BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Model Perjanjian Kerja Yang Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Kontrak Di Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum

BAB II ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

BAB III LANDASAN TEORI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) A. Pengertian Perjanjian, Perjanjian Bernama dan Tidak Bernamaserta Perjanjian Kerja

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

H U B U N G A N K E R J A

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

Miftakhul Huda, S.H., M.H

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain

KOMPETENSI dan INDIKATOR

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

BAB I PENDAHULUAN. guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang giat-giatnya membangun

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

BAB II TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KERJA DAN OUTSOURCING. Dengan diadakannya perjanjian kerja maka terjalin hubungan kerja antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, perjanjian, subjek serta obyek yang diperjanjikan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) PADA HOTEL ANDALUCIA DI KOTA JAYAPURA

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN SERTA PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

HUKUM KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD Tahun 1945 dalam. dengan membayar upah sesuai dengan perjanjian kerja.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. dari berbagai kebutuhan mulai dari kebutuhan utama ( primer), pelengkap

BAB I PENDAHULUAN. yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN, DAN OUTSOURCING

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU

BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA. A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka mendukung pekerjaan dan penghidupan yang layak. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada

TUGAS MAKALAH HUBUNGAN INDUSTRIAL BAB PERJANJIAN KERJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA

BAB I PENDAHULUAN. diatur tegas di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun penghidupan yang layak bagi kemanusian.

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu membantu dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan negara, Pembangunan Nasional Negara Indonesia. yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik

BAB II KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA YANG DIDAFTARKAN PADA DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Meliana Setiawan NRP Kata kunci: Satlinmas, pekerja, surat perjanjian kerja

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) DI PT. NUNUKAN SAWIT MAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

BAB II PERJANJIAN KERJA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dan tenaga kerja adalah

Kesepakatan/Perjanjian Kerja

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil setelah dilakukannya penelitian maka dapat disimpulkan, antara lain :

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu perjanjian yang mendahului hubungan hukum tersebut. Secara umum suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain dan dimana kedua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. 30 Dengan adanya pengertian tentang perjanjian tersebut, bisa disimpulkan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Dalam hal perjanjian, tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat terhadap bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan asas kebebasan berkontrak, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 31 Asas kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1, Pasal 1337 KUH Perdata. Dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu: 32 a. Ada pihak-pihak b. Ada persetujuan antara para pihak c. Ada tujuan yang akan dicapai d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan e. Ada bentuk tertentu f. Ada syarat-syarat tertentu 30 Soebekti, Aneka Perjanjian, (Alumni Bandung:1994), hal. 1 31 Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999). Hal. 10. 32 Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hal.78. 15

Seperti telah diuraikan sebelumnya, suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan menjadi Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (legally concluded contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Maksudnya adalah kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut haruslah bersepakat dan setuju atas hal-hal yang diperjanjikan dengan tanpa ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Maksudnya adalah yang dapat membuat suatu perjanjian adalah mereka yang bisa dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu orang dan badan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum, antara lain: a. ada harta kekayaan yang terpisah; b. mempunyai tujuan tertentu; c. mempunyai kepentingan sendiri; d. ada organisasi. Dengan terpenuhinya keempat syarat tersebut, maka badan hukum tersebut bisa disebut sebagai subyek hukum dan bisa melakukan hubungan hukum yang antara lain sebagai salah satu pihak dalam suatu perjanjian. Jika yang membuat perjanjian adalah orang, maka orang yang dianggap sebagai subyek hukum adalah orang yang tidak termasuk dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu a. Orang yang belum dewasa; b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; c. orang perempuan yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada kepada siapa undang-undang telah melarang membuat suatu perjanjian-perjanjian tertentu. Namun bagi seorang perempuan, 16

setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan dalam Pasal 1330 ini sudah tidak berlaku lagi. {Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2).} Berdasarkan ketentuan tersebut maka yang termasuk dalam ketiga criteria tersebut tidak bisa membuat suatu perjanjian, dan sebaliknya yang tidak termasuk dalam ketiga kriteria tersebut dapat membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu Maksudnya sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati sebagai obyek suatu perjanjian. 4. Suatu sebab yang halal Maksudnya adalah apa yang diperjanjikan merupakan sesuatu yang tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. 2.2 Perjanjian Kerja Dalam mengadakan suatu perjanjian, para pihak tidak selalu mempunyai kedudukan yang sama dari pihak lainnya. Kita dapat melihat hal ini pada perjanjian kerja yang terdapat unsur wewenang perintah didalamnya. Sebagai salah satu sumber hukum perburuhan, dengan adanya unsur wewenang perintah dalam perjanjian kerja berarti antara kedua belah pihak ada kedudukan yang tidak sama yaitu yang memerintah dan yang diperintah. Kedudukan yang tidak sama disebut pula hubungan diperatas (dienstverhoeding).. 33 Jadi, bila seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja di bawah perintah orang lain. Dalam hal ini buruh yang tidak memiliki modal dan hanya mempunyai tenaga saja, mempunyai kedudukan yang rendah dan pengusaha sebagai pihak yang memiliki modal mempunyai kedudukan yang tinggi. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Artinya, prinsip yang menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah perintah dengan menerima upah. 33 Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, Mandar Maju, Bandung:1999, hal. 9 17

Berkaitan dengan hal tersebut, negara harus melindungi siapa saja yang lemah agar dapat tercapai suatu keseimbangan yang mendekatkan warga negaranya dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dikarenakan dalam mengadakan perjanjian khususnya perjanjian kerja ada perbedaan-perbedaan tertentu seperti kondisi, kedudukan, dan berbagai hal seperti di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan antara mereka yang membuat perjanjian kerja, maka diperlukan intervensi dari pihak ketiga yaitu peran Negara guna memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah, terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang. Sehingga pada tahun 2003, lahirlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selain untuk mencabut ketentuanketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998 termasuk pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dalam hubungan kerja. 34 Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. 35 Iman Soepomo, merumuskan hubungan kerja sebagai suatu hubungan antara seorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukan kedudukan kedua pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban buruh terhadap majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan terhadap buruh. Adanya hubungan kerja ialah hanya bila ada buruh dan majikannya atau 34 Lihat Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279. Penjelasan Umum.. 35 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi). (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), Hal. 53 18

majikan dengan buruhnya. Hubungan ini terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. Pada pihak lainnya mengandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan ini berada di bawah pimpinan pihak majikan. 36 Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. Pengertian perjanjian kerja dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Bila melihat pengertian tersebut, tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tertulis serta jangka waktunya tidak ditentukan. Namun hal ini diatur dalam BAB IX Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. 37 Dalam Pasal 51 ayat (2)-nya menyebutkan perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Secara normative bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Selain itu, dalam Pasal 54 juga menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat: a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; 36 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan : Bidang Hubungan Kerja, (edisi revisi) (Jakarta: Djambatan, 2001), hal.1. 37 Indonesia, 2003, Op. Cit, Penjelasan Pasal 51 ayat (1): Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. 19

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Pada ayat (2)-nya, disebutkan bahwa perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Artinya isi dari perjanjian kerja tersebut baik secara kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di sebuah perusahaan khususnya mengenai besarnya upah dan cara pembayarannya, serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha, dan pekerja/buruh. Pada ayat (3)-nya juga diatur mengenai perjanjian kerja yang harus dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), masing masing untuk pekerja/buruh dan pengusaha dan mempunyai kekuatan hukum yang sama pula. Bila melihat dalam penjelasan Pasal 51 ayat (2), perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, dan salah satu contohnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu. Unsur jangka waktu dalam perjanjian kerja harus disepakati jangka waktunya sehingga terlihat apakah perjanjian kerja tersebut berlaku untuk jangka waktu tertentu atau bukan karena terdapat perbedaan dalam pengaturannya termasuk jenis pekerjaannya. 2.3 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 38. Kemudian diatur lebih 38 Indonesia, 2003,Op. Cit, Pasal 56 ayat (1). 20

lanjut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Adapun alasan tetap dipergunakannya jenis perjanjian tersebut adalah karena ada sejumlah pekerjaan yang memang memiliki batas waktu dalam pengerjaannya sehingga membutuhkan ketentuan tentang perjanjian yang memiliki batas waktu pula. 2.3.1 Syarat-syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksana Perjanjian Kerja Waktu Tertentu disebutkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah Perjanjian Kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Sedangkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. 39 Bila melihat kedua definisi tersebut maka jelaslah bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu sering juga disebut dengan perjanjian kerja tidak tetap atau perjanjian kerja kontrak. Status pekerjanya-pun adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu disebut juga dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjanya-pun adalah pekerja tetap. Selain persyaratan pada umumnya sebuah perjanjian kerja, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disingkat PKWT) juga harus memenuhi syarat-syarat dalam pembuatannya. Adapun syarat pembuatan PKWT terbagi 2 (dua) macam, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil diatur pada Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut: a. Kesepakatan kedua belah pihak; b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan. 39 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Ketentuan Pelaksana Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Kepmennakertrans Nomor KEP.100/Men/VI/2004, Pasal 1 huruf b. 21

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian, syarat materiil dari perjanjian kerja tertentu disebutkan bahwa kesepakatan kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan 40,yaitu dengan permohonan atau gugatan ke pengadilan, sedangkan yang bertentangan dengan ayat (1) huruf c dan huruf d atau tidak memenuhi syarat obyektif maka secara otomatis perjanjian yang dibuat adalah batal demi hukum. 41 Selain itu, kedudukan perjanjian kerja yang sah sebagai ketentuan hukum dibidang ketenagakerjaan, maka syarat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan syarat yang mulak karena memiliki makna bahwa perjanjian kerja tersebut berlaku sebagai ketentuan hukum bagi pihak-pihak yang membuatnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti apabila perjanjian tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan secara otomatis tidak berlaku sebagai ketentuan hukum. 42 Selain ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya, PKWT yang dibuat juga harus dibuat secara tertulis. 43 Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan selama masa kontrak sampai berakhirnya kontrak kerja. Selain itu, bentuk tertulis juga lebih menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Selanjutnya, diatur pula bahwa PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja karena pada prinsipnya PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya 40 Indonesia, 2003, Op. Cit, Pasal 52 ayat (2). 41 Djumadi, Op. Cit, hal. 67. Akibat hukum yang tidak dipenuhi dari tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut juga sama dengan akibat yang diatur dalam perjanjian pada umumnya yang menganut asas konsensualisme seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 42 Indonesia, 2003, Op. Cit,Pasal 52 ayat (4). 43 Ibid, Pasal 57 ayat (1). 22

akan selesai dalam waktu tertentu. Artinya, tidak adanya masa percobaan dalam PKWT adalah karena perjanjian kerja berlangsung relatif singkat. Jika ada PKWT yang mensyaratkan masa percobaan, maka PKWT tersebut batal demi hukum. 44 Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja dan kesungguhan dan keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat yang berwenang). Walau demikian, dalam masa percobaan ini pengusaha tetap dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku. Adapun syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam pembuatan perjanjian kerja antara lain adalah sebagai berikut: 45 1. PKWT dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. 2. PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan PKWT. 3. PKWT yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya harus memuat: 46 a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. 44 Ibid, Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2). 45 Djumadi, Op. cit, hal 67 46 Indonesia, 2003, Op. Cit,Pasal 54 ayat (1). 23

Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam PKWT tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang termuat dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Bila ternyata kualitas isinya lebih rendah, maka syarat-syarat kerja yang berlaku adalah yang termuat dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Khusus mengenai PKWT, dibuat dalam rangkap 3 (tiga), rnasingmasing rangkap untuk pekerja, pengusaha dan Dinas/lnstansi yang membidangi ketenagakerjaan setempat. Seluruh biaya yang timbul atas pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi tanggungan pengusaha. 2.3.2 Kategori Pekerjaan untuk PKWT Dalam PKWT terdapat beberapa kategori pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT sebagai dasar adanya hubungan kerja antara pekerja/uruh dengan pengusaha, namun hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. 47 Adapun kategori pekerjaan untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tersebut sebagai berikut: a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. Pekerjaan yang bersifat musiman; d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep.100/MEN/VI/2004 terdapat beberapa pasal yang mengatur penjabaran pengaturan mengenai kategori pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT. 48 Hal-hal tersebut antara lain: a. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara Pengaturan PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara yakni sebagai berikut: 47 Ibid, Pasal 59 ayat (1). 48 Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Op. Cit, Pasal 3 sampai dengan Pasal 12. 24

Yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk waktu paling lama tiga tahun (Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Kep. 100/ Men/VI/2004). Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan (Pasal 3 ayat (4) Kep.100/Men/VI/2004). Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai (Pasal 3 ayat (4) Kep.100/Men/VI/2004). Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu (Pasal 3 ayat (5) Kep.100/Men/VI/2004). Pembaruan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari setelah setelah berakhirnya kerja (Pasal 3 ayat (6) Kep.100/Men/VI/2004). Selama tenggang waktu tiga puluh hari tidak boleh ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha (Pasal 3 ayat (7) Kep, 100/Men/VI/ 2004). b. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu (Pasal 4 Kep 100/Men/VI/2004 tahun 2004). Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan (Pasal 5 Kep. 100/Men/VI/2004 tahun 2004). Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat 25

musiman tidak dapat dilakukan pembaruan (Pasal 7 Kep.100/Men/VI/2004 tahun 2004). c. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan (Pasal 8 ayat (1) Kep.100/ Men/VI/2004 tahun 2004). Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 tahun tetapi tidak dapat dilakukan pembaruan (Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Kep.100/ Men/VI/2004). Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa / dilakukan perusahaan (Pasal 9 Kep.100/Men/VI/2004). d. Perjanjian kerja harian lepas Mengenai pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dibuat perjanjian kerja harian lepas (Pasal 10 ayat (1) Kep.100/ Men/VI/2004). Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja/ buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja/ waktu tidak tertentu (Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Kep.100/Men/VI/2004). Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya (Pasal 11 Kep. l00/men/vi/2004). Maksud dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian lepas tidak dibatasi oleh hanya 26

satu kali perpanjangan dan atau satu kali pembaruan sebagaimana perjanjian kerja waktu tertentu pada umumnya. Pada ayat (2)-nya ditegaskan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, yaitu pekerjaan yang siiatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dan suatu proses produksi dalam 1 (satu) perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. 2.3.3 Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Mengenai jangka waktu berlakunya PKWT diatur pada Pasal 59 avat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa PKWT dapat diperpanjang atau diperbarui dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun. Yang dimaksud diperpanjang adalah melanjutkan hubungan kerja setelah PKWT berakhir tanpa adanya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan pembaruan adalah melakukan hubungan baru setelah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama berakhir melalui pemutusan hubungan kerja dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari. Jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat diadakan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang sekali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun (Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan), sedangkan pembaruan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya boleh dilakukan sekali dan paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Dengan berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), secara otomatis hubungan kerja berakhir demi hukum. Jika disimpulkan, jangka waktu PKWT itu secara normatif keseluruhan hanya boleh berlangsung selama 3 (tiga) tahun, baik untuk perpanjangan maupun untuk pembaruan. 27

2.3.4 Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Alasan-alasan berakhirnya suatu perjanjian kerja adalah: 1. Pekerja meninggal dunia. 2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. 3. Adanya putusan pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja (Rasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja selain alasan-alasan tersebut di atas atau sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Sebagai contoh, apabila seorang pekerja/buruh dikontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu selama 1 tahun, kemudian setelah 6 bulan berjalan, pekerja/buruh tersebut diberhentikan secara sepihak oleh pengusaha, pengusaha tersebut diwajibkan membayar sisa kontrak selama 6 bulan. 28