Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara

dokumen-dokumen yang mirip
Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2012

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2015

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2016

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan

ANALISIS GINI RATIO DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang,

BAB IV DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan

Keterbatasan Indeks Gini sebagai Ukuran Ketimpangan Pendapatan dan Solusi Metoda Alternatif

GINI RATIO DAN KONSUMSI RUMAHTANGGA KALIMANTAN TENGAH 2013

BAB III METODE PENELITIAN. struktur dan pertumbuhan ekonomi, tingkat ketimpangan pendapatan regional,

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses kenaikan output

I. PENDAHULUAN. arti yang seluas-luasnya. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan

BAB III METODE PENELITIAN. data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik

ekonomi K-13 PENDAPATAN NASIONAL K e l a s A. KONSEP PENDAPATAN NASIONAL Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB 3 RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

BAB III METODE PENELITIAN. ini merupakan besarnya tingkat ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wilayah umumnya mempunyai masalah di dalam proses. pembangunannya, masalah yang paling sering muncul di dalam wilayah

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

ANALISIS PENGELUARAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI RIAU TAHUN 2008 DAN 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang dapat menjelaskan secara teoritis kajian mengenai

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2015

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ketimpangan Distribusi Pendapatan

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kabupaten/kota di Jawa Tengah dari tahun

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. kondisi masyarakat yang lebih baik, yang ditunjukkan oleh kemajuan

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON)

Pendekatan produksi: nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan dalam suatu. Distribusi Pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN SEPTEMBER 2015

BPS PROVINSI LAMPUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015

ESTIMASI FUNGSI KONSUMSI PANGAN DAN NON PANGAN PENDUDUK PERKOTAAN PROPINSI JAMBI. Adi Bhakti ABSTRACT

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

Katalog BPS :

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder rangkai waktu (Time

KERJASAMA BAPPEDA KABUPATEN SEMARANG BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEMARANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN

Katalog BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN. 1 Ketimpangan Sosial DWI MELISA AULIA

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS :

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 30

Antiremed Kelas 10 Ekonomi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BPS PROVINSI LAMPUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017

Pendahuluan Pertumbuhan Ekonomi Sadono Sukirno

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016

Suriname. Yunani. Libya. Cekoslovakia

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik analisis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

PENDAHULUAN. 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mewujudkannya diperlukan syarat-syarat yang harus terpenuhi, laju pertumbuhan penduduknya. (Todaro, 2011)

Transkripsi:

PEMERATAAN PENDAPATAN KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2008-2012 Katalog BPS : 3201002.3304 No. Publikasi : 33042.13.03 Naskah : Seksi Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara Penyunting : Seksi Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara Gambar Kulit : Seksi Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara Diterbitkan Oleh : BPS dan BAPPEDA Kabupaten Banjarnegara Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya. i

SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA Assalamu alaikum Wr.Wb. Puji Syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan taufik dan hidayahnya Publikasi Pemerataan Kabupaten Banjarnegara Tahun 2012 dapat tersusun. Data ini akan bermanfaat dalam perencanaan kebijakan pembangunan. Yang melandasi penyusunan publikasi ini adalah bahwa arah dan tujuan pembangunan nasional mengisyaratkan bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat dinikmati merata oleh seluruh rakyat sesuai dengan dharma baktinya. Dengan demikian tersirat bahwa tujuan pembangunan nasional tidak semata-mata mengejar pertumbuhan yang tinggi, namun juga harus diikuti dengan aspek pemerataan untuk mengurangi kesenjangan / ketimpangan pendapatan kelompok berpenghasilan rendah dan tinggi. Gini ratio adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Ukuran ketimpangan pendapatan yang lebih penting menganalisa seberapa besarnya kesenjangan antar wilayah / daerah adalah melalui perhitungan indeks williamson. Series datanya dapat menjadi bahan monitoring dan evaluasi distibusi pendapatan, sehingga program perencanaan pembangunan yang akan dilaksanakan mampu menjembatani disparitas pendapatan penduduk. ii

Kepada semua pihak yang telah memberi kontribusinya terhadap penerbitan ini saya sampaikan terima kasih. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi pembangunan Kabupaten Banjarnegara. Wassalamu alaikum Wr.Wb Banjarnegara, Oktober 2013 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA KEPALA, Drs. SETIAWAN, M.Hum. Pembina Utama Muda NIP.19560104 198503 1 005 iii

Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat terwujud publikasi Pemerataan Pendapatan Kabupaten Banjarnegara Tahun 2008-2012. Secara umum, penerbitan publikasi ini bertujuan untuk memperlihatkan gambaran tingkat pemerataan Pendapatan Penduduk Kabupaten Banjarnegara beberapa tahun terakhir. Sehingga dengan demikian, dari indikator-indikator yang disajikan dapat digunakan sebagai bahan kajian dari tahun ke tahun. Disadari bahwa dengan keterbatasan sumber daya yang ada, penerbitan publikasi ini masih banyak kekurangannya, Untuk itu mohon saran, kritik dan dukungan dari berbagai pihak demi kesempurnaan penerbitan berikutnya. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penerbitan publikasi ini diucapkan banyak terima kasih. Banjarnegara, Oktober 2013 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANJARNEGARA Kepala, SUBIYANTO, S.Si NIP. 19600428 198001 1 001 iv

DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... iii iv v BAB 1. : PENDAHULUAN...... 1-5 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 3 1.3 Sistematika Penulisan... 4 BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA... 5-16 2.1 Teori Pareto... 5 2.2 Indeks Theil dan Indeks -L... 6 2.3 Distribusi Ukuran... 7 2.4 Kurva Lorenz... 8 2.5 Gini Ratio... 11 2.6 Distribusi Pendapatan menurut kriteria Bank Dunia... 15 BAB 3 : METODOLOGI...... 17-23 3.1 Sumber Data... 17 3.2 Pengumpulan Data... 17 3.3 Cakupan Survei... 18 3.4 Konsep dan Definisi... 19 3.5 Teknik Analisis... 21 v

BAB 4 : PEMERATAAN PENDAPATAN PENDUDUK... 24-35 4.1. Pola Konsumsi... 25 4.2. Gini Ratio... 26 4.3. Tingkat Ketimpangan Berdasar Kriteria Bank Dunia... 27 4.4. Ketimpangan Regional (Indeks Williamson)... 35 BAB 5 : PENUTUP... 36-37 5.1. Kesimpulan... 36 vi

