Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

dokumen-dokumen yang mirip
Prosedur Operasional Standard Pemotongan Hewan di RPH

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

Lampiran I kuisioner GSP pada Tempat Pemotongan Kambing

TREMATODA PENDAHULUAN

Seleksi dan Penyembelihan Hewan Qurban yang Halal dan Baik. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Mambal Kabupaten Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114/Permentan/PD.410/9/2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN KURBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 501

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

b. Sapi/kerbau: Berumur di atas 2 (dua) tahun ditandai dengan tumbuhnya sepasang gigi tetap. (Lihat Gambar 1b).

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

Taenia saginata dan Taenia solium

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB I PENDAHULUAN. ke tahun. Berdasarkan data yang didapat dari Badan Pusat Statistik D.I

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Lampiran 1 Check list standard sanitation operating procedure (SSOP) Rumah PotongHewan (RPH) FORM MONITORING SSOP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang

TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

PENYULUHAN TENTANG PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN KURBAN DI DESA ATEUK PAHLAWAN KECAMATAN BAITURRAHMAN BANDA ACEH

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN

Morfologi dan Anatomi Dasar Kelinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN HEWAN DAN PENANGANAN DAGING

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2015 di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat,

Pemeriksaan Postmortem

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

2. Strongyloides stercoralis

Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang)

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

BAGIAN 1: MENGAPA PERLU DETOKS?

Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Pencernaan Manusia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

Pembahasan Video : :1935/testvod/_definst_/mp4:(21). 8 SMP BIOLOGI/4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIA/BIO mp4/manifest.

TEORI FENOMENA ORGAN

Ciri-ciri umum cestoda usus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-Februari 2014 di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

Mutu karkas dan daging ayam

PENERAPAN KESEJAHTERAAN HEWAN DI RUMAH POTONG HEWAN Oleh. drh. Aryani Widyawati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN RUMAH POTONG HEWAN DI KOTA METRO LAMPUNG. Tesis. Oleh Rohmatul Anwar

Terdiri dari 1. Nemathelminthes ( Cacing gilik / nema = benang) 2. Platyhelmintes (Cacing pipih) A. Trematoda (Cacing daun) B. Cestoda (Cacing pita)

Standar Kerja dan Perencanaan Kualitas Potongan Daging Sapi dari RPH Sampai Display Pasar Tradisional

TREMATODA. A. Morfologi dan Daur hidup

ANATOMI DAN FISIOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

MATERI DAN METODE PENELITIAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

Transkripsi:

16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya ±1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucu terdapat batil isap perut yang besarnya ±1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang cabang (Sutanto et al, 2008). Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) Telur cacing ini berukuran 140x90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air selama 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar mencari keong air (Lymnaea spp). Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi metaserkaria.

17 Gambar 2.2 Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) Bila tertelan, metaserkaria menetas dalam usus halus binatang yang memakan tumbuhan air tersebut, menembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang peritoneum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa (Sutanto et al, 2008). Gambar 2.3 Daur Hidup Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

18 b. Epidemiologi Suweta (1985) berpendapat bahwa faktor - faktor yang berperan di dalam epidemiologi cacing tersebut adalah : 1.Luasnya wilayah penyebaran telur cacing hati di lapangan oleh pencemaran ternak peliharaan dan binatang menyusui lainnya. 2.Kondisi lingkungan tempat tersebarnya telur cacing. 3.Penyebaran siput hospes intermedier di lapangan dan situasi/kondisi lapangan tempat tersebarnya siput. 4.Tingkat perkembangan cacing di dalam tubuh siput dan jumlah serkaria yang dapat berkembang sampai siap keluar tubuh siput. 5. Jumlah serkaria dan kondisi lapangan tempat tersebarnya serkaria. 6. Cara menggembalakan ternak 2.1.2 Clonorchis sinensis a. Morfologi dan Daur Hidup Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira kira 30x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu (Sutanto et al, 2008). Gambar 2.4 Telur Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012) Telur dikeluarkan dengan tinja. Telur menetas bila dimakan keong air. Kemudian mirasidium pada tubuh keong air berkembang menjadi sporokista, redia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II,

19 yaitu ikan. Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik. Kista ini disebut metaserkaria (Sutanto et al, 2008). Gambar 2.5 Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012) Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk ke duktus koledoktus lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan (Sutanto et al, 2008). Gambar 2.6 Daur Hidup Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012)

20 b. Epidemiologi Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam penyebaran kecacingan. Selain itu, cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan juga penting (Sutanto et al, 2008). 2.1.3 Opistorchis felineus a. Morfologi dan Daur Hidup Ukuran cacing dewasa berukuran 7-12 mm, mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral. Gambar 2.7.Telur Opistorchis felineus (Sumber : CDC, 2012) Telur Opisctorchis mirip telur C.sinensis, hanya bentuknya lebih langsing. Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria dan dimasak kurang matang (Sutanto et al, 2008). Gambar 2.8 Opistorchis felineus (Sumber : CDC, 2012)

21 Gambar 2.9 Daur Hidup Opistorchis spp (Sumber : CDC, 2012) 2.1.4 Opistorchis viverrini a. Morfologi dan Daur Hidup Morfologi dan daur hidup cacing ini mirip dengan Opistorchis felineus. Infeksi terjadi dengan makan ikan mentah yang mengandung metaserkaria (Sutanto et al, 2008). Gambar 2.10 Telur Opistorchis viverrini (Sumber : CDC, 2012)

22 Gambar 2.11 Opistorchis viverrini (Sumber : CDC, 2012) b. Epidemiologi Daerah Muangthai timur laut terdapat banyak penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis yang diduga akibat peradangan pada saluran empedu yang berhubungan dengan cara pengawetan ikan yang menjadi hospes perantara cacing tersebut (Sutanto et al, 2008). 2.2 Perubahan Patologi Anatomi Hati Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan ikterus dan akibat lainnya bisa berupa hepatomegali (Sutanto et al, 2008). Gambar 2.12 Hati Sapi Terinfeksi Trematoda (Sumber : Okezone, 2011)

23 Pada kasus akut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Soulsby, 1986). Gambar 2.13 Trematoda yang Tampak Setelah Proses Penyayatan (Sumber :Global FM Jogja, 2012) Pada kasus kronik ditandai dengan penurunan nafsu akan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw, cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup dalam buluh empedu (Soulsby, 1986). Tingkat kerusakan atau perubahan patologi anatomi pada hewan dipengaruhi oleh jumlah metaserkaria yang termakan oleh ternak, fase perkembangan cacing di dalam hati, dan spesies inang definitif. Perubahan patologi di dalam tubuh inang definitif terjadi akibat adanya migrasi cacing di dalam tubuh. Migrasi diawali dengan penetrasi intestinal (prehepatik) kemudian sampai ke hati dan akhirnya masuk ke saluran empedu. Migrasi cacing pada organ hati menyebabkan hemoragi, kerusakan parenkim dan buluh empedu. Buluh empedu mengalami peradangan, penebalan dan penyumbatan sehingga terjadi sirosis periportal, peritonitis serta kolesistitis. Secara mikroskopis terjadi perubahan pada struktur jaringan hati. Perubahan tersebut digolongkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok perubahan akut dan kronis. Pada stadium akut tampak adanya perdarahan, degenerasi sel hati, peradangan, proliferasi buluh

24 empedu, infiltrasi sel radang, serta adanya globula leukosit pada mukosa buluh empedu. pada stadium kronis tampak fokus-fokus radang granuloma, mineralisasi, dan fibrosis (Winarsih et al, 1996) 2.3 Prosedur Operasional Standar Pemotongan Hewan di RPH Pemotongan hewan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) harus dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang dalam hal ini Departemen Pertanian. Penetapan aturan maupun teknis pelaksanaan pemotongan di RPH dimaksudkan sebagai upaya penyediaan pangan asal hewan khususnya daging ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Untuk mendapatkan daging ASUH yang bersumber dari RPH maka sudah seharusnya RPH memiliki prosedur operasional standar yang dijadikan dasar atau patokan dalam menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pemotongan, pengulitan, pelayuan dan akhirnya penyediaan daging untuk konsumen (Wahyudi, 2010). Prosedur operasional standar yang ditetapkan oleh Dirjen Peternakan Departemen Pertanian adalah sebagai berikut: a. Tahap Penerimaan dan Penampungan Hewan, prosedur operasional meliputi: 1. Hewan ternak yang baru datang di RPH harus diturunkan dari alat angkut dengan hati-hati dan tidak membuat hewan stress. 2. Dilakukan pemeriksaan dokumen (surat kesehatan hewan, surat keterangan asal hewan, surat karantina, dsb). 3. Hewan ternak harus diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penempungan minimal 12 jam sebelum dipotong. 4. Hewan ternak harus dipuasakan tetapi tetap diberi minum kurang lebih 12 jam sebelum dipotong. 5. Hewan ternak harus diperiksa kesehatannya sebelum dipotong (pemeriksaan antemortem).

