dengan data LAI hasil pengukuran langsung di lapang (data LAI observasi). I. PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN INDEKS LUAS DAUN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT MULTI SPEKTRAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 1

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

III. BAHAN DAN METODE

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Klimatologi. 1. Energi Pancaran 2. Karakteristik 3. Penerimaan Energi Pancaran 4. Neraca Energi. Meteorology for better life

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

BAB III DATA DAN METODOLOGI

RIZKY ANDIANTO NRP

PENGUKURAN KERINDANGAN POHON DI KAWASAN ARBORETUM FAKULTAS KEHUTANAN IPB. Oleh :

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

TRIA RAKHDIANA YUDIANSYAH

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

TINJAUAN PUSTAKA. Lillesand dan Kiefer (1997), mendefenisikan penginderaan jauh sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

ix

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. meninggalkan bumi R l : Radiasi gelombang panjang yang datang. meninggalkan bumi

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

BAB V RADIASI. q= T 4 T 4

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. metabolisme, dan tubuh tanaman itu sendiri. Menurut Foth (1998), untuk

ANALISIS CADANGAN KARBON PADA PERKEBUNAN SAWIT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

LAPORAN PRAKTIKUM AGROKLIMATOLOGI

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING)

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapasitas tanaman dalam mengintersepsi radiasi matahari ditentukan oleh indeks luas daun (leaf area index atau LAI), yaitu luas helai daun per satuan luas permukaan tanah. Semakin besar LAI maka semakin besar pula radiasi surya yang dapat diintersepsi untuk dimanfaatkan oleh tumbuhan. Pengukuran LAI secara konvensional didasarkan pada nisbah antara luas daun dengan luas bidang tegakan yang diproyeksikan tegak lurus terhadap penutupan tajuk. Cara tersebut mudah dilakukan untuk komunitas tanaman pertanian, tetapi akan membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang cukup besar bila diaplikasikan pada kawasan hutan ataupun perkebunan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, perhitungan LAI dapat dilakuan secara spasial dengan teknik penginderaan jauh. Estimasi nilai LAI dengan penginderaan jauh diduga dengan respon spektral dari sensor (Curran et al, 1992 ; Peddle et al, 1999). Hasil estimasi tersebut dibandingkan dengan nilai LAI observasi hasil pengukuran dengan alat LAI-2000 plant canopy analyzer (PCA), sunfleck ceptometer, ataupun dengan hemispherical photography. Prinsip kerja alat tersebut didasarkan pada hukum Beer-Lambert. Estimasi