I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha furniture sudah lama dikenal masyarakat Indonesia, bahkan dibeberapa daerah tertentu sudah menjadi budaya turun temurun. Sentra-sentra industri furniture berkembang pesat di Indonesia terutama di Pulau Jawa, antara lain: Jabotabek, Semarang, Jepara, Solo, Surabaya, Yogyakarta, Cirebon dan lainlain. Industri furniture di Indonesia didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri besar/pabrikan. Industri furniture merupakan industri padat kerja yang menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), potensi penyerapan tenaga kerja oleh industri ini tidak kurang dari 4 juta tenaga kerja, baik tenaga kerja langsung maupun tidak langsung. Kontribusi industri ini terhadap perolehan devisa negarapun tidaklah kecil, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan nilai ekspor furniture Indonesia pada tahun 2010 mencapai angka USD 1,96 milyar. Dalam perjalanannya, perkembangan industri furniture di Indonesia, banyak menghadapi kendala. Salah satu kendala yang dihadapi adalah mengenai jaminan pasokan bahan baku kayu. Pada mulanya jenis-jenis kayu yang biasa digunakan sebagai bahan baku furniture adalah: jati dan mahoni. Namun karena sulitnya dalam mendapatkan bahan baku terutama kayu jati (kalaupun ada, harganya sudah tidak terjangkau lagi), maka saat ini, selain menggunakan kedua jenis kayu tersebut diatas, para pengusaha furniture juga menggunakan jenis-jenis kayu 1
alternatif, mulai dari penggunaan kayu-kayu kampung seperti: sonokeling, munggur, kuweni, mangga, nangka, durian, lengkeng, kelapa sampai dengan menggunakan kayu-kayu bekas (recycle wood), yaitu kayu-kayu bekas rumahrumah tua, perahu, bantalan rel kereta api dan lain-lain, yang di daur ulang menjadi produk-produk furniture. Selain itu beberapa jenis kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) seperti: acacia, pinus dan gmelina, juga sudah mulai digunakan oleh beberapa perusahaan. Selama ini sumber utama perolehan bahan baku kayu pada industri furniture berasal dari Perum Perhutani, kebun rakyat dan sebagian menggunakan kayu-kayu yang didatangkan dari Luar Pulau Jawa. Maraknya isu penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal (illegal timber trading) pada beberapa tahun terakhir ini, mendorong organisasi-organisasi pemerhati lingkungan internasional, untuk melakukan aksi pemboikotan terhadap produk-produk kayu tropis, termasuk furniture. Organisasiorganisasi pemerhati lingkungan dengan gencar mengkampanyekan kepada para konsumen akhir (end user) dinegara tujuan utama ekspor furniture, yaitu: Amerika Serikat, Jepang dan Negara-Negara Eropa, untuk hanya membeli produk-produk furniture bersertifikat ekolabel. Sertifikat Ekolabel adalah sertifikat yang menunjukan bahwa produk-produk yang dihasilkan, telah menggunakan bahan baku kayu legal yang berasal dari hutan yang telah dikelola secara lestari (sustainable forest management). Hasilnya, saat ini banyak pembeli asing terutama dari: Amerika Serikat, Jepang dan Eropa yang mensyaratkan sertifikat ekolabel kepada para produsen furniture. Sementara itu pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kehutanan mulai melakukan penataan kembali dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sejak tahun 2
2002 stakeholder kehutanan mulai menyusun sebuah standar legalitas kayu, dimana pada tahun 2007 menghasilkan draft final yang kemudian diadopsi oleh pemerintah melalui Kementerian Kehutanan menjadi Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 dan selanjutnya direvisi menjadi Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2011 yang dikenal sebagai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Peraturan Menteri ini dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-Set/2009 dan P.02/VI-BPPHH/2010, kemudian direvisi menjadi Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2011 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Tujuan pengembangan dan perumusan SVLK adalah untuk membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan illegal logging. SVLK termasuk di dalam konteks sertifikasi hutan dan hasil hutan. Sertifikasi pada awalnya diinisiasi oleh tekanan terhadap konsumen di tingkat global, yang kemudian menciptakan mekanisme pasar. Di bawah payung permintaan konsumen atas hasil hutan yang bersumber dari hutan yang dikelola secara lestari, sertifikasi telah berkembang menjadi sejumlah sistem. Dari sini kemudian dikenal antara lain: (1) sistem sertifikasi terhadap hutan, (2) sistem sertifikasi terhadap produk kayu di sepanjang rantai suplai, (3) sistem sertifikasi sukarela (voluntary), dan (4) sistem sertifikasi wajib (mandatory). SVLK tergolong sertifikasi mandatory (Foretika, 2011). SVLK yang secara resmi akan mulai diberlakukan pada Maret 2012, dimana untuk tahap awal akan diujicobakan pada 11 produk hasil hutan. Sementara itu, 3
untuk seluruh produk industri kehutanan termasuk furniture akan diberlakukan pada Maret 2013 mendatang, sehingga hal ini perlu pemahaman terhadap berbagai konsekuensi implementasinya, baik oleh (1) pemerintah, agar dapat dirumuskan langkah kebijakan yang berimbang antara kewajiban dan insentif; maupun (2) unit usaha, untuk mempersiapkan kondisi internal di dalam manajemen, serta (3) masyarakat, sebagai pemantau sekaligus pengawas atas implementasi kebijakan tersebut. 1.2. Rumusan Masalah Dalam rangka implementasi SVLK sebagai skema legalitas kayu yang dimiliki Indonesia, guna membuktikan kepada dunia internasional bahwa produkproduk furniture Indonesia telah terbebas dari praktek-praktek illegal logging, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia? 2. Bagaimana strategi implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia. 2. Merumuskan strategi implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia. 4
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan input kepada pengambil kebijakan (pemerintah) dan juga lembaga akreditasi serta lembaga sertifikasi di Indonesia guna mendorong upaya-upaya implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia secara intensif. 2. Membantu lembaga akreditasi dan lembaga sertifikasi dalam merumuskan kembali faktor-faktor yang menjadi kendala implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia. 3. Sebagai bahan referensi bagi dunia akademis dalam mengkaji sertifikat SVLK pada industri furniture. 4. Menambah wawasan bagi penulis sehingga dapat mengetahui peluang dan kendala dalam implementasi sertifikasi SVLK pada industri furniture di Indonesia. 1.5. Ruang Lingkup Analisis yang dilakukan dalam perumusan strategi implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia dilakukan dengan mengkaji faktor-faktor internal dan eksternal yang berkaitan dengan implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia. Perumusan strategi implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia ini dengan dilihat dari sudut pandang pakar dibidang sertifikasi kayu, pihak-pihak yang ikut merumuskan lahirnya kebijakan SVLK serta para pelaku usaha industri furniture di Indonesia. Pemilihan industri furniture sebagai objek penelitian, dikarenakan industri ini merupakan industri padat kerja yang memberikan kontribusi yang sangat 5
significant terhadap perolehan devisa negara serta memerlukan bahan baku kayu dalam memenuhi kebutuhan produksinya. Industri ini sebagian besar berorientasi ekspor terutama ke pasar Amerika Serikat, Jepang dan Eropa, yang sebagian besar menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh industri seperti kualitas, desain, dan legalitas bahan baku kayu. 6
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB