BAB III PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DALAM UNDANG-UDANG NO. 18 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG

Transkripsi

1 BAB III PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DALAM UNDANG-UDANG NO. 18 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH A. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Sejarahnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebenarnya telah lama dikenal walaupun dalam berbagai nama. Ditinjau dari sejarahnya, bermula dari pajak penjualan yang diterapkan di negara Eropa pada abad pertengahan, seperti diterapkan di Belanda, Spanyol, Jerman, Perancis dan lain-lain. Perancislah negara pertama yang mengadopsi model PPN (VAT). Dari tingkat pedagang besar, diperluas sampai pada tingkat pedagang eceran. Di negara Asia; seperti Vietnam menerapkan VAT pada tahun Korea tahun Cina tahun 1984, Turki 1985, India 1986 dan Philipina Di Indonesia sendiri, sejak tahun 1950 telah memungut pajak atas lalu lintas barang di dalam masyarakat, yaitu Pajak Peredaran (Barang) tahun Pada tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan Pajak dipertahankan terus sampai tahun 1985 untuk kemudian diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mulai diberlakukan bulan April tahun Hasilnya, ternyata pajak penjualan memberikan hasil yang signifikan bagi kas Wirawan B. Ilyas dan Waluyo, Perpajakan Idonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 25

2 26 negara. Akan tetapi, seiring perkembangan ekonomi dan teknologi, bentuk pajak itu sudah agak ketinggalan dalam masyarakat. 2 Pada mulanya, di negara-negara Eropa yang tergabung European Economic Community (EEC) bentuk pajak seperti itu sudah tidak diterapkan. Sebagai gantinya diterapkan sebuah sistem pemungutan pajak atas lalu lintas barang yang modern yang disebut Value Added Tax (VAT). Di Indonesia disebut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN merupakan pajak modern yang belum banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia. Apalagi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia mencoba berkiblat kepada Barat yang lebih maju (Anglosakson) dalam penerapan pajak tersebut. Padahal situasi serta kondisi ekonominya tidak sama dengan negara-negara maju, baik dalam hal pendidikan, kesadaran pajak, tingkat hidup maupun teknologi. Sehingga yang berhasil dan baik diterapkan di luar negeri, belum tentu cocok konteks Indonesia. Tetapi ternyata Indonesia bertekad untuk mulai menerapkan sistem yang modern. Dengan prinsip sambil jalan, mencoba menyempurnakan kekurangankekurangannya, sehingga dalam perkembangannya PPN telah mengalami beberpa revisi (perubahan Undang-undang). Sebut saja perubahan atas UU No. 8/1983 pada tahun Terakhir perubahan kedua atas UU No. 8/1983 pada tahun Rochmat Soemitro, Pejak Pertambahan Nilai, Bandung: PT. Eresco, 1990, hlm Dewan Redaksi Sinar Grafika, PPN (Pajak Pertambahan Nilai), Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 1-2.

3 27 PPN menduduki tempat yang sangat penting karena meliputi seluruh lapisan masyarakat. Hasilnya pun mempunyai peranan besar dalam APBN. Karena seluruh rakyat Indonesia terlibat dalam pemungutan PPN; dari masyarakat yang paling miskin sampai konglomerat. Setiap orang akan membeli barang kebutuhan hidupnya. Padahal semua hasil produksi itu dikenai PPN. Jumlah orang yang membayar PPN akan jauh lebih besar dari jumlah wajib pajak PPh Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atau disingkat PPN dan PPn BM juga sebagai pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean), baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa. Meskipun demikian, sesuai dengan pertimbangan keadaan ekonomi, sosial dan budaya, tidak semua jenis barang dan jasa dikenakan pajak. 5 Pajak Pertambahan Nilai dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja. Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, tanah, upah kerja, dan laba perusahaan merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Tujuannya, untuk mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara masyarakat yang 4 Soemitro, op.cit., hlm.3. 5 B. Ilyas, op.cit., hlm. 263.

4 28 berpenghasilan rendah dengan masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Begitu juga untuk mengendalikan pola konsumsi yang tidak produktif dari masyarakat. Dengan demikian, penyerahan atau atas impor barang-barang berwujud yang tergolong mewah, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Berang Mewah. Pengusaha Kena Pajak hanya diharuskan membayar kepada negara selisih antara Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak (Pajak Keluaran) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayarkan kepada penjual Barang Kena Pajak dan atau pemberi Jasa Kena Pajak. Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PPN yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak (BKP) atau penerimaan Jasa Kena Pajak (JKP) ternyata lebih besar daripada Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut, maka kelebihan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dikompensasikan. Sedangkan yang dikembalikan hanyalah kelebihan Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak pada akhir tahun buku Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. 6 6 Ibid.

