BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daging Daging adalah urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat sewaktu dipotong (Standar Nasional Indonesia, 1995). Demikian halnya dengan Soeparno (2005) yang mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi atau memakannya. Organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot lainnya termasuk dalam definisi daging. Lawrie (2003) menyatakan bahwa komposisi daging terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5% substansi nonprotein terlarut, dan 2,5% lemak. Substansi non protein yang larut terdiri dari karbohidrat, vitamin dan mineral dalam daging. Protein memiliki fungsi untuk memperbaiki dan membantu pertumbuhan struktur jaringan dan jaringan aktif yang ada didalam tubuh. Daging adalah daging hewan yang digunakan sebagai makanan (Lawrie, 2003). Menurut Soeparno (2005) otot merupakan komponen utama penyusun daging, otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah terhenti. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga kualitas daging yang dihasilkan. 6
Daging sapi merupakan daging yang berwarna merah dan mengandung nilai gizi tinggi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi ( edible offals) (Lukman, 2008). 2.1.1 Daging wagyu Di Jepang terdapat jenis sapi yang dikembangkan yang dapat menghasilkan daging berkualitas yakni wagyu. Wagyu berasal dari kata Wa dan Gyu. Wa berarti jepang, Gyu berarti sapi. Sapi tersebut merupakan sapi bertanduk yang berbulu hitam dan merah dimana kualitas daging paling baik dimiliki oleh wagyu berbulu hitam. Semasa hidupnya, sapi ini mendapatkan berbagai macam perlakuan yang mewah dari peternak, tak hanya makan rumput dan biji-bijian bernutrisi seperti jagung, gandum dan barley, tetapi sapi ini juga diberi vitamin A, B, E dan kalsium. Sapi ini juga diberi berbagai vitamin dan nutrisi penting yang lain agar kesehatannya maksimal. Perawatan lain yang dilakukan oleh peternak seperti pemijatan pada sapi wagyu juga dilakukan karena peternak percaya dengan dilakukan pemijatan pada wagyu akan dapat membantu dalam menyeimbangkan distribusi lemak pada pola marmer daging wagyu dan juga dapat mencegah sapi dihinggapi oleh kutu. Agar sapi memperoleh ketenangan dalam hidup, peternak juga sering memainkan musik klasik. 7
Disaat musim panas untuk mempertahankan nafsu makan dari sapi wagyu terkadang para peternak memberikan minum bir atau shake, dan pada sore harinya sapi ini dibawa jalan-jalan oleh peternaknya untuk mendapatkan matahari dan udara yang segar. Wagyu yang terkenal di Jepang yaitu Matsusaka Ushi, Kobe Beef, dan Ohmi beef. Keunikan dari ketiga jenis wagyu tersebut yaitu cara dan teknik dari pemeliharaannya yang berbeda. Matsusaka Ushi merupakan jenis wagyu yang dipelihara di sekitar kota Matsusaka di area prefektur Mie. Untuk dijadikan wagyu Matsusaka, sapi yang dapat digunakan yakni sapi yang belum pernah melahirkan. Saat berada di dalam mulut, marbling dari jenis wagyu ini langsung meleleh. Sapi-sapi ini juga diberi minum bir/shake untuk meningkatkan nafsu makan mereka dan dibesarkan dengan sangat hati-hati, terkadang sapi ini bahkan diberi pijatan. Kobe beef merupakan jenis wagyu yang dibesarkan dengan hati-hati oleh peternak di sekitar kota Kobe di area prefektur Hyogo. Sapi ini diberi makan dengan padi dan jagung pilihan serta air jernih. Daging wagyu dari sapi jenis ini terkenal dikarenakan memiliki tekstur yang halus dan rasa yang lebih manis, kemudian sapi ini juga memiliki aroma yang unik. Saat ini tidak diekspor namun terkenal di luar Jepang. Ohmi beef merupakan jenis wagyu yang dibesarkan di area prefektur Shiga. Sapi jenis ini dipelihara secara hati-hati di kelilingi alam dan air yang berlimpah. Perbedaan sapi jenis ini yakni, selain memiliki tekstur daging yang sangat halus, hanya daging ini satu-satunya yang memiliki lemak dengan viskositas. Di era Edo sebelum makan daging menjadi umum, miso yang direndam Ohmi Beef dipersembahkan kepada shogun sebagai obat. 8
Saat akan dipotong, sapi akan dikondisikan dalam keadaan relaks dan dihindarkan dari stres. Tujuannya, agar otot-otot sapi tidak keras dan tekstur daging lebih lembut. Warna daging sapi wagyu pun berbeda dengan daging sapi pada umumnya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Washington State University menemukan bahwa wagyu mengandung lemak tak jenuh dua kali lipat lebih banyak bila dibandingkan dengan daging sapi lainnya. Lemak tak jenuh ini mempunyai titik lumer yang lebih rendah daripada lemak jenuh. Marbling yang lebih berkualitas pada wagyu juga menjadi pembeda yang khas dari daging sapi lainnya. Marbling merupakan lemak yang terdapat di antara serabut otot (intramusk ular). Lemak ini berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan keutuhan daging pada waktu dipanaskan. Marbling juga berpengaruh terhadap cita rasa daging. 2.1.2 Daging sapi bali Sapi bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia dengan populasi yang cukup besar. Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi bali memperlihatkan kemampuan untuk berkembang biak dengan baik. Keunggulan sapi bali bila dibandingkan dengan sapi lain adalah memiliki daya adaptasi sangat baik terhadap lingkungan yang kurang baik (Masudana 1990), dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah (Sastradipradja 1990), mempunyai fertilitas dan conception rate (CR) yang sangat baik (Oka dan Darmadja 1996), persentase karkas yang tinggi yaitu antara 52 % sampai dengan 57,7%, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%), serta tahan 9
