POLICY PAPER No 04/2014

dokumen-dokumen yang mirip
Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. (local wisdom). Kearifan lokal (local wisdom) dipahami sebagai gagasangagasan

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 268/KPTS/DIR/2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT PLUS (PHBM PLUS)

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

Kemitraan Kehutanan di Jawa Barat-Banten

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 436/KPTS/DIR/2011 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5%

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan

KEPUTUSAN DIREKSI PT PERHUTANI (PERSERO) NOMOR: 001/KPTS/DIR/2002 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU DIREKSI PT PERHUTANI (PERSERO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

KESIMPULAN DAN SARAN

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. keputusan (SK) perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan dan berdampak pula pada

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

Penyuluh Kehutanan Swasta, Potensi Yang Perlu Digali Guna Pemberdayaan Masyarakat

V. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB III PRAKTIK ALIH FUNGSI HUTAN LINDUNG DI GUNUNG WAYANG KECAMATAN KERTASARI

KEPUTUSAN DEWAN PENGAWAS PERUM PERHUTANI (Selaku Pengurus Perusahaan) NOMOR : 136/KPTS/DIR/2001 PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

PEDOMAN PENGUMPULAN DATA (WAWANCARA) Pertanyaan untuk Perum Perhutani KPH Kedu Utara di RPH Temanggal

Oleh: Dejehave Al Jannah ABSTRAK

1 BAB I. PENDAHULUAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV PENUTUP. Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

DAMPAK EKONOMI IMPLEMENTASI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) PADA PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena hutan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten sesuai dengan SK 345/KPTS/DIR/2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia menunjukkan nilai rata-rata 33,37 1 pada skala 1 sampai dengan 100.

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

PIAGAM KOMITE AUDIT (AUDIT COMMITTEE CHARTER) PT SUMBERDAYA SEWATAMA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM KEHUTANAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN

BAB III PROFIL PERUSAHAAN

Pengelolaan. Pembangunan Desa Edisi Desember Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2011 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Konflik yang terjadi di kawasan hutan sering kali terjadi akibat adanya

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja

GUBERNUR JAWA TENGAH

Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD, dan Observasi Kajian Pengembangan Masyarakat).

Pengelolaan. Pembangunan Desa. Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III Tahapan Pendampingan KTH

Keywords: co-management, community empowerment, sharing of wood production

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG

METODE PENELITIAN. Lokasi, populasi dan Sampel Penelitian. Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. KPH Bandung Selatan

BUPATI LOMBOK TENGAH RANCANGAN PERATURAN BUPATI LOMBOK TENGAH NOMOR... TENTANG

Perhutani. Tonny Soehartono

Keynote Speech. Nurhaida Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masyarakat Sekitar Hutan Yang Terpinggirkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kesimpulan dari hasil penelitian berikut dengan beberapa rekomendasi yang

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI P E N U T U P

STANDAR KERJASAMA SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013

Transkripsi:

POLICY PAPER No 04/2014 Kaburnya Kemitraan PHBM dan Harapan Kejelasan ke Depan oleh Permenhut P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan PHBM Oleh : Totok Dwi Diantoro Agus Budi Purwanto Ronald M Ferdaus Edi Suprapto

POLICY PAPER No 04/2014 Kaburnya Kemitraan PHBM dan Harapan Kejelasan ke Depan oleh Permenhut P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan Oleh : Totok Dwi Diantoro Agus Budi Purwanto Ronald M Ferdaus Edi Suprapto

Kaburnya Kemitraan PHBM dan Harapan Kejelasan ke Depan oleh Permenhut P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan Oleh : Totok Dwi Diantoro, Agus Budi Purwanto, Ronald M Ferdaus, Edi Suprapto 1. Pengantar Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dan/atau oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. 1 PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan terutama sosial secara proporsional. Serta sebagai bentuk koreksi dari peran dan tanggungjawab Perum Perhutani sebagai satusatunya pemegang hak kelola kawasan hutan negara di Jawa untuk lebih nyata melibatkan masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan melalui pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kemitraan. Hadirnya PHBM, bagi banyak pihak diyakini merupakan momentum yang penting untuk melakukan perubahan dalam tata kelola hutan Jawa. Setidaknya karena di dalam disain PHBM tersebut ada pengakuan mengenai eksistensi masyarakat desa hutan (MDH) sebagai pelaku utama dalam posisi sebagai mitra yang setara dalam pengelolaan hutan. 1 Pasal 1 butir 2 SK Dewan Pengawas No. 136/KPTS/DIR/2001 Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 1