5 29 B. Dasar Hukumya Dasar hukum penganaan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah: 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (2), dan pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999; 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembara Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undag Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985); 4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

6 30 Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568). 7 C. Mekanisme Pemungutan Sebelum Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikonsumsikan pada tingkat konsumen, PPN telah dipungut pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Pemungutan pada setiap tingkat ini tidak menimbulkan efek ganda (casscade effect) karena adanya umur kredit pajak. Oleh karena itu beban pajak oleh konsumen besarnya tetap sama, tidak terpengaruh oleh panjang atau pendeknya jalur produksi atau jalur distribusi. Pengenaan PPN atas nilai tambah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan Pengusaha Kena Pajak. Nilai tambah ini dimaksudkan adalah selisih harga jual dan harga pokok barang tersebut. selanjutnya berapakah besarnya pajak yang terutang atas nilai tambah. Hal tersebut dikenal tiga metode. 1. Addition Method Dengan metode ini bahwa PPN dihitung dari tarif kali seluruh penjualan nilai tambah. Pada metode ini disyaratkan bahwa setiap Pengusaha Kena Pajak harus mempunyai pembukuan tertib dan rinci atas biaya yang dikeluarkan. 2. Subtraction Method PPN yang terutang dihitung dari tarif kali selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian. 7 Dewan Redaksi Sinar Grafika, loc.cit.

7 31 3. Credit Method Metode ini hampir sama dengan metode butir 2 di atas, hanya pada credit method ini harus mencari selisih antara pajak yang dibayar saat pembelian dengan pajak yang dipungut saat penjualan. Metode ini hasilnya lebih akurat, karena dimungkinkan komponen harga beli terdapat komponen yang tidak terutang PPN. Dalam hal pengkreditannya seperti subtraction method agar menghasilkan pajak atas nilai tambah secara tidak langsung, maka juga disebut inderact subtraction method. Demikian pula penyebutan invoice method sebagai akibat dituntut alat bukti berupa faktur pajak (tax invoice). 8 D. Sifat, Tipe dan Prinsip Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mempunya beberapa sifat pemungutan: 1. PPN Sebagai Pajak Objektif Dapat diartikan bahwa pungutan PPN ini mendasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. 2. PPN Sebagai Pajak Tidak Langsung Pada sifat ini menjelaskan bahwa secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Namun dari segi yuridis tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada pada penanggung pajak (pemikul pajak). 3. Pemungutan PPN Multi Stage Tax 8 B. Ilyas, op.cit., hlm. 264.

8 32 Pemungutan PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi dari pabrikan, pedagang besar, sampai dengan pengecer. 4. PPN Dipungut dengan Menggunakan Alat Bukti Faktur Pajak Credit Method sebagai metode yang digunakan, maka konsekuensinya Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN. 5. PPN Bersifat Netral dan Tidak Menimbulkan Pajak Ganda Netralisasi ini dapat dibentuk karena adanya 2 (dua) faktor; PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa; PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan. Di samping itu tidak menimbulkan pajak ganda. 6. PPN Sebagai Pajak Atas Konsumsi dalam Negeri Dalam penyerahan Barang Kena Pajak atasu jasa Kena Pajak hanya dilakukan atas konsumsi dalam negeri. 9 Adapun tipe pemungutan atau perlakuan perolehan barang modal dapat dibagai dalam: 1. Consumtion Type Value Added Tax Pada tipe ini semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk barang modal dikurangi nilai tambahnya sehingga memberikan sifat netral PPN atas pola produksi. 2. Net Income Type Value Added Tax 9 Ibid., hlm

9 33 Pada tipe ini tidak dimungkinkan adanya pengurangan pembelian barang modal dari dasar pengenaan. Pengurangan tersebut diperkenankan hanya sebesar penyusutan yang ditentukan pada saat menghitug net income dalam rangka penghitungan PPh. Cara ini berakibat pengenaan pajak dua kali atas barang modal. 3. Gross Product Type Value Added Tax Pada tipe ini menyatakan bahwa pembelian barang modal tidak diperkeankan sama sekali untuk dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Akibatnya sama saja yaitu barang modal dikenakan pajak dua kali yaitu pada saat pembelian dan dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen. 10 Adapun prinsi-prinsip yang dipakai dalam pemungutan mencakup dua hal, yaitu: 1. Prinsip Tempat Tujuan (Destination) Pada prinsip ini bahwa PPN dipungut di tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. 2. Prinsip Tempat Asal (Origin Principle) Pada prinsip tempat asal ini diartikan bahwa PPN dipungut di tempat asal barang atau saja yang dikonsumsi Soemitro, op.cit., hlm B. Ilyas, loc.cit.