DAFTAR TABEL 1. Tabel. 1 Nilai Gini Ratio di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2008-2012... 27 2. Tabel. 2 Distribusi Pendapatan Berdasarkan Kriteria Bank Dunia di Kabupaten Banjanegara Tahun 2008 2012.... 28 3. Tabel. 3 Nilai Indeks Williamson Kabupaten Banjanegara Tahun 2008 2012.... 31 4. Tabel. 4 Kecamatan menurut Laju Pertumbuhan dan PDRB Per Kapita Di Kabupaten Banjanegara Tahun 2008 2012... 35 vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pembangunan yang secara luas dapat didefinisikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan, atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan, menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi (Todaro, 2000). Laju pertumbuhan ekonomi dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemajuan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara, sebagai implikasi program-program pemerintah, diukur berdasarkan pertumbuhan Produk Domestik Brutto (PDB) maupun PDB per kapita. Untuk ruang lingkup kabupaten menggunakan Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) sebagai indikatornya. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini dapat menciptakan berbagai peluang ekonomi dan lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya akan berimbas pada tingkat kesejahteraan manusia. Pada kenyataannya, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berarti bahwa masalah-masalah kesenjangan sosial ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan dapat teratasi. Pertumbuhan ekonomi memang merupakan faktor utama pembangunan, akan tetapi itu bukan satu-satunya faktor. Pemikiran bahwa faktor ekonomi saja tidak mencukupi untuk digunakan sebagai indikator tunggal dalam mengukur tingkat keberhasilan pembangunan. Berpijak pada pandangan diatas pembangunan mulai diarahkan pada 1

kualitas hidup sehingga manusia harus menempati posisi sentral dalam pembangunan. Hal ini berarti bahwa manusia tidak lagi menjadi alat dalam pembangunan, akan tetapi sebagai tujuan akhir, akibatnya ukuranukuran pembangunan juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya yang dilihat hanya kinerja ekonomi, maka sejak periode tersebut mulai digunakan ukuran-ukuran pembangunan yang lain seperti Indeks Pembangunan Manusia dan Gini Ratio dan indikator-indikator lainnya yang berkaitan dengan keberhasilan pembangunan yang menempatkan manusia sebagai tujuan dari pembangunan itu sendiri. Ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat masih tidak dapat dipisahkan dengan masalah kemiskinan. Karena keterbatasan penguasaan faktor-faktor produksi oleh sebagian masyarakat, maka kelompok tersebut memiliki akses yang rendah dan terbatas pada sumber-sumber pendapatan. Pada sisi lain, terdapat sekelompok penduduk yang memiliki akses yang besar terhadap sumber-sumber pendapatan dan beruntung memiliki pendapatan yang besar. Gejala ini semakin menunjukkan disparitas pendapatan dalam masyarakat. Perlu disadari, arah dan tujuan pembangunan nasional mengisyaratkan bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, dan hasil-hasil yang dicapai harus dapat dinikmati merata oleh seluruh rakyat sesuai dengan nilai darma bhaktinya. Dengan demikian tersirat bahwa tujuan pembangunan nasional tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga harus diikuti dengan aspek pemerataan, untuk 2

mengurangi kesenjangan pendapatan kelompok berpenghasilan rendah dan tinggi. Hal yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana hasil pembangunan yang diukur melalui pendapatan masyarakat telah dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga mampu mengangkat harkat kehidupan mereka ke tingkat yang lebih baik, dan memperkecil celah antara kelompok yang berpenghasilan tinggi dan rendah. Bagaimana pola konsumsi masyarakat sebagai refleksi ada tidaknya pergeseran tingkat kesejahteraan penduduk? Oleh karena itu perlu diperoleh informasi terkait dengan hal tersebut. Publikasi ini merupakan salah satu upaya menggambarkan kondisi pemerataan pendapatan dan pola konsumsi penduduk di Kabupaten Banjarnegara. 1.2 Tujuan Publikasi ini secara khusus bertujuan untuk memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan juga untuk mengetahui tingkat ketimpangan pendapatan penduduk. Dengan melihat tingkat ketimpangan pendapatan penduduk, kita dapat memperoleh gambaran tentang keberhasilan kinerja pembangunan ekonomi pemerintah Kabupaten Banjarnegara. Manfaat yang ingin diperoleh dari penyajian tingkat ketimpangan pendapatan penduduk di Kabupaten Banjarnegara diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan solusi memperkecil kesenjangan pendapatan 3

dalam masyarakat dan digunakan sebagai bahan acuan untuk menentukan langkah-langkah kebijakan selanjutnya. 1.3 Sistematika Penulisan Tulisan ini disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu : Bab I Bab II Bab III Pendahuluan, berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan. Tinjauan Pustaka, berisi penjelasan beberapa teori tentang distribusi pendapatan. Metodologi, mencakup sumber data, konsep dan definisi serta teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini. Bab IV Pemerataan Pendapatan Penduduk di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2008 sampai dengan 2012, berisi uraian ringkas tentang ketimpangan distribusi pendapatan selama periode tersebut Bab V Penutup, berisi kesimpulan. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ada beberapa ukuran pokok yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif. Ukuran tersebut adalah ukuran distribusi pendapatan, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing orang; dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. 2.1 Teori Pareto Vilfredo Pareto (1897) setelah melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di Eropa, mendapatkan bentuk kurvanya (untuk setiap negara) tidaklah mengikuti distibusi normal, tapi mengikuti perumusan sebagai berikut: A = Jumlah penduduk yang mempunyai pendapatan lebih besar daripada X X = Tingkat pendapatan tertentu dari keluarga atau individu yang bersangkutan N = Jumlah penduduk total b = Parameter yang nilainya antara 1 dan 2 5

Berdasarkan hasil tersebut, Pareto, menyatakan bahwa akan selalu ditemui ketimpangan dalam setiap negara, dimana kelompok penduduk yang terkaya mendapatkan porsi yang terbanyak dari pendapatan nasional negaranya. Penemuannya ini selanjutnya dikenal sebagai Pareto Law, yang menyatakan bahwa 20 persen kelompok penduduk terkaya menikmati 80 persen dari pendapatan nasional negaranya. 2.2 Indeks Theil dan Indeks-L Ada sejumlah ukuran ketimpangan yang memenuhi semua kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik. Diantaranya yang paling banyak digunakan adalah Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut masuk dalam famili ukuran ketimpangan generalized enthropy. Rumus generalized enthropy secara umum dapat ditulis sebagai berikut: adalah rata-rata pendapatan (pengeluaran). Nilai GE bervariasi antara 0 dan dengan 0 mewakili distribusi yang merata dan nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi. Parameter dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan pada jarak antara pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi pendapatan. Untuk nilai yang lebih 6

