BAB III PENGOLAHAN DATA Pengolahan data pada penelitian ini meliputi tahapan pengambilan data, penentuan titik tengah area yang akan menjadi sampel, pengambilan sampel, penentuan ukuran window subcitra acuan (SCA) maupun citra pencarian (CP), perubahan struktur data ke dalam bentuk satu dimensi, transformasi dengan wavelet satu dimensi, filterisasi dalam domain frekuensi, korelasi sebelum maupun setelah dilakukannya transformasi wavelet satu dimensi, pencarian hasil korelasi paling maksimum berdasarkan induk wavelet, level dekomposisi, dan ukuran citra pencarian, yang kemudian dibandingkan dengan data validasi. Data (Citra Kiri) Data (Citra Kanan) Penentuan Titik Sampel untuk area Homogen dan Heterogen Penentuan Ukuran SCA (11x11) Penentuan Ukuran CP (21x21, 31x31, 41x41, 51x51, 61x61) SCA CP Perubahan struktur data ke dalam bentuk satu dimensi (Horisontal dan Vertikal) Transformasi Wavelet satu dimensi (dengan Transformasi Wavelet Diskrit) menggunakan induk wavelet haar, daubechies2, dan daubechies3, serta level dekomposisi 1, 2, dan 3 Filterisasi (reduksi noise) Korelasi setelah Transformasi Wavelet 1D dengan menggunakan metode korelasi nilai rata-rata kanal yang diberi bobot Korelasi sebelum Transformasi Wavelet 1D dengan menggunakan metode korelasi nilai rata-rata kanal yang diberi bobot Analisis Nilai Korelasi berdasarkan Induk Wavelet Analisis Nilai Korelasi berdasarkan Level Dekomposisi Analisis Nilai Korelasi berdasarkan Ukuran Citra Pencarian Gambar III-1 Skema pengolahan data 20
III.1 Data yang Digunakan Kajian dilakukan pada dua citra digital berformat RGB yang mempunyai skala sama dan saling bertampalan pada daerah Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Foto diambil dengan kamera Nikon Coolpix yang memiliki resolusi spasial 24 cm. Citra tersebut merupakan citra foto udara yang kemudian dipilih beberapa area yang homogen maupun yang heterogen sebagai sampel penelitian, dengan citra kiri sebagai sub-citra acuan dan citra kanan sebagai citra pencarian. Gambar III-2 Sampel Penelitian III.2 Penentuan Titik Sampel Pengambilan data titik-titik sampel dilakukan pada citra area homogen dan area heterogen. Hal ini dilakukan agar dapat membandingkan antara nilai hasil korelasi area yang homogen dengan yang heterogen. Pada dasarnya area yang homogen memiliki nilai variansi yang kecil, sehingga cukup sulit saat akan dilakukan pencocokan diantara dua buah citra yang bertampalan. Pola yang ditampilkan oleh citra homogen cenderung seragam sehingga sulit menemukan karakteristik khusus dalam mengidentifikasi area pertampalan yang benar-benar cocok. Histogram yang memperlihatkan variansi dari penyebaran data citra homogen dan heterogen dapat dilihat pada gambar III-3 dan III-4. 21
Gambar III-3 Citra homogen beserta histogramnya Gambar III-4 Citra heterogen beserta histogramnya Penentuan titik sampel diambil dari penglihatan secara stereoskopis pada alat stereoplotter. Pada dasarnya, pencarian pasangan titik-titik sekawan (conjugate points) tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan hubungan transformasi affine untuk pendekatan posisi awal (initial position). Kualitas posisi awal tersebut dapat diketahui dengan menerapkan proses perhitungan kuadrat terkecil (least-square) melalui teknik hitung perataan (adjustment). Kualitas kesamaan objek diidentifikasi dengan melihat besarnya pergeseran posisi/piksel pada posisi yang telah ditentukan berdasarkan setiap karakteristik objek. (Sopian, 2007). III.3 Penentuan Ukuran Window Sampel Titik-titik tersebut kemudian di-input pada piranti lunak Stereomatch untuk selanjutnya ditentukan besarnya ukuran window sampel citra acuan maupun pencariannya. Pengambilan sampel dilakukan bagi area yang homogen dan heterogen pada sembilan lokasi yang berbeda pada daerah yang bertampalan. Lihat lagi gambar III-1. Pada setiap titik yang telah 22
ditentukan di foto kiri kemudian dicari posisinya pada foto kanan sesuai dengan ukuran window citra yang diinginkan, seperti dicontohkan pada gambar III-5 dan III-6. besar Gambar III-5 Penentuan ukuran window citra pada area homogen Gambar III-6 Penentuan ukuran window citra pada area heterogen Ukuran mask sub-citra acuan adalah 11x11 piksel, sementara ukuran mask citra pencarian adalah 21x21, 31x31, 41x41, 51x51, dan 61x61 piksel. 23
