BAB II KRITERIA BARANG YANG BISA DIKENAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

BAB II LANDASAN TEORI

PERTEMUAN 12 By Ely Suhayati SE MSi Ak. PPN DAN PPnBM

Perpajakan 2 PPN & PPnBM

Pengertian. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kelebihan PPN 30/04/2011

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 75/PMK.03/2010 TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang yang dapat dipaksakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

BAB II LANDASAN TEORI

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009

BAB II LANDASAN TEORI

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 550/KMK.04/2000 TENTANG

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

C. PKP Rekanan PKP Rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri ( PKLM ).

BAB 2 LANDASAN TEORI. undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

Pajak. Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

LANDASAN TEORI. dalam buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2008, h3),

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dalam hal ini peran masyarakat Indonesia,

BAB II LANDASAN TEORI. dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.

BAB II LANDASAN TEORI

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) yang langsung dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

2012, No.4 2 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pel

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

BAB 4. Pembahasan Hasil Penelitian

1 dari 4 11/07/ :43

BAB II LANDASAN TEORI. memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan untuk

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (1990:5),

BAB II TELAAH PUSTAKA. pengertian yang sama. Beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II LANDASAN TEORITIS. 1. Pengertian, Tujuan dan Manfaat Pajak Pertambahan Nilai. yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak berdasarkan undang-undang dan dari berbagai pakar pajak

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGANTAR. Dasar Hukum : UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun Presented by M.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 180/PJ./2007 TANGGAL : 28 Desember 2007

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum kita mengetahui pengertian with holding system kita harus

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TELAAH PUSTAKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN Bacalah terlebih dahulu Buku Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN

Pjk Elearning-Modul #10

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar

BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Bab 10. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. Put-4/PP/M.XIIA/99/2014. Jenis Pajak : Gugatan. Tahun Pajak : 2011

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

BAB III PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DALAM UNDANG-UDANG NO. 18 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Pembangunan nasional

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PAJAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Kementrian Keuangan (2014)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.03/2010 TENTANG

SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH PPN dan PPnBM

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH 2009

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jaya. Analisis Perhitungan..., Nurhasanah, Fakultas Ekonomi 2016

Transkripsi:

BAB II KRITERIA BARANG YANG BISA DIKENAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 2.1. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai Untuk mengetahui konsep dasar PPN (Pajak Pertambahan Nilai), pertama yang harus di mengerti adalah apa pengertian mengenai PPN (Pajak Pertambahan Nilai) itu sendiri. Dalam berbagai literatur banyak definisi yang diberikan mengenai PPN( Pajak Pertambahan Nilai). Pada dasarnya pengertian PPN ( Pajak Pertambahan Nilai), adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. 12 Atau dengan kata lain PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak penjualan atas yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada pada semua jalur produksi dan distribusi. Dan dalam bahasa Inggris PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) disebut Value Added Tax. Yang dimaksud dengan nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul di setiap jalur peredaran (jalur produksi dan distribusi) suatu barang seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba. 13 12 Deddy Sutrisno dan Indrawati, Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,Surabaya,2009, h.126 13 Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Rajawali Pers, Jakarta,2012, h.222

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ini di dasarkan atau dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu perkembangan transaksi bisnis dan pola konsumsi masyarakat yang merupakan obyek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan transaksi bisnis yang dalam tahun ke tahun perubahannya semakin dinamis, baik itu dalam hal jenis transaksi maupun pola transaksi bisnis. Atau jika dijabarkan lebih luas lagi faktor- faktor yang mendasari atau mempengaruhi pengenaan pajak pertambahan nilai adalah dipakainya faktor produksi dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen, juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, penyusutan dan upah kerja. Dalam hal transaksi bisnis yang dinamis ini memang perlu diadakan atau dilakukan pembaharuan dan penyempurnaan Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Karena jika tidak dilakukan pembaharuan dan penyempurnaan Undang- Undang PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) maka tidak ada payung hukum yang mampu mengakomodir perubahan- perubahan yang sangat dinamis tersebut. Perubahan Undang- undang PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) ini pada dasarnya bertujuan sebagai berikut: 14 1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah 14 Deddy Sutrisno dan Indrawati, Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum Universitas Airalngga,Surabaya,2009, h.127