nilai LAI juga didukung oleh pendekatan normalized difference vegetation index (NDVI). Sebagian besar pendugaan LAI dengan pendekatan NDVI dilakukan untuk jenis tanaman semi-arid dan tanaman pertanian yang memiliki penutupan kanopi kurang dari 100%. Namun pendekatan NDVI kurang sensitif dalam menduga nilai LAI pada lahan bervegetasi yang memiliki kondisi penutupan kanopi yang berbeda-beda (Chen, 1999; Turner et al, 1999). Dalam penelitian ini, perhitungan LAI dilakukan dengan menggunakan metode neraca energi yang diestimasi dari citra satelit Landsat ETM+ dan pendekatan hukum Beer-Lambert. Untuk menguji keakuratan nilai LAI dengan metode tersebut, maka dilakukan pengujian pada tiga ekosistem yang berbeda, yaitu; hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur yang terdapat di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Hasil akhir LAI akan divalidasi dengan data LAI hasil pengukuran langsung di lapang (data LAI observasi). 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menyusun metode perhitungan refleksi, absorbsi, dan transmisi radiasi pada permukaan lahan bervegetasi menggunakan citra satelit Landsat ETM+. 2. Menyusun metode perhitungan LAI dengan pendekatan neraca energi dari data citra satelit Landsat ETM+. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Radiasi Surya dan Radiasi Permukaan Menurut Handoko (1993), permukaan matahari dengan suhu sekitar 6000 K akan memancarkan radiasi sebesar 73, 5 juta Wm -2. Radiasi yang sampai di puncak atmosfer ratarata 1360 Wm -2, hanya sekitar 50% yang diserap oleh permukaan bumi, 20% diserap oleh air dan partikel-partikel atmosfer, sedangkan 30% dipantulkan oleh permukaan bumi, awan dan atmosfer. Matahari dapat memancarkan radiasi gelombang pendek sedangkan benda di alam yang mempunyai suhu permukaan lebih besar dari 0 Kelvin (atau -273 o C) dapat memancarkan radiasi gelombang panjang yang nilainya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaan benda tersebut (Hukum Stefan-Bolzman). Sebagian dari radiasi matahari akan diserap dan akan dipancarkan lagi dengan gelombang panjang. Hal tersebut menyebabkan adanya neraca energi. Neraca energi merupakan kesetimbangan antara masukan energi dari matahari dengan kehilangan energi oleh permukaan setelah melalui proses-proses yang kompleks (Risdiyanto & Rini, 1999). Konsep dari neraca energi adalah jumlah energi yang mengalir antara benda-benda di permukaan, sedangkan selisih antara masukan (input) dan keluaran (output) pada sistem tersebut merupakan energi yang digunakan atau tersimpan. Neraca energi penting dipelajari karena dapat digunakan sebagai penciri kondisi iklim lokal suatu lokasi yang memberikan informasi nilai masingmasing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan laten, fluks