25 b. Tahap Pemeriksaan Ante Mortem: 1. Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan (Surat Keputusan Bupati/Walikota/Kepala Dinas). 2. Hewan ternak yang dinyatakan sakit atau diduga sakit dan tidak boleh dipotong atau ditunda pemotongannya, harus segera dipisahkan dan ditempatkan pada kandang isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut. 3. Apabila ditemukan penyakit menular atau zoonosis, maka dokter hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. c. Persiapan Penyembelihan/Pemotongan, prosedur operasionalnya: 1. Ruang proses produksi dan peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum dilakukan proses penyembelihan/pemotongan. 2. Hewan ternak harus ditimbang sebelum dipotong. 3. Hewan ternak harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air (disemprot air) sebelum memasuki ruang pemotongan. 4. Hewan ternak digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan melalui gang way dengan cara yang wajar dan tidak membuat stress. d. Penyembelihan: 1. Hewan ternak dapat dipingsankan atau tidak dipingsankan. 2. Apabila dilakukan pemingsaan, maka tata cara pemingsanan harus mengikuti Fatwa MUI tentang tata cara pemingsanan hewan yang diperbolehkan. 3. Apabila tidak dilakukan pemingsanan, maka tata cara menjatuhkan hewan harus dapat meminimalkan rasa sakit dan stress (missal menggunakan restraining box). 4. Apabila hewan ternak telah rebah dan telah diikat (aman) segera dilakukan penyembelihan sesuai dengan syariat Islam yaitu memotong bagian ventral

26 leher dengan menggunakan pisau yang tajam sekali tekan tanpa diangkat sehingga memutus saluran makan, nafas dan pembuluh darah sekaligus. 5. Proses selanjutnya dilakukan setelah hewan ternak benar-benar mati dan pengeluaran darah sempurna. 6. Setelah hewan ternak tidak bergerak lagi, leher dipotong dan kepala dipisahkan dari badan, kemudian kepala digantung untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya. 7. Pada RPH yang fasilitasnya lengkap, kedua kaki belakang pada sendi tarsus dikait dan dikerek (hoisted), sehingga bagian leher ada di bawah, agar pengeluaran darah benar-benar sempurna dan siap untuk proses selanjutnya. 8. Untuk RPH yang tidak memiliki fasilitas hoist, setelah hewan benar-benar tidak bergerak, hewan dipindahkan ke atas keranda/penyangga karkas (cradle) dan siap untuk proses selanjutnya. e. Tahap Pengulitan: 1. Sebelum proses pengulitan, harus dilakukan pengikatan pada saluran makan di leher dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan mencemari karkas. 2. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis dada dan bagian perut. 3. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki. 4. Kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung. 5. Pengulitan harus hati-hati agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan terbuangnya daging. f. Pengeluaran Jeroan: 1. Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan sepanjang garis perut dan dada. 2. Organ-organ yang ada di rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga agar rumen dan alat pencernaan lainnya tidak robek.

27 3. Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru-paru, tenggorokan, limpa, ginjal dan lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus, lemak dan esophagus). g. Tahap Pemeriksaan Post Mortem: 1. Pemeriksaan post mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan. 2. Pemeriksaan postmortem dilakukan terhadap kepala, isi rongga dada dan perut serta karkas. 3. Karkas dan organ yang dinyatakan ditolak atau dicurigai harus segera dipisahkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. 4. Apabila ditemukan penyakit hewan menular dan zoonosis, maka dokter hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. h. Pembelahan Karkas, dengan tahapan: 1. Karkas dibelah dua sepanjang tulang belakang dengan kampak yang tajam atau mesin yang disebut automatic cattle splitter. 2. Karkas dapat dibelah dua/empat sesuai kebutuhan. i. Pelayuan: 1. Karkas yang telah dipotong/dibelah disimpan diruang yang sejuk 2. Karkas selanjutnya siap diangkut ke pasar. j. Pengangkutan Karkas: 1. Karkas/daging harus diangkut dengan angkutan khusus daging yang didesain dengan kotak tertutup, sehingga dapat mencegah kontaminasi dari luar. 2. Jeroan dan hasil sampingannya diangkut dengan wadah dan atau alat angkut yang terpisah dengan alat angkut karkas/daging.

28 3. Karkas/daging dan jeroan harus disimpan dalam wadah/kemasan sebelum disimpan dalam kotak alat angkut. 4. Untuk menjaga kualitas daging dianjurkan alat angkut karkas/daging dan jeroan dilengkapi dengan alat pendingin (refrigerator).