BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemalsuan data laboratorium dan tindak kecurangan. Menurut Mujahidah (2012 :4)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Menyontek. tidak sah dan mengaku jawaban itu dari diri sendiri, menggunakan catatan

Prilaku Jujur Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Aat Agustini, MKM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto

BAB I PENDAHULUAN. Prilaku menyontek atau cheating adalah salah satu fenomena pendidikan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Perilaku Menyontek. Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB III METODE PENELITIAN. yang lama dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menyontek tidak dapat ditemukan secara langsung, kata menyontek dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tonggak ukur kesuksesan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual dan ilmu pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prestasi belajar mahasiswa merupakan salah satu faktor penting dalam

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar perkembangan manusia melalui

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. 1. Pendidikan nasional Indonesia memiliki tujuan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah. Dikenal karena ada yang melakukan atau hanya sebatas mengetahui perilaku

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan, Desain dan Teknik Pengumpulan Data. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kuantitatif yang dilengkapi

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK

SELF-REGULATED LEARNING SISWA YANG MENYONTEK (SURVEY PADA SISWA KELAS X DI SMA N 52 JAKARTA UTARA TAHUN AJARAN 2010/2011)

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. seorang peserta didik adalah belajar. Menurut Gagne (Hariyanto, 2010), belajar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Persiapan Proses Pelaksanaan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 8 Tabel Subjek penelitian berdasarkan kelas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan yang terus mengalami perubahan, dan bagaimana mengambil inisiatif

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tangguh baik secara fisik, mental maupun intelektual dan kepribadian. pendidikan di indonesia yaitu Madrasah Aliyah (MA).

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak, sehingga terjadi

2016 KECENDERUNGAN INTEGRITAS AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa. 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa

Penelitian tentang kejujuran pada calon guru pernah dilakukan oleh Arianto (2013) dengan judul Tingkat Kejujuran Sosial dan Akademik Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. pada kesiapannya dalam menghadapi kegiatan belajar mengajar.

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB 2 LANDASAN TEORI. Bab ini menguraikan definisi dari teori-teori yang dijadikan landasan berpikir

BLUE PRINT SKALA KEMATANGAN VOKASIONAL. Kematangan vokasional merupakan kesiapan dan kemampuan individu dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. gambaran harga diri (self esteem) remaja yang telah melakukan seks di luar nikah

BAB I PENDAHULUAN. mental sehingga menghasilkan perubahan-perubahan dalam bersikap (Ihsan,

Transkripsi:

13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Menyontek 1. Pengertian perilaku menyontek McCabe dan Trevino (dalam Carpenter, 2006:181) mendefinisikan perilaku menyontek sebagai tindakan termasuk menyalin pada tes ujian, fabrikasi bibliografi, pemalsuan data laboratorium dan tindak kecurangan. Menurut Mujahidah (2012 :4) Menyontek berasal dari kata dasar sontek yang artinya mengutip atau menjiplak. Bower (dalam Alhadza, 2004:3) mendefinisikan cheating is manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure), yang berarti menyontek adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. McCabe dan Trevino (2001:222) juga mengatakan perilaku menyontek adalah ketika seseorang menyalin jawaban dari orang lain pada waktu ujian dengan cara-cara yang tidak sah dan mengaku jawaban itu dari diri sendiri, menggunakan catatan kecil yang tidak sah, atau membantu orang lain curang pada tes atau ujian. McCabe dan Trevino (2001:223) membagi beberapa kategori yang termasuk perilaku menyontek: menyalin jawaban dari siswa lain pada saat tes atau ujian, menggunakan kertas contekan pada saat ujian, membantu orang lain untuk menyontek. Perilaku menyontek yang lain mencakup empat perilaku plagiat, fabrikasi atau memalsukan

