BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pola Relasi Sosial Masayarakat Agraris

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum berbicara mengenai konsep dan pola Patron-Klien, Scott (1989,

Bab II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah patron berasal dari bahasa Latin patronus atau pater, yang berarti

POLA RELASI SOSIAL PETANI DENGAN BURUH TANI DALAM PRODUKSI PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai Provinsi Kepulauan. Bangka

MENGENAL HUBUNGAN PATRON-KLIEN

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini

SISTEM BAGI HASIL PETANI PENYAKAP DI DESA KRAI KECAMATAN YOSOWILANGUN KABUPATEN LUMAJANG

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

BAB I PENDAHULUAN. mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. satu suku yang dapat ditemui di Sumatera bagian Utara yang ber-ibukota Medan.

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB III LAPORAN PENELITIAN

Gotong Royong Dalam Kehidupan Masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. Partisipasi menurut Sumarto (dalam Safira 2004:17) adalah proses ketika warga

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi

SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR

BAB II KAJIAN PUSTAKA. modal yang dimiliki melalui kegiatan tertentu yang dipilih. Suharto (2009:29)

3. Penutup Pertanyaan Diskusi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengenai desa, masyarakat, atau komunitas desa, serta solidaritasnya.

BAB III TRANSAKSI UTANG PIUTANG DI DESA BRUMBUN KECAMATAN WUNGU KABUPATEN MADIUN. A. Gambaran Umum Desa Brumbun Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun

BAB I PENDAHULUAN. pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama

BAB I PENDAHULUAN. Desa Tiohu terletak di sebelah Timur Ibukota Kecamatan Asparaga

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

Pembangunan di pedesaan adalah bagian dari proses pembangunan. nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era teknologi tinggi, penggunaan alat-alat pertanian dengan mesin-mesin

IMPLEMENTASI NILAI PERSATUAN DALAM BERGOTONG ROYONG DI MASYARAKAT DESA

KATA PENGANTAR. Bismillaahirrohmaanirrohiim.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

GEJALA PERGESERAN KELEMBAGAAN UPAH PADA PERTANIAN PADI SAWAH

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk telah diakui sejak merdeka

Analisis Sistem Pengupahan Bawon Pada Pertanian Padi (Studi Kasus Pada Petani Di Desa Gambar Kecamatan Wonodadi Kabupaten Blitar)

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN. Tabuk Kabupaten Banjar tentang praktek zakat bersyarat, maka diperoleh 6 (enam) b) Umur : 39 tahun

BAB V KESIMPULAN. A. Melihat Pola Relasi Rentenir dan Pedagang Pasar Tradisional dalam. Rentenir pasar merupakan sebuah fenomena yang nyata adanya di

PERGESERAN NILAI GOTONG ROYONG DALAM PENGOLAHAN LAHAN PERTANIAN DESA PULUNG KENCANA. (Jurnal) Oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diversifikasi pekerjaan. Diversifikasi pekerjaan ini lebih diarahkan tidak untuk

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN

BAB V PENUTUP. 1. Modal sosial memiliki peran penting dalam perkembangan industri. Bangsal. Dalam perkembanganya norma, kepercayaan, resiprositas dan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH CATONAN DI DESA CIEURIH KEC. MAJA KAB. MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Tentang Kegiatan Gotong Royong. beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bayu Setiyo Pamungkas Universitas Sebelas Maret

BAB V PENUTUP. selamatan dan hajatan. Dalam pelaksanaan hajatan dan selamatan tersebut

TINJAUAN PUSTAKA. seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan

BAB IV DISKUSI TEORITIK

KAJIAN TENTANG HUBUNGAN PATRON KLIEN PEMETIK TEH DI PTPN VIII MALABAR DESA BANJARSARI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. mengandalkan titik perekonomiannya pada bidang pertanian. Pada umumnya mata

BAB IV ANALISIS A. Pelaksanaan Pembayaran Upah Buruh Tani Oleh Pemberi Kerja

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

BAB V. Kesimpulan dan Saran

BAB II KAJIAN PUSTAKA. samping terutama untuk tempat tinggal, juga untuk semacam itu yakni yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris. Hal itu didasarkan pada luasnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Etika subsistensi merupakan sebuah teori yang dikemukaan James C. Scott

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk. mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial

VII ANALISIS PENDAPATAN

I. PENDAHULUAN. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan pedesaan yang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. data sosial ekonomi September 2013 sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja

BAB I PENDAHULUAN. adalah lautan. Luas daratan Indonesia adalah km² yang menempatkan

BAB V PENUTUP. Untuk itu dalam rangka mempertahankan usahanya sales keliling menjalin

BAB III PRAKTIK AKAD MUKHA>BARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK. sebagaimana tertera dalam Tabel Desa Bolo.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Scott dalam Putra (1988: 3-4) mengemukakan bahwa hubungan patronase

BAB I PENDAHULUAN. diupayakan dan mewujudkan potensinya menjadi aktual dan terwujud dalam

RELASI PATRON KLIEN JURAGAN BAWANG MERAH DAN BURUH WANITA DI PASAR BAWANG KECAMATAN DRINGU KABUPATEN PROBOLINGGO

I. PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung

BAB VI KESIMPULAN. Rumah kost tidak sebatas rumah tinggal yang hanya melindungi

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB VIII ANALISIS KOMUNITAS PEMULUNG

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melihat tentang penguatan modal sosial untuk pengembangan mafkah

PEDOMAN WAWANCARA UNTUK INFORMAN KUNCI

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan

BAB III TRANSAKSI SEWA JASA ANJING PEMBASMI HAMA TIKUS DI DESA BUDUGSIDOREJO KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia secara umum mengenal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Relasi Sosial Masayarakat Agraris 2.1.1 Pola Relasi Sosial Hubungan antarasesama dalam istilah sosiologi disebut relasi atau relation. Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. Suatu relasi sosial atau hubungan sosial akan ada jika tiap-tiap orang dapat meramalkan secara tepat macam tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. Dikatakan sistematik karena terjadinya secara teratur dan berulang kali dengan pola yang sama. Menurut Spradley dan McCurdy dalam Ramadhan, relasi sosial atau hubungan sosial yang terjalin antara individu yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan membentuk suatu pola, pola hubungan ini juga disebut sebagai pola relasi sosial. (Spradley dan McCurdy, 1975 dalam Ramadhan, 2009 : 11). Manusia ditakdirkan sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia berusaha mencukupi semua kebutuhannya untuk kelangsungan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia tidak mampu berusaha sendiri, mereka membutuhkan orang lain. Itulah sebabnya manusia perlu berelasi atau berhubungan dengan orang lain sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial dalam rangka menjalani

kehidupannya selalu melakukan relasi yang melibatkan dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Hubungan sosial merupakan interaksi sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, ataupun antara individu dengan kelompok. Misalnya pada masyarakat agraris, terjalin relasi antara tuan tanah atau pemilik tanah dengan petani penggarap atau penyewa, petani penyewa dengan buruh tani, petani dengan pedagang, petani dengan pemberi modal, dan lainnya. Hubungan sosial atau relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain, saling mempengaruhi dan didasarkan pada kesadaran untuk saling menolong. Relasi sosial merupakan proses mempengaruhi diantara dua orang atau lebih.relasi sosial dalam masyarakat juga terdiri dari berbagai macam bentuk yaitu sebagai berikut : 1. Relasi atau hubungan sosial assosiatif adalah proses yang berbentuk kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi serta proses interaksi yang cenderung menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok, misalnya kerja sama, kerukunan, asimilasi, akulturasi, persaudaraan, kekerabatan, dan lainnya. 2. Relasi atau hubungan sosial dissosiatif adalah proses yang berbentuk oposisi. Misalnya persaingan, pertentangan, perselisihan dan lainnya. ( http://www.scribd.com/doc/34826071/46/b-jenis-hubungan-sosial diakses tanggal 3 November 2011). 2.1.2 Struktur Masyarakat Agraris Menurut Sanderson dalam Wisadirana (2005), masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai

pemilik lahan maupun bukan pemilik lahan. Sumberdaya agrarian atau lahan digunakan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, gambaran struktur masyarakat agraris yang merujuk pada peta hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat agraris akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik dalam penguasaan tetap maupun penguasaan sementara. Kemudian differensiasi struktur masyarakat agraris merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria tidak sama.(wisadirana, 2005 : 52). Setiap masyarakat senantiasa memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu akan menciptakan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih banyak memiliki kekayaan material maka orang yang lebih banyak memiliki kekayaan materil akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan perbedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.(soekanto, 2009 : 197). Misalnya masyarakat pertanian yang dianggap memiliki kedudukan tertinggi karena mereka dianggap sebagai pemilik lahan yang luas. Berbasis hubungan sosial dalam penguasaan sumber daya agraria, hasil sensus terhadap seluruh rumah tangga petani di empat komunitas petani lokasi penelitian di Jawa Barat menunjukan bahwa bahwa struktur masyarakat agraris terdifferensiasi dalam banyak lapisan. Sebagian dari lapisan-lapisan tersebut