11X11 SCA CP 21X21 31X31 41X41 51X51 61X61 Gambar III-7 Contoh ukuran window untuk SCA dan CP Dari input data tersebut ada 9 grid area yang didalamnya diambil sampel homogen dan heterogen dengan 5 percobaan atas window yang berbeda bagi setiap titik yang telah ditentukan, sehingga didapat 90 sampel (homogen dan heterogen). Sistem koordinat foto yang dipakai adalah bentuk integer baris dan kolom. Induk wavelet yang dipergunakan ada 3 (Haar, Daubechies-1, dan Daubechies-2) dengan 3 level dekomposisi yang diolah dengan disekuensialkan terlebih dahulu ke arah horisontal dan vertikal, sehingga total percobaan berjumlah 1620. III.4 Teknik Korelasi Langkah pertama adalah menghitung korelasi sebelum transformasi, kemudian mendapatkan nilai korelasi maksimumnya. Seperti yang telah disebutkan pada Bab II bahwa teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi nilai rata-rata kanal yang diberi bobot dengan menggunakan persamaan II.4, dimana koefisien korelasi didapatkan dari rata-rata koefisien korelasi masing-masing kanal yang telah diberi bobot. Dari hasil pengkorelasian tersebut, didapat nilai korelasi maksimum bagi setiap ukuran window citra (21x21, 31x31, 41x41, 51x51, 61x61) yang telah dirata-ratakan sebagai berikut. Tabel III-1 Hasil korelasi sebelum transformasi wavelet satu dimensi Nilai Korelasi Sebelum Ukuran Transformasi CP Homogen Heterogen 21x21 0.4413222 0.8675222 31x31 0.489 0.8983875 41x41 0.4957333 0.9076833 51x51 0.5069625 0.9147429 61x61 0.5288571 0.9147429 24
III.5 Perubahan Struktur Data ke dalam Bentuk Satu Dimensi Dalam melakukan transformasi wavelet satu dimensi, dilakukan perubahan struktur atas data citra dua dimensi ke dalam satu dimensi dengan mensekuensialkan ke arah horisontal dan vertikal. Citra dalam bentuk dua dimensi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sekuensial ke arah horisontal dan vertikal H 1 2 3 4 5 6 7 8 9 V 1 4 7 2 5 8 3 6 9 Gambar III-8 Perubahan struktur data ke dalam bentuk satu dimensi III.6 Transformasi Wavelet Satu Dimensi Setelah data citra berbentuk satu dimensi, data tersebut kemudian dikorelasikan dengan mempertimbangkan unsur induk wavelet, dekomposisi wavelet, level dekomposisi, ukuran citra pencarian, waktu pengolahan, serta filterisasi sinyal. Dalam penelitian ini dipergunakan induk wavelet haar, daubechies 2, dan daubechies 3 saja. Lalu dilakukan pemrosesan selanjutnya, yaitu transformasi dengan wavelet satu dimensi. Pada tahap transformasi, dilakukan dekomposisi. Dekomposisi adalah peristiwa penguraian sinyal asli ke dalam bentuk aproksimasi dan detail. Dekomposisi dilakukan terus secara iterasi hingga didapatkan aproksimasi dan detail yang sesuai, kemudian dikembalikan lagi ke dalam sinyal asli. Pada percobaan ini, dekomposisi dilakukan hingga level ketiga. III.7 Filterisasi Citra yang telah berbentuk satu dimensi di dekomposisi beberapa level sehingga datanya terurai menjadi yang berfrekuensi tinggi dan yang berfrekuensi rendah. Frekuensi tinggi 25
merupakan komponen detail, sementara frekuensi rendah merupakan komponen aproksimasi. Dalam hal ini, filterisasi dilakukan untuk mengurangi noise pada sinyal berfrekuensi tinggi (detail). Filterisasi dilakukan sebelum sinyal direkonstruksi ke bentuk semula. Reduksi noise Gambar III-9 Filterisasi (noise reduction) III.8 Korelasi Setelah Transformasi Wavelet Satu Dimensi Setelah dilakukan filterisasi terhadap sinyal, maka selanjutnya dilakukan korelasi citra setelah transformasi wavelet terjadi. Nilai hasil korelasi tersebutlah yang akan dianalisis dan dibandingkan dengan nilai hasil korelasi sebelum transformasi wavelet dilakukan. Hasil pengolahan data yang diperoleh berupa posisi awal kedua citra, nilai dan posisi hasil korelasi sebelum transformasi wavelet dilakukan, nilai dan posisi hasil korelasi setelah transformasi wavelet, serta waktu proses korelasi berlangsung. Tabel III-2 Hasil korelasi setelah transformasi wavelet satu dimensi berdasarkan ukuran citra pencarian Ukuran CP Nilai Korelasi Setelah Transformasi Homogen Heterogen Horisontal Vertikal Horisontal Vertikal 21x21 0.698535778 0.689942556 0.939634556 0.906663 31x31 0.726266714 0.71641525 0.940190111 0.907122333 41x41 0.730569375 0.731777667 0.951065143 0.920254143 51x51 0.739087625 0.752838333 0.951250857 0.924880625 61x61 0.74891675 0.752978889 0.9564945 0.926018175 26
Tabel III-3 Hasil korelasi setelah transformasi wavelet satu dimensi berdasarkan Induk Wavelet induk wavelet Korelasi Setelah Transformasi Wavelet (Horisontal) Homogen Heterogen Horisontal Vertikal Horisontal Vertikal Haar 0.430611852 0.428570238 0.910766667 0.852100813 Daubechies 2 0.812975556 0.813955788 0.94368963 0.91386 Daubechies 3 0.815367407 0.816217667 0.948 0.922151852 Tabel III-4 Hasil korelasi setelah transformasi wavelet satu dimensi berdasarkan Level Dekomposisi level dekomposisi Korelasi Setelah Transformasi Wavelet Homogen Heterogen Horisontal Vertikal Horisontal Vertikal 1 0.460283704 0.456191111 0.892713636 0.87097803 2 0.811167407 0.831081481 0.947665909 0.910283333 3 0.787503704 0.863995556 0.96242803 0.908740909 27