14 daftar pustaka, merubah hasil kerja yang dilakukan oleh orang lain, menyalin beberapa kalimat dari bahan lain tanpa catatan kaki di sebuah laporan. McCabe, Trevino dan Butterfield (2001:222-223) dalam penelitian kualitatif mengidentifikasi fakto-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku menyontek termasuk tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi, tekanan orang tua, keinginan untuk berpretasi, tekanan untuk mendapatkan pekerjaan, kemalasan, kurangnya tanggungjawab, kurangnya karakter, kurangnya citra diri yang baik, kebanggaan dalam pekerjaan dilakukan dengan baik, dan kurangnya integritas pribadi. Fass (dalam Maramark, 1993:7) menyampaikan bahwa definisi yang komprehensif dari prilaku menyontek minimal mencakup beberapa daerah etika ujian, penggunaan sumber-sumber dalam makalah dan tugas, bantuan dalam menulis dan bimbingan, pengumpulan dan pelaporan data, penggunaan sumber akademik, penghargaan pekerjaan orang lain, etika komputer membantu orang lain dan mematuhi peraturan akademik. Sommers dan Sattel (dalam Hartanto, TT:3) menyatakan bahwa cheating atau mencontek terjadi karena adanya erosi perilaku, dimana seorang siswa lebih mementingkan membantu teman-teman mereka dalam mengerjakan tugas dan ujian. Dengan demikian, menyontek dapat diartikan sebagai perbuatan curang, tidak, jujur, dan tidak legal untuk mendapatkan jawaban pada saat tes untuk memperoleh nilai secara tidak sah dengan memanfaatkan informasi dari luar, (dalam Setyani, 2007:13).

15 Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku menyontek merupakan tindakan yang dilakukan seseorang secara sengaja oleh seseorang melalui cara-cara yang tidak baik dengan tujuan untuk mencapai keberhasilan akademik dan menghindari kegagalan akademik. Menyontek merupakan wujud perilaku seseorang ekspresi mental seseorang, bukan sifat bawaan individu tapi merupakan hasil belajar atau pengaruh yang di dapat dari interaksi dengan lingkungannya. Perilaku menyontek yang paling umum dilakukan oleh siswa maupun mahasiswa adalah menyalin jawaban dari teman terdekat dan melihat jawaban teman tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan. Menyontek merupakan salah satu cara pintas yang sangat populer dan hampir selalu dilakukan oleh sebagian besar siswa untuk mendapatkan nilai sebaik mungkin dengan cara singkat dan mudah. Perilaku menyontek adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur mencakup plagiarisme, pemalsuan data, menyalin ulang pekerjaan orang lain tanpa mengutip sumber dan ketidakjujuran dalam tes ujian. Adapun indikatornya terkait dalam perilaku menyontek oleh McCabe, Trevino, dan Butterfield, (dalam Uhler dan Hurn, 2011:72) sebagai berikut: a. Menyalin dari siswa lain melalui izinnya b. Menyalin dari siswa lain tanpa izinnya c. Menggunakan catatan kecil d. Membantu seseorang untuk berlaku curang dalam ujian atau tes

16 e. Menyalin materi kalimat demi kalimat dari sumber lain dan merubahnya menjadi tugas milik sendiri. f. Fabrikasi dan pemalsuan refrensi atau daftar pustaka g. Menyerahkan pekerjaan yang dilakukan orang lain h. Menyalin beberapa kalimat tanpa membericatatan kaki McCabe dan Trevino (2001:223) menyatakan beberapa perilaku yang dapat digolongkan sebagai menyontek, antara lain: a. Meniru pekerjaan siswa lain dalam tes atau ujian b. Menjiplak secara tidak sah c. Menggunakan kertas contekan dalam tes atau ujian d. Membantu orang lain dalam mengerjakan tes atau ujian e. Meminta bantuan orang lain mengerjakan tugas f. Meniru beberapa kalimat atau materi tanpa menyertakan catatan kaki. 2. Faktor faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menyontek Menurut Klausmeier (dalam Mujah idah, 2012:7) faktor faktor yang dapat mempengaruhi perilaku menyontek terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor internal 1) Takut pada kegagalan Sumber utama ketakutan terhadap kegagalan adalah ketidaksiapan menghadapi ujian tetapi yang bersangkutan tidak mau menundanya dan juga tidak mau gagal.