menciptakan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai. Penyederhanaan sistem pajak pertambahan nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 3. Mengurangi biaya kepatuhan. penyederhanaan sistem pajak pertambahan nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan wajib pajak. 4. Meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela wajib pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio) 5. Tidak menggangu penerimaan PPN ( Pajak Pertambahan Nilai). Di samping tujuan- tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap dipertimbangkan 6. Mengurangi distorsi dan meningkatkan kegiatan ekonomi Untuk mengetahui definisi atau pengertian PPN (pajak Pertambahan Nilai) jangan hanya dilihat dari definisi kata perkata saja. Tetapi harus diliat juga faktorfaktor yang mendasari atau mempengaruhi pengenaan pajak pertambahan nilai.

Sehingga definisi atau pengertian mengenai PPN (Pajak pertambahan Nilai) tersebut menjadi lebih jelas dan tidak kabur pemaknaannya. Untuk mengetahui konsep dasar PPN (Pajak Pertambahan Nilai), bukan hanya diliat dari definsinya saja. Karena masih banyak yang harus diketahui tentang konsep PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) seperti kelebihan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), pemungut PPN, sifat pemungutan, prinsi pemungutan. Hal yang paling penting untuk mengetahui konsep dasar PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) adalah mengetahui keunggulan atau kelebihan- kelebihannya. Kelebihan - kelebihan PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) adalah: 15 1. Fiscal Advantage Bagi Pemerintah terdapat beberapa keuntungan jika menerpkan PPN. Pertama, karena cakupannya luas yang meliputi jalur produksi dan distribusi sehingga potensi pemajakannya juga besar. Kedua, karena sangat mudah untuk menimbulkan vallue added disetiap jalur produksi dan distribusi sehingga potensi pemajakannya semakin besar. Terakhir, dengan menggunakan sistem invoice ( faktur pajak), dengan demikian akan mudah untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak. 2. Psycological Advantages 15 Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Rajawali Pers, Jakarta,2012, h. 224

Karena pajak pada umumnya sudah dimasukkan kedalam harga jual atau harga yang dibayar oleh konsumen maka sering kali konsumen tidak menyadari bahwa dia sudah membayar pajak. 3. Economic Advantages Hal ini berdasarkan atau berlandaskan kenetralan terhadap pilihan seseorang apakah akan menyimpan terlebih dahulu ataukah langsung mengkonsumsikan penghasilan yang didapatkannya. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendahara Pemerintah, badan, atau instansi- instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk, menyetor, dan melaporkan pajak terutang dari pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak, dan penyerahan jasa kena pajak kepada pemerintah, badan atau instansi pemerintah terkait. 16 Selain itu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mempunyai sifat- sifat pemungutan yaitu: 17 1. Pajak Pertambahan Nilai ( PPN) sebagai pajak obyektif Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini didasarkan pada obyeknya saja tanpa memperhatikan keadaan dari wajib pajak 2. Pajak Pertambahan Nilai ( PPN) sebagai pajak tidak langsung 16 Deddy Sutrisno dan Indrawati, Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum Universitas Airalngga,Surabaya,2009, h.132 17 Ibid., h.132-133

Secara ekonomis beban PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) dapat dialihkan kepada pihak lain, namun dari segi yuridis tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada pada penanggung pajak 3. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multi stage tax Pemungutan Pajak pertambahan Nilai dilakukan pada setiap mata rantai jalur yang menghasilkan nilai tambah dari pabrikan, pedagang besar, sampai dengan pengecer 4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipungut dengan menggunakan faktur Sebagai bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus menerbitkan faktur pajak 5. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netralitas Sifat netralitas ini bisa terbentuk karena PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) dikenakan atas konsumsi barang atau jasa dan PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) di pungut berdasarkan prinsip tempat tujuan 6. Pajak Pertmbahan Nilai tidak menimbulkan pajak ganda 7. Pajak Pertambahan Nilai( PPN) dikenakan terhadap konsumsi dalam negeri berupa penyerahan Barang Kena Pajak atau jasa kena pajak Dari Mekanisme pemungutan PPN ( Pajak Pertambahan Nilai), terdapat 2 prinsip Pemungutan, yaitu: 18 1. Prinsip Tempat Tujuan ( destination) : PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) dipungut ditempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi 18 Ibid., h.133