dibangun dengan status tunggal (status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat), sedangkan sebagian lapisan-lapisan lainnya dibangun dengan status jamak atau kombinasi. Secara lebih rinci, berbagai lapisan masyarakat agraris yang muncul dalam dua komunitas petani di lokasi penelitian adalah : 1. Petani pemilik. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agararia hanya melalui pola pemilikan tetap ( baik petani pemilik yang lahannya diusahakan sendiri dan atau petani pemilik yang lahannya diusahakan oleh orang lain). 2. Petani pemilik + penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria tidak hanya melalui pola pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara ( dengan cara mengusahakan pemilik mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa atau gadai). 3. Petani pemilik + buruh tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan tetap. Selain itu untuk menambah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan sebagai seorang buruh tani. 4. Petani penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain, umumnya melaui sistem bagi hasil). 5. Petani penggarap + buruh tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan sementara (dengan cara

mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa atau gadai). Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarga, mereka juga menjalankan peranan sebagai buruh tani. Sebagaimana lapisan petani penggarap, lapisan ini termasuk bukan pemilik lahan tetapi tidak mutlak. 6. Buruh tani. Para petani pada lapisan ini benar-benar tidak menguasai sumberdaya agrarian, sehingga dapat dikategorikan sebagai bukan pemilik lahan mutlak. Namun, mereka masih memperoleh manfaat sumberdaya agrarian dengan cara buruh tani.( Sihaloho, 2010 :163-164). Struktur masyarakat pertanian di desa Tanjung Rejo menunjukan bahwa terdapat lapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas (petani pemilik), lapisan menengah (petani pemilik sekaligus penggarap) dan buruh tani. Para petani di desa ini sebagian besar petani pemilik menyewa lahan dari pemilik lahan sawah yang tidak dikelolah. Orang yang disebut sebagai petani di desa ini adalah petani yang memiliki lahan dan menggarap atau menyewa lahan pertanian. Keharusan memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga yang mengatasi segala-galanya seperti kekurangan tanah, dan yang memiliki keluarga yang besar, seringkali memaksa petani menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain seperti menjadi buruh tani. (Scott, 1994 : 21). Di desa ini terdapat tiga kelompok buruh tani yaitu buruh tani tetap (terikat dengan petani pemilik dan tidak bebas atau tidak dapat bekerja di lahan pertaniaan siapa saja), buruh tani langganan (buruh petani yang dipakai secara

tetap apabila petani pemilik membutuhkannya untuk mengolah lahannya namun tidak terikat dan dapat bekerja di tempat lain), dan buruh tani bebas (tidak terikat dengan petani pemilik dan bebas bekerja di lahan pertaniaan siapa saja). Hasil kajian Kusyrono dalam Susilowati menyatakan bahwa di empat desa di Jawa Barat menemukan buruh tani yang mempekerjakan buruh tani tetap. Buruh tetap bekerja pada seorang pemilik lahan untuk berbagai macam kegiatan baik kegiatan pertanian maupun non pertanian. Penggunaan buruh tani tetap bagi pemilik lahan adalah kepastian untuk memperoleh tenaga kerja. Penggunaan buruh tani langganan mengandung tujuan yang sama dengan penggunaan buruh tani tetap. Penggunaan buruh tani langganan memperlihatkan peningkatan sistem upah harian, mingguan atau upah bulanan.(susilowati,2005 : 10). Buruh tani di desa Tanjung Rejo merupakan buruh tani yang memang hanya mendapatkan penghasilan dengan bekerja di bidang pertanian tanpa mengolah lahan dan buruh tani yang sekaligus memiliki lahan relatif sempit sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga bekerja sebagai buruh tani. Dengan terjalinnya relasi kerja antara petani dan buruh tani, secara otomatis juga terjalinnya relasi sosial diantara mereka. 2.1.3 Pola Relasi Sosial Masyarakat Agraris Dalam artikel Gusti Alif Prassojo (2011) yang berjudul Pola Hubungan Petani dalam Masyarakat, dikatakan bahwa relasi sosial atau hubungan sosial tersebut menciptakan suatu kelompok atau komunitas. Relasi yang terus menerus dalam komunitas tersebut lama kelamaan akan menciptakan suatu pola. Pola hubungan inilah yang membuat setiap manusia mendapat bagiannya sendiri-sendiri dalam komunitas. Petani adalah mahluk manusia dan manusia

adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari manusia lain. Dahulu sebagian besar petani, anggota keluarganya juga ikut bertani meski bukan pekerjaan utamanya. Antara petani dan keluarganya tersebut memiliki suatu pola relasi atau hubungan yang saling mendukung. Relasi yang saling mendukung tersebut yang membuat keluarga petani hidup dengan tentram. Begitu juga antara petani dan buruh tani juga memiliki suatu pola relasi yang sangat mendukung. Di desa-desa para petani menjunjung tinggi rasa persaudaraan. Itu terbukti dengan semangat gotong royong yang kuat, pembuatan rumah yang tidak perlu menyewa tukang bangunan, penanaman padi yang dilakukan secara beramai-ramai, panen yang juga dilakukan secara beramai-ramai, bila ada hajatan terdengar suara sound yang keras mereka langsung berbondong-bondong mengungkapkan rasa simpati mereka. Relasi antara petani satu dan yang lain sangat harmonis. Masalah memang ada dalam masyarakat pertanian, sebagai contoh saat petani kesulitan air dimusim kemarau mereka berebut mendapatkan jatah air, pertikaian antar kampung lantaran rasa solidaritas tinggi tanpa dibarengi logika, dan lain-lain.(prassojo, 2011). Pola relasi sosial antar petani dan buruh tani yang terjadi di desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang terdapat tiga relasi sosial yang terjalin yaitu relasi petani dengan buruh tani tetap, relasi petani dan buruh tani langganan dan relasi petani dengan buruh tani bebas. Ketiga relasi sosial ini memiliki bentuk relasi sosial yang berbeda-beda. Relasi petani dan buruh tani bebas ditandai dengan adanya relasi ketetanggaan dan bahkan hanya relasi kerja atau pertukaran sosial atau hubungan transaksi di

pasar tenaga kerja saja. Relasi petani dengan buruh tani langganan ditandai dengan adanya hubungan kekerabatan, persaudaraan, kekeluargaan, dan lainnya.banyak petani yang hasil panen bersihnya (setelah dipotong sewa dan biaya produksi) dibawah subsistensi, pekerjaan-pekerjaan sampingan itu sudah merupakan bagian yang lazim dan tidak terpisahkan dan subsistensi secara keseluruhan. Seorang petani mungkin akan dibantu oleh sanak saudaranya, kawan-kawannya, warga desanya, seorang pelindung yang berpengaruh dan malahan jarang sekali olehnya untuk mengatasi satu masa yang sulit akibat gagal panen. Sanak saudaranya biasanya merasa berkewajiban untuk berbuat apa yang dapat diperbuat untuk menolong seorang kerabat dekat yang sedang dalam kesulitan, akan tetapi mereka tidak dapat menawarkan lebih dari sumber daya yang dapat mereka mampu di kalangan mereka sendiri.(scott, 1994 : 40). Relasi petani dan buruh tani tetap ditandai dengan adanya relasi patronase yakni hubungan yang relatif lebih rumit. Relasi patronase yang terbentuk bervariasi tergantung kompleksitas hubungan yang telah terjadi dan perbedaan sosial budaya yang melatarbelakanginya. Dalam banyak hal, orang tidak dapat mengandalkan kepada sesama warga desanya untuk mendapat bantuan dalam jumlah dan dengan kepastian yang sama besarnya dengan apa yang bisa diperolehnya dari kerabat dan tetangga-tetangganya. Dengan demikian banyak buruh tani yang meminta tolong pada orang yang memiliki status sosial yang lebih atas yang dapat membantunya. Orang tersebut disebut dengan patron. Patron dianggap pelindung bagi kliennya karena patron dapat membantu klien-kliennya dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

2.2 Hubungan Patron Klien (Patron-Client Relationship) dalam Masyarakat Pertanian. Istilah patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara entimologis berarti seseorang yang memilki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan disuruh. Selanjutnya pola hubungan patron klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, wewenang, kekuasaan maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi. Berdasarkan paparan-paparan yang diulas dari pengertian diatas maka kemudian terdapat satu hal penting yang dapat digaris bawahi, yaitu bahwa terdapat unsur pertukaran barang atau jasa bagi pihakpihak yang terlibat dalam pola pola relasi antara patron dan klien. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pola pola relasi yang semacam ini dapat dimasukan kedalam bentuk dan pola hubungan pertukaran yang lebih luas. Menurut Scott dalam Hariadi (1987), relasi patron klien merupakan hubungan yang antara dua pihak yang menyangkut persahabatan, dimana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), dan sebaliknya si klien membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum termasuk pelayanan pribadi kepada patron. Dalam hubungan ini pertukaran tersebut merupakan jalinan yang rumit dan berkelanjutan, biasanya baru terhapus dalam jangka panjang. (Scott, 1976