rendah, GE lebih sensitif terhadap perubahan pada ekor bawah dari distribusi (penduduk miskin), dan untuk nilai yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap perubahan yang berakibat pada skor atas dari distribusi (penduduk kaya). Nilai yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1. a. GE (1) disebut sebagai indeks Theil, yang dapat ditulis sebagai berikut: b. GE (0), juga dikenal dengan indeks-l, disebut ukuran deviasi log ratarata (mean) log deviation) karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi dari log (y): 2.3. DISTRIBUSI UKURAN Distribusi pendapatan perseorangan (Personal Distribution of Income) atau ukuran distribusi pendapatan merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Cara mendapatkan penghasilan itu tidak dipermasalahkan. Apa yang diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya, entah itu berasal dari gajinya karena bekerja, atau berasal dari sumber yang lain seperti 7

bunga tabungan, laba, hasil sewa, hadiah ataupun warisan. Selain itu lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan juga diabaikan. Oleh karena itu, para ekonom dan ahli statistik cenderung mengurutkan semua individu tersebut semata-mata berdasarkan pendapatan yang diterimanya, lantas membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran. 2.4. KURVA LORENZ Metode lainnya yang lazim dipakai untuk menganalisis statistik pendapatan perorangan adalah dengan menggunakan Kurva Lorenz. Gambar 1 menunjukkan mekanisme kerja kurva tersebut. Jumlah penerima pendapatan dinyatakan pada sumbu horizontal, tidak dalam arti absolut, tapi dalam persentase kumulatif. Misalnya pada titik 20 kita mendapati populasi terendah (penduduk paling miskin) yang jumlahnya meliputi 20 persen dari jumlah total penduduk. Pada titik 60 terdapat 60 persen penduduk terbawah, demikian seterusnya sampai pada titik paling ujung meliputi 100 persen atau seluruh jumlah penduduk. Demikian pula halnya dengan sumbu vertikal yang menyatakan persentase pendapatan yang diterima oleh masing-masing kelompok tersebut. Sumbu vertikal ini juga berakhir pada titik 100, artinya sumbu vertikal dan horizontal mempunyai panjang yang sama. Gambar 1 secara keseluruhan berbentuk bujur sangkar yang dipisahkan oleh garis diagonal, di mana garis 8

Persentase Pendapatan diagonal tersebut ditarik dari titik nol menuju ke kanan atas. Pada setiap titik di garis diagonal tersebut, menunjukkan persentase pendapatan yang diterima persis sama dengan persentase jumlah penerimanya. Misalnya pada titik 50 artinya 50 persen pendapatan tepat didistribusikan kepada 50 persen jumlah penduduk. Dengan kata lain, garis diagonal menyatakan pemerataan sempurna (perfect equality) dalam ukuran distribusi pendapatan. Masing-masing persentase kelompok penerima pendapatan menerima persentase pendapatan total yang sama besarnya; contohnya, 40 persen kelompok terbawah akan menerima 40 persen dari pendapatan total, sedangkan 5 persen kelompok teratas hanya menerima 5 persen dari pendapatan total. Gambar 1. Kurva Lorenz 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 20 40 60 80 100 Persentase Penduduk Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis pemerataan sempurna), maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatan. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurna (yaitu, apabila hanya seorang saja yang menerima seluruh 9

pendapatan nasional, sementara orang-orang lainnya sama sekali tidak menerima pendapatan) akan diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertikal disebelah kanan. Oleh karena tidak ada satu negara pun yang memperlihatkan pemerataan sempurna atau ketidakmerataan sempurna di dalam distribusi pendapatannya, semua kurva Lorenz dari setiap negara akan berada di bawah garis diagonal seperti terlihat pada gambar 1. Semakin parah tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan di suatu negara, mak bentuk kurva Lorenznya pun akan semakin melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah. Pembuatan kurva Lorenz dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mengurutkan data pengeluaran dari nilai terkecil hingga nilai terbesar. 2. Menentukan desil pertama hingga kesepuluh pada distribusi data pengeluaran. 3. Menghitung besarnya nilai pendapatan pada masing-masing kelompok desil. 4. Menentukan kumulatif pendapatan pada masing-masing kelompok desil. 5. Menghitung persentase kumulatif pendapatan dari masing-masing kelompok desil. 6. Memetakan dalam plot dua dimensi antara masing-masing desil sebagai sisi horisontal dengan nilai persentase kumulatif pendapatan pada sisi vertikal. 10

2.5. GINI RATIO Gini Ratio adalah ukuran yang menggambarkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, nilainya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Berdasarkan kriteria Oshima derajat ketimpangan dibedakan menjadi : (i) jika gini indeks (G < 0.4), maka ketimpangan termasuk katagori rendah; (ii) jika (0,4>G>0,5), maka ketimpangan tergolong sedang; (iii) jika (G > 0,5), makaketimpangan sudah tergolong tinggi. Pada prakteknya, Gini Ratio untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,5 hingga 0,7, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata berkisar antara 0,2 hingga 0,35. Umumnya negara-negara di dunia sangat memperhatikan masalah distribusi pendapatan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa perbedaan pendapatan disebabkan oleh adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor-faktor produksi, khususnya kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak yang memiliki barang modal yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih besar dibanding pihak yang memiliki sedikit barang modal. Pendapat lain mengatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan timbul karena adanya ketidaksempurnaan pasar. Ketidaksempurnaan pasar ini terjadi karena adanya gangguan yang menyebabkan persaingan 11

dalam pasar tidak dapat bekerja secara sempurna. Gangguan-gangguan tersebut antara lain karena adanya perbedaan kepemilikan sumber daya dan intervensi dari pemerintah. Ketimpangan pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi, sebab pada tingkat pendapatan rata-rata berapapun, ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit yang lain. Selain itu, ketimpangan juga dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien. Ketimpangan yang tinggi menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada tingkat pendidikan dan pada akhirnya akan menyebabkan kesenjangan pendapatan yang semakin lebar lagi. Hal penting pertama yang perlu diketahui adalah tingkat pendapatan di setiap daerah tidak sama. Sampai batas tertentu senantiasa terdapat kesenjangan pendapatan (income inequality). Antara orang kaya dan orang miskin, di negara maju maupun negara berkembang selalu terdapat perbedaan pendapatan. Hanya saja, ketimpangan di negara berkembang jauh lebih parah dibanding negara maju. Namun bagi Indonesia tidaklah demikian. Tingkat ketimpangan di Indonesia tidak sedemikian parah. Distribusi pendapatan di Indonesia relatif merata. Hal penting berikutnya, ternyata tidak ada korelasi yang searah dan baku antara tingkat pendapatan perkapita dengan derajat kesenjangan. Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sederhana dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi 12