Berikutnya, ruang partisipasi MDH dalam proses kebijakan dan tata kelola ekonomi hutan sebagai konsekuensinya seharusnya juga semakin terbuka. Juga tidak kalah penting adalah keberadaan pemerintah daerah yang diposisikan sebagai mitra dalam rangka pemberdayaan masyarakat dengan secara sinergis terlibat aktif dalam tata kelola kolaboratif MDH dengan Perum Perhutani tersebut, sebagaimana ditekankan kebijakan internal Perum Perhutani yang setidak-tidaknya masih berlaku. PHBM itu sendiri merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari program perhutanan sosial yang ditandai ketika keluar Surat Keputusan Direksi No. 1061/KPTS/DIR/2000 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, sebelum kemudian digantikan oleh S u r a t K e p u t u s a n D e w a n P e n g a w a s N o. 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat yang ditambah oleh Surat Keputusan Direksi No. 001/KPTS/DIR/2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Terlepas dari bias kepentingan Perhutani sendiri bahwa program PHBM dilaksanakan guna mendukung partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat dalam mencegah kegiatan penebangan liar dan perambahan hutan yang terjadi terutama selama era reformasi tahun 1998, namun demikian sebagai sebuah peluang memperluas makna peran MDH untuk dapat mengakses sumberdaya hutan di kawasan hutan negara di wilayah kekuasaan Perhutani adalah juga harapan. Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 2

2. PHBM: Kemitraan Tanpa Mengkolaborasikan PHBM dimaknai sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan MDH, atau Perhutani dan MDH dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan 2 dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Kemudian sejak adanya formulasi visi-misi Perhutani pada tahun 2006, definisi PHBM 'berubah' menjadi suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perhutani dan MDH atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat SDH yang optimal dan upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif. Bahkan melalui kesadaran internal perusahaan, Perum Perhutani pada era ini menyadari kebutuhan untuk bertransformasi menjadi otoritas pengampu hutan Jawa yang tidak lagi birokratis, sentralistik, dan kaku. Sebaliknya, atas dasar semangat kesadaran sosial (social responsibility) memandang dirinya harus lebih fleksibel, akomodatif, dan diterima oleh masyarakat sebagaimana 3 layaknya karakter sebagai fasilitator. Akomodatif yaitu berkaitan dengan dibukanya ruang partisipasi secara luas dari MDH sehingga PHBM memungkinkan menjadi aspiratif menyesuaikan kepentingan masyarakat atas dasar konsensus yang setara. Dan fleksibel karena PHBM didisain melalui perencanaan dan operasionalisasi sesuai dengan dinamika sosial dan karakteristik wilayah setempat. 2 Ibid 3 Pasal 6 SK Direktur Utama Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007 Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 3

Pada aras tata kelola (governance), PHBM memberikan penegasan peran signifikan multipihak dalam kerangka pengelolaan sumberdaya hutan. Aktor tersebut adalah MDH dan pemangku kepentingan lainnya dalam posisi sebagai mitra yang sejajar dalam hak dan kedudukannya dengan Perhutani di dalam kerangka skema PHBM. Oleh karena tata kelola yang menempatkan para aktor (pelaku) dalam bingkai kemitraan, maka ini tentu akan membawa pada mekanisme yang juga lebih dialogis ketimbang preferensi kepentingan sepihak Perum Perhutani dalam pengelolaan SDH. Dengan demikian pendekatan konsultatif tentunya harus menjadi metode yang akan digunakan dalam diskusi hak, kewenangan, tanggungjawab dan kewajiban para pihak. Namun demikian, dari berbagai hasil kajian evaluatif atas pelaksanaan PHBM tersebut di atas, pada umumnya realita pelaksanaan PHBM masih jauh dari harapan. Hasil studi ARuPA (2012) di beberapa KPH di Jawa Tengah, Muklas Ansori dkk (2009) pada KPH Bogor, adalah beberapa diantaranya yang mengafirmasi temuan tersebut. Dari bingkai kemitraan, setidaknya kedudukan para pihak yang seharusnya setara tidak tergambarkan di dalam prakteknya. Masih terdapat ketidakseimbangan kedudukan antara MDH dengan Perum Perhutani. Pihak Perum Perhutani masih mendominasi karena merasa paling berhak dan paling bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan di kawasannya. Mandor sebagai petugas Perum Perhutani sudah terbiasa dengan pekerjaan memerintah dalam penanaman, pemeliharaan, dan penebangan, belum dapat mengubah sepenuhnya sikapnya terhadap petani yang sekarang menjadi mitra kerja. Mandor menganggap penggarap tidak paham PHBM. Sebaliknya, pengurus kelompok menganggap bahwa Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 4