dalam Hariadi, 1987: 48)). Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa materi melainkan dalam bentuk lainnya. Si patron tidak akan mengharapkan materi atau uang dari klien tapi mengharapkan imbalan lainnya yang dibutuhkan si patron. Ikatan-ikatan sosial yang khas antara patron dan klien menekankan ide moral, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban timbal balik yang memberikan kekuatan sosial kepada ikatan-ikatan itu. Sudah tentu tidak mungkin barang dan jasa yang dipertukarkan antara patron dan klien itu akan identikan oleh karena sifat dari pola hubungan itu disesuaikan atas kebutuhan-kebutuhan mereka yang berbeda. Suatu sifat yang persis dengan pertukaran itu akan mencerminkan kekhasan dari kebutuhan-kebutuhan dan sumber-sumber kekayaan baik dari patron maupun dari klien dalam jangka waktu tertentu. Maka pada umumnya patron diharapkan untuk melindungi kliennya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan materinya. Sedangkan klien mengimbalinya dengan tenaga kerja dan loyalitasnya (Scott, 1994 : 257). Scott dalam Ramadhan (2009), mengemukakan bahwa hubungan patronase mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan hubungan sosial lain. Pertama, yaitu terdapatnya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran; kedua, adanya sifat tatap-muka (face-to-face character), dan ketiga adalah sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexibility) ( Ramadhan, 2009 : 15). Menguraikan ciri yang pertama Scott mengatakan bahwa terdapat ketimpangan pertukaran atau ketidakseimbangan dalam pertukaran antara dua pasangan, yang mencerminkan perbedaan dalam kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan. Dalam pengertian ini seorang klien adalah seseorang yang masuk

dalam hubungan pertukaran yang tidak seimbang (unequal), di mana dia tidak mampu membalas sepenuhnya. Suatu hutang kewajiban membuatnya tetap terikat pada patron. Ketimpangan terjadi karena patron berada dalam posisi pemberi barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh klien beserta keluarganya agar mereka bisa tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri si klien muncul lewat pemberian ini, selama pemberian itu masih dirasakan mampu memenuhi kebutuhannya yang paling pokok atau masih dia perlukan. Sifat tatap-muka relasi patronase menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat di dalamnya. Hubungan timbal-balik yang berjalan terus dengan lancar akan menimbulkan rasa simpati (affection) antar kedua belah pihak, yang selanjutnya membangkitkan rasa saling percaya dan rasa dekat. Dekatnya hubungan ini kadangkala diwujudkan dalam penggunaan istilah panggilan yang akrab bagi partnernya. Dengan adanya rasa saling percaya ini seorang klien dapat mengharapkan bahwa si patron akan membantunya jika dia mengalami kesulitan, jika dia memerlukan modal dan sebagainya. Sebaliknya si patron juga dapat mengharapkan dukungan dari klien apabila pada suatu saat dia memerlukannya. Ciri terakhir yaitu sifat relasi yang luwes dan meluas. Seorang patron misalnya, tidak saja dikaitkan oleh hubungan sewa-menyewa tanah oleh kliennya, tetapi juga karena hubungan sebagai sesama tetangga, atau mungkin teman sekolah di masa yang lalu, atau orang-orang tua mereka saling bersahabat, dan sebagainya. Juga bantuan yang diminta dari klien dapat bemacam-macam, mulai dari membantu memperbaiki rumah, mengolah tanah, mengurus ternak, dan lain-lain. Di lain pihak si klien dibantu tidak hanya

dalam bentuk modal usaha pertanian saja, melainkan juga kalau ada musibah, mengalami kesulitan dalam mengurus sesuatu, mengadakan pesta-pesta atau selamatan tertentu dan berbagai keperluan lainnya. Pendeknya hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, dan sekaligus juga merupakan semacam jaminan sosial bagi mereka. Patron client relationship merupakan proses assosiatif yang terwujud dalam bentuk kerja sama antara dua orang yang berbeda statusnya, dengan ciriciri pihak patron melindungi klien dalam berbagai transaksi, serta adanya relasi saling membutuhkan, saling percaya, dan kedua belah pihak terlibat dalam keakraban. Hubungan ini telah menjadi subur dari masa lampau hingga dewasa ini di dalam masyarakat Indonesia. Si patron yang merupakan anggota masyarakat yang lebih beruntung dilihat dari status sosial ekonomi. Mereka inilah yang memiliki modal dan cara berfikir yang lebih baik. Dengan asset yang dimiliki, si patron mempekerjakan kepada anggota masyarakat lain yang status sosial ekonominya lebih rendah. Untuk menjalankan usaha yang diberikan kepada klien, si patron memberikan bimbingan saat klien mengalami kesulitan baik di bidang usaha maupun di bidang lain yang dianggap perlu. Hal ini dilakukan patron supaya klien menjadi terikat dan merasa enggan apabila ingin lepas dari patron. (Ibrahim, 2003, 24). Hasil penelitian Rahmadayanti di Nagari Solok Bio-bio, Kecamatan Harau Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat (2009) mengenai Relasi Sosial antara Pengampo dan Pemilik Lahan menemukan bahwa adanya kerja sama antara pengampo dan pemilik lahan berlangsung terus menerus dan hubungannya didasarkan pada hubungan kekerabatan antara pemilik lahan dan