dengan luas separuh segi empat di mana kurva Lorenz itu berada. Secara matematis, untuk menghitung Gini Ratio dapat menggunakan persamaan berikut: Keterangan: GiniRatio 1 k i 1 Pi ( Qi Q 10.000 i 1 ) Pi = Persentase penduduk pada kelas pengeluaran ke-i Qi = Persentase kumulatif jumlah pengeluaran kelas ke-i K = Jumlah kelas pengeluaran yang dibentuk Gambar 2 R A P Q Pada gambar 2 rasio ini adalah rasio daerah A dibagi dengan luas segitiga PQR. Rasio ini dikenal dengan sebutan Gini Ratio, mengambil nama dari ahli statistik Italia yang merumuskannya pertama kali pada tahun 1912. Gini Ratio adalah ukuran ketimpangan agregat yang 13

angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Kita juga dapat menggunakan Gini Ratio untuk mengukur hal-hal lain di luar pendapatan. Gini Ratio merupakan salah satu ukuran yang memenuhi empat kriteria yang sangat dicari, yaitu : Prinsip anonimitas mengatakan bahwa ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi, dengan kata lain ukuran tersebut tidak tergantung pada apa yang kita yakini sebagai manusia yang lebih baik, apakah itu orang kaya atau orang miskin. Prinsip independensi skala berarti bahwa ukuran ketimpangan kita seharusnya tidak tergantung pada ukuran suatu perekonomian negara atau cara kita mengukur pendapatannya, dengan kata lain, ukuran ketimpangan tersebut tidak tergantung pada apakah kita mengukur pendapatan dalam mata uang tertentu, atau apakah perekonomian negara itu secara rata-rata kaya atau miskin. Karena dalam mengukur ketimpangan, yang dilihat adalah sebaran pendapatan, bukan besarnya pendapatan. Prinsip independensi populasi, Prinsip ini menyatakan bahwa pengukuran ketimpangan seharusnya tidak didasarkan pada jumlah penerima pendapatan (jumlah penduduk). Prinsip transfer sering juga disebut sebagai Prinsip Pigou-Dalton, diambil dari nama penemunya yang menyatakan bahwa dengan mengasumsikan semua pendapatan yang lain konstan, jika kita 14

mentransfer sejumlah pendapatan dari orang kaya ke orang miskin, maka akan dihasilkan distribusi pendapatan baru yang lebih merata. Jika kita menyepakati keempat kriteria tadi maka kita dapat menghitung Gini Ratio untuk setiap negara dan mengurutkannya, di mana Gini Ratio yang lebih besar berarti bahwa distribusi pendapatannya lebih timpang dan demikian juga sebaliknya. Teory Gini Ratio mempunyai kelemahan yaitu besarnya nilai gini ratio tidak bisa menjelaskan letak ketimpangannya. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dengan membuat kurva OMNB yang nilai Gini Rationya dibuat sama dengan kurva OKLB. Dalam kurva (yang diarsir) golongan bawah lebih menderita dibandingkan kurva OMNB karena persentase yang diterima oleh 40 persen penduduk hanya 10 persen pendapatan, sedang pada kurva OKLB 40 persen penduduk menerima bagian 17 persen dari total pendapatan. Untuk mengatasi kelemahan ini para pakar menganjurkan agar ukuran ini dilengkapi dengan ukuran lain seperti Kriteria Bank Dunia, sehingga diketahui keadaan penduduk kelas bawah atau kelas atas yang timpang. 2.6. DISTRIBUSI PENDAPATAN MENURUT KRITERIA BANK DUNIA Ukuran lain yang juga dapat digunakan untuk melihat tingkat ketimpangan pendapatan penduduk adalah kriteria Bank Dunia. Ukuran ini membagi penduduk menjadi tiga kelompok pendapatan, yaitu 15

kelompok 40 persen berpendapatan terendah, 40 persen berpendapatan menengah, dan 20 persen berpendapatan tertinggi. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan diukur dengan besarnya bagian pendapatan yang dinikmati oleh 40 persen penduduk yang berpendapatan terendah dengan batasan sebagai berikut: Tingkat ketimpangan rendah jika 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima lebih dari 17 persen jumlah pendapatan. Tingkat ketimpangan moderat jika 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima antara 12 hingga 17 persen jumlah pendapatan. Tingkat ketimpangan tinggi jika 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima kurang dari 12 persen jumlah pendapatan. 16

BAB III METODOLOGI 3.1. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penghitungan Gini Ratio adalah jumlah penduduk dan rata-rata pendapatan per penduduk yang sudah dikelompokkan menurut kelasnya. Dalam penyajian ini data rata-rata pendapatan diperoleh dengan menggunakan pendekatan pengeluaran, karena lebih mudah mengumpulkan data pengeluaran, walaupun data pengeluaran memiliki kelemahan yaitu data yang disajikan akan underestimate dibandingkan data pendapatan. Hal ini dikarenakan adanya bagian pendapatan yang ditabung menyebabkan jumlah pengeluaran lebih kecil dari pendapatan. Hal lain karena adanya transfer pendapatan, sebab dalam masyarakat lumrah bila seseorang memberikan sebagian pendapatan sebagai bantuan kepada orang tua atau saudara yang tidak mampu. Sumber data yang digunakan dalam publikasi ini berasal dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). 3.2. Pengumpulan Data Survei pendapatan rumah tangga dan penduduk ini secara teknis tersebar di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Banjarnegara dengan sampel 608 rumah tangga. Walaupun besarnya sampel rumah 17

tangga masih belum sebanding dengan luas daerah dan jumlah penduduk, namun survei ini diharapkan dapat digunakan sebagai tolok ukur keadaan ekonomi masyarakat. 3.3. Cakupan Survei Survei ini dilakukan untuk memperoleh nilai barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat, baik yang berasal dari pembelian maupun pemberian. Konsumsi ini dibagi menjadi dua bagian: 1. Konsumsi makanan, terdiri dari: Konsumsi padi-padian Konsumsi umbi-umbian Konsumsi ikan Konsumsi daging Konsumsi telur dan susu Konsumsi sayur-sayuran Konsumsi kacang-kacangan Konsumsi buah-buahan Konsumsi minyak dan ternak Konsumsi bahan minuman Konsumsi tumbuh-tumbuhan Konsumsi makanan jadi Konsumsi minuman yang mengandung alkohol 18