17 2) Malas belajar Kemalasan siswa untuk belajar menjadi salah satu penyebab terjadinya kasus menyontek. Siswa tidak menguasai materi yang akan diujikan, sehingga lebih memilih cara singkat yaitu dengan menyontek. 3) Pemahaman mengenai menyontek Siswa menyontek karena siswa tidak mengerti dan memahami alasan tidak diperbolehkannya melakukan perilaku menyontek. 4) Harga diri Klausmeier menyatakan bahwa siswa yang memiliki harga diri rendah cenderung melakukan kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan harga diri yang tinggi. 5) Perasaan tidak mampu Siswa yang merasa tidak memiliki kemampuan tetapi menuntut dirinya untuk menampilkan hasil yang baik, maka akan melakukan perilaku menyontek. b. Faktor eksternal 1) Bentuk dan tingkat kesulitan tes Bentuk tes yang sering dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya perilaku menyontek adalah tes objektif.siswa mulai berlaku curang pada tes dengan derajat kesulitan tinggi. Tes yang terlalu mudah atau terlalu sulit akan memancing munculnya kecurangan dibandingkan tes dengan tingkat kesulitan sedang.

18 2) Penekanan yang berlebihan terhadap nilai dari pada pemahaman materi Standar yang terlalu tinggi yang dianut orangtua, guru, ataupun siswa memungkinkan perilaku menyontek dilakukan. 3) Tekanan dari orang tua Tuntutan orang tua terhadap siswa untuk mendapatkan peringkat (nilai) tinggi dibandingkan dengan pemahaman materi menjadi salah satu penyebab siswa melakukan perilaku menyontek. Siswa tidak lagi mementingkan proses belajar, melainkan berusaha mendapat nilai baik dengan cara apapun termasuk menyontek. 4) Pengaruh teman sebaya Teman sebaya merupakan kelompok yang penting saat anak berada pada masa remaja, termasuk siswa SMP. Persetujuan teman sebaya untuk menyontek akan mempengaruhi siswa untuk melakukan hal yang sama. 5) Lingkungan sekolah Lingkungan sekolah yang kompetitif dan lebih terfokus pada prestasi akan menekan siswa untuk memperoleh hasil yang baik, sehingga persaingan menjadi tidak sehat dan memungkinkan dilakukannya perilaku menyontek. 6) Pengajaran yang dilakukan oleh guru Perilaku menyontek semakin meningkat ketika siswa memiliki guru yang tidak kompeten atau tidak mampu menjalankan peran dengan baik, serta memiliki perhatian yang lemah terhadap penguasaan siswa pada suatu materi.

19 Sedangkan menurut Sudjana, (dalam Tondok, Ristyadi, Kartika 2008:76) bebrapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku menyontek adalah: a. Menghindari penguat negatif dalam lingkungan sekolah b. Menghindari ketakutan terhadap kegagalan, kecemasan atau ketegangan yang dialami c. Berada pada kondisi terjepit. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor menyebab perilaku menyontek diakibatan oleh persepsi siswa yang slaah sebagai sarana yang sah, yang timbul akibat ketidaktahuan, ketidapas stian atau kebingungan pada karakteristik situasional dan lingkunngan akademik ketika siswa dihadapkan tugas-tugas sekolah. 3. Bentuk-bentuk perilaku menyontek McCabe, Anderman, dan Murdock (2007:223) mendokumentasikan sejumlah bentuk perilaku menyontek dalam kecurangan yang serius dalam konteks berbeda. Dalam sebuah tes yang serius perilaku menyontek didefinisikan sebagai seseorang yang mengaku satu atau beberapa bentuk seperti menyalin dari siswa lain pada tes atau ujian, menggunakan catatan kecil yang tidak sah tau menipu dalam tes atau ujian, atau membantu orang lain curang pada test atau ujian. Perilaku menyontek yang serius pada kerja tertulis mencakup plagiat, fabrikasi atau memalsukan daftar