pengampo. Dan tidak ada organisasi formal yang mengikat hubungan ini. Hubungan ini akan berakhir apabila kegiatan pengampo selesai. Dalam hubungan tersebut, membuat pengampo terkukung hidupnya dan sulit menghindar dari hubungan yang terjalin. Penyebab pengampo tidak bisa keluar dari hubungan ini tidak hanya oleh faktor pemilik lahan sendiri tetapi juga faktor pengampo itu sendiri yang sangat membutuhkan. (Rahmadayanti, 2009: 23). Hal ini berarti relasi yang terjadi antara pengampo dan pemilik lahan telah meluas pada hubungan sosial dan membentuk suatu pola relasi sosial yaitu hubungan patron klien khususnya terhadap buruh tani tetap atau buruh tani langganan. Hubungan patron klien yang diciptakan oleh petani pemilik memiliki banyak tujuan, seperti untuk mempererat kekerabatan, melindungi buruh tani, menciptakan nuansa kekeluargaan sehingga buruh tani merasa betah bekerja padanya, mengikat buruh tani agar tidak berpindah kerja, dan lainnya. Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan kekuatan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral sendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan dipertahankan sejauh memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Dasar hubungannya adalah ketidakmerataan, menyangkut pertukaran pelayanan antara dua belah pihak dimana si patron melindungi klien. Hubungan itu meliputi banyak jenis transaksi dan interaksi diantara kedua belah pihak, ada perasaan saling membutuhkan, saling percaya, dan satu sama lain kenal mengenal secara mendalam. Transaksi yang dibuat tidak berdasarkan perjanjian yang ketat atau

formal. Patron klien merupakan sistem norma yang sudah mendarah daging pada anggota masyarakat pedesaan khususnya masyarakat pertanian. Secara teoritis, dalam masyarakat pertanian, para pemilik lahan selain menggunakan sistem bonus dan penalty sebagai strategi untuk menekan terjadinya kecurangan dalam pekerjaan para buruh tani, serta melakukan sistem patron klien untuk menekan kecurangan yang terjadi. Hubungan patron klien merupakan hubungan yang menyangkut kedua belah pihak, dimana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan atau keuntungan kepada seseorang yang status sosial ekonominya lebih rendah (klien) yang sebaliknya membahas dengan memberikan bantuan dan dukungan. Ikatan antara pelindung (patron) dan klien merupakan satu bentuk asuransi sosial yang terdapat dimana-mana di kalangan petani Asia Tenggara dan merupakan suatu langkah jauh lainnya dalam jarak sosial dan seringkali moral, khususnya apabila sang pelindung bukan warga desa. Apakah dia tuan tanah, pedagang, seorang patron menurut defenisinya adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Meskipun klien-klien seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral pada hubungan itu. Oleh karena itu kedudukan mereka dalam menghadapi patron seringkali lemah sekali. Patronase itu ada segi baiknya, bukan peraturan-peraturan karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya. (Scott, 1994 : 41). Hubungan patron klien antara majikan dan buruh pada umumnya melibatkan lebih dari satu aktivitas ekonomi yang sifatnya personal, seperti

majikan akan membantu buruh apabila mengalami kesulitan uang sekolah anaknya, dan buruh akan membantu majikan apabila majikan kerepotan. Dengan demikian buruh aakan merasa segan apabila ingin melakukan tindak kecurangan, karena dapat merusak hubungan buruh dan majikan. Dengan demikian hubungan patron klien dapat mengurangi kesempatan buruh melakukan tindakan yang tidak jujur. Dengan melakukan kerja sama dalam waktu yang relatif panjang, majikan akan mengetahui kemampuan dan kejujuran buruh.hubungan patron klien tercermin dari pengunaan buruh langganan. Namun hubungan patron klien ini sangat bervariasi, mengikuti kompleksitas hubungan yang telah terjadi dan perbedaan sosial budaya yang melatarbelakanginya.(susilowati,2005:8). Hubungan antara petani pemilik dengan buruh tani terutama hubungan di dalam hubungan kerja, pada komunitas desa ada kecendrungan yang amat kuat untuk mengkaitkan berbagai transaksi menjadi hubungan yang amat rumit dan pribadi sifatnya. Seorang pemilik tanah tidak hanya memberi upah kepada buruh taninya, seringkali patron juga bertindak sebagai pelindung terhadap buruh tani, seperti memberikan beragam hadiah atau pemberian, dan mempergunakan pengaruhnya untuk memecahkan problema-problema buruh tani, terutama dalam masalah ekonomi. Sebaliknya, buruh tani membalasnya dengan kesetiaan dari dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk membantu di rumah majikan jika diperlukan. Pada masyarakat pertanian kewajiban membalas budi merupakan satu prinsip moral yang paling utama yang berlaku bagi hubungan, baik antara pihak-pihak yang sederajat maupun pihak-pihak