Konsumsi makanan lainnya 2. Konsumsi non makanan, terdiri dari: Perumahan dan fasilitas rumah tangga Barang dan jasa Pakaian, alas kaki, dan tutup kepala Barang-barang tahan lama Pajak dan asuransi Keperluan pesta dan upacara adat 3.4. Konsep dan Definisi Konsep dan definisi yang dipakai penulisan adalah : yang ada kaitannya dengan Rumah tangga Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur dalam pengertian bahwa kebutuhan sehari-hari diurus bersama-sama menjadi satu. Anggota Rumah Tangga / Penduduk Anggota Rumah Tangga (ART) / penduduk adalah orang yang biasanya tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di dalam rumah tangga waktu pencacahan maupun sementara tidak ada. Yang bepergian walaupun kurang dari enam bulan tetapi 19

dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak termasuk ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga enam bulan atau lebih atau yang telah tinggal di dalam rumah tangga kurang dari enam bulan tetapi berniat tinggal enam bulan atau lebih dianggap sebagai ART. Pengeluaran Pengeluaran rumah tangga sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga dibedakan menjadi dua kelompok yaitu konsumsi makanan dan bukan/non makanan (perumahan, aneka barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, pakaian, barang tahan lama, pajak dan asuransi, dan keperluan untuk pesta dan upacara). Konsumsi tersebut tanpa memperhatikan asal barang (membeli atau hasil sendiri atau pemberian) dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha rumah tangga atau diberikan kepada pihak lain. Pendapatan Pendapatan adalah penerimaan berupa uang maupun barang yang diterima atau dihasilkan. Namun disadari, bahwa informasi pendapatan ini tidak seperti yang diharapkan, dimana banyak responden cenderung memberikan informasi pendapatan yang tidak sebenarnya. Oleh sebab itu, data pendapatan sendiri diperkirakan dari data pengeluaran dengan asumsi bahwa 20

pengeluaran masyarakat merupakan gambaran dari pendapatan mereka. 3.5 Teknik Analisis Seperti dijelaskan sebelumnya, maka teori atau ukuran-ukuran yang digunakan dalam tulisan ini adalah Teori Gini Ratio dan Kriteria Bank Dunia. Sedangkan untuk data pendapatan didekati dengan data pengeluaran (konsumsi) rumah tangga. Gini Ratio Angka Gini Ratio terletak antara 0-1 dan apabila angka ini makin mendekati 0 (nol) berarti semakin rendah tingkat ketimpangannya. Sebaliknya apabila angka ini semakin mendekati 1 (satu) berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan (jurang pemisah antara si kaya dan si miskin lebar). Secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 0,00 < G < 0,35 -----> pemerataan tinggi / ketimpangan rendah 0,35 < G < 0,50 -----> pemerataan / ketimpangan sedang G > 0,50 -----> pemerataan rendah / ketimpangan tinggi Kriteria Bank Dunia Pada prinsipnya Kriteria Bank Dunia membagi Penduduk ke dalam 3 (tiga) kelompok pendapatan yaitu 40 persen kelompok penduduk berpendapatan rendah, 40 persen kelompok penduduk berpendapatan sedang 21

dan 20 persen kelompok berpendapatan tinggi. Pengelompokan seperti ini pada dasarnya sama dengan menggunakan cara desil (decile) yaitu 40 persen pertama sama dengan desil ke-4; 40 persen kedua sama dengan desil ke-8 dan 20 persen terakhir adalah desil ke-10. Dalam menentukan besarnya desil ke-i digunakan rumus : i = 1,2,3,4,...10 ni = Persentase ke-i Di = Desil ke-i Qb = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sebelum Di Qa = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sesudah Di Pb = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sebelum Di Pa = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sesudah Di Kriteria ketimpangan diukur berdasarkan bagian pendapatan yang diterima kelompok berpendapatan rendah. Jika bagian pendapatan yang diterima kelompok ini : Kurang dari 12 persen ----- > pemerataan rendah / ketimpangan tinggi 22

12 persen - 17 persen ----- > pemerataan / ketimpangan sedang Di atas 17 persen ----- > pemerataan tinggi / ketimpangan rendah 23

BAB IV PEMERATAAN PENDAPATAN PENDUDUK Keberhasilan pembangunan tidak saja dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Suatu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum dapat dikatakan berhasil apabila hasil-hasil dari pembangunan tersebut belum mampu dinikmati oleh masyarakat. Oleh karena itu, selain pertumbuhan ekonomi untuk mengukur keberhasilan pembangunan perlu dilihat juga pemerataan distribusi pendapatan. Untuk mengukur tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan tersebut digunakan Gini Ratio. Tingkat pendapatan masyarakat yang tidak merata atau kurang merata akan mengakibatkan timbulnya jurang pemisah antara yang kaya (pendapatan tinggi) dengan yang miskin (pendapatan rendah) atau diistilahkan dengan income gape. Apabila income gape semakin besar biasanya sering menimbulkan kerawanan keamanan atau menimbulkan rasa tidak puas dari masyarakat yang pada gilirannya akan menimbulkan gejolak sosial. Sebaliknya, pembagian pendapatan yang merata dalam masyarakat mengindikasikan kesempurnaan tingkat kesejahteraan masyarakat yang berarti tidak ada lagi masyarakat yang miskin, masyarakat tersebut hidup dalam serba kecukupan. Kondisi perekonomian yang merata sangat sulit dicapai di daerah ataupun negara yang sedang membangun, tidak terkecuali Kabupaten Banjarnegara. 24

4.1. POLA KONSUMSI Pada tahun 2012 konsumsi rata-rata per kapita tergambar dalam tabel.1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata penduduk pengeluaran Kabupaten Banjarnegara secara umum lebih banyak untuk mengkonsumsi kelompok makanan dari pada untuk memenuhi barangbarang selain makanan. Terlihat dari persentase untuk mengkonsumsi barang-barang jenis makanan lebih besar yaitu sebesar 53,09 persen dari pengeluarannya, sedangkan untuk mengkonsumsi kebutuhan selain kelompok makanan sebesar 46,91 persen. Pengeluaran untuk konsumsi makanan itu digunakan untuk berbelanja barang-barang kebutuhan seperti jenis padi-padian, umbi-umbian, daging, ikan, sayur-sayuran dan barang-barang makanan lainnya. Sedangkan untuk membeli barangbarang selain makanan sebesar 46,91 persen yang terdiri untuk membelanjakan keperluan seperti perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang-barang dan jasa, pakaian dan perlengkapannya, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi serta untuk keperluan pesta atau upacara. Kondisi tahun 2012 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tahun 2011) tidak jauh berbeda dimana proporsi pengeluaran terbesar masih juga untuk memenuhi kebutuhan kelompok bahan makanan ( 50,86 %). 25