20 pustaka, mengganti hasil kerja yang telah dilakukan oleh orang lain, dan menyalin beberapa kalimat dari bahan tanpa catatan kaki mereka. Menurut Maramark dkk (1993 :5) perilaku menyontek ditemukan dalam kuesioner dan survei diantaranya adalah menyalin ujian dari siswa lain, mengambil jawaban ujian untuk orang lain, membeli makalah dan merombaknya sebagai karyanya sendiri, menyalin bahan tanpa catatan kai, mengisi aitem palsu pada daftar pustaka, pura-pura sakit untuk menghindari tes, menyerahkan kertas yang sama ke kelas tanpa izin, menyalin catatan kecil sebelum ujian, meberikan jawaban siswa lain selama ujian, menyalin riview sebelumnya pada instruktur tes, menggunakan catatan atau buku selama ujian padahal dilarang, meriview ulang salinan dari skripsi atau tugas akhir, menyerahkan laporan lab palsu tanpa melakukan percobaan, mengancam seseorang ketika bekerja, bekerja sama pada pekerjaan rumah atau melakukan ujian di rumah ketika instruksi menyebutkan tugas dikerjakan secara bebas, memberi pertanyaan tes kepada siswa di kelas lain, berbagi jawaban saat ujian dengan menggunakan sistem kode, berhubungan dengan seorang instruktur tes untuk mendapatkan informasi tes, plagiat, mempelajari tes tau menggunakan kertas istilah dari file persaudaraan atau perkumpulan, terlibat dalam pemerasan, berusaha untuk mengelabui penilaian instruktur setelah ujian, menulis makalah untuk siswa lain, menyewa pengarang untuk orang lain, mengubah atau memalsukan dokumen resmi di universitas.

21 Jadi, bahwa dari banyaknya bentuk-bentuk perilaku menyontek peneliti mengambil kesimpulan bahwa bentuk dari perilaku menyontek seperti menyalin jawaban ujian dari siswa lain, penggunaan metode yang tidak jujur saat ujian, penyalin karya ilmiah atau laporan dari orang lain, melakukan kerja sama pada saat ujian, pemalsuan dokumentasi akademik seperti data-data administrasi, dan tugastugas perkuliahan, menyalin sumber informasi dari media masa seperti internet, tanpa mencantumkan sumbernya, membeli dan menggunakan jasa orang lain untuk menyelesaikan tugas sekolah. B. Harga Diri 1. Pengertian harga diri Coopersmith (dalam Burn, 1993: 69) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Rosenberg (dalam Burn, 1993: 69) harga diri mengandung suatu sikap positif atau negatif terhadap objek khusus yaitu diri. Perasaan harga diri tampaknya dengan sederhana menyatakan secara tidak langsung bahwa individu yang bersangkutan merasakan bahwa dia adalah orang yang berharga, menghargai dirinya sendiri terhadap sebagai siapa dia sekarang ini, tidak mencela tentang apa yang dia lakukan, dan tingkatan dimana dia merasa positif tentang dirinya sendiri (dalam Burn, 1993: 69-70).

22 Menurut Coopersmith (1967:5) harga diri adalah penilaian pribadi yang dilakukan individu mengenai perasaan berharga atau berarti dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Harga diri memegang peranan penting dalam proses pencarian identitas diri pada masa remaja, karena dapat membantu remaja mengenali diri sendiri, sehingga dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri dan akan memudahkan remaja dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Mahasiswi dengan harga diri rendah mempunyai rasa kurang percaya diri dan khawatir pernyataannya tidak disukai individu lain, hidup di bawah bayang-bayang kelompok sosial, serta kurang berpartisipasi dalam lingkungan sosial (Coopersmith, 1967:70). Indikasi mahasiswi yang harga dirinya tinggi akan aktif dan nyaman dengan lingkungan sosialnya. Coopersmith (dalam Mulyana dan Purnamasari, 2010:46) menyatakan bahwa sifat harga diri adalah labil dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Terdapat tiga kelompok harga diri, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Individu dengan harga diri yang tinggi menunjukkan sikap atau sifat yang lebih aktif, mandiri, kreatif, yakin akan gagasan dan pendapatnya memiliki kepribadian yang stabil, rasa percaya diri yang tinggi, lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang memiliki harga diri sedang memiliki harapan dan keberartian yang positif, meski lebih moderat, individu memandang dirinya lebih baik dari kebanyakan orang. Namun di sisi lain, ia tidak menilai dirinya sebaik penilaian orang lain yang memiliki harga diri yang lebih tinggi. Sebaliknya, remaja dengan harga diri yang rendah rasa percaya diri yang