terhadap parasit internal maupun eksternal (Payne dan Hodges 1997). Sapi bali merupakan sapi yang diandalkan sebagai penghasil daging di Indonesia karena mempunyai presentase karkas 53-56 % dengan bagian paha depan 21-22%, paha belakang 33-37%, bagian leher, dada dan punggung 40-41% dengan perut 4% (Hafid dan Rugayah, 2010). Sapi bali sebagai salah satu bangsa sapi memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan bangsa sapi lainnya. Sebagai turunan banteng, sapi bali memiliki warna dan bentuk tubuh mirip banteng liar (Guntoro, 2002). Sapi bali berukuran sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk dan berkaki ramping. Kulitnya berwarna merah bata. Cermin hidung, kuku, dan bulu ujung ekorya berwarna hitam. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih ( white stocking). Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya yang berbentuk oval (white mirror). Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor (Batan, 2006) 2.2 Kualitas Daging Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Lawrie (2003) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering pula diperluas dengan memasukkan organorgan seperti hati dan ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging. 10
Kualitas daging adalah karaketeristik daging yang dinilai oleh konsumen. Menurut (Purbowati et al.,2006) beberapa karakteristik kualitas daging yang mempengaruhi daya terima konsumen terhadap daging yakni ph, daya ikat air, susut masak, warna dan keempukan. Dijelaskan pula bahwa faktor kualitas daging yang dimakan meliputi warna, keempukan, tekstur, flavor (cita rasa), aroma (bau), dan kesan jus daging (juiciness) (Soeparno, 2005). Disamping itu susut masak cooking lost ikut menentukan kualitas daging. Zat-zat yang terdapat dalam daging yaitu protein 19%, lemak 2,5%, air 75% dan 3,5% substansi non protein terlarut (Lawrie, 2003 ). Abustam ( 2009) menambahkan bahwa kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, ph karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging. Karakteristik fisik daging segar sangat berpengaruh terhadap daya tarik konsumen untuk membeli daging (Aberle et al., 2001). Pengujian kualitas fisik daging secara objektif dapat dilakukan dengan cara mengetahui daya putus Warner-Bratzler (WB), kekuatan tarik dan kompresi, kehilangan berat selama 11
pemasakan (susut masak), ph, daya ikat air dan keempukan juga merupakan komponen kualitas daging yang diuji (Soeparno, 2005). 2.3 Karakteristik Fisik Daging Parameter fisik kualitas daging meliputi daya ikat air oleh protein daging, ph dan susut masak. a. Daya ikat air / DIA (water holding capacity) Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai Water Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (water absorption). Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4 5% sebagai lapisan monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga adalah lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kirakira 10%. Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi. Kualitas karkas yang berhubungan dengan umur dan lemak intramuskuler mempunyai pengaruh terhadap daya ikat air (DIA) daging (Soeparno,2005). Otot yang mempunyai kandungan lemak intramuskuler tinggi cenderung mempunyai DIA 12
yang tinggi. Hubungan antara lemak intramuskuler dengan DIA adalah kompleks, lemak intramuskuler akan melonggarkan mikrostruktur daging, sehingga memberi lebih banyak kesempatan kepada protein daging untuk mengikat air (Hamm, 1964). Kemampuan daging untuk menahan air merupakan suatu sifat penting karena dengan daya ikat air yang tinggi, maka daging mempunyai kualitas yang baik (Blakely dan Bade, 1980). Menurut Soeparno (2005) nilai daya ikat air (DIA) berkisar diantara 20% 60%. b. Tingkat Keasaman (ph) Daging Nilai ph merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging, khususnya di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan (hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian (36 jam pertama setelah kematian atau post -mortem) adalah proses glikolisis anaerob atau glikolisis post-mortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai ph jaringan otot. Nilai ph otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (ph netral). Setelah hewan disembelih (mati), nilai ph dalam otot (ph daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam laktat. ph awal diukur pada awal pengukuran setelah pemotongan sampai 13
45 menit, kemudian nilai ph akhir ( ultimate ph value) adalah nilai ph terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian). Pengukuran nilai ph akhir biasanya dilakukan 24-36 jam setelah kematian pada karkas sapi selama di dalam pendingin ( chiller). Menurut Suardana dan Swacita (2009) ph normal daging adalah 5,4-5,8. Nilai ph daging post-mortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan ph (Purnomo dan Adiono, 1985). c. Susut Masak Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara serabut otot. Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasikan jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang tinggi. Susut masak adalah proses selama pemasakan daging yang mengalami pengerutan dan pengurangan berat. Susut masak juga dipengaruhi oleh ph daging, dimana kenaikan ph daging akan menurunkan susut masak daging. Sifat mekanik daging termasuk susut masak merupakan indikasi dari sifat mekanik miofibril dan jaringan ikat, dengan bertambahnya umur ternak, terutama panjang sarkomer. Pada temperatur pemasakan 80 0 C, daging yang mengalami pemendekan dingin pada ph normal 5,4-5,8 menghasilkan susut 14
masak yang lebih besar dari pada susut masak daging regang dengan panjang serabut yang sama. Produk daging olahan sebaiknya mengalami susut masak sedikit karena susut masak mempunyai hubungan erat dengan rasa/juiceness daging (Winarno, 1993). Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak. Pendapat Soeparno (2005 ), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,5 54,5% dengan kisaran 15 40%. Daging bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik bila dibandingkan dengan daging bersusut masak tinggi, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Daya ikat air/whc yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. Water Holding Capacity sangat dipengaruhi oleh nilai ph daging. Menurut Soeparno (2005 ) apabila nilai ph lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0 5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah. 15