2. Prinsip Tempat Asal (orign principle) : PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) dipungut ditempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi Sistem tarif PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) menganut sistem tarif tunggal yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) untuk import BKP ( Barang Kena Pajak), penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan JKP ( Jasa Kena Pajak), hal ini menurut pasal 7 ayat 1 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Peubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Namun demikian menurut pasal 7 ayat 3 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Perubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tarif tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% ( lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) Perubahan tarif tersebut didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan tertentu, seperti perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan untuk pembangunan. Menurut pasal 7 ayat 3 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Peubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi paling rendah 5% ( lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) tetapi dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

Perubahan ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan RAPBN ( Rancangan Anggaran Penerimaan Belanja Negara). Dalam pasal 7 ayat 2 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Peubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dalam hal untuk kegiatan tertentu dikenakan tarif pajak 0% ( nol persen). Kegiatan tertentu tersebut yaitu: 1. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud 2. Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dari dalam daerah pabean yang dimanfaatkan di luar daerah pabean 3. Ekspor Jasa Kena Pajak Di dalam pasal 8 a ayat 1 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Perubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Import, Nilai Ekspor, atau nilai lain. Maksud dalam pasal tersebut di atas jika diperjelas menjadi: PPN terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

Secara garis besar penjelasan Harga Jual, penggantian, nilai import, nilai ekspor dan nilai adalah sebagai berikut: 1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, dan hal ini termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP ( Barang Kena Pajak), akan tetapi tidak termasuk PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) yang dipungut menurut undang- undang dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. 2. Penggantian adalah nilai berupa uang, dalam hal ini termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang di pungut menurut Undang- Undang PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) dan potongan harga yang di cantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena pajak dan/atau oleh penerima manfaat barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean 3. Nilai Import adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kepabeanan dan cukai untuk import Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang- Undang PPN( Pajak Pertambahan Nilai)

4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh importtir 5. Nilai Lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain yang diterapkan sebagai dasar pengenaan pajak adalah sebagai berikut: 19 1. Untuk pemakaian sendiri BKP (Barang Kena Pajak) dan atau JKP (Jasa Kena Pajak) adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor 2. Untuk pemberian cuma- cuma BKP (Barang Kena Pajak) dan atau JKP (Jasa Kena Pajak) adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi harga kotor 3. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga Harga Jual rata- rata 4. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film 5. Untuk persediaan BKP (Barang Kena Pajak) yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar yang wajar 6. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan atau yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan adalah harga pasar yang wajar 19 Ibid.

7. Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari Harga Jual 8. Untuk penyerahan biro jasa perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih 9. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih 10. Untuk jasa anjak piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan diskon 11. Untuk penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan atau JKP (Jasa Kena Pajak) dari pusat ke cabang atau dari cabang ke pusat dan penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan atau JKP (Jasa Kena Pajak) antar cabang adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor 12. Untuk penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang 2.2.Rumusan Objek Pajak Objek pajak merupakan segala sesuatu yang dikenakan pajak, sedangkan subjek pajak adalah pihak- pihak (orang maupun badan) yang akan dikenakan pajak. Definisi - definisi subjek dan objek pajak ini harus dimengerti, karena hal ini sangatlah penting. Perbandingan definisi ini akan mempermudah untuk membahas lebih jauh lagi mengenai rumusan objek pajak.