10 34 E. Objek Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pembeli atau penerima jasa sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak. Demikianlah bunyi pasal 33 UU KUP yang asli sejak 1 Januari Tanggung jawab renteng merupakan monster yang menakutkan bagi PKP. Ketika UU Nomor 6 Tahun 1983 diubah untuk yang pertama kali dengan UU Nomor 9 tahun 1994, pasal ini tidak termasuk yang diubah. Pasal ini jelas bertentangan dengan legal kareakter PPN sebagai pajak tidak langsung yang menempatkan posisi PKP Penjual atau Pengusaha Jasa terpisah dari posisi pembeli BKP atau penerima JKP. Tanggung jawab pemungutan dan pembayaran pajak ke kas negara, bukan tanggung jawab pembeli. Namun dalam praktek yang terjadi justru sebaliknya, pembeli atau penerima jasa harus bertanggung jawab atas PPN yang tidak dipungut oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa. Perlakuan seperti ini secara langsung menakar kader profesionaliseme pejabat pajak. 12 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4, dikenakan atas: 1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 2. Impor Barang Kena Pajak; 12 Untung Sukardji, Tanggung Jawab Renteng di PPN, dalam Jurnal Perpajakan Indonesia, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, Volume 1 Nomor 3, Oktober 2001, hlm. 36.

11 35 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau 6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. 13 Adapun jenis-jenis barang yang kena pajak dan tidak dikenai pajak sebagaimana dimaksud di atas dibedakan sebagai berkut: 1. Barang yang Kena Pajak dan Tidak Kena Pajak Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang yang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasakan Undang-undang PPN dan PPn BM. Dengan batasan di atas bahwa Barang Kena Pajak dapat dirinci; barang berwujud atau barang tidak berwujud (merek dagang, hak paten, hak cipta, dll.) dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN Batasan Barang Kena Pajak tidak dikaitkan dengan proses pengolahan (pabrikasi). Oleh karena itulah pengrtian menghasilkan tidak berkaitan juga dengan penentuan barang terutang PPN atau tidak, tetapi mempunyai hubungan dengan subjek pajak. Sebagai konsekuensi penyerahan barang bekas pun secara prinsip terkena PPN. Pelaksanaan di 13 Dewan Redaksi Sinar Grafika, op.cit., hlm. 8.

12 36 lapangan telah ditegaskan dalam Surat Edaran 23/PJ 25/1995 Tanggal 12 Mei 1995 bahwa untuk sementara barang bekas (used goods) tidak terutang PPN. Sebagai contoh penyerahan mobil bekas. Hal lainnya seperti pengertian BKP mempunyai arti yang luas tetapi masih dibatasi oleh Pasal 4A Undang-undang PPN tahun 1994 yang memberikan peluang pengaturan tetang jenis-jenis barang yang tidak terutang/dikenakan PPN. Selanjutnya dapat disimpukan bahwa semua barang dikenakan PPN kecuali Undang-undang menetapkan sebaliknya (memori penjelasan pasal 1 huruf c Undang-undang PPN Tahun 1994). Sedangkan barang yang tidak kena pajak sesuai dengan pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, maka tidak semua jenis barang dan jasa dikenakan pajak. Adapun jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah berdasarkan Pasal 4A ayat (2): a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. 14 Selain jenis-jenis barang di atas, maka menjadi sasaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 14 Ibid., hlm. 9.

13 37 2. Jasa yang Kena Pajak dan Yang Tidak Kena Pajak Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan, yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undag PPN dan PPn BM. Batasan tersebut di atas mengandung makna bahwa semua jenis jasa dapat dikenakan pajak, kecuali ditetapkan sebaliknya. Dengan memperhatikan ketentuan pasal dalam Undangundang PPN dan PPn BM beserta pejelasannya yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah ditetapkanlah bentuk Negative List yaitu daftar jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok: a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; b. Jasa di bidang pelayaan sosial; c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; e. Jasa di bidang keagamaan; f. Jasa di bidang pendidikan; g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak totonan;

14 38 h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; j. Jasa di bidang tenaga kerja; k. Jasa di bidang perhotelan; l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. 15 Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 200 disebutkan bahwa di samping pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap: 1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pegusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean usaha atau pekerjaannya. 2. Impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah. Dalam ayat (2) Pasal 5 disebutkan bahwa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolongan Mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor. 16 Adapun yang dijadikan pertimbangan dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ialah: 1. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi; 15 Ibid. 16 Ibid., hlm. 10.

15 39 2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah; 3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; 4. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara. 17 Dengan demikian maka atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, di samping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah adalah: 1. Bahwa barang tersebut bukan merupaka barang kebutuhan pokok; atau 2. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertenu; atau 3. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau 4. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau 5. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat seperti minuman beralkohol. 18 Pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja. Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap suatu 17 Ibid., hlm Ibid.

16 40 penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagia dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenakan atau tidak dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya Ibid.