan sebaran petir dengan sebaran hujan secara spasial. Dan juga perlu dilakukan verifikasi sebaran petir yang terjadi dengan pencitraan awan, sehingga nantinya dapat dianalisa hubungan pertumbuhan awan dengan kejadian petir CG. REFERENSI [1] Tjasyono, B. (26). Meteorologi Indonesia I. Jakarta : Badan Meteorologi dan Geofisika. [2] Rust, W. (1986). Positif Cloud-to-Ground Lightning. Washington DC: National Academy Press, The Earth's Eletrical Environment page. 41. [3] Zoro. (29). Induksi dan Konduksi Gelombang Elektromanetik Akibat Sambaran Petir pada Jaringan Tegangn Rendah. Bandung: Makara Teknologi. [4] Uman. (1987). The Lightning Discharge. Mineola, New York: Dover Publications, inc. [5] Poelman, D. R. (21). On The Science of Lightning : An Overview. Belgium: Royal Meteorological Institute of Belgium. [6] Zajac, B., J, F. Weaver., D, E. Bikos., & D, T. Lindsey. (22). Lightning Meteorology II: An Advanced Course on Forecasting with Lightning Data. Preprint, 21st Conf. on Severe Local Storms, Amer. Meteor. Soc., San Antonio, TX, 438-441. [7] Viemeister. (1972). The Lightning Book. Cambridge: MA : MIT Press. [8] Tjasyono, B. (28). Mikrofisika Awan dan Hujan. Jakarta: Penerbit Badan Meteorologi dan Geofisika. [9] Septiadi, D., Tjasyono, B., & Hadi, S. (21). The Simulation of Weather Early Warning System Using Lightning Data in Anticipating of Extreme Weather Event in Bandung. In Proceedings of 5th Kentingan Physics and its Applications, Environmentally Friendly Technology and Disaster,, PP. 235-238. [1] Zoro, R. (2). Analisis Karakteristik Petir dan Cuaca di Wilayah di Daerah Tropis. Jurnal Teknik Tegangan Tinggi Indonesia, Vol. 2, No. 1. Bandung: Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung. [11] Michaelides, S. (21). Relationships between lightning and rainfall intensities during rainy events in Cyprus. Nicosia, Cyprus: Copernicus Publications on behalf of the European Geosciences Union. [12] Soula, S. (1998). The CG lightning activity of storm causing a flashflood,. Geophysic, Res. Lett., 25, 1181 1184. [13] Labrada, C. R. (1999). Lightning / Precipitation Relationships on a Global Basis. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology. [14] Pandiangan, L. N. (21). Analisis Pemetaan Sambaran Petir Akibat Bangunan BTS Terhadap Lingkungan Dan Sekitarnya Di Kota Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara. [15] Hafsari, A. (2). Distribusi Spasial dan Temporal Hujan Asam di Bogor dan Sekitarnya. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [16] Septiadi, D., & Tjasyono, B. (211). Variabilitas Musiman Cloud Ground Lightning dan Kaitannya dengan Pola Hujan di Wilayah Jawa (Studi Kasus Bandung dan Semarang). Bandung: Jurnal Bumi Lestari. [17] Boonstra, R. (28). Validation of SAFIR/FLITS Lightning detection system with railway-damage reports. De Bilt: Wageningen University and Research Centre, Department Meteorology and Air Quality. [18] Takayabu, Y. N. (26). Rain-Yield per Flash Calculated from TRMM PR and LIS data and its Relationship to the Contribution of Tall Convective Rain. Geophysical Research Letters, Vol 33, L 1875 [19] Rusnadi, I., & Wilson, S. (28). Pengaruh Aktivitas Matahari pada Curah Hujan di Atas Indonesia : Variasi Siklus ke Siklus. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, Vol. 3 No.1. [2] Peterson, W., & S.A, Rutledge. (1998). On the Relationship Between Cloud-to-Ground Lightning and Convective Rainfall. J.Geophys. Res, 13, 14 25-14 4. 7