2 pemanasan udara dan fluks pemanasan tanah (Syukri, 2004). Energi yang sampai pada suatu permukaan harus sama dengan energi yang meninggalkan permukaan pada waktu yang sama, semua fluks energi harus dipertimbangkan ketika persamaan keseimbangan energi ditentukan (Allen et al, 1998). Selisih antara gelombang pendek dan gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang ke luar (hilang) disebut radiasi netto. R n = R S - R S + R L - R L...(1) Sebagian dari radiasi gelombang pendek ada yang dipantulkan dan ada juga yang diserap atau diteruskan. Seberapa besar energi pantulannya tergantung pada albedo (α) permukaannya. Albedo (α) yaitu nisbah antara radiasi pantulan dan radiasi datang (Risdiyanto & Rini, 1999). Nilai albedo untuk vegetasi sangat beragam. Keragaman nilai albedo pada vegetasi tersebut dapat disebabkan oleh tipe vegetasi, warna vegetasi, geometri kanopi, kandungan kelembaban, persen permukaan yang tertutup oleh vegetasi, ukuran dan luas daun, dan tahap (fase) pertumbuhan tanaman. Selain itu, nilai albedo juga sangat dipengaruhi oleh besarnya sudut datang matahari dan panjang gelombang (Geiger et al, 1961). Radiasi gelombang panjang yang datang berasal dari radiasi yang dipancarkan oleh molekul-molekul atmosfer dan radiasi gelombang panjang yang keluar berasal dari pancaran bumi, sehingga (Risdiyanto & Rini, 1999) : R n = (1- α)r S + R L - R L... (2) Rs dapat merupakan radiasi langsung (Q) dan radiasi baur (q) (Risdiyanto & Rini, 1999) : Rn = (Q + q) α(q + q) + R L - εσt 4...(3) Radiasi gelombang pendek (Rs) bernilai nol pada malam hari sehingga radiasi netto (Rn) bernilai negatif. Pada siang hari, Rs jauh lebih besar dari R L sehingga Rn bernilai positif. Radiasi netto yang positif ini akan digunakan sebagai energi untuk memanaskan udara, penguapan, memanaskan permukaan, dan kurang dari 5% untuk fotosintesis. Persamaan untuk menjelaskan fluks energi tersebut adalah (Handoko, 1993): Rn = H + λ E + G + P...(4) H adalah fluks radiasi pemanasan udara (Wm -2 ), λe adalah fluks radiasi penguapan (Wm -2 ), G merupakan fluks radiasi pemanasan permukaan (Wm -2 ), sedangkan P merupakan fluks radiasi fotosintesis (Wm -2 ). 2.2. Interaksi Radiasi dengan Kanopi Tanaman Kanopi tanaman memiliki tiga sifat optikal, tiga sifat optikal tersebut adalah refleksivitas (ρ) yaitu proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang direfleksikan oleh unit indeks luas daun atau kanopi, transmisivitas (τ) yaitu proporsi kerapatan fluks radiasi yang ditransmisikan oleh unit indeks luas daun, dan absorbsivitas (α) yaitu proporsi kerapatan fluks radiasi yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun (Impron, 1999). Dalam komunitas tumbuhan akan terjadi transmisi dan refleksi yang besarnya tergantung pada sudut datang radiasi surya (Monteith, 1972). Koefisien refleksi dan transmisi untuk sudut datang 0 50 o hampir konstan. Dengan semakin besar sudut datang radiasi surya maka koefisien refleksi akan meningkat dan koefisien transmisi akan menurun, perubahan tersebut bersifat komplementer sehingga secara keseluruhan nilai absorbsi yang dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis besarnya relatif konstan. Radiasi surya yang sampai di permukaan kanopi tanaman ± 85% akan diserap dan kurang dari 10% akan dipantulkan. Sedangkan bagian yang tidak diintersepsi akan diteruskan atau ditransmisikan ke bagian bawah kanopi sebesar 5%. Proses penyerapan, pemantulan dan penerusan radiasi pada areal tanaman akan menyebabkan terjadinya perubahan spektrum dari radiasi surya di puncak, tengah dan dasar kanopi. Keadaan ini mempunyai implikasi penting untuk tanaman yang tumbuh di bawah kanopi yang tebal. Faktor yang mempengaruhi penetrasi radiasi surya ke dalam tajuk meliputi sudut berdirinya daun, sifat permukaan daun, ketebalan daun (transmisi radiasi), ukuran daun, elevasi matahari serta proporsi dari radiasi langsung dan baur tajuk tanaman (June, 1993). Dalam suatu vegetasi, bila indeks pantulan yang terjadi adalah (ρ), indeks transmisi (τ), dan indeks absorbsi (α), maka keseimbangan radiasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Impron, 1999) : ρ + τ + α = 100%...(5)