23 rendah dan kurang berani untuk menyatakan diri masuk ke dalam suatu kelompok, ditambah lagi ia memiliki sikap pasif, pesimis, rendah diri ( inferior), pemalu dan kurang berani dalam melakukan interaksi sosial. Lerner dan Spaner (dalam Ghufron dan Risnawita, 2011:39) berpendapat bahwa harga diri adalah tingkat penilaian positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri seseorang. Harga diri merupakan evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif. Harga diri (self esteem) ialah dimensi evaluative global dari diri. Harga diri cerminan dari nilai diri atau citra diri (Santrock, 2002:356). Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa adanya. Dalam harga diri tercakup evaluasi dan penghargaan terhadap diri sendiri dan menghasilkan penilaian tinggi atau rendah terhadap dirinya sendiri. Penilaian tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri, menghargai kelebihan dan potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada, sedangkan yang dimaksud dengan penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dengan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998:358).

24 Harga diri merupakan aspek penting dalam kepribadian. Harga diri adalah salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku individu. Setiap orang pasti menginginkan harga diri yang positif terhadap dirinya. Penghargaan yang positif akan membuat seseorang yang merasakan bahwa dirinya berharga, berhasil dan berguna bagi orang lain. Meskipun dirinya memiliki kelemahan atau kekurangan baik secara fisik maupun psikis. Terpenuhinya kebutuhan harga diri akan menghasilkan sikap optimis dan percaya diri. Sebaliknya, apabila kebutuhan harga diri ini tidak terpenuhi maka akan membuat individu berperilaku negatif (Ghufron dan Risnawita, 2011:39). Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian yang dilakukan seseorang terhadap dirinya yang didasarkan pada hubungannya dengan orang lain. Harga diri merupakan hasil penilaian yang dilakukannya dan perlakuan orang lain terhadap dirinya dan menunjukan sejauh mana individu memiliki rasa percaya diri serta mampu berhasil dan berguna. Harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai, cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Bila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, maka perilakunya juga akan tinggi, sedangkan bila harga dirinya rendah, akan tercermin pada perilakunya yang negatif.

25 2. Sumber-sumber harga diri Harga diri sebagai suatu proses evaluative yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya memiliki sumber-sumber yang membentuk harga diri. Coopersmith (1967:38) mengatakan bahwa terdapat empat sumber harga diri, yaitu: a. Kekuasaan (power) Kekuasaan (power) adalah kemampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Hal ini ditandai dengan adanya penghargaan dan penerimaan dari orang lain terhadap ide-idenya dengan hak-hak individu tersebut. b. Keberartian (signifikan) Keberartian ( signifikan) yang dimaksud disini adalah penerimaan, perrhatian dan kasih sayang dari orang lain. Hal ini ditandai dengan kemarahan, ketertarikan dan disukai sebagaimana individu menyukai dirinya. c. Kebaikan (virtue) Kebaikan (virtue) adalah ketaatan adalah standar moral dan etika yang berlaku dalam lingkungan individu yang ditandai dengan kepatuhan terhadap standar moral, etika dan prinsip-prinsip agama yang berlaku dimasyarakat. d. Kemampuan (competence) Kemampuan ( competence) adalah keberhasilan memenuhi tuntutan prestasi, ditandai dengan tingkat prestasi yang tinggi sesuai dengan usianya.

26 3. Indikator harga diri Indikator perilaku individu yang memiliki harga diri menurut Coopersmith (1967:47) adalah sebagai berikut: a. Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya. Coopersmith (dalam Pamela dan Waruwu 2006: 16) menyatakan penilaian individu terhadap dirinya, penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan dan menentukan seberapa jauh individu menganggap dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga. b. Menghargai orang lain Coopersmith (dalam Pamela dan Waruwu 2006: 17) menemukan individu yang menghargai orang lain secara aktif akan mengikuti apa yang ada di lingkungannya dengan menunjukan sikap positif terhadap orang lain. c. Dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya. Coopersmith (dalam Burn, 1993:69) menyatakan bahwa individu yang dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya ialah individu yang mampu mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh individu dan biasanya ia mampu menjaga yang berkenaan dengan dirinya sendiri.