4.2. GINI RATIO Setelah mengetahui gambaran konsumsi penduduk Kabupaten Banjarnegara, selanjutnya dari hasil penghitungan ketimpangan pendapatan dengan metode Gini Ratio selama periode tahun 2008 sampai dengan 2012 tercatat bahwa Kabupaten Banjarnegara termasuk dalam kategori rendah. Dalam arti kesenjangan jumlah penduduk menurut pendapatan tidak begitu besar. Selama periode tersebut nilai Gini Rationya menunjukan nilai yang bervariasi dimana, tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami penurunan, sedangkan tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 angka Gini Ratio cenderung mengalami peningkatan, Dan untuk tahun 2012 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan memperhatikan angka tersebut dapat diartikan bahwa diwilayah Kabupaten Banjarnegara dapat dikatakan merata walaupun masih terjadi ketimpangan dalam hal pendapatan yang dapat dikategorikan rendah. Pada periode waktu tersebut ada beberapa tahun yang mempunyai nilai relatif lebih tinggi dibanding dengan tahun lainnya yaitu tahun 2011. Adanya kecenderungan meningkatnya angka kesenjangan pemerataan pendapatan dari tahun 2009 ke tahun 2011 perlu mendapatkan perhatian karena dengan meningkatnya angka tersebut berarti ada kecenderungan meningkatnya kesenjangan jumlah penduduk antara penduduk dengan tingkat pendapatan tinggi dengan penduduk dengan tingkat pendapatan rendah. Ada beberapa hal yang kemungkinan sebagai penyebab hal diatas diantaranya dengan semakin banyaknya peluang untuk melakukan investasi diberbagai bidang yang hanya dapat 26

dilakukan oleh para kaum pemilik modal saja. Baik yang berskala besar ataupun sedang. Hal ini memerlukan kajian lebih lanjut. Sedangkan tahun 2012 menunjukan tanda yang lebih baik dilihat dari segi pemerataan pendapatan masyarakat Kabupaten Banjarnegara. Tabel. 1 Nilai Gini Ratio di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2008-2012 Tahun Nilai Gini Ratio Kriteria* (1) (2) (3) 2008 0,29 Rendah 2009 2010 0,26 0,26 Rendah Rendah 2011 0,36 Rendah 2012 0,33 Rendah Sumber: Susenas, diolah. BPS Kabupaten Banjarnegara Catatan: * Berdasarkan Kriteria Oshima 4.3. TINGKAT KETIMPANGAN BERDASAR KRITERIA BANK DUNIA Penghitungan ketimpangan pendapatan berdasar kriteria Bank Dunia tersaji pada tabel. 2. Kelompok yang menjadi acuan dalam menentukan ketimpangan penduduk adalah kelompok 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah. Dari tabel terlihat bahwa 40 27

persen penduduk berpendapatan rendah Pada periode tahun 2008 sampai dengan 2012 menguasai sekitar diatas 17 persen total pendapatan, sehingga dikategorikan masuk dalam tingkat ketimpangan yang rendah. Tabel. 2. Distribusi Pendapatan Berdasarkan Kriteria Bank Dunia di Kabupaten Banjanegara Tahun 2008 2012. Tahun Kelompok Pendapatan 2008 2009 2010 2011 2012 (1) (2) (3) (4) (5) (6) 40 % Terendah 22,61 24,27 24,70 20,76 22,03 40 % Menengah 38,57 39,5 39,06 34,38 34,65 20 % Tertinggi 38,82 36,22 36,24 44,86 43,32 Sumber: Susenas 2008-2012, diolah. BPS Kabupaten Banjarnegara. Hasil penghitungan tingkat ketimpangan pendapatan menurut Gini Ratio dan kriteria Bank Dunia memberikan hasil yang konsisten, yaitu masuk dalam kategori tingkat ketimpangan rendah. Ada beberapa hal yang dapat perlu diperhatikan yaitu pergeseran jumlah penduduk sesuai dengan kategori dari Bank Dunia, apabila kita bandingkan antara tahun 2012 dan tahun 2011, ada kecenderungan terjadi penurunan persentase jumlah penduduk untuk kategori 20 persen tertinggi, dari 44,86% menjadi 43,32% untuk tahun 2012, hal ini berarti terjadi penurunan jumlah penduduk yang kaya. Sedangkan untuk penduduk dengan kategori 40% terendah dan 40% menengah jumlah penduduknya mengalami kenaikan. Kenaikan jumlah penduduk untuk kategori 28

terendah dan menengah dapat diartikan meningkatnya jumlah pendapatan penduduk yang mempunyai tingkat pendapatan rendah. Tingkat ketimpangan yang rendah merupakan salah satu gambaran bahwa program-program pemerintah yang selama ini dijalankan dapat dinikmati oleh masyarakat. 4.4. KETIMPANGAN REGIONAL ( INDEKS WILLIAMSON ) Setelah melihat gambaran tingkat ketimpangan berdasarkan pendapatan, selanjutnya akan dibahas penyimpangan pemerataan antar wilayah. Wilayah Kabupaten Banjarnegara terbagi atas 20 wilayah kecamatan dengan kondisi yang sangat beragam, karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan sumber daya alam berbeda disetiap kecamatan. Pengelolaan perbedaan tersebut menjadi hambatan dalam pemerataan pembangunan ekonomi apabila tidak dikelola dengan benar. Terkonsentrasinya suatu kegiatan perekonomian yang berdampak meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah atau wilayah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam yang dimiliki seharusnya dapat menjadikan nilai tambah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi. Hanya saja kekayaan alam ini tidak dimiliki oleh seluruh daerah di Kabupaten Banjarnegara secara merata. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya ketimpangan atau kesenjangan antar daerah. Berdasarkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2012 sebesar Rp. 8.209.778,74 Juta, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 5,25% dibandingkan dengan tahun 2011, dengan 29

jumlah penduduk sebesar 941.554 jiwa (Registrasi Penduduk). Berdasarkan kondisi perekonomian (PDRB) tahun 2012 tiap daerah kecamatan memiliki kondisi yang berbeda-beda. Pada dasarnya Indeks Williamson merupakan koefisien persebaran (coefficient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-nilai PDRB dan penduduk di daerah-daerah yang berada pada ruang lingkup wilayah yang di kaji dan dianalisis, dalam hal ini adalah wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Banjarnegara. Rumus Indeks Wiliamson ini akan menghasilkan angka indeks sama dengan nol, yang menandakan tidak terjadi kesenjangan ekonomi antar kecamatan, sedangkan angka indeks yang lebih besar dari nol menunjukan adanya kesenjangan antar kecamatan. Semakin besar indeksnya berarti semakin besar pula tingkat kesenjangan ekonomi antar kecamatan. Untuk melihat lebih jauh tingkat kesenjangan ekonomi antar kecamatan di kabupaten bandung maka dapat dilihat dari hasil perhitungan Indeks Williamson berikut : 30

