I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

Pengelolaan Keuangan Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

RENCANA KERJA SKPD JANGAN ASAL JADI

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. 4. Prinsip APBD 5. Struktur APBD

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pengelolaan Keuangan Daerah & APBD

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 1 TAHUN 2015 SISTEM PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran dan ditetapkan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATU BARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG POKOK - POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 55 TAHUN 2003 SERI E.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG,

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

BAB II LANDASAN TEORI

APBD BANTEN 2013 CAPAI RP6.052 TRILIUN

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA PENCALONAN, PEMILIHAN, PENETAPAN DAN PENGESAHAN TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 1 TAHUN 2007

NO SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO SERI. E

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENETAPAN UANG PERSEDIAAN TAHUN ANGGARAN 2016 BUPATI MALANG,

SIKLUS ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

PEMERINTAH KABUPATEN BREBES

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN UANG PERSEDIAAN TAHUN ANGGARAN 2012 BUPATI MALANG,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi telah memberikan peluang bagi perubahan cara-cara pandang

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN PADA SEKRETARIAT DAERAH WALIKOTA YOGYAKARTA,

1 UNIVERSITAS INDONESIA

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 10 TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

- 1 - PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 46 / PMK.02 / 2006 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 11 TAHUN 2004 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 214 TAHUN 2014

BUPATI PURWAKARTA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

Mekanisme Pengalokasian Anggaran APBA Badan Pengelolaan Keuangan Aceh 2017

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN AKUNTANSI PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN

Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Tahun 2013 Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 21/PMK.07/2009 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 4 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

20 Pertanyaan dan Jawaban mengenai Pengelolaan keuangan daerah:

BAB I PENDAHULUAN. Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak. perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik.

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.07/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN DANA KEISTIMEWAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

11/PMK.07/2010 TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pembagiaan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan indonesia

STRATEGI PENGANGGARAN KEGIATAN TIM TERPADU DAN RENCANA AKSI PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 76 TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Peraturan dan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Keuangan Daerah

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG POKOK POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah sebagai bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa termasuk reformasi pengelolaan pemerintahan di daerah, oleh pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Pemberian otonomi kepada daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep otonomi sebenarnya sudah ada sejak tahun 1974 dengan adanya Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Konsep otonomi daerah setelah reformasi dipertegas kembali dan mulai disosialisasikan dengan menitikberatkan peluang yang luas kepada pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam mengelola, mengatur, dan menggali potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber

2 Daya Manusia (SDM) ataupun sumber daya lainnya yang dimiliki, sebagai modal utama dari terwujudnya suatu kalangan masyarakat yang mandiri dan mampu bersaing sehat dengan daerah lain. Salah satu dari realisasi otonomi daerah adalah desentralisasi, menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemeritahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. 1 Desentralisasi juga merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing 1 Mardiasmo, 2005. Akuntansi Sektor Publik. Andi. Yogyakarta.h.25.

3 power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat 2. Dalam otonomi daerah, desentralisasi mencakup beberapa aspek yaitu aspek politik (political decentralization); administratif (administrative decentralization); fiskal (fiscal decentralization); dan ekonomi (economic or market decentralization). Pelaksanaan otonomi daerah telah mulai diberlakukan pasca reformasi. Salah satu konsekuensi lebih lanjut dari undang-undang tersebut adalah perlunya diatur tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai perwujudan dalam mengakomodasi hal tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (pembaruan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999). Kedua peraturan perundangan tersebut merupakan bagian utama dalam reformasi dibidang pengelolaan pemerintahan daerah termasuk bidang keuangan daerah. Dengan demikian, terbit dan pemberlakuan kedua undang-undang tersebut merupakan momentum penting dalam proses reformasi keuangan daerah. Menurut Undang-Undang No 33 Tahun 2004: keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya 2 Machfud Sidik, Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Yang Mengacu Pada Pencapaian Tujuan Nasional. Disampaikan pada seminar nasional Public Sector Scorecard. Jakarta 17-18 April 2002. h.1

4 segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban, dalam rangka Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Kapasitas keuangan pemerintah daerah akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsifungsinya seperti melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat (public service function), melaksanakan fungsi pembangunan (development function) dan perlindungan masyarakat (protective function). Menurut Machfud Sidik 3, Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran disektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan dari sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dibidang penerimaan, anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Karenanya, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi dibidang keuangan sebagai sumber penerimaan 3 Ibid., h.2