mandor bekerja semaunya sendiri, sering melakukan kegiatan tanpa memberikan informasi kepada KTH atau LMDH. Kemitraan dalam PHBM terjadi dengan cenderung asimetris. Konsep perjanjian kerja sama dibuat oleh Perhutani. LMDH hanya membaca dan menyetujui konsep yang ada sehingga sangat terbuka adanya kepentingankepentingan dari Perhutani dalam draf yang disusunnya. Telaahan terhadap naskah perjanjian kerja sama menunjukkan adanya ketidaksetaraan kedudukan antara kelompok tani dan Perhutani. Adanya sanksi-sanksi yang menekan bagi petani merupakan indikasi adanya 4 hubungan asimetris. Faktor keamanan hutan juga lebih banyak dibebankan kepada petani. Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan sejak program tumpang sari sampai PHBM, sebenarnya belum mengalami perubahan filosofi yang berarti, belum menempatkan kedua pihak terkait, kehutanan dan petani pada kedudukan yang setara. 5 Kesetaraan kedudukan dalam program PHBM belum terwujud karena keputusan dalam program didominasi Perum Perhutani. Padahal, kesetaraan merupakan hal terpenting untuk dapat mewujudkan kemitraan. Prinsip kesetaraan bagi stakeholder merupakan sebuah kunci keberhasilan dalam membangun kemitraan. Prinsip dasar kemitraan adalah saling percaya, kesamaan kepentingan dan tujuan, kesamaan pandangan tentang cara-cara pencapaian tujuan, pembagian tanggungjawab yang jelas, pembagian hak yang jelas, dan pembagian ongkos dan 6 keuntungan yang adil berdasar kesepakatan bersama. 4 Muklas Ansori, dkk. 2009. Pengelolaan Hutan Kemitraan untuk Menyejahterakan Rakyat (Kasus PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor), IPB, Bogor. Hlm. 191 5 Ibid 6 Ibid Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 5

Suksesnya kemitraan secara umum ditentukan oleh prinsip keadilan, tanggung jawab, transparan, mekanisme institusi, serta adanya keuntungan ekonomi dan finansial bagi semua stakeholder yang terlibat dalam kemitraan.7 Dengan demikian, secara umum kemitraan yang diklaim oleh program PHBM pada realitanya belum bisa dikatakan sebagai pengelolaan yang berkolaborasi. Dimana para pihak yang telah terikat dalam kesepakatan bekerjasama tidak saja melebur berbagi peran, fungsi, dan tanggungjawab, namun juga membagi kepercayaan (trust) dan informasi. 3. Permenhut P. 39/Menhut-II/2013: harapan bagi kemitraan PHBM ke depan M e l a l u i S u r a t K e p u t u s a n D i r e k s i N o. 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM PLUS), program PHBM diluncurkan dengan membawa perbedaan yang dipandang cukup signifikan dibanding dengan kebijakan serupa sebelumnya. Di samping terbuka ruang partisipasi aktif MDH dalam pengelolaan hutan negara bersama Perhutani baik dari mulai perencanaan, pelaksanaan/operasionalisasi, hingga monitoring dan evaluasi, juga memberikan kesempatan kepada MDH untuk mendapatkan lahan garapan di dalam kawasan hutan negara. Lebih-lebih ketika sistem ini diklaim dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi dengan prinsip saling menguntungkan, serta berangkat atas kesadaran akan tanggung jawab sosial Perhutani. 7 Ibid Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 6