27 d. Dapat menerima kritik dengan baik Coopersmith (dalam Irawati dan Hajat, 2012:198) menyatakan bahwa individu yang dapat menerima kritikan dengan baik mampu menerima respon atau evaluasi orang lain terhadap dirinya sendiri dalam lingkungan social. e. Menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu berjalan di luar rencana. Coopersmith (dalam Pamela dan Waruwu 2006: 16) maksudnya adalah individu mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan menyukai hal-hal yang bersifat menantang sehingga walaupun ia tidak berhasil tidak akan merasa bingung. f. Berhasil atau berprestasi di bidang akademik, aktif dan dapat mengekpresikan dirinya dengan baik. Coopersmith (dalam Mulyana dan Purnamasari, 2010:46) pernyataan di atas menunjukkan bahw sikap atau sifat yang lebih aktif, mandiri, kreatif, yakin akan gagasan dan pendapatnya, rasa percaya diri yang tinggi. g. Mengetahui keterbatasan diri dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya. Coopersmith (dalam Pamela dan Waruwu 2006: 17) menyatakan indikator di atas menunjukan bahwa individu tidak takut pada kegagalan atau percaya pada persepsi dirinya sendiri bahwa diri memiliki potensi baik untuk menjadi yang lebih baik.

28 h. Memiliki nilai-nilai dan sikap demokratis serta orientasi yang realistis. Coopersmith (1967:70) maksudnya adalah individu umumnya menerima keadaan diri mereka sendiri, dan selalu berpartisipasi dalam lingkungan social, serta selalu percaya diri dalam mengungkapkan pendapat dan tidak khawatir pernyataannya tidak disukai oleh orang lain. i. Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan. Coopersmith (dalam Pamela dan Waruwu 2006: 17) menyatakan hal tersebut bahwa individu mampu melawan rasa putus asa dan tidak mudah depresi. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri Ghufron dan Risnawita (2011:63) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri, diantaranya: a. Faktor jenis kelamin Coopersmith (dalam Ghufron dan Risnawita (2011:63) yang membuktikan bahwa harga diri wanita lebih randah dari pada harga diri pria. b. Intelegensi Intelegensi sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional individu sangat erat berkaitan dengan prestasi karena pengukuran intelegensi selalu berdasarkan kemampuan akademis. Menurut Coopersmith (dalam Ghufron dan Risnawita (2011:64) individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi dari pada individu dengan harga diri yang rendah.

29 c. Kondisi fisik Coopersmith (dalam Ghufron dan Risnawita (2011:64) menemukan adanya hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik. d. Lingkungan keluarga Menurut Ghufron dan Risnawita (2011:65) Peran keluarga sangat menentukan bagi perkembangan harga diri anak. Seorang anak untuk pertamakalinya mengenal orangtua yang mendidik dan membesarkannya serta sebagai dasar untuk bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih besar. Keluarga harus menemukan suatu kondisi dasar untuk mencapai perkembangan harga diri anak yang baik. Coopersmith (dalam Ghufron dan Risnawita 2011:66) berpendapat bahwa perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan mendidik yang demokratis akan membuat anak mendapat harga diri yang tinggi. e. Lingkungan sosial Menurut Coopersmith (dalam Ghufron dan Risnawita 2011:67) ada beberapa ubahan dalam harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi, dan mekanisme pertahanan hidup. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut secara umum dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri dapat di bedakan menjadi dua kelompok,