3 Kesetimbangan energi radiasi dalam sebuah daun segar dapat dilihat pada Gambar 1. DAUN Gambar 1. Keseimbangan radiasi dalam sebuah daun segar Besaran koefisien pemantulan, transmisi, pemancaran, dan absorbsi PAR dan NIR untuk sebuah daun segar terdapat dalam Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai pemantulan dan transmisi pada NIR lebih besar dibanding PAR sedangkan nilai absorbsi PAR jauh lebih besar dibandingkan pada NIR. Tabel 1. Sifat optik daun segar dalam PAR dan NIR Proses PAR NIR Gel. Pendek Pemantulan 0.09 0.51 0.30 Transmisi 0.06 0.34 0.20 Pemencaran 0.15 0.85 0.50 Absorbsi 0.85 0.15 0.50 Sumber : Ross (1975) Koefesien pemadaman (extinction coeficient) tajuk tanaman menggambarkan besarnya kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman, mulai dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (June, 1993). Distribusi cahaya dalam kanopi tanaman merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman dan efisiensi konversi penerimaan radiasi menjadi bahan kering (June, 1993). Koefisien pemadaman dapat menjelaskan bagaimana hubungan karakteristik kanopi tanaman dan intersepsi radiasi. Menurut Monteith (1975), koefisien pemadaman memberikan hubungan terbalik dengan kandungan klorofil persatuan luas daun dan berkurang dengan bertambahnya refleksivitas daun. Nilai koefisien pemadaman (k) bergantung pada spesies, tipe tegakan, dan distribusi daun. Nilai k kurang dari 1 terdapat pada kondisi dedaunan yang tidak horizontal atau distrisbusi daun tidak merata (merumpun). Sementara nilai k lebih dari 1 terdapat pada distribusi daun yang tersebar merata (June, 1993). 2.3. Leaf Area Index (LAI) i τ α ρ Leaf area index (LAI) didefinisikan sebagai nisbah antara luas daun dengan luas lahan tegakan yang diproyeksikan tegak lurus terhadap penutupan tajuk (Nemani dan Running 1998). Konsep LAI telah lama dikembangkan sebagai salah satu penentu hasil maksimal suatu tanaman. Nilai LAI bervariasi dari hari ke hari sebagai akibat dari variasi pola radiasi surya harian dan bervariasi dari musim ke musim sebagai akibat perubahan kanopi, area tumbuh, dan guguran daun (Hadipoentyanti et al, 1994). LAI merupakan salah satu indikator untuk menentukan intensitas radiasi yang dapat diserap oleh tanaman untuk proses fotosintesis. LAI juga sebagai peubah struktur tunggal yang banyak digunakan untuk menghitung karakteristik pertukaran energi dan massa pada sebuah ekosistem terestrial seperti intersepsi, transpirasi, fotosintesis netto dan asimilasi kanopi (Villalobos et al, 1995). Di samping itu, LAI juga digunakan untuk menduga evapotranspirasi dan produktivitas primer bersih. Kedua nilai dugaan tersebut secara langsung berhubungan dengan perubahan iklim dan siklus karbon global (Syukri, 1997). Terdapat dua kegunaan nilai LAI untuk kawasan hutan, pertama dapat digunakan untuk menduga pertukaran bahang pada tipe hutan tertentu, dan kedua menentukan hubungan antara karakteristik fisik lingkungan dengan arsitektur tajuk hutan. Turner et al (1999) dalam studi yang dilakukan pada berbagai tipe vegetasi hutan tropis dan areal tanaman (kebun) dengan menggunakan metode perhitungan langsung di lapang, memperoleh kisaran nilai LAI seperti Tabel 2. Tabel 2. Kisaran LAI (unitless) pada hutan tropis Tipe Vegetasi Kisaran LAI Hutan bervegetasi rendah 2.5 6.3 terbakar Hutan bervegetasi rendah 2.5 3.2 Hutan alami primer 4.4 8.4 Hutan konifer 1.4 3.9 Kebun 1.0 3.3 Hutan konifer (muda) 5.3 9.6 Hutan konifer (tua) 7.9 13.0 Sumber : Turner et al (1999) 2.4. Perhitungan atau Pendugaan LAI Pengukuran LAI secara langsung untuk kawasan hutan ataupun perkebunan relatif sukar dilakukan. Pengrusakan pada pohon dan dedaunannya yang berukuran besar pada lahan yang luas sangat sukar dilakukan. Kegiatan ini

