dokumen-dokumen yang mirip
PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

REVITALISASI KEHUTANAN

KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Mengoptimalkan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Dalam Unit Daerah Aliran Sungai 1

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG INSENTIF PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG INSENTIF PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG INSENTIF PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

PROGRAM PENGEMBANGAN KELAPA BERKELANJUTAN DI PROVINSI JAMBI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

* TUJUAN PENGELOLAAN DAS 14/06/2013. ASPEK HUKUM PENGELOLAAN DAS BERDASARKAN PP No. 37 Tahun 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 58/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu penting

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN

Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat petani di Indonesia, bahkan bagi kelompok masyarakat tertentu, lahan dan air juga memiliki makna religius. Akan tetapi pembangunan infrastruktur dan pertambahan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan peningkatan alih guna (konversi) lahan pertanian, menjadi pemukiman dan peruntukkan lain. Dalam proses ini, lahan sawah merupakan lahan yang paling banyak mengalami konversi, terutama di sekitar pusat pembangunan perkotaan dan permukiman. Perubahan fungsi lahan tersebut bersifat irreversible, yaitu tidak dapat kembali ke kondisi semula. Perubahan tersebut secara dramatis menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Sejumlah besar (88 persen) lahan pertanian adalah lahan kering. Fakta ini menunjukkan bahwa lahan kering memiliki potensi besar sebagai pendukung utama pembangunan pertanian. Degradasi lahan secara kuantitas dan kualitas adalah masalah utama lahan kering. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mendesak lahan pertanian menjadi lahan marginal. Masalah yang dijumpai dalam upaya penataan ekosistem lahan dan air adalah perbedaan informasi dan data dalam bentuk angka dan peta. Pada umumnya lembaga yang memiliki kewenangan hanya memiliki data dan informasi yang bersifat parsial dan berbeda diantara lembaga-lembaga terkait lainnya. Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh mandat yang diemban setiap lembaga. Lembaga-lembaga tersebut memiliki kebijakan dan program pengelolaan sesuai dengan mandatnya. Akan tetapi walaupun lembaga-lembaga tersebut juga memperoleh bantuan dana nasional dan internasional dalam melaksanakan program penataan ekosistem sumber daya lahan dan air, namun secara visual kerusakan sumber daya lahan dan air terus berlanjut dan luas lahan kritis terus meningkat. Upaya mempertahankan areal dan kualitas sumber daya lahan pertanian, terutama sumber daya lahan dan air telah dan terus dilaksanakan. Upaya-upaya tersebut meliputi upaya hukum, teknologi dan pendekatan-pendekatan sosio-kultur. Degradasi lahan dan air dapat terjadi secara alami atau dipicu oleh campur tangan manusia. Sebagian kerusakan dapat diatasi dengan upaya perbaikan hara lahan seperti rekomendasi pemupukan berimbang dan peningkatan penggunaan pupuk organik. Namun demikian, upayaupaya tersebut masih menunjukkan tingkat keberhasilan rendah. Kasus rehabilitasi hutan mangrove sebagai salah satu sumber daya air dan hutan menunjukkan keberhasilan yang sangat rendah. Kesulitan upaya pemulihan hutan mangrove antara lain disebabkan oleh gangguan hama dan manusia, gangguan fisik perairan pantai dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam upaya pemulihan sumber daya.

Upaya penanggulangan kerusakan ekosistem DAS yang bersifat nasional antara lain adalah penghijauan, reboisasi dan kegiatan-kegiatan lain atau proyek yang berkaitan dengan penanggulangan lahan kritis. Sebagian program penanggulangan kerusakan sumber daya lahan dan air juga telah menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pola kemitraan antara pihak pemerintah, dunia usaha dan masyarakat lokal (Publicprivate partnership) sebagai pemangku kepentingan sumber daya tersebut. Namun di atas segala upaya tersebut, kelancaran koordinasi dan komunikasi yang berkualitas hendaknya merupakan prioritas strategi pengelolaan sumber daya lahan dan air secara terpadu. Upaya kerjasama dan penumbuhan sikap mandiri masyarakat pemangku kepentingan sumber daya lahan dan air memerlukan sikap dan tindak partisipatif semua pihak yang berkepentingan. Sistem usahatani dan pengelolaan sumber daya pertanian memerlukan upaya konsisten dan kemandirian kelembagaan masyarakat petani sebagai salah satu pemangku kepentingan utama. Petani harus memahami teknik dan strategi usahatani ramah lingkungan dan hemat air. Guna mencapai tujuan ini diperlukan insentif bagi individu atau masyarakat yang mampu menerapkan strategi dan metode pengelolaan sumber daya lahan dan air berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan secara positif mampu mendorong produktivitas lahan yang dikelolanya. Upaya pemberdayaan dan capacity building harus mampu mengubah perilaku tradisional dan berorientasi tekno-sosial ke budaya ekonomi komersial dalam bentuk usaha agribisnis dan kegiatan ekonomi lainnya. Mengintegrasikan aspek sosial dalam upaya pengelolaan dan penataan sumber daya lahan lebih ditekankan pada aspek kelembagaan organisasi dan sangat jarang melibatkan elemen-elemen budaya, adat dan norma sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat atau sistem sosial. Hal ini terlihat dalam pendekatan-pendekatan masalah pengelolaan sumber daya yang lebih menekankan aspek kuantitatif daripada aspek kualitatif sosial budaya. Teknik dan strategi pendekatan kemasyarakatan juga sangat sedikit atau belum mempertimbangkan aspek ekologi kultural secara proporsional. Dari aspek ekologi, alih fungsi sumber daya pertanian menimbulkan dampak serius terhadap keberlanjutan usahatani. Dari sisi kualitas, alih fungsi lahan juga mengubah secara drastis keragaman dan kuantitas biota yang hidup dalam ekosistem lahan pertanian, terutama di lahan sawah. Dalam konteks sosial, alih fungsi lahan mengubah pola kelembagaan dan norma sosial masyarakat petani. Perubahan fungsi lahan membutuhkan kehadiran kelembagaan pengelola yang secara struktur organisasi dan fungsi sesuai dengan kondisi sumber daya lahan yang telah mengalami perubahan. Pendekatan yang sering digunakan dalam memenuhi tuntutan tersebut adalah pendekatan satu-arah unilateral (top-down). Strategi pendekatan unilateral seperti itu sangat mempengaruhi kelenturan sosial (social resilience) masyarakat petani. Pendekatan top-down dalam upaya alih fungsi lahan dan kerusakan ekosistem pertanian yang disebabkannya, termasuk kerusakan sumber daya lahan dan air, ternyata juga mengubah, menghambat, dan bahkan mematikan nilai-nilai sosial budaya yang semula berperan dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air dalam ekosistem tertentu. 4

Berbagai upaya penataan kembali ekosistem lahan dan air harus dilakukan melalui upaya penataan ulang tata ruang ekosistem dengan mengembangkan peta wilayah kerusakan dan peta strategi penataan spesifik lokasi. Dalam hal ini diperlukan peraturan khusus pemerintah tentang pengelolaan sumber daya air secara bertanggung jawab dalam konteks wilayah pengelolaan spesifik lokasi. Penataan ruang merupakan pendekatan fundamental dalam pengelolaan sumber daya air. Penataan ruang terkait ekosistem sumber daya pertanian hendaknya menempatkan daerah aliran sungai (sebagai suatu satuan wilayah hidrologis) sebagai suatu wilayah pengelolaan terintegrasi yang mencakup tidak hanya aspek ekologi, teknis dan teknologi, sosial budaya dan ekonomi, namun juga melibatkan sistem pemerintahan dan administrasi yang berlaku. Penataan ruang hendaknya bersifat longitudinal dalam hitungan waktu panjang (lintas generasi), melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mencakup kesatuan ekosistem terkait (hulu-hilir, kuantitas dan kualitas, instream-offstream) dan berwawasan lingkungan. Secara ringkas upaya penataan kembali sumber daya lahan dan air hanya dapat dilaksanakan bila didukung oleh faktor-faktor kebijakan, ketersediaan teknologi pendukung dalam upaya pengelolaan sumber daya, ketersediaan infrastruktur fisik dan kelembagaan pendukung, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan. Penerapan strategi pengelolaan sumber daya secara terpadu dapat dimulai dengan melibatkan masyarakat dalam kelompok-kelompok kecil yang memahami tujuan dan mengetahui bahwa tujuan kegiatan tersebur dapat dicapai. Masyarakat yang dilibatkan harus memahami bahwa aspek kemerataan keberhasilan merupakan hal penting dalam menjaga kebersatuan kelompok. Pembagian keuntungan kelompok masyarakat dalam bentuk social benefit dalam kelompok kecil lebih mudah didistribusikan dan karenanya kelompok kecil lebih mampu menerapkan aspek kemerataan yang relatif tinggi. Lebih jauh lagi kegagalan tindak kolektif dalam kelompok kecil lebih mudah diantisipasi karena anggota kelompok lebih mudah dikelola dan diarahkan. Kelompok kecil juga lebih mampu menggali keuntungan selektif guna menutup kegagalan kolektif yang mungkin terjadi. 5