30 yaitu faktor internal seperti jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik individu dan faktor eksternal seperti lingkungan sosial, sekolah dan keluarga. C. Kerangka berpikir Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori harga diri dari Coopersmith sedangkan untuk perilaku menyontek adalah teori McCabe dan Trevino. Siswa sebagai subjek yang menuntut ilmu di sekolah tidak akan terlepas dari aktivitas belajar dan keharusan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Sekolah memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja sehingga sekolah diharapkan dapat menciptakan lingkungan belajar yang dapat memenuhi kebutuhan remaja, serta memberi pengalaman baru yang dapat mengubah sikap atau pandangan remaja menjadi lebih positif, yaitu tumbuhnya perasaan dihargai, dimiliki, dan dianggap memiliki kemampuan. Pada Sekolah Menengah Pertama atau Sederajat siswa memasuki perkembangan hidup masa remaja. Masa remaja masih merupakan masa belajar di sekolah. Bagi seorang siswa dunianya adalah sekolah, tugas-tugasnya yang utama adalah tugas sekolah. Sekolah menjadi lingkungan pendidikan sekunder bagi remaja setelah lingkungan keluarga. Di sekolah, remaja selalu dihadapkan pada situasi penilaian keberhasilan dari guru maupun teman, baik keberhasilan dalam ujian maupun dalam melaksanakan tugas sekolah. Nilai diperoleh dari tes atau evaluasi belajar terhadap materi yang diberikan sebelumnya untuk menunjukkan sejauhmana kemajuan dan penguasaan ilmu siswa. Secara psikologis remaja butuh untuk

31 mengetahui statusnya di antara teman-temannya: apakah statusnya adalah siswa pilihan, siswa yang pandai, yang sedang, atau yang bodoh. Dengan kata lain, sekolah menjadi tempat penting bagi perkembangan harga diri. Menurut Coopersmith (dalam Burn: 1993: 69) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Pada masa sekolah remaja ingin mengembangkan sifat-sifat yang dikagumi teman sebaya (Hurlock, 1999:254), sehingga pada akhirnya prestasi akademis digunakan sebagai hal penting yang dapat meningkatkan harga diri. Selain itu, nilai akademis juga menjadi penting karena adanya tuntutan dari orang tua. Orang tua menginginkan anaknya mendapatkan prestasi akademis yang tinggi (Sarwono, 2002:85). Salah satu kriteria siswa yang berhasil adalah siswa yang memiliki kemampuan belajar yang baik dengan penuh percaya diri dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun, kenyataannya banyak siswa yang melakukan kecurangan seperti menyontek dalam setiap ulangan atau ujian, hal ini terjadi karena siswa ingin mendapatkan nilai yang tinggi tanpa harus belajar dan takut akan kegagalan. Menurut Klausmeier (dalam Mujahidah, 2012: 8) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku menyontek adalah harga diri. Menurut Klausmeier pelajar yang memiliki

32 harga diri rendah lebih sering menyontek dibandingkan dengan pelajar yang memiliki harga diri tinggi. Fenomena harga diri yang terjadi pada siswa kelas VIII MTs Al-Muttaqin berdasarkan pemaparan beberapa guru wali kelas VIII mengungkapkan bahwa ada beberapa siswa kelas VIII MTs Al-Muttaqin yang bermasalah dalam harga diri yang mana pada umumnya mereka memiliki rasa percaya diri yang rendah misalnya pada saat diminta oleh guru untuk memberikan pendapat ketika diskusi kelompok, ada beberapa siswa yang tidak bersedia memberikan pendapatnya karena takut pendapatnya ditertawakan atau tidak diterima oleh guru dan kurang berani untuk menyatakan diri masuk ke dalam suatu kelompok, ditambah lagi ia memiliki sikap pasif, pesimis, rendah diri (inferior), pemalu dan ku rang berani dalam melakukan interaksi sosial. Keterangan tersebut sama seperti yang dikemukakan oleh Coopersmith (dalam Mulyana dan Purnamasari, 2010:46),. Individu dengan harga diri yang tinggi menunjukkan sikap atau sifat yang lebih aktif, mandiri, kreatif, yakin akan gagasan dan pendapatnya, memiliki kepribadian yang stabil, rasa percaya diri yang tinggi, lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari. Uraian di atas menunjukkan bahwa harga diri pada siswa berpengaruh dalam pembentukan perilaku menyontek. Menurut Coopersmith (1967:38), orang yang memiliki harga yang tinggi ditandai dengan menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya dan