yang tidak sederajat. Dan pola hubungan itu biasanya berbentuk ikatan antara patron klien. 2.3 Teori Pertukaran Sosial Asumsi dasar yang diajukan oleh teori ini adalah bahwa transaksi pertukaran akan terjadi apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari adanya pertukaran tersebut. Untuk melihat hubungan sosial yang terjadi antara petani pemilik dan buruh tani, penulis mencoba mengaitkannya dengan teori pertukaran sosial. Turner (1978) dalam Kamanto Sunarto meringkas pokok pikiran teori pertukaran sebagai berikut: 1. Manusia selalu berusaha mencari keuntungan dalam transaksi sosialnya dengan orang lain. 2. Dalam melakukan transaksi sosial manusia melakukan perhitungan untung rugi. 3. Manusia cenderung menyadari adanya berbagai alternatif yang tersedia baginya. 4. Manusia bersaing satu dengan yang lain. 5. Hubungan pertukaran secara umum antarindividu berlangsung dalam hampir semua konteks sosial. 6. Individu pun mempertukarkan berbagai komoditas tak terwujud seperti perasaan dan jasa. (Turner, 1978 dalam Sunarto, 2004 : 232). Teori pertukaran sosial memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibault dan Kelley

dalam Jhonson (1990), dua orang pemuka utama dari model ini menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut : Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya. Ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini. Kemudian teori ini di kembangkan oleh George Homans dalam tingkat individu. Homans juga mengambil konsep dasar seperti biaya, imbalan dan keuntungan Homans memperluasnya hingga mencakup pertukaran sosial juga. Misalnya dukungan sosial seperti uang dapat dijelaskan sebagai suatu reward, dan berada dalam posisi bawahan dalam suatu hubungan sosial dapat dilihat sebagai cost. (Johnson, 1990: 65). Homans berpendapat bahwa pertukaran yang berulang-ulang mendasari hubungan sosial yang berkesinambungan antara orang tertentu. Pandangan Homans dituangkan dalam sejumlah proposisinya dan salah satunya yaitu seseorang akan semakin cenderung melakukan suatu tindakan manakala tindakan tersebut makin sering disertai imbalan. Dalam pola-pola hubungan sosial atau hubungan patron klien anatar petani pemilik dan buruh tani dalam produksi pertanian terdapat unsur pertukaran barang atau jasa bagi pihakpihak yang terlibat. Misalnya buruh tani memberikan tenaganya kepada petani pemilik, dan petani pemilik memberikan imbalannya berupa upah, dan bentukbentuk pertukaran lainnya. 2.4 Sistem Pengupahan dalam Hubungan Kerja pada Masyarakat Pertanian

Hubungan kerja pada masyarakat pertanian berbeda dengan hubungan kerja pada masyarakat industri. Hubungan kerja pada masyarakat pertanian antara petani pemilik dan buruh tani terdapat unsur hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Sedangkan dalam hubungan kerja masyarakat industri hanya berkisar pada hubungan ekonomi. Sistem pengupahan dalam masyarakat pertanian lebih condong pada pola kegotongroyongan. Adapun bentuk-bentuk hubungan ketenagakerjaan dan kelembagaan upah dalam masyarakat pertanian yaitu sebagai berikut : 1. Sistem Bawon Bawon merupakan upah natural yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Collier at.al dalam Susilowati (2005) menyebutkan pada sistem bawon tradisional, panen padi merupakan aktivitas komunitas yang dapat diikuti oleh semua orang atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari hasil. (Susilowati, 2005 : 3). Menurut tradisi di beberapa tempat, petani tidak dapat membatasi jumlah orang yang ikut memanen. Sistem tersebut merupakan bawon yang benar-benar terbuka dalam artian setiap orang diijinkan untuk memanen. Sistem bawon yang lain yaitu sistem bawon yang lebih ketat adalah sistem bawon dengan peserta tertentu (yang diundang saja). 2. Sistem Kedokan Kata kedokan berasal dari bahasa jawa yaitu kedok artinya bagian tertentu dari sawah. Istilah kedokan dibeberapa desa di Jawa Barat disebut sebagai ceblokan atau ngedok-ngedok. Kolf dalam Susilowati (2005)