4 juga membutuhkan biaya yang cukup besar. Keisuke Saito et al (2001) Oleh karena itu, perlu digunakan teknik pengukuran LAI secara tidak langsung yang lebih cepat, mendekati kondisi sebenarnya, dan relatif murah. Semua metode pengukuran LAI secara tidak langsung memang baik untuk kanopi yang homogen, tetapi memiliki galat jika diterapkan pada hutan dengan gap yang besar (Villalobos et al, 1995). Ada banyak metode dan alat yang telah dikembangkan untuk menduga nilai LAI, antara lain metode pengukuran LAI dengan menggunakan alat LAI-2000 plant canopy analyzer (PCA), sunfleck ceptometer, dan hemispherical photography. Prinsip kerja alat dan hasil estimasi tersebut dibandingkan Peneliti Judul/Tema Metode Estimates of LAI for forest management in Okutama. R.B. Myneni, S et al (2002) S. N. Burrows et al (2002) Peng Gong et al (2003) Djumhaer, M (2003) K. S. Lee et al (2003) Global products of vegetation leaf area and fraction absorbed PAR from year one of modis data. Application of geostatistics to characterize leaf area index (LAI) from flux tower to landscape scales using a cyclic sampling design. Estimation of forest leaf area index using vegetation indices derived from hyperion hyperspectral data. Pendugaan leaf area index dan luas bidang tegakan menggunakan landsat 7 ETM+. Remote sensing estimation of forest LAI in close canopy situation. Mengestimasi LAI melalui citra satelit dengan cara membuat korelasi antara nilai LAI yang diperoleh dengan fisheye lens camera pada tajuk hutan dengan nilai NDVI. Menghitung nilai LAI dan PAR dari data citra satelit MODIS dengan pendekatan NDVI. Mengestimasi LAI dari data tower dan melakukan korelasi dengan nilai NDVI. Menduga LAI dengan melakukan analisa korelasi antara nilai LAI hasil perhitungan alat LAI-2000 Plant Canopy Analyzer (PCA) dengan nilai NDVI hasil pendugaan citra satelit Landsat TM. Membuat suatu model pendugaan LAI dengan cara melakukan analisa korelasi antara nilai LAI hasil pengukuran Hemiphot dengan nilai NDVI. Menghitung LAI dengan alat Li-Cor LAI 2000 dan membandingkan nilai LAI tersebut dengan spektral reflektan dari sampel vegetasi (portable spectro radiometer) dan membandingkannya juga dengan NDVI. dengan LAI hasil observasi (Curran et al, 1992 ; Peddle et al, 1999). Pendugaan LAI tersebut sebagian besar dilakukan dengan metode pendekatan indeks vegetasi yang divalidasi dengan nilai LAI hasil pengukuran langsung di lapang. Indeks vegetasi merupakan transformasi data penginderaan jauh yang dirancang untuk mempertajam variasi kerapatan vegetasi hijau (presentasi liputan, biomassa, leaf area index atau penutupan oleh kanopi) dengan mengurangi sumber-sumber variasi spektral lain, yaitu ; jenis tanah, kelembaban tanah (Jensen, 1973). Tabel 3 memberikan informasi tentang beberapa daftar Tabel 3. Beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan penginderaan jauh Sumber : TEEAL - IPB tersebut didasarkan pada pendekatan secara optikal melalui hukum Beer-Lambert. Sedangkan pendugaan LAI dengan menggunakan teknik allometri didasarkan pada pengambilan parameter pertumbuhan tanaman, seperti tinggi dan diameter pohon (Syukri, 1997). Estimasi nilai LAI dengan penginderaan jauh diduga dengan respon spektral dari sensor penelitian LAI dengan pendekatan penginderaan jauh. 2.5. Perhitungan LAI dengan Hemiview Hemispherical photograph (hemiphot) atau disebut juga hemiview merupakan salah satu teknik yang banyak digunakan untuk mengamati ekosistem hutan, misalnya mengetahui karakteristik kanopi tanaman,