Tabel. 3 Nilai Indeks Williamson Kabupaten Banjanegara Tahun 2008 2012. Tahun Nilai (1) (2) 2008 0,53 2009 0,54 2010 0,51 2011 0,53 2012 0,55 Sumber : BPS Kab. Banjarnegara Berdasarkan hasil penghitungan Indek Williamson Kabupaten Banjarnegara tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, di dapat nilai bahwa angka indeks williamson Kabupaten Banjarnegara berada pada posisi antara 0,51 sampai dengan 0,55 selama kurun waktu tersebut. Angka Indek Williamson ini mempunyai maksud bahwa ketimpangan antara pendapatan antar wilayah Kecamatan yang ada di Kabupaten Banjarnegara masih dikategorikan sebagai rendah. Dari tabel tersebut juga terlihat antara tahun 2008 sampai dengan 2009 ada kecenderungan mengalami peningkatan kesenjangan tingkat pendapatan antar Kecamatan. Selajutnya tahun 2010 mengalami penurunan kemudian naik lagi untuk tahun 2011 sampai dengan 2012. Fluktuasi indek Williamson 31

sangat dipengaruhi oleh faktor yang sangat beragam seperti, karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan sumber daya alam atau secara umum bisa dikatakan sebagai barang modal maupun faktor-faktor produksi. Menurut Mudrajat Kuncoro (2004) menyatakan bahwa gambaran dan pola struktur pertumbuhan masing-masing daerah yang merepresentasikan kesejahteraan penduduknya dapat diketahui dengan menggunakan tipologi daerah yang berdasar 2 indikator utama yakni pertumbuhan daerah dan pendapatan per kapita daerah. Caranya adalah dengan menentukan PDRB per kapita sebagai sumbu horizontal dan laju pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal sehingga dapat dibedakan klasifikasi kabupaten/kota sebagai berikut : 1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) yakni kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB perkapita diatas rata-rata PDRB perkapita Kabupaten Banjarnegara (8.719.392 rupiah), dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banjarnegara (5,25%); 2. Daerah berkembang cepat (high growth and Low Income) yakni kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB perkapita dibawah ratarata PDRB perkapita Kabupaten Banjarnegara (8.719.392 rupiah), dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banjarnegara (5,25%); 3. Daerah maju tapi tertekan ( Low growth and High income) yakni kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB per kapita dibawah ratarata PDRB perkapita Kabupaten Banjarnegara (8.719.392 rupiah), 32

dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banjarnegara (5,25%); 4. Daerah Relatif Tertinggal (Low growth and Low income) yakni kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB perkapita di atas rata-rata PDRB perkapita Kabupaten Banjarnegara (8.719.392 rupiah), dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banjarnegara (5,25%) Berdasarkan dari tipologi diatas sebagaimana dalam tabel dibawah ini, Kecamatan yang masuk dalam kategori pertumbuhan yang cepat dan pedapatan perkapitanya tinggi yaitu Kecamatan Banjarnegara, kondisi ini kemungkinan Kecamatan Banjarnegara merupakan Kecamatan Ibu Kota Kabupaten Banjarnegara sehingga pusat kegiatan seperti sektor perdagangan, sektor industri dan juga sektor jasa sehingga sudah selayaknya kalau Kecamatan Banjarnegara masuk pada kategori ini. Selanjutnya adalah Kecamatan yang termasuk dalam kategori kecamatan berkembang dengan cepat yaitu Susukan, Pagedongan, Wanadadi, Rakit, Karangkobar, Pagentan, Kalibening dan Pandanarum adalah wilayah yang mengalami pertumbuhan cepat dari rata-rata pertumbuhan Kabupaten Banjarnegara tetapi memiliki nilai pendapatan per kapita dibawah rata-rata Pendapatan Perkapita Kabupaten Banjarnegara. Secara umum Kecamatan dalam kondisi ini memerlukan program pembangunan yang dapat meningkatkan tingkat pendapatan secara umum, dalam arti bahwa potensi jumlah penduduk yang ada belum dapat optimalkan. 33

Kategori berikutnya adalah kecamatan yang mempunyai tingkat pertumbuhan dibawah rata-rata pertumbuhan Kabupaten Banjarnegara tetapi mempunyai pendapatan perkapita diatas rata-rata pendapatan perkapita Kabupaten Banjarnegara yang meliputi Kecamatan Purwareja Klampok, Sigaluh, Madukara, Pejawaran, dan Batur. Program pembangunan yang diperlukan untuk wilayah ini untuk mempercepat akselerasi pertumbuhan sehingga dapat mengejar ketinggalan tingkat pertumbuhannya. Kategori selanjutnya yaitu daerah Relatif Tertinggal. Daerah ini dilihat dari sisi pendapatan maupun tingkat pertumbuhan lebih rendah dari rata-rata Kabupaten Banjarnegara. Kecamatan yang termasuk kategori ini adalah Kecamatan Mandiraja, Purwanegara, Bawang, Banjarmangu, Punggelan dan Wanayasa. Pembangunan pada wilayah ini memerlukan perhatian yang lebih serius, sehingga dapat mengejar ketinggalannya. Sebagian besar dari wilayah Kabupaten banjarnegara berada pada Kategori wilayah dengan pertumbuhan diatas rata-rata Kabupaten Banjarnegara tetepi dengan pendapatan perkapita dibawah rata-rata Pendapatan Per Kapita Kabupaten Banjarnegara. 34

Tabel. 4. Kecamatan menurut Laju Pertumbuhan dan PDRB Per Kapita Di Kabupaten Banjanegara Tahun 2012. Laju Pertumbuhan > 5,25 BANJARNEGARA PDRB Perkapita > 8 719 392 < 8 719 392 SUSUKAN PAGEDONGAN WANADADI RAKIT KARANGKOBAR PAGENTAN KALIBENING PANDANARUM < 5,25 PURWAREJA KLAMPOK SIGALUH MADUKARA PEJAWARAN BATUR MANDIRAJA PURWANEGARA BAWANG BANJARMANGU PUNGGELAN WANAYASA 35