Objek pajak di bedakan menjadi 2, yaitu: 1. Objek Pajak Langsung Pada dasarnya objek pajak ini masih dipengaruhi oleh keadaan wajib pajaknya.contoh Objek Pajak langsung adalah PPh ( Pajak Penghasilan), PBB ( Pajak Bumi dan Bangunan) 2. Objek Pajak Tidak Langsung Pada dasarnya objek pajak ini tidak dipengaruhi oleh keadaan wajib pajaknya. Contoh objek pajak tidak langsung adalah PPN ( Pajak Pertambahan Nilai), Bea Materai, Cukai, PPN-BM ( Pajak Penjualan Barang Mewah) Walaupun segala sesuatu dapat dijadikan objek pajak, namun pemerintah harus hati-hati dalam mengambil keputusan untuk menentukan objek pajak. Karena jika Pemerintah salah dalam pengambilan keputusan untuk menentukan objek pajak akan berdampak kepada sistem perekonomian negara, Jadi di dalam menentukan objek pajak yang harus atau yang akan dikenakan pajak, pemerintah harus melakukan penelitian yang lebih mendalam lagi.

2.3 Dasar Barang Bisa dikenakan Pajak Sebelum membahas tentang dasar barang bisa dikenakan pajak, terlebih dahulu kita mengetahui definisi barang itu sendiri. Pada dasarnya barang adalah sesuatu yang memiliki nilai, dimana nilai tersebut bisa diukur dari barang tersebut memiliki niai ekonomis atau tidak. Dan juga barang tersebut bisa diperjualbelikan yang berwujud atau berjasad. Dan menurut Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang no 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, definisi barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak, barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud. Menurut pasal 8a Undang- Undang no 42 tahun2009 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang no 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai import, nilai ekspor, dan nilai lain. Pengertian Barang yang bisa dikenakan pajak ini adalah jika diliat dari pengertian barang secara harfiah dan dari pengertian barang menurut Undang- Undang no 42 tahun 2009. Oleh karena itu tidak semua barang bisa kenakan pajak dan hanya barang berdasarkan Undang- Undang PPN yang dapat dikenai pajak

Untuk memperjelas lagi yang dimaksud barang yang bisa diklasifikasikan barang kena pajak, itu dengan melihat di dalam Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah. Karena di dalam dalam Undang-Undang no 42 tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, berisi mengenai jenis barang Kena Pajak, jenis barang yang tidak dikenai pajak, pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Dan karena itu harus diliat satu- persatu agar perumusan Dasar Barang Kena Pajak bisa lebih dimengerti dan dipahami. Yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena pajak menurut pasal 1A Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang no 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah adalah: 1. Penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian 2. Pengalihan barang kena pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/ atau perjanjian sewa guna usaha 3. Penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang 4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma- cuma atas barang kena pajak

5. Barang kena pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan 6. Penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi 7. Penyerahan barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak kepada pihak yang membutuhkan barang kena pajak Yang tidak termasuk dalam pengertian Barang Kena Pajak adalah: 1. Penyerahan barang kena pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam kitab undamg- undang dagang 2. Penyerahan barang kena pajak untuk jaminan utang piutang Dan jenis- jenis barang yang tidak dikenai PPN( Pajak Pertambahan Nilai) menurut pasal 4A ayat 2 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah adalah: 1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya 2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan orang banyak 3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung makan dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi ditempat ataupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering 4. Uang, emas batangan, dan surat berharga