33 menghargai orang lain, dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat menerima kritik dengan baik, menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu berjalan diluar rencana, berhasil atau berprestasi dibidang akademik, aktif dan dapat mengekpresikan dirinya dengan baik, tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya, memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis, serta lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan. Siswa yang mempunyai karakteristik harga diri seperti yang di atas dapat dikatakan siswa yang memiliki harga diri tinggi.siswa yang memiliki harga diri tinggi cenderung tidak menyontek. McCabe dan trevino (2001:223), menyebutkan beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori perilaku menyontek, yaitu: Meniru pekerjaan siswa lain dalam tes atau ujian, menjiplak secara tidak sah, menggunakan kertas contekan dalam tes atau ujian, membantu orang lain dalam mengerjakan tes atau ujian, meminta bantuan orang lain mengerjakan tugas, meniru beberapa kalimat ata materi tanpa menyertakan catatan kaki. Harga diri yang positif cenderung akan membuat siswa percaya pada kemampuan dirinya dalam menghadapi ujian, sehingga tidak perlu mengandalkan orang lain atau pun sarana-sarana di luar dirinya dalam menghadapi ujian. Meskipun mengalami kegagalan, siswa dengan harga diri positif mampu mengevaluasi kesalahan-kesalahannya dan kemudian memperbaikinya. Sebaliknya siswa yang

34 memiliki harga diri rendah cenderung menyontek, selalu meniru jawaban teman pada saat tes atau ujian, menjiplak secara tidak sah. Harga diri yang negatif membuat siswa merasa pesimis dan tidak percaya pada kemampuannya, sehingga siswa lebih memilih untuk menyontek dengan mengandalkan pencapaian prestasinya pada orang lain atau pun sarana-sarana di luar dirinya meskipun hal tersebut tidak diperbolehkan. Berdasarkan uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulannya yaitu apabila siswa yang memiliki harga diri tinggi, ia menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya, berhasil atau berprestasi di bidang akademik, aktif dan dapat mengekpresikan dirinya dengan baik. Namun apabila harga diri siswa rendah maka merasa tidak percaya diri, mudah menyerah, menghindari situasi yang menimbulkan rasa cemas dan melecehkan bakatnya sendiri. Hal ini akan cenderung membuat siswa melakukan kecurangan dengan meniru pekerjaan teman bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes atau ujian. Berdasarkan pemahaman konseptual yang telah diuraikan, maka peneliti bermaksud untuk memperoleh gambaran sejauh mana hubungan antara harga diri dengan perilaku menyontek pada siswa kelas VIII MTs Al-Muttaqin Pekanbaru. Keterkaitan antara kedua variabel di atas dapat dilihat pada bagan berikut:

35 Bagan I. Hubungan antara Harga diri dengan Perilaku Menyontek Variabel yang diteliti D. Hipotesis Harga diri (X) 1.Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya. 2.Menghargai orang lain 3.Dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya. 4.Dapat menerima kritik dengan baik 5.Menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu berjalan di luar rencana. 6.Berhasil atau berprestasi di bidang akademik, aktif dan dapat mengekpresikan dirinya dengan baik. 7.Mengetahui keeterbatasan diri dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya. 8.Memiliki nilai-nilai dan sikap demokratis serta orientasi yang realistis. 9.Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan. a. Perilaku Menyontek (Y) a. Meniru pekerjaan siswa lain dalam tes atau ujian b. Menjiplak secara tidak sah c. Menggunakan kertas contekan dalam tes atau ujian d. Membantu orang lain dalam mengerjakan tes atau ujian e. Meminta bantuan orang lain mengerjakan tugas f. Meniru beberapa kalimat atau materi tanpa menyertakan catatan kaki Berdasar teori-teori yang telah diuraikan di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku menyontek pada siswa MTs Al-Muttaqin Pekanbaru. Artinya, semakin positif harga diri pada siswa, maka akan semakin rendah perilaku menyonteknya.sebaliknya, semakin negatif harga diri siswa, maka semakin tinggi perilaku menyonteknya.