5 distribusi spasial maupun temporal cahaya di Peneliti Judul/Tema Metode Marters SN Estimation of tree canopy leaf area index Menduga nilai LAI dengan et al (1993) by gap analysis. pendekatan hukum Beer-Lambert. Vose JM et al (1995) Whitford KR et al (1995) Jing M, Chen (1996) Levy PE, Jarvis DG (1999) Foroutan Pour K et al (2001) Vertical leaf area distribution, light transmittance, and application of the Beer-Lambert law in four mature hard wood stands in the southern appalachians. Measuring leaf area index in a sparse eucalypt forest : a comparison of estimates from direct measurement hemispherical photography, sunlight transmittance, and allometric regression Optically based methods for measuring seasonal variation of leaf area index in boreal conifer stands. Direct and indirect measurement of LAI in millet and fallow vegetation in Hapex- Sahol. Inclusion of the fractal dimension of leafless plant structure in the Beer- Lambert law. Menduga nilai LAI dan komponen nilai LAI dengan pendekatan hukum Beer-Lambert. Menduga nilai LAI hasil pengukuran dengan alat Hemispherical Photography, Sunlight Transmittance, dan allometrik. Menduga nilai LAI dengan alat LAI-2000 Plant Canopy Analyzer (PCA). Membuat suatu model pendugaan LAI hasil korelasi antara LAI lapangan (LAI-2000 Plant Canopy Analyzer) dengan LAI dugaan (Hemispherical Photography). Menduga nilai LAI dengan pendekatan hukum Beer-Lambert dan dimensi fraktal. Davit (2002) Pendugaan indeks luas daun dengan Membuat suatu model pendugaan pendekatan nilai albedo dan perhitungan LAI dengan cara melakukan radiasi permukaan berdasarkan fungsi analisa korelasi antara nilai albedo umur tanaman padi. dengan LAI hasil pengukuran di lapangan. bawah kanopi hutan dengan menggunakan lensa kamera yang mendekati atau sama 2.6. Pendugaan LAI dengan Hukum Beer- Lambert. dengan 180 o (Azhima, 2001). Hasil foto Pendugaan LAI dengan pendekatan hukum tersebut memungkinkan diadakannya analisis Beer-Lambert juga dikenal sebagai pendekatan terhadap bagian-bagian yang tertutup oleh optik. Pendekatan ini membandingkan kanopi maupun bagian yang terbuka (langit). Berdasarkan kemampuan ini, hemiphot dapat digunakan untuk menghitung radiasi sinar intensitas radiasi surya pada dua ketinggian yang berbeda dan menunjukkan kemampuan penetrasi di dalam tajuk tumbuhan yang matahari dan karakteristik tajuk seperti indeks merupakan fungsi ketinggian tajuk dan luas daun (Djumhaer, 2003). Persamaan LAI dalam Hemiview menduga setengah dari total permukaan setengah dari total permukaan daun per unit areal permukan dasar, yang merupakan konversi dari hukum dinyatakan dalam akumulasi indeks luas daun. Menurut Monski dan Saeki (1953) dalam Rosenberg et al (1983) hukum Beer-Lambert mengasumsikan bahwa tajuk tumbuhan adalah homogen, semua radiasi yang datang langsung Tabel 4. Beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert Sumber : TEEAL - IPB Beer Lambert (Rich et al, 1999 dalam Djumhaer, 2003) yang menyatakan : G(ө) = e K(ө). L...(6) Keterangan : G = Luas permukaan langit yang tampak (gap fraction) K(ө) = Koefisien sudut ө L = LAI ө = Sudut zenith yang besarnya = 45 o mengenai permukaan daun, langit dalam kondisi isotropik, dan nilai koefisien pemadaman (k) adalah konstan. Asumsi tersebut memang sukar dipenuhi karena adanya sifat tajuk tumbuhan yang heterogen secara alami. Beberapa hal lain yang tidak dapat memenuhi asumsi tersebut adalah cahaya yang dipantulkan dan dipancarkan relatif sama dengan cahaya yang diserap oleh daun, sedangkan pada kenyataannya kualitas cahaya berubah - ubah dan terjadi sun fleks. Tabel 4