Dengan PHBM PLUS diharapkan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa akan lebih fleksibel, akomodatif, partisipatif, sehingga mampu m e m b e r i k a n ko n t r i b u s i p e n i n g k a t a n I n d e k s Pembangunan Manusia (IPM) menuju MDH mandiri dan hutan lestari. Terakhir, pengaturan mengenai PHBM dilandasi melalui berlakunya Surat Keputusan Direksi No. 682/KPTS/DIR/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Dalam Pasal 10 SK tersebut dinyatakan bahwa PHBM dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya dan berbagi yang meliputi pemanfaatan lahan dan atau ruang, pemanfaatan waktu pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial. Bahkan di dalam ketentuan tersebut pula, dinyatakan bahwa dalam setiap pengelolaan hutan disusun program yang dapat dikerjasamakan dengan MDH, antara lain: bidang perencanaan, pembinaan sumberdaya hutan, produksi, pemasaran dan industri, keamanan hutan, keuangan dan sumberdaya manusia. Sebagai sebuah model pengurusan hutan (forest governance), PHBM mengidealkan masyarakat ada pada posisi yang sejajar sebagai mitra dengan Perhutani dalam payung kerjasama PHBM. Bentuk-bentuk kerjasama antara LMDH dan Perhutani mustinya merupakan turunan kesepakatan yang dibuat bersama atas dasar kesadaran hak dan kewajiban yang setara. Namun demikian, yang terjadi dalam realitanya justru sebaliknya. Nota kesepahaman (MoU) yang selanjutnya meningkat menjadi perjanjian kerjasama lebih banyak secara sepihak ditentukan oleh perhutani sendiri. Melalui persekongkolan dengan elit LMDH memanipulasi klaim Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 7

partisipatif dan representasi, dengan mem-by pass mekanisme dan menentukan proses dengan tiba-tiba butir-butir perjanjian telah terumuskan dan dituangkan ke dalam akta notaris. Kalaulah di dalam perjalanan proses perumusan butir-butir kesepakatan di dalam perjanjian kerjasama terdapat kemungkinan LMDH untuk melakukan revisi, namun yang terjadi tidak demikian karena seringkali materi di dalam akta notaris tidak juga lantas mengakomodasi. Oleh karena itu, seberapapun bagusnya konsep yang dirumuskan oleh PHBM yang telah diinisiasi oleh Perum Perhutani, tetapi ketika hanya dikontrol sendiri oleh lembaga yang menginisiasi, maka kemitraan sejati yang diharapakan tidak akan pernah terjadi. Dengan demikian d i p e rlukan a d a nya o toritas l a i n ya n g d a p a t menyeimbangkan dominasi Perum Perhutani bahkan mungkin mengatasi sehingga kemitraan kolaboratif PHBM dapat terealisasi. Dengan hadirnya Permenhut P. 39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan pada Juli 2013 silam seharusnya menjadi instrumen yang dapat menjustifikasi hadirnya peran otoritas lain yang dapat mengontrol Perum Perhutani dalam PHBM. Di dalam Permenhut tersebut disebutkan bahwa pengelola hutan (Perum Perhutani) b e r ke wa j i b a n u n t u k m e nya m p a i k a n l a p o ra n perkembangan pelaksanaan kemitraan (PHBM) kepada Dinas Kehutanan Kabupaten secara periodik 6 bulan sekali, yang mana secara hirarkhis akan dilakukan bertahap ke tas hingga ke level Menteri. 8 8 Pasal 14 P. 39/Menhut-II/2013 Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 8