mendefinisikan kedokan yaitu sistem pengupahan melalui perjanjian dan atau kesepakatan, pekerja akan melakukan pekerjaan tertentu dalam proses usaha tani padi tanpa dibayar. (Susilowati, 2005 : 3). Namun mereka akan memiliki hak untuk panen dan menerima bagian tertentu dari produksi. Tenaga kerja lain di luar kelompok pengedok tersebut tidak dapat ikut panen apabila tidak ada ijin dari kelompok pengedok, bukan dari pemilik lahan. Dengan demikian kelompok pengedok mempunyai hak untuk menentukan siapa orang-orang yang bisa terlibat dalam kegiatan panen tersebut. Dengan kata lain sistem kedokan merupakan suatu kesepakatan yang memeberikan hak berburuh panen secara terbatas kepada sekelompok pekerja terkait dengan kewajiban pekerjaan yang mereka lakukan pada proses usaha tani, seperti mencangkul oleh buruh laki-laki,memperbaiki galengan dan saluran air, dan lainnya. Menurut Collier dalam Susilowati (2005), sistem kedokan awalnya digunakan petani agar kecukupan tenga kerja selama proses produksi dapat terjamin. (Susilowati, 2005 : 3). Dalam perkembangannya kemudian sistem tersebut banyak digunakan petani pemilik sawah untuk membatasi jumlah buruh pemanen dalam rangka menekan biaya panen. Dalam sistem kedokan, karena pemanen tidak dibayar dengan upah tunai maka pemilik lahan tidak mengeluarkan banyak biaya selama musim tanam. Besarnya bawon dan bagian kedokan bervariasi antara desa. Di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, pengedok menerima seperlima dari bagian hasil, sementara pembawon hanya menerima seperlimabelas bagian. Sedangkan di Jawa Timur, pengedok menerima sepersepuluh bagian hasil panen. 3. Sistem Upah Harian

Dalam sistem upah harian, secara teoritis tingkat upah diperhitungkan berdasarkan rata-rata produktivitas tenaga kerja perhari. Lazimnya jumlah jam kerja per hari antara kegiatan maupun antar desa bervariasi demikian pula besarnya upah harian. Dalam hubungan ketenagakerjaan di pedesaan, sifat kekerabatan dan tenggang rasa antara pemilik lahan dan buruhnya umumnya masih kuat. Ini menjadikan upah harian yang diberikan tidak hanya berupa uang namun buruh juga diberi makan dan minum bahkan diberi rokok. 4. Sistem Upah Borongan Besar upah borongan umunya sangat tergantung dari prestasi kerja buruh tani. Semakin tinggi produktivitas kerja, secara teoritis semakin tinggi pula upah yang diterima buruh tani. Variasi produktivitas antar individu buruh tani atau kelompok buruh tani merupakan determinan upah kerja buruh tani. Terdapat beberapa hal yang mendorong munculnya sistem upah borongan yaitu pertama, jadwal tanam harus serentak untuk menghambat serangan hama wereng dan tikus, sehingga pengolahan lahan juga harus serentak. Kedua, sistem pengairan yang semakin baik memaksa petani untuk mempercepat pengolahan lahan agar dapat melakukan penanaman tepat pada waktunya. Ketiga, penggunaan bibit unggul yang berumur pendek, sehingga pengolahan lahan harus cepat dilakukan. Keempat, penggunaan traktor dengan upah borongan akan mampu menyelesaikan kegiatan pengolahan tanah dengan cepat. Kelima, upah borongan dinilai lebih murah dibandingkan upah harian. Keenam, tidak merepotkan pemilik lahan untuk menyediakan makanan. 4. Sistem Sambatan

Sistem sambatan diartikan sebagai sistem saling membantu bekerja secara bergiliran atau sistem hubungan pertukaran tenaga kerja. Pada prinsipnya sistem sambatan adalah memobilisasi tenaga kerja dari luar keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga kerja dalam keluarga usaha tani padi, terutama saat musim sibuk. Dimana petani diminta untuk bekerja membantu pemilik lahan untuk kegiatan tertentu di sawah tanpa diberi upah. Pemilik lahan hanya menyediakan makanan tetapi pada gilirannya, mereka harus mengganti bantuan tersebut secara proposional pada waktu yang diperlukan (Susilowati, 2005 :3-4). Petani dan buruh tani di Desa Tanjung Rejo memiliki relasi kerja dan relasi sosial yang berbeda-beda yakni relasi dengan buruh tani tetap, buruh tani langganan, dan buruh tani bebas. Adanya perbedaan relasi tersebut maka sistem pengupahan yang ada di desa ini juga berbeda-beda berdasarkan relasi tersebut. Bahkan di desa ini terdapat sistem upah mingguan bagi buruh tani tetap, dimana upah diberikan kepada burh tani dalam waktu satu minggu. Buruh tani tetap mengerjakan semua pekerjaan pertanian hingga gabah dapat disimpan di lumbung padi dan siap untuk digiling menjadi beras. Pekerjaan tersebut meliputi pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pengeringan. Berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani langganan dan buruh tani bebas.