5 kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Banyak aspek yang muncul dari adanya reformasi keuangan daerah. Namun yang paling umum menjadi sorotan bagi pengelola keuangan daerah adalah adanya aspek perubahan mendasar dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD). Dalam pembahasan anggaran, eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan-kesepakatan yang dicapai melalui bargaining (dengan acuan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) sebelum anggaran ditetapkan sebagai suatu peraturan daerah. Anggaran yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi eksekutif untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah. Proses penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), Peraturan Daerah (Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota menurut Pasal 185 (1-5) dan Pasal 18 (1-6) UU No 32 Tahun 2004, bahwa pengesahannya dilakukan oleh DPRD Provinsi dan Gubernur serta DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota melalui Perda atas evaluasi dan persetujuan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota. Untuk melaksanakan hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

6 sebagai pengganti Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 15 Mei 2006, sebagai pelaksanaan pasal 155 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ada beberapa hal yang berubah dalam penyusunan APBD berdasarkan pola Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, antara lain: 1. Dari Sentralisasi ke Desentralisasi. Desentralisasi dalam hal ini adalah memberikan kewenangan kepada kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai pejabat Pengguna Anggaran (PA) dan Pengguna Barang (PB). Sebagai PA, kepala SKPD boleh memerintahkan bendahara untuk melakukan pembayaran dengan mengeluarkan SPM (Surat Perintah Membayar). 2. Perubahan struktur organisasi PKD. Implikasi dari penerapan asas desentralisasi di atas adalah terjadinya perubahan dalam struktur PKD. Kepala SKPKD adalah PPKD yang juga melaksanakan fungsi perebendaharaan keuangan daerah (selaku BUD), sehingga memiliki kewenangan untuk mengusulkan bendahara yang akan ditempatkan di SKPD sebagai pejabat fungsional perbendaharaan. Di sisi lain, di SKPD ditunjuk pejabat penatausahaan keuangan (PPK) SKPD, yang akan melaksanakan fungsi verifikasi, akuntansi, dan pembuatan SPM. 3. Mengenalkan istilah Entitas Pelaporan dan Entitas Akuntansi. SKPKD adalah entitas pelaporan, sedangkan SKPD adalah entitas akuntansi (yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang terdiri dari LRA, neraca, dan catatan atas laporan keuangan hanya kepada entitas pelaporan). Kepala SKPD tidak menyusun Laporan Arus Kas karena bukan merupakan pengguna uang (kas), kecuali sebagai pengguna anggaran dan pengguna barang. Pengguna kas di SKPD adalah

7 bendahara, yang membuat buku kas umum (BKU). Pengisian BKU bukan merupakan bagian dari proses akuntansi keuangan daerah. 4 Dibandingkan dengan penyusunan APBD berdasarkan pola lama yaitu berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, penyusunan APBD berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dimulai dengan proses penyusunan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) oleh pemerintah daerah bersama DPRD, dengan berpedoman pada Rencana Strategis (Renstra) Daerah dan atau dokumen perencanaan daerah kainnya yang ditetapkan daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasional di bidang keuangan daerah oleh Mendagri. Setelah Arah dan Kebijakan Umum (AKU) tersusun, maka tahap selanjutnya kepala daerah melalui tim anggaran eksekutif menyusun strategi dan prioritas RAPBD yang nantinya sebagai pedoman bagi perangkat daerah dalam menyusun usulan program, kegiatan dan anggaran. Setelah itu baru disusun Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) oleh masingmasing unit kerja dan setelah dibahas oleh pemerintah daerah bersama DPRD, akan disahkan menjadi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Perencanaan dan penganggaran yang efektif merupakan inti dari pengelolaan keuangan yang efektif. Pemerintah daerah tidak akan dapat mengelola keuangannya secara efektif apabila sistem perencanaan dan 4 http://syukriy.wordpress.com/2008/08/19. Pada tanggal 14 Februari 2013 pukul 16.35 WIB.