2.4 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Dasar konsepsi pemungutan Pajak dirumuskan oleh Adam Smith dalam 4 (empat) asas yang lazim disebut The Four Maxims, yaitu : 20 1. Asas Persamaan (equality) yang menekankan wajib pajak yang mendapatkan keuntungan dari perlindungan negara untuk memberikan sumbangannya pada negara sebanding dengan kemampuan masing masing. Dalam asas ini negara tidak boleh mengadakan diskriminasi antara wajib pajak. 2. Asas Kepastian ( Certainty ) yang menekankan bagi wajib pajak harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah dan cara pembayaran pajak, terutama mengenai subjek dan objek pajak 3. Asas Menyenangkan ( Conveniency of Payment ) yaitu pajak seharusnya dipungut pada waktu yang tepat dan dengan cara yang menyenangkan, misal saat petani sedang panen dan memperoleh uang. 4. Asas Efesiensi ( Low Cost of Collection ) yang menekankan biaya pemungutan pajak tidak boleh melebihi dari hasil yang diterima. Selanjutnya Adof Wagner mengemukakan terpenuhinya pajak ideal, jika memenuhi asas asas sebagai berikut : 21 1. Asas Politik Finansial yang meliputi : a. Jumlah penerimaan yang cukup untuk menutupi kekurangan biaya negara b. Pajak yang bersifat dinamis, yang artinya meningkat sebanding dengan kebutuhan masyarakat. 2. Asas Ekonomis artinya pajak yang dikenakan bagi wajib pajak yang paling adil adalah Pajak pendapatan. 3. Asas Keadilan yang meliputi : a. Sifat pajak yang umum sehingga tidak boleh ada diskriminasi b. Kesamaan beban dengan memperhatikan daya pikul ( kemampuan membayar ) seseorang. 4. Asas Administrasi meliputi : a. Kepastian perpajakan b. Keluwesan dalam penagihan c. Ongkos pemungutan diusahakan sekecil kecilnya 5. Asas Yuridis atau asas hukum meliputi : a. Kejelasan Undang Undang Perpajakan 20 Bohari, Op.Cit, h.41-42 21 Ibid..h.43

b. Perumusan kata kata dalam Undang Undang tidak bermakna ganda sehingga menimbulkan intepretasi berbeda. Menurut Pasal 1 angka 27 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak kepada bendahara pemerintah, badan atau instansi pemerintah tersebut. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003 tanggal 24 Desember 2003 dan mulai berlaku 1 Januari 2005 yang Termasuk Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah : Instansi Pemerintah : a. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara; b.bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten atau Kota. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 yang dimaksud dengan : 1. Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari

Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota. 2. Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Kantor Perbendaharaan Kas Negara sebagaimana tersebut dalam Surat Perintah Membayar. Jumlah Pajak Pertamabahan Nilai atau Pajak Pertambahan Barang Mewah yang Dipungut sebagai berikut : a. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak hanya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka jumlah Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang dipungut adalah 10/110 (sepuluh per seratus sepuluh ) bagian dari jumlah pembayaran. b. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut, di samping terutang Pajak Pertambahan Nilai juga terutang Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah, maka jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang dipungut adalah sebesar 20% (dua puluh persen), maka jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebesar 10/130 (sepuluh per tiga puluh) bagian dari jumlah

pembayaran sedangkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang dipungut sebesar 20/130 (sepuluh per tiga puluh) bagian dari jumlah pembayaran. c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah tidak perlu dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) tersebut hendaknya diartikan termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah. Tata cara pemungutan dan penyetoran dilakukan sebagai berikut : a. Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan Surat Setor Pajak pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara baik untuk sebagian maupun seluruh pembayaran. b. Surat Setor Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan identitas Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan Surat Setor Pajak dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendahraan dan Kas Negara sebagai penyetor atas nama Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah. c. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak tersebut terutang Pajak

Pertambahan Nilai Barang Mewah maka Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang terutang pada Faktur Pajak. d. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3 (tiga), yaitu : - lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. - lembar ke-2 untuk arsip Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. - lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara. e. Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, Surat Setor Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangka 5 (lima). Setelah Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah disetor di Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar Surat Setor Pajak tersebut diperuntukkan sebagai berikut : - lembar ke-1 untuk Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah. - lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. - lembar ke-3 untuk Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Masa Pajak Pertambahan

Nilai. - lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos. - lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah. f. Dalam hal pemungutan oleh Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara, Surat Setor Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut : - lembar ke-1 untuk Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. - lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara. - lembar ke-3 untuk Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan masa Pajak Pertambahan Nilai. - lembar ke-4 untuk pertinggal Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara. g. Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap "Disetor tanggal..." dan ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah. h. Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana dimaksud pada huruf f oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan tanggal

advis Surat Perintah Membayar. i. Surat Setor Pajak lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap "Telah Dibukukan" oleh Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara. j. Faktur Pajak dan Surat Setor Pajak merupakan bukti pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah.