BAB I PENDAHULUAN
Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat petani di Indonesia, bahkan bagi kelompok masyarakat tertentu, lahan dan air juga memiliki makna religius. Akan tetapi pembangunan infrastruktur dan pertambahan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan peningkatan alih guna (konversi) lahan pertanian, menjadi pemukiman dan peruntukkan lain. Dalam proses ini, lahan sawah merupakan lahan yang paling banyak mengalami konversi, terutama di sekitar pusat pembangunan perkotaan dan permukiman. Perubahan fungsi lahan tersebut bersifat irreversible, yaitu tidak dapat kembali ke kondisi semula. Perubahan tersebut secara dramatis menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Sejumlah besar (88 persen) lahan pertanian adalah lahan kering. Fakta ini menunjukkan bahwa lahan kering memiliki potensi besar sebagai pendukung utama pembangunan pertanian. Degradasi lahan secara kuantitas dan kualitas adalah masalah utama lahan kering. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mendesak lahan pertanian menjadi lahan marginal. Masalah yang dijumpai dalam upaya penataan ekosistem lahan dan air adalah perbedaan informasi dan data dalam bentuk angka dan peta. Pada umumnya lembaga yang memiliki kewenangan hanya memiliki data dan informasi yang bersifat parsial dan berbeda diantara lembaga-lembaga terkait lainnya. Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh mandat yang diemban setiap lembaga. Lembaga-lembaga tersebut memiliki kebijakan dan program pengelolaan sesuai dengan mandatnya. Akan tetapi walaupun lembaga-lembaga tersebut juga memperoleh bantuan dana nasional dan internasional dalam melaksanakan program penataan ekosistem sumber daya lahan dan air, namun secara visual kerusakan sumber daya lahan dan air terus berlanjut dan luas lahan kritis terus meningkat. Upaya mempertahankan areal dan kualitas sumber daya lahan pertanian, terutama sumber daya lahan dan air telah dan terus dilaksanakan. Upaya-upaya tersebut meliputi upaya hukum, teknologi dan pendekatan-pendekatan sosio-kultur. Degradasi lahan dan air dapat terjadi secara alami atau dipicu oleh campur tangan manusia. Sebagian kerusakan dapat diatasi dengan upaya perbaikan hara lahan seperti rekomendasi pemupukan berimbang dan peningkatan penggunaan pupuk organik. Namun demikian, upayaupaya tersebut masih menunjukkan tingkat keberhasilan rendah. Kasus rehabilitasi hutan mangrove sebagai salah satu sumber daya air dan hutan menunjukkan keberhasilan yang sangat rendah. Kesulitan upaya pemulihan hutan mangrove antara lain disebabkan oleh gangguan hama dan manusia, gangguan fisik perairan pantai dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam upaya pemulihan sumber daya.
Upaya penanggulangan kerusakan ekosistem DAS yang bersifat nasional antara lain adalah penghijauan, reboisasi dan kegiatan-kegiatan lain atau proyek yang berkaitan dengan penanggulangan lahan kritis. Sebagian program penanggulangan kerusakan sumber daya lahan dan air juga telah menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pola kemitraan antara pihak pemerintah, dunia usaha dan masyarakat lokal (Publicprivate partnership) sebagai pemangku kepentingan sumber daya tersebut. Namun di atas segala upaya tersebut, kelancaran koordinasi dan komunikasi yang berkualitas hendaknya merupakan prioritas strategi pengelolaan sumber daya lahan dan air secara terpadu. Upaya kerjasama dan penumbuhan sikap mandiri masyarakat pemangku kepentingan sumber daya lahan dan air memerlukan sikap dan tindak partisipatif semua pihak yang berkepentingan. Sistem usahatani dan pengelolaan sumber daya pertanian memerlukan upaya konsisten dan kemandirian kelembagaan masyarakat petani sebagai salah satu pemangku kepentingan utama. Petani harus memahami teknik dan strategi usahatani ramah lingkungan dan hemat air. Guna mencapai tujuan ini diperlukan insentif bagi individu atau masyarakat yang mampu menerapkan strategi dan metode pengelolaan sumber daya lahan dan air berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan secara positif mampu mendorong produktivitas lahan yang dikelolanya. Upaya pemberdayaan dan capacity building harus mampu mengubah perilaku tradisional dan berorientasi tekno-sosial ke budaya ekonomi komersial dalam bentuk usaha agribisnis dan kegiatan ekonomi lainnya. Mengintegrasikan aspek sosial dalam upaya pengelolaan dan penataan sumber daya lahan lebih ditekankan pada aspek kelembagaan organisasi dan sangat jarang melibatkan elemen-elemen budaya, adat dan norma sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat atau sistem sosial. Hal ini terlihat dalam pendekatan-pendekatan masalah pengelolaan sumber daya yang lebih menekankan aspek kuantitatif daripada aspek kualitatif sosial budaya. Teknik dan strategi pendekatan kemasyarakatan juga sangat sedikit atau belum mempertimbangkan aspek ekologi kultural secara proporsional. Dari aspek ekologi, alih fungsi sumber daya pertanian menimbulkan dampak serius terhadap keberlanjutan usahatani. Dari sisi kualitas, alih fungsi lahan juga mengubah secara drastis keragaman dan kuantitas biota yang hidup dalam ekosistem lahan pertanian, terutama di lahan sawah. Dalam konteks sosial, alih fungsi lahan mengubah pola kelembagaan dan norma sosial masyarakat petani. Perubahan fungsi lahan membutuhkan kehadiran kelembagaan pengelola yang secara struktur organisasi dan fungsi sesuai dengan kondisi sumber daya lahan yang telah mengalami perubahan. Pendekatan yang sering digunakan dalam memenuhi tuntutan tersebut adalah pendekatan satu-arah unilateral (top-down). Strategi pendekatan unilateral seperti itu sangat mempengaruhi kelenturan sosial (social resilience) masyarakat petani. Pendekatan top-down dalam upaya alih fungsi lahan dan kerusakan ekosistem pertanian yang disebabkannya, termasuk kerusakan sumber daya lahan dan air, ternyata juga mengubah, menghambat, dan bahkan mematikan nilai-nilai sosial budaya yang semula berperan dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air dalam ekosistem tertentu. 4
Berbagai upaya penataan kembali ekosistem lahan dan air harus dilakukan melalui upaya penataan ulang tata ruang ekosistem dengan mengembangkan peta wilayah kerusakan dan peta strategi penataan spesifik lokasi. Dalam hal ini diperlukan peraturan khusus pemerintah tentang pengelolaan sumber daya air secara bertanggung jawab dalam konteks wilayah pengelolaan spesifik lokasi. Penataan ruang merupakan pendekatan fundamental dalam pengelolaan sumber daya air. Penataan ruang terkait ekosistem sumber daya pertanian hendaknya menempatkan daerah aliran sungai (sebagai suatu satuan wilayah hidrologis) sebagai suatu wilayah pengelolaan terintegrasi yang mencakup tidak hanya aspek ekologi, teknis dan teknologi, sosial budaya dan ekonomi, namun juga melibatkan sistem pemerintahan dan administrasi yang berlaku. Penataan ruang hendaknya bersifat longitudinal dalam hitungan waktu panjang (lintas generasi), melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mencakup kesatuan ekosistem terkait (hulu-hilir, kuantitas dan kualitas, instream-offstream) dan berwawasan lingkungan. Secara ringkas upaya penataan kembali sumber daya lahan dan air hanya dapat dilaksanakan bila didukung oleh faktor-faktor kebijakan, ketersediaan teknologi pendukung dalam upaya pengelolaan sumber daya, ketersediaan infrastruktur fisik dan kelembagaan pendukung, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan. Penerapan strategi pengelolaan sumber daya secara terpadu dapat dimulai dengan melibatkan masyarakat dalam kelompok-kelompok kecil yang memahami tujuan dan mengetahui bahwa tujuan kegiatan tersebur dapat dicapai. Masyarakat yang dilibatkan harus memahami bahwa aspek kemerataan keberhasilan merupakan hal penting dalam menjaga kebersatuan kelompok. Pembagian keuntungan kelompok masyarakat dalam bentuk social benefit dalam kelompok kecil lebih mudah didistribusikan dan karenanya kelompok kecil lebih mampu menerapkan aspek kemerataan yang relatif tinggi. Lebih jauh lagi kegagalan tindak kolektif dalam kelompok kecil lebih mudah diantisipasi karena anggota kelompok lebih mudah dikelola dan diarahkan. Kelompok kecil juga lebih mampu menggali keuntungan selektif guna menutup kegagalan kolektif yang mungkin terjadi. 5