8 penganggaran yang dimilikinya buruk. Tujuan strategisnya adalah untuk pembuatan anggaran daerah multi tahunan yang seksama yang secara jelas terkait dengan perencanaan daerah. Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Proses penyusunan dan penetapannya merupakan suatu rutinitas aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Proses ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang harus dipedomani. Oleh karena itu setiap langkah, prosedur dan dokumen harus dilaksanakan dan dipenuhi. Seperti yang diungkapkan oleh Stephen D.Tansey 5 bahwa dalam organisasi masalah timbul dalam menentukan nilai-nilai dan sasaran, karena mereka terdiri dari sasaran hasil dan nilai-nilai yang berbeda. Kondisi semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya tarik ulur antara eksekutif dan legislatif dalam proses penyusunan APBD khususnya dalam proses pembahasan di DPRD. Pada praktiknya di lapangan terkadang penyusunan APBD tidak sesuai dengan siklus yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Seperti proses pembahasan APBD Kabupaten Pesawaran tahun anggaran 2012, proses yang berakhir deadlock pada tahap pembahasan RAPBD di tingkat Banang (Badan Anggaran) membuat Ketua DPRD 5 Stephen D Tansey.1996. Politics The Basics.New york:routladge.h.189.

9 Kabupaten Pesawaran memberikan rekomendasi kepada eksekutif untuk menerbitkan Peraturan Bupati tentang APBD. Rekomendasi tersebut disetujui oleh 4 fraksi yaitu fraksi PKB, fraksi PAN, fraksi gabungan, dan fraksi PKPB, sementara fraksi GOLKAR, DEMOKRAT, dan PDIP menolak dan masih yakin APBD Kabupaten Pesawaran dapat disahkan melalui Perda 6. Dampak dari keluarnya Peraturan Bupati tentang APBD pada 5 Maret 2012 tersebut menyebabkan pagu anggaran yang dapat digunakan oleh Kabupaten Pesawaran adalah pagu anggaran tahun 2011, serta adanya penundaan DAU (Dana Alokasi Umum) dari pemerintah pusat, yang disebabkan oleh terlambatnya pengesahan APBD kabupaten Pesawaran Tahun 2012. Setelah dua bulan Peraturan Bupati tentang APBD berjalan, hubungan Eksekutif dengan Legislatif Kabupaten Pesawaran mulai membaik sehingga pada tanggal 25 Mei 2012 pihak Eksekutif menyerahkan Raperda tentang APBD untuk dibahas oleh pihak Legislatif, akhirnya pada 15 Juni 2012 Perda APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 disahkan dalam rapat paripurna DPRD 7. Fungsi APBD sebagai alat fiskal utama di daerah mempunyai peran yang cukup kuat dalam menunjang pertumbuhan ekonomi di daerah yang pada akhirnya bermuara kepada pertumbuhan ekonomi nasional. Dapat dibayangkan jika penyusunan APBD tidak disusun dan disahkan tepat waktu, akibatnya akan sangat merugikan masyarakat di daerah. Apabila 6 Radar Lampung, 29 Februari 2012. 7 Ibid., 16 Juni 2012.

10 seluruh daerah di Indonesia mengalami hal yang sama, maka akibat yang dapat ditimbulkan tidak lagi dalam skala daerah tetapi skala nasional, yang akhirnya mengakibatkan buruknya pertumbuhan ekonomi nasional. APBD merupakan nafas pembangunan di tengah masyarakat. Dengan molornya waktu ditetapkannya APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 hingga enam bulan, pembangunan terancam gagal bukan hanya di Pesawaran, melainkan di Provinsi Lampung. Dalam peraturan perundangan, secara eksplisit telah diamanahkan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 181 ayat 3 bahwa pengambilan keputusan pengesahan APBD selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran berjalan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang menjadi motivasi dalam penelitian ini adalah pertama, belum adanya penelitian yang terkait dengan keterlambatan dalam penyusunan APBD termasuk dalam hal ini di wilayah Kabupaten Pesawaran belum dilakukan penelitian tersebut. Kedua, dampak yang timbulkan dari adanya keterlambatan APBD dapat pada akhirnya merugikan masyarakat selaku penerima layanan publik dan hal ini bertentangan dengan tujuan pemerintah yang selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Atas dasar itu, maka dipandang perlu penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD, khususnya di Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012.

11 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkaji tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Akademik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian Ilmu Pemerintahan, khususnya dalam penelaahan tentang teori perencanaan keuangan daerah. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Pesawaran khususnya dalam praktek penyusunan APBD, serta dapat dipergunakan oleh pembaca atau peneliti lain sebagai referensi atau dasar untuk penelitian lanjutan.