Hal tersebut dituangkan oleh Permenhut sebagai sistem pembinaan dan pengendalian yang dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya kemitraan kehutanan yang efektif. Di mana dalam salah satu ketentuannya disebutkan bahwa bentuk pembinaan antara lain berupa arahan dan/atau supervisi. 9 Sedangkan pengendalian berupa monitoring dan evaluasi. 10 Bahkan juga dinyatakan bahwa proses evaluasi kemitraan kehutanan dapat melibatkan pihak-pihak independen, seperti LSM dan perguruan tinggi. Dengan hadirnya regulasi Permenhut, kini tanggungjawab moral untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat di sekitar kawasan juga ditekankan ada pada pundak pemerintah daerah. Terlebih ketika pada saat yang sama sesungguhnya secara blessing in disguise Perum Perhutani juga telah membuka peluang bagi hadirnya pemerintah daerah untuk turut terlibat dalam PHBM yaitu dengan menyatakan bahwa visi dan misinya diantaranya mendukung dan berperanserta dalam pembangunan wilayah. Bahkan sejak jauh hari (tahun 2007) program PHBM diintroduksi sebagai salah satu bentuk tanggungjawab sosial dalam rangka berkontribusi untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia. Dengan kewajiban bagi Perum Perhutani yang harus menyesuaikan program PHBM dengan ketentuan yang da di dalam Permenhut P.39/Menhut-II/2014, dengan demikian bola panas tanggungjawab mewujudkan kemitraan yang sesungguhnya selanjutnya ada pada pemerintah daerah melalui intrvensi yang tentunya harus berpihak kepada kepentingan masyarakat. 9 Pasal 15 ayat (3) P. 39/Menhut-II/2013 10 Pasal 15 ayat (4) P. 39/Menhut-II/2013 Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 9

4. Rekomendasi Hadirnya Permenhut P.39 tahun 2013 tentang kemitraan kehutanan kami yakini merupakan peluang bagi perbaikan pengelolaan hutan di Jawa. Skema kemitraan antara masyarakat dengan Perum Perhutani yang saat ini berjalan melalu PHBM dapat dievaluasi serta diperbaiki dengan merujuk pada Permenhut P.39 tersebut. Kami memberikan rekomendasi sebagai berikut: NO REKOMENDASI HUTAN PRODUKSI HUTAN LINDUNG Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi kemitraan PHBM di Pemerintah Pusat dan Pemeritah 1 Evaluasi hutan produksi mulai dari evaluasi SK PHBM Daerah melakukan evaluasi kinerja & Bagi Hasil maupun evaluasi praktik Perum Perhutani dalam mengelola pelaksanaan kemitraan kehutanan yang saat hutan lindung di Jawa. ini berjalan. 2 Perbaikan sistem Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah agar dapat mengelola Hutan Lindung di wilayahnya dengan Direksi Perum Perhutani mengubah merevisi Peraturan Pemerintah No kebijakan Perum Perhutani tentang 38/2007 tentang pembagian kemitraan kehutanan (PHBM) kewenangan pengelolaan hutan dengan meniadakan kata kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani. 3 Piloting implementasi Menjalankan piloting pengelolaan Menjalankan piloting implementasi hutan lindung oleh Pemerintah Permenhut P.39/2013 di Divisi Regional Perum Perhutani Jawa Barat-Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur Daerah di Divisi Regional Perum Perhutani Jawa Barat-Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 10

Referensi Pustaka Ansori, Mukhlas. dkk, Pengelolaan Hutan Kemitraan Untuk Menyejahterakan Rakyat (Kasus Phbm Di Perhutani BKPH Parung Panjang,KPH Bogor), IPB, 2009 Hanif, Hasrul dan Totok Dwi Diantoro, Transformasi Tata Kelola Hutan Jawa Menuju Pengelolaan Hutan Oleh Rakyat Pasca Implementasi PHBM (Kertas Kebijakan ARuPA), Lembaga ARuPA, 2012, tidak diterbitkan Permenhut P. 39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan SK Direktur Pengawas No. 136/DIR/KPTS/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat SK Direktur Utama No. 268/DIR/KPTS/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan PHBM Plus SK Direktur Utama No. 682/DIR/KPTS/2009 tentang Pedoman PHBM Policy Paper ARuPA - September 2014 Page 11

u AR PA Karanganyar 201 RT 10 RW 29 Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta T/F : 0274 551571 E: arupa@arupa.or.id www.arupa.or.id f : lembaga arupa t : @lembagaarupa