BAB V PENUTUP 5.1. KESIMPULAN Keadaan ketimpangan dalam pendapatan penduduk, terkait erat dengan kondisi kemiskinan. Semakin besar range rata-rata pendapatan rata-rata, maka ketimpangan juga semakin melebar yang berpeluang makin meluasnya kemiskinan yang terjadi. Penanganan masalah kemiskinan mencakup dimensi yang kompleks, karena fenomena ini terkait pada seluruh aspek sosial ekonomi penduduk dan sering merupakan hubungan sebab akibat. Dari aspek internal, keterbatasan kualitas sumber daya baik manusia dan kekayaan alam sebagai penyebab utama ketidakmampuan penduduk di suatu wilayah untuk bangkit dari garis kemiskinan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Secara umum Kabupaten Banjarnegara masih mengalami kesenjangan dalam Pendapatan penduduk walaupun masih dapat dikategorikan ketimpangan ringan. 2. Hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Banjarnegara juga masih ada ketimpangan antar wilayah Kecamatan yang ada di Banjarnegara. 3. Diperlukan program-program pembangunan yang dapat mengakomodasi faktor-faktor produksi sesuai dengan karakteristik yang ada di wilayah masing-masing Kecamatan. 36

Demikian rumitnya dimensi kemiskinan sehingga diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengangkat masyarakat dari garis kemiskinan. Persoalan kemiskinan tidak hanya berkutat pada masalah bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat secara cepat, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana menciptakan situasi ekonomi makro yang kondusif sehingga setiap lapisan masyarakat dapat menikmati hasilhasil pembangunan. Masalah penguasaan faktor-faktor produksi di masyarakat dan masih lambatnya pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan upaya pengentasan masyarakat miskin berjalan lamban. Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dapat saja memilih upaya itu untuk menaikkan kualitas hidup warga dan redistribusi pendapatan yang bisa dinikmati penduduk secara menyeluruh. 37

Lampiran-lampiran. 1. Kuesioner Susenas

2. PDRB Kecamatan Di Kabupaten Banjarnegara Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008 2012 (Jutaan Rupiah) KECAMATAN 2008 2009 2010 2011 2012*) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. SUSUKAN 206.753,34 227.486,55 251.762,12 279.122,69 310.808,61 2. PURWAREJA KLAMPOK 623.129,38 664.804,73 719.281,25 792.232,34 867.165,09 3. MANDIRAJA 306.578,58 372.645,24 411.167,12 454.459,11 502.919,20 4. PURWANEGARA 351.530,38 344.129,09 390.026,04 436.650,57 482.492,26 5. BAWANG 223.913,51 261.578,28 286.725,49 320.270,40 349.294,76 6. BANJARNEGARA 672.750,24 762.068,58 876.848,74 980.978,92 1.093.713,69 7. PAGEDONGAN 71.607,78 77.500,85 87.164,14 97.622,47 107.889,37 8. SIGALUH 216.942,38 227.168,38 250.861,72 277.038,26 303.150,63 9. MADUKARA 343.486,80 384.745,67 430.722,54 480.136,76 528.558,66 10. BANJARMANGU 227.548,78 248.813,76 276.070,12 306.849,99 334.167,04 11. WANADADI 158.068,84 162.990,09 185.195,37 206.533,81 230.567,08 12. RAKIT 188.995,18 195.780,19 221.916,46 246.901,44 278.097,49 13. PUNGGELAN 249.936,60 269.173,87 298.533,57 331.476,01 358.816,07 14. KARANGKOBAR 159.922,71 180.325,66 202.990,97 226.476,15 251.847,13 15. PAGENTAN 118.891,86 129.962,40 145.016,38 161.420,86 182.110,46 16. PEJAWARAN 471.648,06 497.844,63 543.266,09 599.308,13 658.327,34 17. BATUR 446.228,81 495.610,83 545.773,12 605.860,63 671.056,50 18. WANAYASA 256.539,84 265.446,20 292.932,32 324.861,76 348.985,99 19. KALIBENING 172.025,64 193.312,57 215.985,89 240.252,06 266.173,59 20. PANDANARUM 60.176,28 62.493,96 69.232,25 77.088,09 83.637,81 KABUPATEN 5.526.674,99 6.023.881,54 6.701.471,72 7.445.540,45 8.209.778,74 *) Angka sementara

3. PDRB Kecamatan Di Kabupaten Banjarnegara Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2008 2012 (Jutaan Rupiah) KECAMATAN 2008 2009 2010 2011 2012 *) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. SUSUKAN 102.588,52 104.456,98 110.140,06 115.710,56 122.340,16 2. PURWAREJA KLAMPOK 301.084,48 308.343,19 318.977,49 335.075,18 351.247,47 3. MANDIRAJA 147.784,96 169.361,78 179.446,81 188.305,31 197.694,92 4. PURWANEGARA 163.866,81 164.912,07 168.352,39 177.135,32 187.773,29 5. BAWANG 109.364,57 115.700,34 123.567,00 130.731,25 134.981,85 6. BANJARNEGARA 337.922,22 371.950,64 396.919,23 422.093,98 451.016,55 7. PAGEDONGAN 35.605,21 36.853,46 38.734,07 41.002,06 43.377,67 8. SIGALUH 102.036,76 105.884,15 110.843,42 115.887,36 120.898,22 9. MADUKARA 161.246,43 166.511,22 175.162,48 182.561,18 192.650,91 10. BANJARMANGU 108.360,18 113.204,41 117.822,28 123.696,46 128.821,45 11. WANADADI 76.941,54 81.392,25 84.559,56 89.946,87 95.431,66 12. RAKIT 90.205,07 92.530,83 98.558,33 104.080,26 111.573,36 13. PUNGGELAN 115.011,22 119.924,50 126.252,12 131.800,96 135.934,20 14. KARANGKOBAR 72.739,65 78.883,88 81.826,40 85.964,84 90.732,11 15. PAGENTAN 55.638,78 58.079,03 59.818,72 62.862,22 67.502,65 16. PEJAWARAN 211.849,76 215.134,01 226.111,79 233.006,26 244.728,52 17. BATUR 200.209,27 215.049,20 226.806,02 235.129,30 245.688,44 18. WANAYASA 116.824,79 119.595,76 125.131,25 130.375,70 134.971,30 19. KALIBENING 82.512,02 87.503,51 90.426,45 94.876,63 100.798,02 20. PANDANARUM 28.197,37 28.664,53 29.068,25 30.300,34 31.488,90 KABUPATEN 2.619.989,61 2.753.935,73 2.888.524,12 3.030.542,04 3.189.651,65 *) Angka sementara