6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai sebuah objek, area atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari alat yang tidak bersentuhan langsung dengan objek, area atau fenomena yang sedang diamati (Lillesand & Kiefer, 1997). Prinsip dasar penginderaan jauh adalah perekaman informasi dengan menggunakan matahari dan sumber energi dalam sensor sebagai sumber tenaga. Radiasi yang dipancarkan oleh matahari atau sumber energi lainnya akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi dan atmosfer dalam bentuk reflektansi permukaan. Hasil pantulan tersebut akan direkam oleh sensor satelit. Hasil perekaman tersebut akan digunakan dalam proses pengolahan data untuk memperoleh informasi tentang permukaan bumi. Rentang spektral yang umum digunakan dalam penginderaan jauh untuk merekam sumberdaya yang terdapat di permukaan bumi umumnya berkisar antara 0.4 12 μm (mencakup sinar tampak dan infra merah) dan gelombang mikro 30 300 μm. Penginderaan jauh yang menggunakan gelombang antara 0.4 12 μm umumnya disebut dengan penginderaan jauh optik (optical remote sensing). Sementara penginderaan jauh yang dilakukan menggunakan gelombang mikro dikenal dengan penginderaan jauh gelombang mikro (microwave remote sensing) (Djumhaer, 2003). 2.8. Perkembangan Penginderaan Jauh Satelit Periode penginderaan jauh satelit secara sederhana telah dimulai sejak tahun 1946-1950 saat roket V-2 yang diluncurkan dari White Sand Meksico berhasil membawa kamera berukuran kecil yang membuat beberapa gambar bumi dari angkasa luar (Lillesand & Kiefer, 1997). Walaupun berhasil, akan tetapi misi ini belumlah menjadikan penginderaan jauh permukaan bumi sebagai program utama. Era penginderaan jauh sebenarnya baru dimulai pada saat NASA meluncurkan Earth Resources Technology Satellites (ERTS) yang berubah namanya menjadi Landsat pada tahun 1972 (Lillesand & Kiefer, 1997). Sukses ini berlanjut dengan munculnya Landsat-2, Landsat-3, Landsat-4, sampai Landsat-7. Penginderaan jauh satelit termasuk salah satu jenis optical remote sensing yang menggunakan gelombang sinar tampak dan infra merah sebagai sumber energi, dan satelit sebagai platform-nya. Dengan cara ini terjadi penggabungan antara teknologi penginderaan jauh dengan eksplorasi angkasa luar (Lillesand & Kiefer, 1997). 2.8.1. Karakteristik Satelit Landsat ETM+ Enhanced Thematical Mapper Plus (ETM+) merupakan sensor yang digunakan oleh Landsat-7 menyusul kegagalan peluncuran Landsat-6 pada tahun 1993. Sensor ini dirancang untuk menjaga kontinuitas perekaman dari Landsat-5 TM. Berdasarkan tujuan tersebut, ETM+ ditempatkan di orbit dengan posisi hampir sama dengan Landsat-5 TM. ETM+ memiliki tujuh kanal spektral dan resolusi spasial yang sama dengan TM yaitu 30m x 30m. Kelebihan utama yang dimiliki oleh ETM+ adalah penambahan kanal pankrometrik yang beroprasi pada panjang gelombang 0.5 0.9 μm dengan resolusi spasial 15 x 15 m (Lillesand & Kiefer, 1997). III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian berlangsung dari Bulan April Juli 2006 di Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Udara, Departemen Geofisika Dan Meteorologi FMIPA IPB. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data adalah seperangkat komputer dengan beberapa perangkat lunak sebagai penunjang, yaitu Ms. Office 2003 (Ms. Word 2003, Ms. Excell 2003, Ms. Acces 2003), Arc View GIS 3.3, dan Er Mapper 6.4. Bahan bahan yang digunakan antara lain : a. Citra satelit Landsat 7 ETM+ path row 126/61 tahun 2002 yang diakuisisi 15 Agustus 2002. b. Peta administrasi Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi (PPLH-IPB). c. Data penggunaan dan penutup lahan Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi tahun 2003 (ICRAF). d. Data LAI untuk vegetasi hutan alam, agroforest karet, dan LAI perkebunan karet monokultur hasil pengukuran di lapang pada Bulan Juli-Agustus Tahun 2002 di Kab. Bungo-Provinsi Jambi (Djumhaer, 2003). 3.3. Metode Penelitian